GANGGUAN SEKSUAL
Penyusun:
Kelas A
Kartika Rahma Indrastiti
111211131036
111211132044
111211132081
111211133106
111211133110
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014
GANGGUAN SEKSUAL
diikat pada tiang lalu dibakar. Sedangkan transeksual mendapatkan tempat tersendiri
dalam beberapa masyarakat. Contohnya adalah beberapa masyarakat Amerika Asli
(Indian) dianggap sebagai gender ketiga (bukan laki-laki ataupun perempuan) serta tidak
mendapat pandangan negatif sama sekali.
Orang dengan gangguan identitas gender secara umum mengalami gangguan
kecemasan serta depresi. Hal ini dijadi akibat dilema psikologis yang mereka alami dari
pelecehan dan diskriminasi orang-orang sekitarnya.
b) Penyebab Gangguan Identitas Gender
1. Faktor-faktor Biologis
Beberapa data menunjukkan bahwa GIG disebabkan oleh gangguan fisik,
secara spesifik disebabkan oleh hormon. Sebuah studi dilakukan terhadap para
anggota keluarga batih di Republik Dominika (ImperatoMcGinley dkk., 1974). Disini
para peserta tidak memiliki hormon yang bertanggung jawab dalam pembentukkan
testis dan skrotum pada masa pertumbuhan janin laki-laki. Mereka lahir dengan penis
dn skrotum yang sangat kecil yang mirip dengan lipatan bibir, dua pertiganya
dibesarkan sebagai perempuan. Namun ketika mereka memasuki masa pubertas dan
memiliki hormon testosteron yang meningkat organ kelamin mereka berubah. Penis
mereka membesar dan testikelnya berubah menjadi skrotum.
Penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu yang mengonsumsi
hormon seks selama masa hamil sering kali memiliki perilaku seperti lawan jenisnya.
Seperti anak perempuan yang ibunya mengonsumsi progestin sintesis (yang
merupakan cikal bakal hormon seks laki-laki) untuk mencegah pendarahan selama
hamil memiliki perilaku tomboy di usia prasekolah. Meskipun anak-anak tidak selalu
memiliki GIG yang tidak normal, tetapi hormon seks yang dikonsumsi oleh ibu cukup
berpengaruh pada perilaku lintas gender yang sedikit lebih tinggi dari normal.
Kadar hormon seks juga diteliti pada orang dewasa. Namun dalam suatu
kajian Gladue (1985) hanya menemukan sedikit perpedaan dan bahkan hampir tidak
ada perbedaan. Dengan demikian data tersebut tidak mendukung bahwa transeksual
pada masa dewasa hanya dipengaruhi oleh hormon (Carroll, 2000). Bahkan
kemungkinan terjadi karena kromosom juga sangat tidak mungkin dan upaya untuk
menemukan perbedaan struktur otak orang penderita GIG dengan orang normal
memberikan hasil negatif (Emory dkk., 1991).
2. Faktor-faktor Sosial dan Psikologis.
Lingkungan memiliki peran yang sangat banyak, bahkan mungkin sangat
besar terhadap GIG. Wawancara yang dilakukan kepada orangtua yang memiliki anak
dengan tanda GIG mengungkap bahwa mereka tidak mencegah dan bahkan
mendorong mereka untuk memakai pakaian lawan jenis pada anak. Hal ini sering
terjadi pada anak laki-laki, sering ibu, bibi, maupun kerabat mengganggap lucu ketika
mendandani anak lelakinya dengan memakai baju dan sepatu hak tinggi lama milik
ibunya. Perlakuan seperti itu mungkin sangat berkontribusi dalam pertentangan antara
jenis kelamin dan identitas gendernya (Green, 1974, 1987; Zuckerman & Green,
1993).
Para peneliti menyadari aspek maskulinitas dan feminitas yang berhubungan
dengan budaya dan adanya perbedaan antara berbagai aktivitas yang umum dilakukan
lawan jenis dengan benar-benar meyakini bahwa memiliki GIG. Masyarakat
memberikan toleransi yang rendah kepada anak laki-laki yang melakukan berbagai
aktivitas yang umum bagi anak perempuan, sedangkan anak perempuan dapat
bermain dan berpakaian seperti anak laki-laki dan tetap dapat diterima sebagai anak
perempuan (Williams, Goodman, & Green, 1985).
c) Terapi Gangguan Identitas Gender
Berikut ini adalah dua intervensi yang ada untuk membantu orang yang mengalami
gangguan identitas gender.
1. Perubahan Tubuh
Orang dengan GIG yang mengikuti program perubahan tubuh biasanya
diminta menjalani psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan dan hidup sesuai dengan
genderyang diinginkan (Harry Benjamin International Gender Dysphoria Association,
1998). Terapi ini tidak hanya memfokuskan pada kecemasan dan depresi yang
mungkin dialami, tetapi juga berbagai pilihan yang ada untuk mengubah hidupnya.
Contohnya adalah beberapa orang yang mengalami GIG dapat Orang dengan GIG
yang mengikuti program perubahan tubuh biasanya diminta menjalani psikoterapi
selama 6 hingga 12 bulan dan hidup sesuai dengan genderyang diinginkan (Harry
Benjamin International Gender Dysphoria Association, 1998). Terapi ini tidak hanya
memfokuskan pada kecemasan dan depresi yang mungkin dialami, tetapi juga
berbagai pilihan yang ada untuk mengubah hidupnya. Contohnya adalah beberapa
orang yang mengalami GIG dapat menjalani operasi kosmetik seperti menghilangkan
bulu di wajah. Banyak juga transeksual yang mengonsumsi hormon agar mengubah
tubuhnya mendekati keyakinan gender mereka secara fisik, seperti hormon untuk
menumbuhkan payudara dan melembutkan kulit (Schaefer, Wheeler, & Futterweit,
1997). Banyak orang yang mengalami GIG tidak melakukan yang lebih jauh dari itu,
namun beberapa orang memilik untuk operasi kelamin.
2. Operasi Perubahan Kelamin
Operasi ini merupkan operasi yang bertujuan mengubah alat kelamin agar
sama dengan lawan jenis. Operasi kelamin pertama kali dilakukan di Eropa pada
tahun 1930. Untuk operasi perubahan kelamin laki-laki ke perempuan, minimal
dibutuhkan waktu satu tahun sebelum operasi untuk mengonsumsi berbagai hormon
perempuan agar memulai proses perubahan tubuh. Sebagian besar harus menjalani
elektrolisis yang ekstensif dan mahal untuk menghilangkan bulu-bulu di wajah dan
tubuh, melakukan pelatihan nada suara, serta mengonsumsi hormon untuk membuat
bulu-bulu tak lagi tumbuh. Sedangkan untuk operasi perubahan kelamin perempuan
ke laki-laki sedikit lebih mudah, karena hormon yang dikonsumsi perempuan yang
ingin berubah gender menjadi laki-laki secara otomatis mengubah distribusi lemak
dan menstimulasi pertumbuhan bulu-bulu di wajah dan tubuh.
Selama bertahun-tahun berkembang berbagai kontroversi bahwa manfaat dan
penelitian operasi perubahan kelamin sendiri cukup rendah (Carroll, 2000). Bahkan
menurut Meyer & Reter tidak ada manfaat apapun bagi individu dalam kaitannya
dengan rehabilitasi sosial. Dalam penelitian selanjutnya dengan melakukan
pemantauan selama minimal satu tahun mendapatkan hasil yang lebih positif. Dari
Hal
itu
mungkin
dapat
mengatasi
sebuah
masalah,
tapi
tidak
mencakup pembentukan berbagai macam perilaku yang spesifik seperti sopan santun
dalam berbicara tetapi juga komponen kognitif seperti fantasi. Tekniknya adalah
dengan memasang beberapa ambar perempuan dengan beberapa gambar laki-laki, hal
ini untuk mentransfer gairah seksual yang timbul untuk gambar laki-laki dapat
ditranfer ke gambar perempuan. Pendekatan inijuga dilengkapi dengan terapi aversi
untuk menggurangi daya tarik pada laki-laki. Setelah menjalani terapi ini secara
intensif selama setengah tahun dan pemantauan lima tahun, laki-laki tersebut
menganggap dirinya laki-laki dan merasa tertarik secara seksual dengan perempuan
(Barlow, Abel, & Blanchard, 1979).
Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa identitas gender dapat diubah.
Namun, hanya sebagian orang yang mengalami GIG yang bersedia berpartisipasi
dalam program terapi tersebut. Sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa
operasi perubahan kelamin merupakan satu-satunya jalan.
B. PARAFILIA
Dalam DSM-IV TR, parafilia adalah sekolompok gangguan yang mencakup
ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada
umumnya. Fantasi, dorongan atau perilaku yang harus berlangsung setidaknya 6 bulan dan
menyebabkan distress atau hendaya signifikan. Seseorang dapat memiliki perilaku, fantasi,
dan dorongan seperti yang dimiliki oleh parafilia, namun tidak didiagnosis menderita
parafilia jika fantasi atau perilaku tersebut tidak berulang atau bila ia tidak mengalami
distress karenanya.
Mungkin seperti yang anda duga, kriteria diagnostik DSM yang mensyaratkan adanya
distress dan hendaya cukup menimbulkan perdebatan karena banyak orang yang memiliki
perilaku sesuai karakteristik parafilia tidak merasakan distress atau Hendaya (Hudson &
Ward, 1997). Dengan demikian, banyak peneliti serta ahli klinis mengabaikan kriteria
distress dan hendaya dalam definisi DSM (Maletsky, 2002).
a) Fetishisme
Fetishisme
mencakup
ketergantungan
pada
benda-benda
mati
untuk
perempuan
lengkap.
Meskipun
demikian,
tranvestisme
jangan
Namun, tampaknya penelitian tidak mendukung pernyataan DSM bahwa semua pedofil
lebih menyukai anak-anak prapubertas; beberapa di antaranya menjadikan anak-anak
pascapubertas sebagai korbannya, yang secara hukum belum cukup umur untuk
diperbolehkan melakukan hubungan seks dengan orang lain (Marshall, 1997).
Pedofilia lebih banyak diidap oleh laki-laki dibandingkan perempuan.
Gangguan ini sering kali komorbid dengan gangguan mood dan anxietas,
penyalahgunaan zat, dan tipe parafilia lainnya (Raymond dkk., 1999). Dalam beberapa
tahun terakhir, iinternet memiliki peran yang semakin besar dalam pedofilia; para
pedofilia memanfaatkan internet untuk mengakses pornografi anak dan untuk
menghubungi calon-calon korbannya (Durkin, 1997).
Sejumlah kecil pedofil, yang juga dapat diklasifikasikasikan sebagai sadistis
seksual atau berkepribadian antisosial (psikopatik), menyakiti objek nafsu mereka
secara fisik dan menybabkan cedera serius. Mereka bahkan dapat membunuhnya. Para
individu tersebut, apakah psikopat atau bukan, mungkin lebih tepat sebagai pemerkosa
anak dan secara fundamental berbeda dengan pedofil terkait dengan keinginan mereka
untuk menyakiti secara fisik minimal sampai mereka mendapatkan kepuasaan seksual
(Groth, Hobson, & Guy, 1982).
Kriteria pedofil dalam DSM-IV TR
1. Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu setidaknya enam bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan
melakukan kontak seksual dengan seoerang anak prapubertas.
2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongaan tersebut, atau dorongan
dan fantasi tersebut menybabkan orang yang bersangkutan mengalami distress atau
masalah interpersonal.
3. Orang yang bersangkutan minimal 16 tahun dan 5 tahun lebih tua dari anak yang
menjadi korban.
Incest adalah hubungan seksual antarkeerabat yang dilarang untuk menikah.
Kenyataan bahwa incest adalah hal yang taboo tampaknya disetujui oleh masyarakat
manusi (Ford & Beach, 1951), dengan pengecualian
perkawinan parah faraoh mesir dengan saudara perempuannya atau perempuan lain
yang ada dalam keluarganya.
Perbedaan anatara incest dan pedofil (1) incest sendiri berdasarkan definisinya
dilkukan antaranggota keluarg, (2) korbsn incest biasanya lebih tua dibandingkan
korban pedofil.
d) Voyeurisme
Voyeurisme, adalah kondisi di mana seseorang meiliki prefelensi tinggi untuk
mnedapatkan kepuasan seksual dengan melihat orang lain yang sedanga tidak
menggunakan busana atau orang yang sedang melakukan hubungan seksual. voyeur
sejati, yang hampir selalu laki-laki, tidak merasa bergairah dengan melihat perempuan
yang sengaja membukakan kesenangannya untuk si voyeur. Elemen resiko tampaknya
penting karena voyeur merasa bergairah dengan kemungkinan reaksi si perempuan
yang diintipnya jika ia mengetahuinya.
Voyeur umumnya berawal di masa remaja. Ada pemikiran bahwa voyeur merasa
takut untuk melakukan hubungan seksual secara langsung dengan orang lain. Mungkin
karena tidak terampil dalam hubungan sosial.
Kriteria voyeurisme dalam DSM-IV TR
1. Berulang, intens, dan terjadi dalam kurun waktu setidaknya enam bulan, fantasi,
dorongan, atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual berkaitan dengan
kegiatan mengintip orang lain yang sedang tanpa busana atau sedang melakukan
hubungan seksual tanpa diketahui yang bersangkutan.
2. Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongaan tersebut, atau dorongan
dan fantasi tersebut menybabkan orang yang bersangkutan mengalami distress atau
masalah interpersonal.
e) Eksibisionisme
B.1Etiologi Parafilia
Dari sekian banyak teori dan hipotesis mengenai etiologi parafilia, teori dan
hipotesis yang penting berasal dari perspektif psikodinamika dan perilaku. Sisanya,
berasal dari perspektif biologis.
1. Perspektif Psikodinamika
Parafilia dipandang sebagai tindakan defensif, melindungi ego agar tidak
menghadapi rasa takut dan memori yang di-repress dan mencerminkan fiksasi di
tahap pre-genital dalam perkembangan psikoseksual. Orang yang mengidap
parafilia dipandang sebagai orang yang merasa takut terhadap hubungan
heteroseksual yang wajar dan tidak melibatkan seks. Perkembangan sosial dan
seksualnya (umumnya laki-laki) tidak matang, tidak berkembang, dan tidak
memadai untuk dapat menjalin hubungan sosial dan heteroseksual orang dewasa
umumnya (Lanyon, 1986).
Contohnya : fetisis dan perofil dipandang sebagai laki-laki yang memiliki
kecemasan kastrasi yang menyebabkan hubungan seks heteroseksual dengan
perempuan dewasa menjadi sangat menakutkan.
behavioral
berpendapat
bahwa
parafilia
terjadi
karena
seksual yang dirasakannya dengan memakainya. Mungkin peran gender yang tidak
terlalu kaku akan mengubah makna pakaian perempuan bagi laki-laki macam itu.
Berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang
dianggap diakibatkan oleh keterampilan sosial yang tidak memadai atau penguatan
oleh orang tua atau kerabat terhadap ketidakwajaran perilaku. Contohnya, riwayat
kasus transvestit sering kali mengungkapkan insiden di masa kanak-kanak di mana
si anak laki-laki dipuji dan diperhatikan secara berlebihan karena terlihat lucu
dengan memakai pakaian perempuan.
3. Perspektif Biologis
Karena sebagian besar orang yang mengidap parafilia adalah laki-laki,
terdapat spekulasi bahwa androgen, hormon utama dalam laki-laki, berperan dalam
hal ini. Karena, janin manusia pada awalnya terbentuk sebagai perempuan dan
kelelakian ditimbulkan oleh pengaruh hormonal terkemudian, mungkin dapat terjadi
suatu kesalahan dalam perkembangan janin. Meskipun demikian, temuan mengenai
perbedaan hormonal antara orang normal dan orang parafilia tidak begitu
meyakinkan. Berkaitan dengan perbedaan dalam otak, suatu disfungsi pada lobus
temporalis dapat memiliki relevansi dengan sejumlah kecil kasus sadisme dan
eksibisionisme (Mason, 1997; Murphy, 1997).
B.2Terapi Parafilia
Seperti halnya pada para penyalah guna zat, para penjahat seks sering kali
kurang termotivasi untuk mencoba mengubah perilakunya yang melanggar hukum.
Faktor-faktor yang melemahkan motivasi mereka antara lain : mengingkari masalah,
mengecilkan keseriusan masalah yang mereka miliki, keyakinan bahwa korban mereka
bukan saksi yang meyakinkan, dan rasa percaya diri bahwa mereka dapat
mengendalikan perilaku mereka tanpa bantuan profesional. Ada beberapa metode untuk
meningkatkan motivasi mereka untuk tekun menjalani terapi (Miller & Rollnick, 1991),
yaitu :
a. Terapi Avensi
Yakni terapi yang dilakukan dengan memberi alat kejut tertentu yang
diharapkan secara psikologis dapat mengurangi ketertarikannya terhadap
sesuatu yang menyimpang. Misal : apabila seorang penderita pedofilia mulai
terangsang dengan melihat foto anak kecil yang telanjang, ia akan dikejutkan
dengan alat kejut listrik, atau dengan emetik (obat yang menimbulkan rasa
mual). Meskipun tidak dapat sepenuhnya menghilangkan ketertarikan, namun
dalam beberapa kasus terapi ini cukup membuat pasien cukup mampu
mengendalikan perilaku terbukanya (McConaghy, 1990, 1994).
b. Pemuasan
Pasien disuruh masturbasi dalam waktu lama, umumnya setelah
ejakulasi, pasien meneriakkan fantasinya mengenai aktivitasnya yang
menyimpang. Diyakini bahwa terapi aversi dan pemuasan digabungkan,
kemudian ditambah dengan terapi psikologis lain seperti keterampilan sosial,
dapat memberikan manfaat bagi penderita kelainan seksual, seperti : pedofilia,
transvestisme, eksibisionisme, dan fetishisme (Brownell, Hayes, & Barlow,
1977; Laws & Marshall, 1991; Marks & Gelder, 1967; Marks, Gelder, &
Bancroft, 1970; Marshall & Barbaree, 1990).
c. Reorientasi Orgasmik
Digunakan untuk membantu pasien belajar untuk lebih terangsang
dengan stimuli seksual yang wajar. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada
stimulus merangsang yang normal, seperti foto perempuan ketika mereka
sedang memberikan respons seksual terhadap stimuli lain yang tidak
dikehendaki.
3. Terapi Teknik Kognitif
Seringkali digunakan untuk mengatasi distorsi pikiran para individu yang
mengidap parafilia. Contohnya : para penderita eksibisionis menganggap bahwa
perilakunya yang suka memperlihatkan kelamin kepada anak perempuan yang lebih
muda, merasa tidak perlu menyesal karena menganggap mereka masih muda. Nah,
perilaku seperti ini yang berusaha diluruskan oleh psikolog dengan menekankan
bahwa perilakunya tersebut justru akan memberi dampak negatif kepada sang
korban. Pelatihan empati juga penting, yakni dengan mengajarkan kepada klien
bahwa bagaimana perilakunya tersebut nantinya akan berdampak kepada sang
korban.
Dalam banyak kasus, terapi yang digunakan banyak menggunakan pendekatan
Mater dan Johnson sebagai model. Dengan asumsi bahwa beberapa parafilia terjadi
atau tetap dilakukan karena hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan orang
dewasa yang menjadi pasangan di pengidap (Marshall & Barbaree, 1990).
4. Terapi Teknik Biologis
Berbagai variasi sudah pernah dicoba, salah satunya adalah kastrasi atau
potong testis. Potong testis banyak dilakukan di Eropa Barat dua generasi lalu, yang
tampaknya cukup efektif untuk mengurangi kejahatan dari para parafilia. Namun,
teknik itu sudah semakin ditinggalkan saat ini dan diganti dengan penggunaan zat
kimia, seperti MPA (Medroksiprogesteron Asetat) yang berfungsi untuk
menurunkan kadar testosteron pada laki-laki. Obat ini difungsikan sebagai
pengurang nafsu birahi yang datang dan mengurangi ejakulasi apabila stimulus
perangsang ada di depan mata.
Hasilnya amat bervariasi. Studi awal oleh Berlon dan Meinecke (1981)
menemukan bahwa setelah beberapa lama mengonsumsi MPA mulai dari lima
hingga 20 tahun, 17 dari 20 penjahat seksual tidak lagi melakukan tindakan
parafilik.
Masalah yang muncul akibat penggunaan MPA dalam jangka waktu lama :
a. Kemandulan
b. Diabetes
B.3Hukum Megan
C. PEMERKOSAAN
Pemerkosaan dibagi atas dua kategori, yaitu :
a. Secara paksa, yaitu hubungan seksual dengan orang yang tidak bersedia melakukannya.
b. Secara hukum, yaitu hubungan seksual dengan orang yang berada di bawah umur
dewasa, yakni dibawah < 18 tahun.
Kasus perkosaan sangat bervariasi. Ada yang direncanakan, namun adapula yang
dilakukan secara spontan akibat dorongat hasrat seksual yang menggebu, meskipun gagal
mencapai puncak kenikmatan seksual atau orgasme. Beberapa perkosaan juga dilakukan
karena hasrat ingin mengontrol orang lain. Adapula kasus pemerkosaan sadistik, dimana
pemerkosa terkadang memasukkan sesuatu kedalam vagina korban dan bahkan sampai
membakar payudara korban.
Pemerkosaan juga terjadi dalam suasana kencan atau yang biasa disebut dengan
perkosaan oleh kenalan, atau perkosaan oleh teman kencan. Jenis perkosaan ini melebihi
jumlah perkosaan dengan orang tidak dikenal, yakni dengan prosentasi 3:1 (Kilpatrick &
Best, 1990). Perkosaan oleh teman kencan erat kaitannya dengan penggunaan obat penenang
Rohypnol. Obat ini tidak berasa dan tidak berbau, dan dapat mengakibatkan pemakainya
tidak sadarkan diri dan melupakan sebagian atau bahkan seluruh kejadian yang menimpa
dirinya.
Korban perkosaan biasanya menjadi trauma oleh serangan tersebut. Baik fisik maupun
mental. Dua minggu setelah diperkosa, 94% perempuan menderita gangguan stress akut, dan
9 bulan kemudian, 42% menderita GSPT penuh. Selama beberapa minggu atau bulan setelah
diperkosa banyak korban yang merasa amat sangat tegang dan malu. Mereka merasa bersalah
karena tidak mampu melawan lebih keras dan berpikir untuk membalas dendam. Beberapa
korban perkosaan dapat mengalami trauma berat dan phobia terhadap hal tertentu yang
mengingatkannya pada peristiwa pemerkosaannya. Sayang, beberapa reaksi tersebut kurang
ditanggapi serius oleh lingkungan sekitar seperti teman ataupun polisi. Mereka malah
mempertanyakan bagaimana keterlibatan korban dalam pemerkosaan tersebut. Perkosaan
dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan, PMS, sehingga dapat menambah
trauma ekstra pada korban. Maka tak heran, DSM-IV-TR menyebut perkosaan sebagai jenis
trauma yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan stress pascatrauma.
Banyak perempuan yang mengalami kasus pemerkosaan bersikap negatif terhadap seks,
sehingga kehidupan seksnya dengan suami menjadi sangat berantakan. Tanpa intervensi,
simtom-simtom kecemasan dan depresi, dan dalam beberapa kasus, GSPT penuh pada
perempuan dapat berlangsung selama bertahun-tahun setelah penyerangan tersebut.
Risiko bunuh diri juga tinggi dan banyak pada orang yang pernah diperkosa, seperti juga
penyalahgunaan zat (Phelps, Wallace, & Waigant, 1989).
Karakteristik dan durasi gangguan yang oleh beberapa orang disebut sindrom trauma
perkosaan sangat tergantung pada kehidupan korban sebelum dan sesudah kejadian. Faktorfaktor yang berpengaruh diantaranya adalah pasangan hidup, lingkungan sosial seperti
teman-teman, serta intervensi klinis.
Perkosaan dalam peperangan zaman dahulu jamak terjadi. Para penjelajah memerkosa
sepanjang perjalanan mereka melintasi Eropa dalam perjalanan ziarah suci pada abak ke 1113; Orang Jerman memerkosaa ketika mereka menyerbu Berlgia pada Perang Dunia 1; Para
tentara Amerika memerkosa perempuan dan anak Vietnam; tentara Irak memerkosa
perempuan dan anak Kuwait saat mereka menginvasi kuwait. Brownmiller berpendapat
bahwa perkosaan sebenarnya diharapkan dalam peperangan. Menurutnya, menjadi anggota
pasukan militer mendorong timbulnya rasa superioritas maskulin yang keji dan menciptakan
suatu iklim dimana perkosaan itu dapat diterima.
Satu kemungkinan kesamaan antara pemerkosa adalah kekerasan yang luar biasa tinggi
terhadap perempuan, yang timbul dari keyakinan bahwa dirinya telah dikhianati, ditipu, atau
direndahkan oleh mereka atau dari pengalaman kekerasan orang tua dan penganiayaan fisik
atau seksual di masa anak-anak (Duke & Durham, 1990; Malamuth dkk., 1993). Penuturan
dari para pemerkosa mengindikasikan bahwa dorongan untuk memerkosa diperkuat oleh
perasaan kesepian, kemarahan, dipermalukan, tidak adekuat, dan ditolak (McKibben, Proulx,
& Lusignan, 1994). Beberapa pemerkosa tampaknya juga bermasalah dalam membedakan
keramahan dan sikap menggoda dan tidak mampu secara akurat membaca tanda-tanda yang
ditunjukkan seorang perempuan bahwa ia mengingingkan keintiman tersebut dihentikan
(Malamuth & Brown, 1994). Mereka sering kali kurang memiliki keterampilan sosial, harga
diri rendah, dan hanya memiliki sedikit empati kepada korbannya (Hudson & Ward, 1997).
C.1Terapi bagi Pemerkosa dan Korban Pemerkosaan
Terapi untuk Pemerkosa, terapi yang ditujukan pada pemerkosa di dalam
penjara bersifat multidimensial dan dievaluasi dengan mengontrol tindakan pemerkosa
setelah keluar dari penjara untuk mengetahui tingkat redisivisme. Komponen dalam
program ini terdiri dari teknik-teknik kognitif yang bertujuan mengubah sikap dan
keyakinan yang tidak benar terhadap korban pemerkosa, mendorong pemerkosa
bertanggung jawab atas tidakan yang dilakukannya. Terapi psikologis dilakukan untuk
pemerkosa sama halnya dengan parafilia, namun untuk pemerkosa juga ada terapi
biologis untuk mengurangi dorongan seks pemerkosa. Hal ini terbukti bahwa terapi
kognitif dan intervensi biologis cukup untuk mengurangi redisivisme (Hall, 1995;
Hanson & Bussiere, 1998; Maletsky, 2002).
Terapi bagi Korban Pemerkosa, Terapis memfokuskan untuk menormalkan
reaksi emosional korban, mendorong korban untuk mennyampaikan perasaannya, dan
membantu korban mengatasi berbagai masalah yang mendesak, seperti menjaga anak
korban sementara. Tujuan dari terapi ini adalah membantu korban menyelesaikan
segala masalah dan dapat menghadapi situasi setelah kejadian traumatic tersebut
(Calhoun & Atkeson, 1991; Sorenson & Brown, 1990 dalam).
D. DISFUNGSI SEKSUAL
Masalah psikologis tidak hanya terjadi pada yang mengalami disfungsi seksual, tetapi
terjadi pula pada orang-orang di sekitarnya.
D.1Disfungsi Seksual dan Siklus Respons Seksual Manusia
DSM IV-TR membagi disfungsi seksual menjadi empat kategori yaitu gangguan
nafsu seksual, gangguan gairah seksual, gangguan orgasme, dan gangguan nyeri
seksual. Terdapat fase yang dianggap tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan
dalam siklus respons seksual:
1. Keinginan (Appetitive), pada fase ini menunjukkan minat seksual yang sering kali
berhubungan dengan fantasi hingga menimbulkan gairah seksual.
2. Kegairahan (Excitement), dalam fase ini pengalaman subyektif tentang kenikmatan
seksual, yang mengakibatkan perubahan fisiologis pada alat kelamin dan pada
perempuan terjadi juga pada payudara.
3. Orgasme, puncak kenikmatan seksual.
4. Resolusi, ini merupakan fase akhir yang merujuk pada relaksasi dan rasa nyaman
mengikuti orgasme.
D.2Deskripsi dan Etiologi Disfungsi Seksual
Gangguan Nafsu Seksual
Dalam DSM IV-TR, gangguan nafsu seksual dibedakan menjadi dua jenis yaitu
gangguan nafsu seksual hipoaktif dan gangguan keengganan seksual. Berikut adalah
kriteria dari gangguan seksual hipoaktif (DSM IV-TR):
Kurangnya fantasi dan nafsu seksual yang berlangsung secara terus menerus
Menyebabkan disstres mendalam atau masalah interpersonal
Tidak disebabkan oleh gangguan Axis I lainnya
Dalam DSM IV-TR, gangguan gairah seksual dibedakan menjadi dua jenis yaitu
gangguan gairah seksual perempuan dan gangguan ereksi laki-laki. Berikut adalah
kriteria dari gangguan gairah seksual perempuan (DSM IV-TR):
Berikut adalah kriteria dari gangguan ereksi pada laki-laki (DSM IV-TR):
Gangguan Orgasme
Dalam DSM IV-TR, gangguan orgasme dibedakan menjadi tiga jenis yaitu
gangguan orgasme pada perempuan, gangguan orgasme laki-laki, dan gangguan
ejakulasi dini. Berikut adalah kriteria dari gangguan orgasme perempuan (DSM IVTR):
Berikut adalah kriteria dari gangguan orgasme pada laki-laki (DSM IV-TR):
Selalu mengalami ejakulasi setelah diberikan stimulus minimal dan sebelum orang
Berikut adalah kriteria dari gangguan orgasme pada laki-laki (DSM IV-TR):
Kejang berulang pada bagian luar ketiga dari vagina hingga memungkinkan untuk
Peran pengamatyaitu hanya sebagai pengamat dan tidak sebagai peserta. Kedua
hal tersebut dapat menghambat respons seksual alaminya. Namun, tidak ada bukti
yang meyakinkan bahwa kedua hal tersebut merupakan penyebab disfungsi
seksual. Takut terhadap performa memang dialami oleh orang yang mengalami
disfungsi seksual hal ini pun juga telah diugkapkan oleh para ahli secara
konsisten, namun data yang ada tidak menunjukkan bahwa rasa takut tersebut
-
Mengurangi Kecemasan.
Hal yang perlu dilakukan terapis adalah memahami bahwa klien disfungsi seksual
membutuhkan pemaparan bertahap dan sistematis pada aspek-aspek situasi seksual yang
memicu kecemasan. Desensitisasi sistematis dan desensitisasi in vivo dari Wolpe
digunakan dan berhasil terutama bila dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan.
Teknik utama dari Masters dan Johnson adalah desensitisasi in vivo. Namun komponen-
kenikmatan.
Langkah
ketiga
adalah
meningkatkan
intensotas
masturbasinya dengan fantasi erotis. Apabila orgasme belum diraih pada saat itu, maka
klien diminta untuk membeli vibrator dan diajari bagaimana penggunaannya dalam
masturbasi. Setelah itu, pasangan baru diminta hadir dalam tahap ini untuk telibat dalam
terapi ini. Hal yang dilakukan oleh pasangan, yang pertama adalah melihat pasangat
melakukan masturbasi, kemudian melakukan dengan pasangannya. Selanjutnya hal yang
perlu dilakukan adalah melakukan kontak kelamin dalam posisi yang memungkinkan.
Masturbasi terarah dapat meningkatkan efektivitas penanganan gangguan orgasme secara
mengalami disfungsi seksual sering kali ditimpa masalah dengan pemikiran saya harus.
Terapi harus meyakinkan bahwa kontak kelamin merupakan satu-satuya bentuk aktivitas
seksual yag sejati, hal tersebut untuk mengurangi tekanan yang dirasakan oleh laki-laki
yang mengalami disfungsi ereksi. Kaplan (1997) menyampaikan beberapa prosedur untuk
meningkatan daya tarik seks. Dengan meminta kliennya berfantasi erotis dan memberikan
timbulnya
kecemasan
yang
memungkinkan
timbulnya
efek
yang
mendesensitisasi.
Terapi Pasangan.
Disfungsi seksual sering kali berhubungan dengaan perkawinan yang bermasalah, dan
pasangan bermasalah biasanya membutuhkan pelatihan khusus dalam keterampilan
komunikasi nonseksual (Rosen, 2000). Terapis perlu memahami bahwa masalah seksual
menyatu dengan berbagai faktor hubungan interpersonal yang kompleks merupakan
perilaku.
Prosedur Medis dan Fisiologis.
Banyak diteukan faktor-faktor biologis dalam disfungsi seksual maka ada kemungkinan
faktor-faktor somatik sangat penting dalam gangguan dispareunia dan disfungsi ereksi
penuh. Penanganan disfungsi ereksi telah menggunakan sejumlah prosedur medis, hal ini
dibuktikan sejak adanya penemuan viagra, operasi vaskular, menggunaksn silinder,
penggunaan obat. Namun, faktor-faktor psikososial tetap menjadi hal yang penting untuk
dipertimbangkan karena disfungsi seksual hampir selalu menyatu dengan serangkaian
konflik interpersonal dan intra psikis yang kompleks.
REFERENSI
APA. (2000). Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition. Washingto,
DC: American Psychiatric Association.
Davidson, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2006). Psikologi Abnormal Edisi Ke-9. Jakarta:
PT Raja Gravindo Persada.