Anda di halaman 1dari 30

Psikologi Abnormal

GANGGUAN SEKSUAL

Penyusun:
Kelas A
Kartika Rahma Indrastiti

111211131036

Randy Prawita Putra

111211132044

Rayhan Putra Hakim

111211132081

Ellenia Fitriana Dewi

111211133106

Laily Ardillah Oktavia

111211133110

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014

GANGGUAN SEKSUAL

A. GANGGUAN IDENTITAS GENDER


Gender sudah tertanam sejak masa kanak-kanak dalam diri setiap orang. Karena itu
apapun stress yang dialami dalam suatu waktu tidak akan mempengaruhi tentang keyakinan
seseorang tentang gendernya. Secara umum, identitas seksual atau orientasi seksual
merupakan keyakinan atau preferensi kita terhadap jenis kelamin pasangan. Contohnya
adalah seorang perempuan yang memiliki ketertarikan pada orang-orang yang memiliki jenis
kelamin yang sama tanpa meyakini bahwa dia adalah seorang laki-laki.
a) Karakteristik Gangguan Identitas Gender
Orang-orang yang mengalami gangguan identitas gender (GIG) atau yang biasa
disebut transeksualisme biasanya sejak kanak-kanak merasa bahwa dirinya memiliki jenis
kelamin yang berbeda dengan dirinya saat ini. Mereka tidak menyukai berbagai hal dan
aktivitas yang biasanya dilakukan oleh orang dengan jenis kelakim yang sama dengan
mereka. Seperti contohnya adalah secara fisik seorang laki-laki dapat melihat tubuhnya
dalam bentuk tubuh laki-laki tetapi jauh dalam dirinya merasa bahwa tubuh itu dimiliki
oleh seorang perempuan. Umumnya mereka akan mencoba masuk ke dalam kelompok
gender yang berbeda dan bahkan dapat melakukan operasi agar memiliki tubuh yang
sama dengan identitas gendernya.
Gangguan identitas gender bermula ketika kanak-kanak. Gangguan gender pada
kanak-kanak bisa dideteksi antara umur 2 hingga 4 tahun (Green & Blanchard, 1995). Hal
ini dapat dihubungkan dngan perilaku lintas gender seperti berpakaian seperti lawan jenis,
lebih sering bermain dengan lawan jenis, hingg sering memainkan permainan yang
umumnya dimainkan oleh lawan jenisnya.
Mereka yang mengalami GIG sering kali menyebabkan rasa tidak suka bahkan
diskriminasi dari lingkungannya. Sikap tidak suka ini berasal dari bangsa barat dpada
ratusan tahun silam. Seperti contohnya orang-orang yang memiliki karakter seperti lawan
jenisnya akan dianggap sebagai tukang sihir sehingga hukuman yang diberikan adalah

diikat pada tiang lalu dibakar. Sedangkan transeksual mendapatkan tempat tersendiri
dalam beberapa masyarakat. Contohnya adalah beberapa masyarakat Amerika Asli
(Indian) dianggap sebagai gender ketiga (bukan laki-laki ataupun perempuan) serta tidak
mendapat pandangan negatif sama sekali.
Orang dengan gangguan identitas gender secara umum mengalami gangguan
kecemasan serta depresi. Hal ini dijadi akibat dilema psikologis yang mereka alami dari
pelecehan dan diskriminasi orang-orang sekitarnya.
b) Penyebab Gangguan Identitas Gender
1. Faktor-faktor Biologis
Beberapa data menunjukkan bahwa GIG disebabkan oleh gangguan fisik,
secara spesifik disebabkan oleh hormon. Sebuah studi dilakukan terhadap para
anggota keluarga batih di Republik Dominika (ImperatoMcGinley dkk., 1974). Disini
para peserta tidak memiliki hormon yang bertanggung jawab dalam pembentukkan
testis dan skrotum pada masa pertumbuhan janin laki-laki. Mereka lahir dengan penis
dn skrotum yang sangat kecil yang mirip dengan lipatan bibir, dua pertiganya
dibesarkan sebagai perempuan. Namun ketika mereka memasuki masa pubertas dan
memiliki hormon testosteron yang meningkat organ kelamin mereka berubah. Penis
mereka membesar dan testikelnya berubah menjadi skrotum.
Penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu yang mengonsumsi
hormon seks selama masa hamil sering kali memiliki perilaku seperti lawan jenisnya.
Seperti anak perempuan yang ibunya mengonsumsi progestin sintesis (yang
merupakan cikal bakal hormon seks laki-laki) untuk mencegah pendarahan selama
hamil memiliki perilaku tomboy di usia prasekolah. Meskipun anak-anak tidak selalu
memiliki GIG yang tidak normal, tetapi hormon seks yang dikonsumsi oleh ibu cukup
berpengaruh pada perilaku lintas gender yang sedikit lebih tinggi dari normal.
Kadar hormon seks juga diteliti pada orang dewasa. Namun dalam suatu
kajian Gladue (1985) hanya menemukan sedikit perpedaan dan bahkan hampir tidak
ada perbedaan. Dengan demikian data tersebut tidak mendukung bahwa transeksual
pada masa dewasa hanya dipengaruhi oleh hormon (Carroll, 2000). Bahkan

kemungkinan terjadi karena kromosom juga sangat tidak mungkin dan upaya untuk
menemukan perbedaan struktur otak orang penderita GIG dengan orang normal
memberikan hasil negatif (Emory dkk., 1991).
2. Faktor-faktor Sosial dan Psikologis.
Lingkungan memiliki peran yang sangat banyak, bahkan mungkin sangat
besar terhadap GIG. Wawancara yang dilakukan kepada orangtua yang memiliki anak
dengan tanda GIG mengungkap bahwa mereka tidak mencegah dan bahkan
mendorong mereka untuk memakai pakaian lawan jenis pada anak. Hal ini sering
terjadi pada anak laki-laki, sering ibu, bibi, maupun kerabat mengganggap lucu ketika
mendandani anak lelakinya dengan memakai baju dan sepatu hak tinggi lama milik
ibunya. Perlakuan seperti itu mungkin sangat berkontribusi dalam pertentangan antara
jenis kelamin dan identitas gendernya (Green, 1974, 1987; Zuckerman & Green,
1993).
Para peneliti menyadari aspek maskulinitas dan feminitas yang berhubungan
dengan budaya dan adanya perbedaan antara berbagai aktivitas yang umum dilakukan
lawan jenis dengan benar-benar meyakini bahwa memiliki GIG. Masyarakat
memberikan toleransi yang rendah kepada anak laki-laki yang melakukan berbagai
aktivitas yang umum bagi anak perempuan, sedangkan anak perempuan dapat
bermain dan berpakaian seperti anak laki-laki dan tetap dapat diterima sebagai anak
perempuan (Williams, Goodman, & Green, 1985).
c) Terapi Gangguan Identitas Gender
Berikut ini adalah dua intervensi yang ada untuk membantu orang yang mengalami
gangguan identitas gender.
1. Perubahan Tubuh
Orang dengan GIG yang mengikuti program perubahan tubuh biasanya
diminta menjalani psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan dan hidup sesuai dengan
genderyang diinginkan (Harry Benjamin International Gender Dysphoria Association,
1998). Terapi ini tidak hanya memfokuskan pada kecemasan dan depresi yang

mungkin dialami, tetapi juga berbagai pilihan yang ada untuk mengubah hidupnya.
Contohnya adalah beberapa orang yang mengalami GIG dapat Orang dengan GIG
yang mengikuti program perubahan tubuh biasanya diminta menjalani psikoterapi
selama 6 hingga 12 bulan dan hidup sesuai dengan genderyang diinginkan (Harry
Benjamin International Gender Dysphoria Association, 1998). Terapi ini tidak hanya
memfokuskan pada kecemasan dan depresi yang mungkin dialami, tetapi juga
berbagai pilihan yang ada untuk mengubah hidupnya. Contohnya adalah beberapa
orang yang mengalami GIG dapat menjalani operasi kosmetik seperti menghilangkan
bulu di wajah. Banyak juga transeksual yang mengonsumsi hormon agar mengubah
tubuhnya mendekati keyakinan gender mereka secara fisik, seperti hormon untuk
menumbuhkan payudara dan melembutkan kulit (Schaefer, Wheeler, & Futterweit,
1997). Banyak orang yang mengalami GIG tidak melakukan yang lebih jauh dari itu,
namun beberapa orang memilik untuk operasi kelamin.
2. Operasi Perubahan Kelamin
Operasi ini merupkan operasi yang bertujuan mengubah alat kelamin agar
sama dengan lawan jenis. Operasi kelamin pertama kali dilakukan di Eropa pada
tahun 1930. Untuk operasi perubahan kelamin laki-laki ke perempuan, minimal
dibutuhkan waktu satu tahun sebelum operasi untuk mengonsumsi berbagai hormon
perempuan agar memulai proses perubahan tubuh. Sebagian besar harus menjalani
elektrolisis yang ekstensif dan mahal untuk menghilangkan bulu-bulu di wajah dan
tubuh, melakukan pelatihan nada suara, serta mengonsumsi hormon untuk membuat
bulu-bulu tak lagi tumbuh. Sedangkan untuk operasi perubahan kelamin perempuan
ke laki-laki sedikit lebih mudah, karena hormon yang dikonsumsi perempuan yang
ingin berubah gender menjadi laki-laki secara otomatis mengubah distribusi lemak
dan menstimulasi pertumbuhan bulu-bulu di wajah dan tubuh.
Selama bertahun-tahun berkembang berbagai kontroversi bahwa manfaat dan
penelitian operasi perubahan kelamin sendiri cukup rendah (Carroll, 2000). Bahkan
menurut Meyer & Reter tidak ada manfaat apapun bagi individu dalam kaitannya
dengan rehabilitasi sosial. Dalam penelitian selanjutnya dengan melakukan
pemantauan selama minimal satu tahun mendapatkan hasil yang lebih positif. Dari

130 operasi perempuan ke laki-laki, 97 persen diantaranya dapat dinilai memuaskan;


dari 220 operasi laki-laki ke perempuan, 87 persen diantaranya memuaskan. Faktor
praoperasi yang memprediksi penyesuaian positif pascaoperasi adalah (1) stabilitas
emosi yang cukup baik, (2) berhasil beradaptasi dengan peran yang baru minimal satu
tahun sebelum operasi (3) cukup memahami keterbatasan nyata dan konsekuensi
operasi, dan (4) psikoterapi dalam konteks identitas gender yang mapan. Rating
memuaskan disini berdasar dari penuturan pasien bahwa mereka tidak menyesal telah
melakukan operasi tersebut.
Di Amerika Serikat diperkirakan bahwa lebih dari 1000 transeksual menjalani
operasi perubahan kelamin setiap tahunnya. Sebagian besar GIG yang telah berganti
kelamin secara umum lebih bahagia meskipun beberapa diantaranya tidak. Orang
yang telah melakukan operasi tersebut sering kali akan memutuskan hubungannya
dengan temandan keluarga dalam kehidupan mereka sebelumnya. Stres berat banyak
ditemui pada mereka yang memutuskan hubungan masa lalunya. Karena masa lalu
memiliki kontribusi terhadap masa kini dan masa depan.
Orang yang terfokus kepada ketidaksesuaian antara identitas gender dan
struktur biologis cenderung menyalahkan ketidakpuasan yang dirasakan saat ini.
Mereka menyadari bahwa berganti kelamin tidak menyelesaikan berbagai masalah
hidup.

Hal

itu

mungkin

dapat

mengatasi

sebuah

masalah,

tapi

tidak

menyelesaikanberbagai kesulitan yang lain. Memang, banyak transeksual yang tidak


menjalani operasi perubahan kelamin setelah melakukan satu tahun untuk hidup
seperti lawan jenis karena menyadari bahwa ketidakpuasan terhadap hidup tidak dapat
diatasi dengan mengubah aspek eksternal jenis kelamin biologis (Carroll, 2000).
3. Perubahan Identitas Gender
Operasi dan pemberian hormon sebelumnya dianggap sebagai satu-satunya
penanganan untuk gangguan identitas karena upaya psikologi mengalami kegagalan.
Namun ada beberapa kasus dari prosedur pengubah identitas gender melalui terapi
perilaku tampak berhasil. Seperti seorang laki-laki usia 17 tahun yang ingin
mengubah identitas gendernya menjadi seorang perempuan. Penanganannya tidak

mencakup pembentukan berbagai macam perilaku yang spesifik seperti sopan santun
dalam berbicara tetapi juga komponen kognitif seperti fantasi. Tekniknya adalah
dengan memasang beberapa ambar perempuan dengan beberapa gambar laki-laki, hal
ini untuk mentransfer gairah seksual yang timbul untuk gambar laki-laki dapat
ditranfer ke gambar perempuan. Pendekatan inijuga dilengkapi dengan terapi aversi
untuk menggurangi daya tarik pada laki-laki. Setelah menjalani terapi ini secara
intensif selama setengah tahun dan pemantauan lima tahun, laki-laki tersebut
menganggap dirinya laki-laki dan merasa tertarik secara seksual dengan perempuan
(Barlow, Abel, & Blanchard, 1979).
Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa identitas gender dapat diubah.
Namun, hanya sebagian orang yang mengalami GIG yang bersedia berpartisipasi
dalam program terapi tersebut. Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa
operasi perubahan kelamin merupakan satu-satunya jalan.

B. PARAFILIA
Dalam DSM-IV TR, parafilia adalah sekolompok gangguan yang mencakup
ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada
umumnya. Fantasi, dorongan atau perilaku yang harus berlangsung setidaknya 6 bulan dan
menyebabkan distress atau hendaya signifikan. Seseorang dapat memiliki perilaku, fantasi,
dan dorongan seperti yang dimiliki oleh parafilia, namun tidak didiagnosis menderita
parafilia jika fantasi atau perilaku tersebut tidak berulang atau bila ia tidak mengalami
distress karenanya.
Mungkin seperti yang anda duga, kriteria diagnostik DSM yang mensyaratkan adanya
distress dan hendaya cukup menimbulkan perdebatan karena banyak orang yang memiliki
perilaku sesuai karakteristik parafilia tidak merasakan distress atau Hendaya (Hudson &
Ward, 1997). Dengan demikian, banyak peneliti serta ahli klinis mengabaikan kriteria
distress dan hendaya dalam definisi DSM (Maletsky, 2002).

a) Fetishisme
Fetishisme

mencakup

ketergantungan

pada

benda-benda

mati

untuk

menimbulkan gairah seksual. Orang yang mengidap fetishisme, yang hampir


seluruhnya laki-laki, memiliki dorongan seksual terhadap berbagai benda mati, yang di
sebut fetis (a.l., sepatu perempuan, stoking transparan, sarung tangan, perlengkapan
toilet, celana dalam), dan keberadaan fetis sangat diinginkan atau bahkan merupakan
keharusan agar dapat timbuk gairah seksual. Beberapa orang dapat melakukan tindakan
fetishisme mereka sendirian secara diam-diam dengan membelai, mencium, membaui,
mengisap, menempelkan di anus, atau hanya menatap benda-benda tersebut seraya
melakukan masturbasi. Ada juga yang membutuhkan pasangan mereka untuk memakai
fetis tersebut sebagai stimulan sebelum melakukan hubungan seks.
Ketertarikan yang dirasakan oleh fetisis pada benda tersebut mengandung
komponen kompulsif; hal itu dialami secara spontan dan tidak dapat ditahan olehnya.
Tingkat fokalisasi erotis status eksklusif dan sangat istimewa yang dimiliki benda
tersebut sebagai stimulan seksual itulah yang membedakan fetishisme dengan
ketertarikan normal para laki-laki heteroseksual dalam budaya barat. Gangguan tersebut
biasanya berawal dari masa remaja, meskipun fetis dapat memperoleh keistimewaannya
pada masa yang lebih awal, yaitu di masa kanak-kanak. Fetisi sering kali mengidap
jenis parafilia, seperti pedofilia, sadisme, dam masokisme (Mason,1997).
Kriteria Fetishisme dalam DSM-IV TR
1. Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu setidaknya enam bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan
penggunaan benda-benda mati.
2. Menyebabkan distress atau hendaya yang jelas dalam fungsi sosial atau pekerjaan.
3. Benda-benda yang menimbulkan gairah seksual tidak terbatas pada bagian pakaian
perempuan yang dikenbakannya sebagai lawan jenis atau alat-alat yang dirancang
untuk menstimulasi alat kelamin secara fisik, seperti vibrator.
b) Fetishisme Transvestik

Bila seseorang laki-laki mengalami gairah seksual dengan menggunakan


pakaian perempuan, meskipun ia tetap merasa sebagai laki-laki, kondisi ini disebut
fetishisme transvestik, atau tranvestisme. Praktik transvestisme bervariasi mulai dari
memakai pakaian dalam perempuan di balik pakaian konvensional hingga memakai
pakaian

perempuan

lengkap.

Meskipun

demikian,

tranvestisme

jangan

dicampuradukkan dengan memakai pakaian lawan jenis yang berhubungan dengan


gangguan identitas gender atau dengan kecenderungan memakai pakaian lawan jenis
pada beberapa homoseksual.
Fetishisme transvestik biasanya di awali dengan separuh memakai pakaian
lawan jenis di masa kanak-kanak atau remaja. Para transvestit adalah heteroseksual,
selalu laki-laki, dan secara umumnya hanya memakai pakaian lawan jenis secara
episodik, bukan secara rutin. Di luar itu mereka cenderung berpakaian, berperilaku, dan
memiliki minat seksual maskulin. Memakai pakaian lawan jenis biasanya dilakukan
sendiri dan secara diam-diam dan hanya diketahui oleh sedikit anggota keluarganya.
Dorongan untuk memakai pakaian lawan jenis dapat menjadi lebih sering dalam
perjalanan waktu dan kadang disertai ketidaknyamanan dengan jenis kelamin
anatomisnya, namun tidak separah yang dialami dalam GIG. Transvestisme komorbid
dengan parafilia lainnya, terutama masokisme (Zucker & Blanchard, 1997).
Kriteria Fetishisme Transvestik dalam DSM-IV TR
1. Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu setidaknya enam bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan
memakai pakaian lawan jenis.
2. Menyebabkan distress atau hendaya yang jelas dalam fungsi sosial atau pekerjaan.
3. Dapat berhubungan dengan disforia gender dalam kadar tertentu.
c) Pedofilia dan Incest
Menurut DSM, pedofil adalah orang dewasa yang mendapatkan kepuasan
seksual melalui kontak fisik dan sering kali seksual dengan anak-anak prapubertas yang
tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. DSM-IV TR mensyaratkan para
pelakunya minimal berusia 16 tahun dan minimal 5 tahun lebih tua dari si anak.

Namun, tampaknya penelitian tidak mendukung pernyataan DSM bahwa semua pedofil
lebih menyukai anak-anak prapubertas; beberapa di antaranya menjadikan anak-anak
pascapubertas sebagai korbannya, yang secara hukum belum cukup umur untuk
diperbolehkan melakukan hubungan seks dengan orang lain (Marshall, 1997).
Pedofilia lebih banyak diidap oleh laki-laki dibandingkan perempuan.
Gangguan ini sering kali komorbid dengan gangguan mood dan anxietas,
penyalahgunaan zat, dan tipe parafilia lainnya (Raymond dkk., 1999). Dalam beberapa
tahun terakhir, iinternet memiliki peran yang semakin besar dalam pedofilia; para
pedofilia memanfaatkan internet untuk mengakses pornografi anak dan untuk
menghubungi calon-calon korbannya (Durkin, 1997).
Sejumlah kecil pedofil, yang juga dapat diklasifikasikasikan sebagai sadistis
seksual atau berkepribadian antisosial (psikopatik), menyakiti objek nafsu mereka
secara fisik dan menybabkan cedera serius. Mereka bahkan dapat membunuhnya. Para
individu tersebut, apakah psikopat atau bukan, mungkin lebih tepat sebagai pemerkosa
anak dan secara fundamental berbeda dengan pedofil terkait dengan keinginan mereka
untuk menyakiti secara fisik minimal sampai mereka mendapatkan kepuasaan seksual
(Groth, Hobson, & Guy, 1982).
Kriteria pedofil dalam DSM-IV TR
1. Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu setidaknya enam bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan
melakukan kontak seksual dengan seoerang anak prapubertas.
2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongaan tersebut, atau dorongan
dan fantasi tersebut menybabkan orang yang bersangkutan mengalami distress atau
masalah interpersonal.
3. Orang yang bersangkutan minimal 16 tahun dan 5 tahun lebih tua dari anak yang
menjadi korban.
Incest adalah hubungan seksual antarkeerabat yang dilarang untuk menikah.
Kenyataan bahwa incest adalah hal yang taboo tampaknya disetujui oleh masyarakat
manusi (Ford & Beach, 1951), dengan pengecualian

yang patut dicatat adalah

perkawinan parah faraoh mesir dengan saudara perempuannya atau perempuan lain
yang ada dalam keluarganya.
Perbedaan anatara incest dan pedofil (1) incest sendiri berdasarkan definisinya
dilkukan antaranggota keluarg, (2) korbsn incest biasanya lebih tua dibandingkan
korban pedofil.

d) Voyeurisme
Voyeurisme, adalah kondisi di mana seseorang meiliki prefelensi tinggi untuk
mnedapatkan kepuasan seksual dengan melihat orang lain yang sedanga tidak
menggunakan busana atau orang yang sedang melakukan hubungan seksual. voyeur
sejati, yang hampir selalu laki-laki, tidak merasa bergairah dengan melihat perempuan
yang sengaja membukakan kesenangannya untuk si voyeur. Elemen resiko tampaknya
penting karena voyeur merasa bergairah dengan kemungkinan reaksi si perempuan
yang diintipnya jika ia mengetahuinya.
Voyeur umumnya berawal di masa remaja. Ada pemikiran bahwa voyeur merasa
takut untuk melakukan hubungan seksual secara langsung dengan orang lain. Mungkin
karena tidak terampil dalam hubungan sosial.
Kriteria voyeurisme dalam DSM-IV TR
1. Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu setidaknya enam bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan
kegiatan mengintip orang lain yang sedang tanpa busana atau sedang melakukan
hubungan seksual tanpa diketahui yang bersangkutan.
2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongaan tersebut, atau dorongan
dan fantasi tersebut menybabkan orang yang bersangkutan mengalami distress atau
masalah interpersonal.
e) Eksibisionisme

Eksibisionisme adalah preferensi tinggi dan berulang untuk mendapatkan


kepuasaan seksual dengan memamerkan alat kelamin pada orang yang tidak kenal yang
tidak menginginkannya. Gangguan ini umumnya berasal dari masa remaja (Murphy,
1997). Seperti halnya pada voyeurisme jarang ada keinbginan untuk melakukan kontak
fisik secara nyata dengan orang yang tidak kenal tersebut. pada sebagian besar kasus
ada keinginan untuk mengejutkan, atau mebuat malu korbannya.
Kriteria eksibionis dalam DSM-IV TR
1. Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu setidaknya enam bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan
memamerkan alat kelamin kepada orang yang tidak dikenalnya dan yang tidak
menduganya.
2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongaan tersebut, atau dorongan
dan fantasi tersebut menybabkan orang yang bersangkutan mengalami distress atau
masalah interpersonal.
f) Froteurisme
Froteurisme adalah gangguan yang berkaitan dengan melakukan sentuhan yang
berorientasi seksual pada bagian tubuh seseorang yang tidak menaruh curiga akan
terjadi hal itu. Tindakan ini umumnya dilakukan di tempat umum.
Kriteria froteurismedalam DSM-IV TR
1. Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu setidaknya enam bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan
menyentuh atau menggosokan bagian tubuhnya pada orang lain yang tidak
menghendakinya.
2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongaan tersebut, atau dorongan
dan fantasi tersebut menybabkan orang yang bersangkutan mengalami distress atau
masalah interpersonal.
g) Sadisme Seksual dan Masokisme Seksual

Preferensi kuat untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan meimbulkan rasa


sakit atau penderitaan psikologis pada orang lain merupakan kerakteristik utama
sadisme seksual. Pferensi kuat untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan
menjadikan diri sendiri sebagai subyek rasa sakit atau kondisi dipeermalukan
merupakan karakteristik masokisme seksual.
Gangguan ini tampaknya muncul dari dewasa awal, dan sebagian besar sadistis
dan masokis relatif cukup nyaman dengan praktik-praktik seksual mereka yang tidak
wajar (Spengler, 1977). Terlepas dari gangguan yang mereka idap, mayoritas sadistis
dan masokis menjalani hidup normal, dan terdapat beberapa bukti bahwa mereka
berpenghasilan dan berpendidikan di atas rata-rata (Moser & Levit, 1987; Spengler,
1977).
Kriteria masokisme dalam DSM-IV TR
1. Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu setidaknya enam bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan
tindakan yang dilakukan oleh orang lain untuk mempermalukan atau memukul
dirinya.
2. Menyebabkan distress pada orang yang bersangkutan atau mengalami hendaya
dalam fungsi sosial atau pekerjaan.
Kriteria sadisme dalam DSM-IV TR
1. Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu setidaknya enam bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan
tindakan mempermalukan atau menyebabkan penderitaan fisik pada orang lain.
2. Menyebabkan distress pada orang yang bersangkutan atau mengalami hendaya
dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau orang tersebut bertindak berdasarkan
dorongan tersebut kepada orang lain yang tidak menghendakinya.

B.1Etiologi Parafilia

Dari sekian banyak teori dan hipotesis mengenai etiologi parafilia, teori dan
hipotesis yang penting berasal dari perspektif psikodinamika dan perilaku. Sisanya,
berasal dari perspektif biologis.
1. Perspektif Psikodinamika
Parafilia dipandang sebagai tindakan defensif, melindungi ego agar tidak
menghadapi rasa takut dan memori yang di-repress dan mencerminkan fiksasi di
tahap pre-genital dalam perkembangan psikoseksual. Orang yang mengidap
parafilia dipandang sebagai orang yang merasa takut terhadap hubungan
heteroseksual yang wajar dan tidak melibatkan seks. Perkembangan sosial dan
seksualnya (umumnya laki-laki) tidak matang, tidak berkembang, dan tidak
memadai untuk dapat menjalin hubungan sosial dan heteroseksual orang dewasa
umumnya (Lanyon, 1986).
Contohnya : fetisis dan perofil dipandang sebagai laki-laki yang memiliki
kecemasan kastrasi yang menyebabkan hubungan seks heteroseksual dengan
perempuan dewasa menjadi sangat menakutkan.

Kecemasan kastrasi membuat

eksibionis meyakinkan diri sendiri tentang maskulinitasnya dengan menunjukkan


kelaminnya kepada orang lain. Sedangkan pada orang yang memiliki sadistis, ini
mengakibatkan ia melakukan tindakan yang cenderung untuk mendominasi secara
berlebihan terhadap orang lain.
2. Perspektif Behavioral dan Kognitif
Perspektif

behavioral

berpendapat

bahwa

parafilia

terjadi

karena

pengondisian klasik yang secara tidak sengaja menghubungkan gairah seksual


dengan sekelompok stimuli yang oleh masyarakat dianggap sebagai stimuli yang
tidak tepat. Teori ini pertama kali dikemukakan dalam laporan Kinsey yang terkenal
mengenai perilaku seksual laki-laki dan perempuan Amerika (Kinsey, Pomeroy, &
Martin, 1948; Kinsey dkk., 1953). Contohnya : seorang laki-laki yang
bermasturbasi dengan melihat perempuan cantik dan seksi menggunakan sepatu
boots hitam. Menurut teori ini, pengulangan tindakan tersebut mengakibatkan
seseorang tersebut amat bergairah ketika melihat sepatu boots hitam. Teori yang

sama juga dikemukakan untuk transvestisme, pedofilia, voyeurisme, dan


eksibisionisme.
Sebagian besar teori behavioral dan kognitif mengenai parafilia yang ada
saat ini bersifat multidimensional dan berpendapat bahwa parafilia terjadi bila
sejumlah faktor terdapat dalam diri individu. Penelitian mengungkapkan bahwa
riwayat masa kecil para penderita parafilia seringkali tidak jauh dari kekerasan.
Baik secara fisik maupun seksual, dan ia juga dibesarkan dalam keluarga di mana
hubungan orang tua-anak mengalami gangguan (Mason, 1997; Murphy, 1997).
Pengalaman tersebut dapat berkontribusi besar terhadap rendahnya tingkat
keterampilan sosial dan harga diri, rasa kesepian, dan terbatasnya hubungan intim
yang sering terjadi pada para pengidap parafilia (Kaplan & Kreuger, 1997;
Marshall, Serran, & Cortoni, 2000).
Hubungan orang tua-anak yang menyimpang juga dapat memicu
permusuhan atau sikap negatif pada umumnya juga dapat memicu permusuhan atau
sikap negatif pada umumnya, dan kurangnya empati terhadap perempuan, yang
dapat meningkatkan untuk menyakiti perempuan. Alkohol dan afeksi negatif juga
seringkali berperan dalam terbentuknya perilaku pedofilia, voyeurisme, dan
eksibisionisme.
Penyimpangan kognitif juga berperan dalam parafilia. Contohnya, seorang
voyeurisme dapat meyakini bahwa seorang perempuan yang membiarkan tirai
kamarnya terbuka ketika ia sedang berganti pakaian memang ingin dirinya dilihat
oleh orang lain (Kaplan & Krueger, 1997). Seorang pedofil dapat meyakini bahwa
anak-anak memang ingin berhubungan seks dengan orang dewasa (Marshall, 1997).
Berbagai hipotesis yang memfokuskan pada kognisi kadang terkesan berciri
psikoanalisis. Contohnya, beberapa ahli klinis yang menganut perspektif kognitif
perilaku dan beberapa pendapat psikodinamika menganggap transvestisme sebagai
pelarian seorang laki-laki dari tanggung jawab yang dianggapnya dibebankan
kepadanya semata-mata karena ia seorang laki-laki. Maka, kemudian pakaian
perempuan diyakini memiliki makna khusus bagi laki-laki transvestit di luar gairah

seksual yang dirasakannya dengan memakainya. Mungkin peran gender yang tidak
terlalu kaku akan mengubah makna pakaian perempuan bagi laki-laki macam itu.
Berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang
dianggap diakibatkan oleh keterampilan sosial yang tidak memadai atau penguatan
oleh orang tua atau kerabat terhadap ketidakwajaran perilaku. Contohnya, riwayat
kasus transvestit sering kali mengungkapkan insiden di masa kanak-kanak di mana
si anak laki-laki dipuji dan diperhatikan secara berlebihan karena terlihat lucu
dengan memakai pakaian perempuan.
3. Perspektif Biologis
Karena sebagian besar orang yang mengidap parafilia adalah laki-laki,
terdapat spekulasi bahwa androgen, hormon utama dalam laki-laki, berperan dalam
hal ini. Karena, janin manusia pada awalnya terbentuk sebagai perempuan dan
kelelakian ditimbulkan oleh pengaruh hormonal terkemudian, mungkin dapat terjadi
suatu kesalahan dalam perkembangan janin. Meskipun demikian, temuan mengenai
perbedaan hormonal antara orang normal dan orang parafilia tidak begitu
meyakinkan. Berkaitan dengan perbedaan dalam otak, suatu disfungsi pada lobus
temporalis dapat memiliki relevansi dengan sejumlah kecil kasus sadisme dan
eksibisionisme (Mason, 1997; Murphy, 1997).
B.2Terapi Parafilia
Seperti halnya pada para penyalah guna zat, para penjahat seks sering kali
kurang termotivasi untuk mencoba mengubah perilakunya yang melanggar hukum.
Faktor-faktor yang melemahkan motivasi mereka antara lain : mengingkari masalah,
mengecilkan keseriusan masalah yang mereka miliki, keyakinan bahwa korban mereka
bukan saksi yang meyakinkan, dan rasa percaya diri bahwa mereka dapat
mengendalikan perilaku mereka tanpa bantuan profesional. Ada beberapa metode untuk
meningkatkan motivasi mereka untuk tekun menjalani terapi (Miller & Rollnick, 1991),
yaitu :

a. Terapis dapat berempati terhadap keengganan si pelaku untuk mengakui bahwa ia


seorang penjahat sehingga mengurangi defensivitas dan kekerasan
b. Terapis dapat menunjukkan kepada si pelaku berbagai penanganan yang dapat
membantunya mengendalikan perilakunya secara lebih baik dan menekankan
konsekuensi negatif apabila tidak bersedia mengikuti penanganan
c. Terapis dapat menerapkan intervensi paradoksikal, dengan berpura-pura ragu akan
kesungguhan klien, lalu menantang klien untuk mematahkan keraguan terapis
tersebut
d. Terapis dapat menjelaskan bahwa akan dilakukan pengukuran psikofisiologis
terhadap gairah seksual pasien, yang dapat mengungkap kecenderungan seksual
pasien tanpa ia harus membuat pengakuan tentang hal itu (Garland & Dougher,
1991).
Sekarang, kita akan membahas terapi parafilia secara psikoanalisis, behavioral,
kognitif, dan biologis.
1. Terapi Teknik Psikoanalisis
Menganggap bahwa gangguan itu timbul karena adanya gangguan karakter,
yang dahulu disebut gangguan kepribadian, sehingga sangat sulit untuk ditangani
dengan keberhasilan yang cukup memadai. Perspektif ini mungkin juga dianut oleh
pengadilan dan oleh masyarakat umum (Lanyon, 1986). Meskipun pandangan
psikoanalisis berdampak terhadap pandangan mengenai penyebab, hanya sedikit
berkontribusi terhadap terapi yang efektif bagi gangguan ini.
2. Terapi Teknik Behavioral
Mereka tidak terlalu fokus terhadap gangguan kepribadian, namun mereka
mencoba untuk fokus pada pola seksualitas tertentu yang tidak wajar. Akhirnya,
mereka membuat berbagai prosedur terapeutik yang hanya mengubah aspek seksual
individu. Beberapa keberhasilan telah dicapai, terutama bila berbagai macam teknik
digunakan dalam terapi berspektrum luas dan multi segi (Becker, 1990; Maletzky,
2002; Marshall dkk., 1991).
Ada beberapa metode dalam terapi teknik behavioral ini, seperti :

a. Terapi Avensi
Yakni terapi yang dilakukan dengan memberi alat kejut tertentu yang
diharapkan secara psikologis dapat mengurangi ketertarikannya terhadap
sesuatu yang menyimpang. Misal : apabila seorang penderita pedofilia mulai
terangsang dengan melihat foto anak kecil yang telanjang, ia akan dikejutkan
dengan alat kejut listrik, atau dengan emetik (obat yang menimbulkan rasa
mual). Meskipun tidak dapat sepenuhnya menghilangkan ketertarikan, namun
dalam beberapa kasus terapi ini cukup membuat pasien cukup mampu
mengendalikan perilaku terbukanya (McConaghy, 1990, 1994).
b. Pemuasan
Pasien disuruh masturbasi dalam waktu lama, umumnya setelah
ejakulasi, pasien meneriakkan fantasinya mengenai aktivitasnya yang
menyimpang. Diyakini bahwa terapi aversi dan pemuasan digabungkan,
kemudian ditambah dengan terapi psikologis lain seperti keterampilan sosial,
dapat memberikan manfaat bagi penderita kelainan seksual, seperti : pedofilia,
transvestisme, eksibisionisme, dan fetishisme (Brownell, Hayes, & Barlow,
1977; Laws & Marshall, 1991; Marks & Gelder, 1967; Marks, Gelder, &
Bancroft, 1970; Marshall & Barbaree, 1990).
c. Reorientasi Orgasmik
Digunakan untuk membantu pasien belajar untuk lebih terangsang
dengan stimuli seksual yang wajar. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada
stimulus merangsang yang normal, seperti foto perempuan ketika mereka
sedang memberikan respons seksual terhadap stimuli lain yang tidak
dikehendaki.
3. Terapi Teknik Kognitif
Seringkali digunakan untuk mengatasi distorsi pikiran para individu yang
mengidap parafilia. Contohnya : para penderita eksibisionis menganggap bahwa
perilakunya yang suka memperlihatkan kelamin kepada anak perempuan yang lebih

muda, merasa tidak perlu menyesal karena menganggap mereka masih muda. Nah,
perilaku seperti ini yang berusaha diluruskan oleh psikolog dengan menekankan
bahwa perilakunya tersebut justru akan memberi dampak negatif kepada sang
korban. Pelatihan empati juga penting, yakni dengan mengajarkan kepada klien
bahwa bagaimana perilakunya tersebut nantinya akan berdampak kepada sang
korban.
Dalam banyak kasus, terapi yang digunakan banyak menggunakan pendekatan
Mater dan Johnson sebagai model. Dengan asumsi bahwa beberapa parafilia terjadi
atau tetap dilakukan karena hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan orang
dewasa yang menjadi pasangan di pengidap (Marshall & Barbaree, 1990).
4. Terapi Teknik Biologis
Berbagai variasi sudah pernah dicoba, salah satunya adalah kastrasi atau
potong testis. Potong testis banyak dilakukan di Eropa Barat dua generasi lalu, yang
tampaknya cukup efektif untuk mengurangi kejahatan dari para parafilia. Namun,
teknik itu sudah semakin ditinggalkan saat ini dan diganti dengan penggunaan zat
kimia, seperti MPA (Medroksiprogesteron Asetat) yang berfungsi untuk
menurunkan kadar testosteron pada laki-laki. Obat ini difungsikan sebagai
pengurang nafsu birahi yang datang dan mengurangi ejakulasi apabila stimulus
perangsang ada di depan mata.
Hasilnya amat bervariasi. Studi awal oleh Berlon dan Meinecke (1981)
menemukan bahwa setelah beberapa lama mengonsumsi MPA mulai dari lima
hingga 20 tahun, 17 dari 20 penjahat seksual tidak lagi melakukan tindakan
parafilik.
Masalah yang muncul akibat penggunaan MPA dalam jangka waktu lama :
a. Kemandulan
b. Diabetes
B.3Hukum Megan

Hukum ini mengizinkan masyarakat untuk menggunakan komputer kepolisian


setempat untuk mengakses info apakah ada pelaku kejahatan seksual yang tinggal di
lingkungan mereka. Trend saat ini, di beberapa negara mempublikasikan keberadaan
para penjahat seksual yang terdaftar di kepolisian apabila mereka memiliki potensi
untuk membahayakan lingungan sekitar mereka.

C. PEMERKOSAAN
Pemerkosaan dibagi atas dua kategori, yaitu :
a. Secara paksa, yaitu hubungan seksual dengan orang yang tidak bersedia melakukannya.
b. Secara hukum, yaitu hubungan seksual dengan orang yang berada di bawah umur
dewasa, yakni dibawah < 18 tahun.
Kasus perkosaan sangat bervariasi. Ada yang direncanakan, namun adapula yang
dilakukan secara spontan akibat dorongat hasrat seksual yang menggebu, meskipun gagal
mencapai puncak kenikmatan seksual atau orgasme. Beberapa perkosaan juga dilakukan
karena hasrat ingin mengontrol orang lain. Adapula kasus pemerkosaan sadistik, dimana
pemerkosa terkadang memasukkan sesuatu kedalam vagina korban dan bahkan sampai
membakar payudara korban.
Pemerkosaan juga terjadi dalam suasana kencan atau yang biasa disebut dengan
perkosaan oleh kenalan, atau perkosaan oleh teman kencan. Jenis perkosaan ini melebihi
jumlah perkosaan dengan orang tidak dikenal, yakni dengan prosentasi 3:1 (Kilpatrick &
Best, 1990). Perkosaan oleh teman kencan erat kaitannya dengan penggunaan obat penenang
Rohypnol. Obat ini tidak berasa dan tidak berbau, dan dapat mengakibatkan pemakainya
tidak sadarkan diri dan melupakan sebagian atau bahkan seluruh kejadian yang menimpa
dirinya.
Korban perkosaan biasanya menjadi trauma oleh serangan tersebut. Baik fisik maupun
mental. Dua minggu setelah diperkosa, 94% perempuan menderita gangguan stress akut, dan
9 bulan kemudian, 42% menderita GSPT penuh. Selama beberapa minggu atau bulan setelah
diperkosa banyak korban yang merasa amat sangat tegang dan malu. Mereka merasa bersalah

karena tidak mampu melawan lebih keras dan berpikir untuk membalas dendam. Beberapa
korban perkosaan dapat mengalami trauma berat dan phobia terhadap hal tertentu yang
mengingatkannya pada peristiwa pemerkosaannya. Sayang, beberapa reaksi tersebut kurang
ditanggapi serius oleh lingkungan sekitar seperti teman ataupun polisi. Mereka malah
mempertanyakan bagaimana keterlibatan korban dalam pemerkosaan tersebut. Perkosaan
dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan, PMS, sehingga dapat menambah
trauma ekstra pada korban. Maka tak heran, DSM-IV-TR menyebut perkosaan sebagai jenis
trauma yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan stress pascatrauma.
Banyak perempuan yang mengalami kasus pemerkosaan bersikap negatif terhadap seks,
sehingga kehidupan seksnya dengan suami menjadi sangat berantakan. Tanpa intervensi,
simtom-simtom kecemasan dan depresi, dan dalam beberapa kasus, GSPT penuh pada
perempuan dapat berlangsung selama bertahun-tahun setelah penyerangan tersebut.
Risiko bunuh diri juga tinggi dan banyak pada orang yang pernah diperkosa, seperti juga
penyalahgunaan zat (Phelps, Wallace, & Waigant, 1989).
Karakteristik dan durasi gangguan yang oleh beberapa orang disebut sindrom trauma
perkosaan sangat tergantung pada kehidupan korban sebelum dan sesudah kejadian. Faktorfaktor yang berpengaruh diantaranya adalah pasangan hidup, lingkungan sosial seperti
teman-teman, serta intervensi klinis.
Perkosaan dalam peperangan zaman dahulu jamak terjadi. Para penjelajah memerkosa
sepanjang perjalanan mereka melintasi Eropa dalam perjalanan ziarah suci pada abak ke 1113; Orang Jerman memerkosaa ketika mereka menyerbu Berlgia pada Perang Dunia 1; Para
tentara Amerika memerkosa perempuan dan anak Vietnam; tentara Irak memerkosa
perempuan dan anak Kuwait saat mereka menginvasi kuwait. Brownmiller berpendapat
bahwa perkosaan sebenarnya diharapkan dalam peperangan. Menurutnya, menjadi anggota
pasukan militer mendorong timbulnya rasa superioritas maskulin yang keji dan menciptakan
suatu iklim dimana perkosaan itu dapat diterima.
Satu kemungkinan kesamaan antara pemerkosa adalah kekerasan yang luar biasa tinggi
terhadap perempuan, yang timbul dari keyakinan bahwa dirinya telah dikhianati, ditipu, atau
direndahkan oleh mereka atau dari pengalaman kekerasan orang tua dan penganiayaan fisik

atau seksual di masa anak-anak (Duke & Durham, 1990; Malamuth dkk., 1993). Penuturan
dari para pemerkosa mengindikasikan bahwa dorongan untuk memerkosa diperkuat oleh
perasaan kesepian, kemarahan, dipermalukan, tidak adekuat, dan ditolak (McKibben, Proulx,
& Lusignan, 1994). Beberapa pemerkosa tampaknya juga bermasalah dalam membedakan
keramahan dan sikap menggoda dan tidak mampu secara akurat membaca tanda-tanda yang
ditunjukkan seorang perempuan bahwa ia mengingingkan keintiman tersebut dihentikan
(Malamuth & Brown, 1994). Mereka sering kali kurang memiliki keterampilan sosial, harga
diri rendah, dan hanya memiliki sedikit empati kepada korbannya (Hudson & Ward, 1997).
C.1Terapi bagi Pemerkosa dan Korban Pemerkosaan
Terapi untuk Pemerkosa, terapi yang ditujukan pada pemerkosa di dalam
penjara bersifat multidimensial dan dievaluasi dengan mengontrol tindakan pemerkosa
setelah keluar dari penjara untuk mengetahui tingkat redisivisme. Komponen dalam
program ini terdiri dari teknik-teknik kognitif yang bertujuan mengubah sikap dan
keyakinan yang tidak benar terhadap korban pemerkosa, mendorong pemerkosa
bertanggung jawab atas tidakan yang dilakukannya. Terapi psikologis dilakukan untuk
pemerkosa sama halnya dengan parafilia, namun untuk pemerkosa juga ada terapi
biologis untuk mengurangi dorongan seks pemerkosa. Hal ini terbukti bahwa terapi
kognitif dan intervensi biologis cukup untuk mengurangi redisivisme (Hall, 1995;
Hanson & Bussiere, 1998; Maletsky, 2002).
Terapi bagi Korban Pemerkosa, Terapis memfokuskan untuk menormalkan
reaksi emosional korban, mendorong korban untuk mennyampaikan perasaannya, dan
membantu korban mengatasi berbagai masalah yang mendesak, seperti menjaga anak
korban sementara. Tujuan dari terapi ini adalah membantu korban menyelesaikan
segala masalah dan dapat menghadapi situasi setelah kejadian traumatic tersebut
(Calhoun & Atkeson, 1991; Sorenson & Brown, 1990 dalam).

D. DISFUNGSI SEKSUAL

Masalah psikologis tidak hanya terjadi pada yang mengalami disfungsi seksual, tetapi
terjadi pula pada orang-orang di sekitarnya.
D.1Disfungsi Seksual dan Siklus Respons Seksual Manusia
DSM IV-TR membagi disfungsi seksual menjadi empat kategori yaitu gangguan
nafsu seksual, gangguan gairah seksual, gangguan orgasme, dan gangguan nyeri
seksual. Terdapat fase yang dianggap tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan
dalam siklus respons seksual:
1. Keinginan (Appetitive), pada fase ini menunjukkan minat seksual yang sering kali
berhubungan dengan fantasi hingga menimbulkan gairah seksual.
2. Kegairahan (Excitement), dalam fase ini pengalaman subyektif tentang kenikmatan
seksual, yang mengakibatkan perubahan fisiologis pada alat kelamin dan pada
perempuan terjadi juga pada payudara.
3. Orgasme, puncak kenikmatan seksual.
4. Resolusi, ini merupakan fase akhir yang merujuk pada relaksasi dan rasa nyaman
mengikuti orgasme.
D.2Deskripsi dan Etiologi Disfungsi Seksual
Gangguan Nafsu Seksual
Dalam DSM IV-TR, gangguan nafsu seksual dibedakan menjadi dua jenis yaitu
gangguan nafsu seksual hipoaktif dan gangguan keengganan seksual. Berikut adalah
kriteria dari gangguan seksual hipoaktif (DSM IV-TR):

Kurangnya fantasi dan nafsu seksual yang berlangsung secara terus menerus
Menyebabkan disstres mendalam atau masalah interpersonal
Tidak disebabkan oleh gangguan Axis I lainnya

Berikut adalah kriteria dari gangguan keengganan seksual (DSM IV-TR):

Penolakan terhadap kontak seksual secara terus-menerus


Menyebabkan disstres mendalam atau masalah interpersonal
Tidak disebabkan oleh gangguan Axis I lainnya

Gangguan Gairah Seksual

Dalam DSM IV-TR, gangguan gairah seksual dibedakan menjadi dua jenis yaitu
gangguan gairah seksual perempuan dan gangguan ereksi laki-laki. Berikut adalah
kriteria dari gangguan gairah seksual perempuan (DSM IV-TR):

Ketidak mampuan mencapai kenikmatan seksual secara terus-menerus


Menyebabkan disstres mendalam atau masalah interpersonal
Tidak disebabkan oleh gangguan Axis I lainnya

Berikut adalah kriteria dari gangguan ereksi pada laki-laki (DSM IV-TR):

Ketidak mampuan mencapai ereksi saat melakukan tindakan seksual


Menyebabkan disstres mendalam atau masalah interpersonal
Tidak disebabkan oleh gangguan Axis I lainnya

Gangguan Orgasme
Dalam DSM IV-TR, gangguan orgasme dibedakan menjadi tiga jenis yaitu
gangguan orgasme pada perempuan, gangguan orgasme laki-laki, dan gangguan
ejakulasi dini. Berikut adalah kriteria dari gangguan orgasme perempuan (DSM IVTR):

Tertunda atau tidak terjadinya orgasme secara terus menerus


Menyebabkan disstres mendalam atau masalah interpersonal
Tidak disebabkan oleh gangguan Axis I lainnya

Berikut adalah kriteria dari gangguan orgasme pada laki-laki (DSM IV-TR):

Tertunda atau tidak terjadinya orgasme secara terus menerus


Menyebabkan disstres mendalam atau masalah interpersonal
Tidak disebabkan oleh gangguan Axis I lainnya

Berikut adalah kriteria dari gangguan ejakulasi dini (DSM IV-TR):

Selalu mengalami ejakulasi setelah diberikan stimulus minimal dan sebelum orang

yang bersangkutan menginginkannya.


Menyebabkan disstres mendalam atau masalah interpersonal
Tidak disebabkan oleh gangguan Axis I lainnya

Ganggua Nyeri Seksual


Dalam DSM IV-TR, gangguan nyeri seksual dibedakan menjadi dua jenis yaitu
dispareunia dan vaginismus. Berikut adalah kriteria dari dispareunia (DSM IV-TR):

Rasa nyeri pada alat kelamin saat berhubungan seksual


Menyebabkan disstres mendalam atau masalah interpersonal
Tidak disebabkan oleh gangguan Axis I lainnya

Berikut adalah kriteria dari gangguan orgasme pada laki-laki (DSM IV-TR):

Kejang berulang pada bagian luar ketiga dari vagina hingga memungkinkan untuk

melakukan hubungan seksual


Menyebabkan disstres mendalam atau masalah interpersonal
Tidak disebabkan oleh gangguan Axis I lainnya

D.3Teori-teori Umum mengenai Disfungsi Seksual


Von Krafft-Ebing (1902) dan Havelock Ellis (1910) mengemukakan sebuah
teori yaitu maturbasi yang dilakukan saat usia dini dapat merusak organ seksual dan
simpanan energi seksual yang terbatas dapat menipis. Ketika simpanan energi seksual
telat menipis maka berkurangnya kemampuan untuk berfungsi secara seksual dimasa
dewasa. Psikoanalisa memandang bahwa disfungsi seksual merupakan simtom-simtom
dari konflik yang mendasari hal tersebut. Kebanyakan terapi dari psikoanaisa
dilengkapi dengan teknik-teknik kognitif-perilaku (LoPiccolo, 1977). Masters dan
Johson menjelaskan mengenai eteologi disfungfi seksual manusia dalam buku mereka
yaitu Human Sexual Inadequacy (1970). Eteologi disfungsi seksual dalam buku
tersebut ditulis berdasarkan studi kasus dan praktik.

Model Teoritis Masters dan Johnson


Terdapat dua bagian dari model yang digunakan oleh Masters dan Johnson yaitu
penyebab di masa kini dan penyebab historis.
- Penyebab di Masa Kini.
Penyebab di masa kini juga dapat disebut degan proksimal, disini juga dibagi lagi
menjadi dua yaitu takut terhadap performa dan mengambil peran pengamat. Takut
terhadap performaadalah kondisi dimana seseorang memiliki kekhawatiran yang
berlebihan terhadap bagaimana dia akan berperforma selama hubungan seksual.

Peran pengamatyaitu hanya sebagai pengamat dan tidak sebagai peserta. Kedua
hal tersebut dapat menghambat respons seksual alaminya. Namun, tidak ada bukti
yang meyakinkan bahwa kedua hal tersebut merupakan penyebab disfungsi
seksual. Takut terhadap performa memang dialami oleh orang yang mengalami
disfungsi seksual hal ini pun juga telah diugkapkan oleh para ahli secara
konsisten, namun data yang ada tidak menunjukkan bahwa rasa takut tersebut
-

terjadi sebelum disfungsi dan menjadi penyebab disfungsi.


Penyebab Historis.
Penyabab masa kini dihipotesis memiliki satu anteseden historis atau lebih dari
disgungsi seksual.
1. Kekolotan dalam beragama.
Pemberian pendidikan agama yang konservatif menganggap dengan
rasa curiga pada seksualitas yang dilakukan untk mendapatkan suatu
kesenangan, apalagi dilakukan diluar pernikahan.
2. Trauma psikoseksual.
Beberapa disfungsi dapat disebabkan karena perkosaan atau peristiwa
penistaan lainnya.
3. Kecenderungan homoseksual.
Kenikmatan seksual akan menjadi berbeda dan kurang apabila
seseorang memiliki kecenderung homoseksual lalu mencoba melakukan
hubungan seksual dengan heteroseksual.
4. Konseling yang tidak adekuat.
Para profesional menyampaikan komentar yang tidak benar dan
destruktif, hal ini merupakan kalimat eufemisme.
5. Konsumsi alkohol yang berlebihan.
Seseoranng yang sedang dalam mabuk, maka kemungkkinan
mengalami kekhawatiran tidak tehadap kemungkinan tidak dapat mencapai/
mempertahankan ereksi. Apabila pasangan memiliki perasaan empati, maka

hal itu akan dianggap sebagai penghinaan atau ancaman terhadap


maskulinitasnya dan daya tarik seksual secara keseluruhan.
6. Penyebab biologis.
Masters dan Johnson mengatakan bahwa faktor-faktor somatik juga
berkontribusi pada disfungsi seksual. Secara umum, faktor biologis meliputi
penyakit sistem vaskular, penyakit yang mempengaruhi sistem saraf,
penggunaan obat-obat tertentu.
7. Faktor-faktor sosiokultural.
Perempuan dan laki-laki memiliki ekspektasi serta kekhawatirannya
tersendiri. Namun, ekspektasi dan kekhawatiran antara perempuan dan lakilaki berbeda.

Pandangan Kontemporer Lain


Disfungsi seksual adalah masalah yang dapat ditangani secara langsung, dan
masalah intrapsikis atau interpersonal nonseksual bukanlah sebuat simtom-simtom.
Sebagian besar terapis seks kontemporer menggunakan asumsinya yaitu pasangan
yang mengalami disfungsi seksual memiliki masalah seksual, sekaligus masalah
interspersonal. Pikiran dan emosi negatif dapat mempengaruhi situasi seksual
sehingga gairah dan kenikmatan yang sebenarnya dapat dirasakan akan terhambat.
Penyebab dari disfungsi seksual antara lain yangitu kurangnya pengetahuan dan
keterampilan, kecemasan akan respon, komunikasi kedua belah pihak yang buruk.
Kekhawatiran akan tertular suatu penyakit kelamin menghambat seseorang untuk
memperoleh kenikmatan hubungan seksual dengan pasangan.
Terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan dari hipotesis faktor-faktor
etiologis ini. Pertama, pengalaman yang tidak memuaskan dalam kehidupan seks,
seperti banyak pikiran atau setelah bertengkar hebat namun hubungan seks akan
kembali normal. Kedua, banyak orang dimasa lalu atau saat ini memiliki satu atau
lebih faktor patogenik tidak mengalami disfungsi seksual yang menetap.

D.4Terapi Disfungsi Seksual


Beberapa kasus tertentu dapat menggunakan satu teknik saja dalam
penanganannya. Namun, terdapat karakteristik disfungsi seksual yang kompleks dan
multi segi memerlukan beberapa teknik.

Mengurangi Kecemasan.
Hal yang perlu dilakukan terapis adalah memahami bahwa klien disfungsi seksual
membutuhkan pemaparan bertahap dan sistematis pada aspek-aspek situasi seksual yang
memicu kecemasan. Desensitisasi sistematis dan desensitisasi in vivo dari Wolpe
digunakan dan berhasil terutama bila dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan.
Teknik utama dari Masters dan Johnson adalah desensitisasi in vivo. Namun komponen-

komponen lain juga berkontribusi terhadap keefektifitasannya.


Masturbasi Terarah.
LoPiccolo dan Lobitz menciptakan terapi masturbasi terarah, yaitu suatu terapi multi
langkah yang melengkapi Masters dan Johnson. Langkah pertama yang perlu dilakukan
klien adalah dengan mengamati dengan teliti tubuhnya dengan tanpa busana termasuk
alat kelaminnya, dan mengidentifikasi berbagai bagian dengan bantuan diagram. Langkah
kedua adalah dengan menyentuh alat kelaminnya dan menemukan bagian yang
menghasilkan

kenikmatan.

Langkah

ketiga

adalah

meningkatkan

intensotas

masturbasinya dengan fantasi erotis. Apabila orgasme belum diraih pada saat itu, maka
klien diminta untuk membeli vibrator dan diajari bagaimana penggunaannya dalam
masturbasi. Setelah itu, pasangan baru diminta hadir dalam tahap ini untuk telibat dalam
terapi ini. Hal yang dilakukan oleh pasangan, yang pertama adalah melihat pasangat
melakukan masturbasi, kemudian melakukan dengan pasangannya. Selanjutnya hal yang
perlu dilakukan adalah melakukan kontak kelamin dalam posisi yang memungkinkan.
Masturbasi terarah dapat meningkatkan efektivitas penanganan gangguan orgasme secara

signifikan dan juga membantu dalam penanganan gangguan nafsu seksual..


Prosedur untuk Mengubah Sikap dan Pikiran.
Teknik ini juga dapat disebut dengan prosedur kesadaran sensori. Dimana klien didorong
untuk merasakan sensasi yang menyenangkan yang menyertai gairah seksual sejak dari
permulaan. Mencoba mengubah pikiran harus menjadi pikiran yang tidak terlalu
menuntut diri sendiri adalah metode terapi perilaku rasional emotif. Orang-orang yang

mengalami disfungsi seksual sering kali ditimpa masalah dengan pemikiran saya harus.
Terapi harus meyakinkan bahwa kontak kelamin merupakan satu-satuya bentuk aktivitas
seksual yag sejati, hal tersebut untuk mengurangi tekanan yang dirasakan oleh laki-laki
yang mengalami disfungsi ereksi. Kaplan (1997) menyampaikan beberapa prosedur untuk
meningkatan daya tarik seks. Dengan meminta kliennya berfantasi erotis dan memberikan

tugas untuk menjalin hubungan dan berkencan.


Pelatihan Keterampilan dan Komunikasi.
Mendorong pasangan untuk saling berkomunikasi tentang apa yang mereka sukai dan
tidak mereka sukai adalah hal yang sangat penting untuk berbagai disfungsi seksual.
Pelatihan keterampilan dan komunikasi juga menjelaskan pada pasien pada hal-hal yang
memicu

timbulnya

kecemasan

yang

memungkinkan

timbulnya

efek

yang

mendesensitisasi.
Terapi Pasangan.
Disfungsi seksual sering kali berhubungan dengaan perkawinan yang bermasalah, dan
pasangan bermasalah biasanya membutuhkan pelatihan khusus dalam keterampilan
komunikasi nonseksual (Rosen, 2000). Terapis perlu memahami bahwa masalah seksual
menyatu dengan berbagai faktor hubungan interpersonal yang kompleks merupakan

perspektif sistem sebuahterapi seks.


Teknik dan Perspektif Psikodinamika.
Menurut Kaplan (1974), pandangan psikodinamika umum yang mengatakan bahwa klien
sering kali tidak mampu menyampaikan dengan jelas masalah yang sungguh-sungguh
mengganggu mereka kepada terapis. Apabila klien tidak bisa menyampaikannya dengan
jelas maka terapis akan sulit dalam pengukuran dan perencanaan yang tepat untuk terapi

perilaku.
Prosedur Medis dan Fisiologis.
Banyak diteukan faktor-faktor biologis dalam disfungsi seksual maka ada kemungkinan
faktor-faktor somatik sangat penting dalam gangguan dispareunia dan disfungsi ereksi
penuh. Penanganan disfungsi ereksi telah menggunakan sejumlah prosedur medis, hal ini
dibuktikan sejak adanya penemuan viagra, operasi vaskular, menggunaksn silinder,
penggunaan obat. Namun, faktor-faktor psikososial tetap menjadi hal yang penting untuk
dipertimbangkan karena disfungsi seksual hampir selalu menyatu dengan serangkaian
konflik interpersonal dan intra psikis yang kompleks.

REFERENSI

APA. (2000). Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition. Washingto,
DC: American Psychiatric Association.
Davidson, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2006). Psikologi Abnormal Edisi Ke-9. Jakarta:
PT Raja Gravindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai