Anda di halaman 1dari 53

SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak

Tutorial Respirologi

Fakultas Kedokteran Umum


Universitas Mulawarman

PARESE NERVUS FASIALIS DAN AKALASIA ESOFAGUS

Disusun Oleh:
Radhiyana Putri

1310029036

Desire B. Palada

1310029046

Pembimbing:
dr. Hj.Sukartini, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Lab Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
2016
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB 2 STATUS PASIEN........................................................................................5
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................22
BAB 4 PEMBAHASAN........................................................................................44
BAB 5 PENUTUP.................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................53

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kelumpuhan (parese) nervus fasialis merupakan kelumpuhan yang

meliputi otot-otot wajah. Parese nervus fasialis dapat terjadi sentral dan perifer.
Nervus fasialis memiliki anatomi yang sangat komplek dan terdiri dari 7000 serat
masing-masing berfungsi membawa impuls listrik ke otot-otot wajah. Informasi
yang disampaikan akan menimbulkan ekspresi fasial seperti tertawa, menangis,
tersenyum dan berbagai ekspresi fasial lainnya. Nervus fasial tidak hanya
membawa impuls ke otot-otot wajah tetapi juga ke glandula lakrimal, glandula
saliva, dan ke otot dekat tulang pendengaran (stapes) serta menstransmisikan rasa
dari bagian depan lidah. Oleh karena itu, bila terjadi kerusakan setengah atau lebih
dari serat-serat saraf ini maka akan timbul gejala lumpuh atau paralysis pada
wajah, kekeringan pada mata atau mulut, gangguan dalam pengecapan.1,2,3
Foester melaporkan bahwa kerusakan nervus fasialis sebanyak 120 dari
3907 kasus (3%) dari seluruh trauma kepala saat Perang Dunia I. Friedman dan
Merit menemukan sekitar 7 dari 430 kasus trauma kepala. Adapun parese nervus
fasialis yang tidak diketahui penyebabnya (Bells Palsy) sekitar 20-30 kasus per
100.000 penduduk pertahun, sekitar 60-75% dari semua kasus merupakan
paralysis nervus fasialis unilateral. Insiden pada laki-laki dan perempuan sama,
namun rata-rata muncul pada usia 40 tahun meskipun penyakit ini dapat timbul di
semua umur. Insiden terendah adalah pada anak di bawah 10 tahun, meningkat
pada umur di atas 70 tahun. Frekuensi parese nervus fasialis kanan dan kiri sama.
Kausa tumor merupakan hal yang jarang, hanya sekitar 5% dari semua kasus
parese nervus fasialis.3
Parese nervus fasialis memberikan dampak yang besar bagi kehidupan
seseorang dimana pasien tidak dapat atau kurang dapat menggerakkan otot wajah
sehingga tampak wajah pasien tidak simetris. Dalam menggerakkan otot ketika
menggembungkan pipi dan mengerutkan dahi akan tampak sekali wajah pasien
tidak simetris. Hal ini menimbulkan suatu deformitas kosmetik dan fungsional
yang berat.1
3

Penyebabnya dapat berupa kelaian kongenital, infeksi, trauma, tumor,


idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu seperti DM, hipertensi berat, dan infeksi
telinga tengah. Penanganan pasien dengan parese nervus fasialis secara dini, baik
operatif maupun secara konservatif akan menentukan keberhasilan dalam
pengobatan.1
Akalasia esofagus merupakan suatu gangguan motilitas primer esofagus
yang ditandai oleh kegagalan sfingter esofagus bagian distal yang hipertonik
untuk berelaksasi pada waktu menelan makanan dan hilangnya peristalsis
esofagus. Secara klinis, akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun
1672. Mula-mula diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal
sehingga dia melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong
makanan masuk ke lambung. Pada tahun

1908, Henry Plummer melakukan

dilatasi dengan kateter balon. Pada tahun 1913, Heller melakukan pembedahan
dengan cara miotomi, cara yang terus dianut sampai sekarang4.
Insiden 6/100.000 orang/tahun dan terlihat pada wanita muda dan pria
paruh baya dan begitu juga wanita. Patogenesisnya diduga idiopatik atau
degenerasi neurogenik. Beberapa stres emosional, trauma, penurunan berat badan
yang drastis, dan penyakit Chagas (infeksi parasit dengan Trypanosoma cruzi)
dapat juga menyebabkan terjadinya akalasia esofagus. Tanpa memandang
penyebab, otot dari esofagus dan Sfingter esophagus bawah (SEB) terkena. Teori
yang paling mendukung bahwa destruksi saraf terhadap SEB adalah patologi
primer dan degenerasi sekunder dari fungsi neuromuskular dari korpus esofagus.
Degenerasi ini mengakibatkan hipertensi dari SEB dan kegagalan SEB untuk
relaksasi pada penelanan faring, sebaik tekanan dari esofagus, pelebaran esofagus,
dan kehilangan resultan dari peristalsis yang progresif 5.
Semua terapi akalasia bersifat paliatif karena proses peristaltik tidak dapat
kembali. Tujuan utama penatalaksanaannya adalah menurunkan tahanan sfingter
esofagus bagian bawah, sehingga bolus makanan dapat turun ke dalam lambung
karena gravitasi. Penurunan tahanan sfingter dapat dicapai dengan dilatasi balon
dan bedah esofagotomi 4.

1.2

Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah agar dokter muda mampu memahami

definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patogenesis, diagnosis dan


penatalaksanaan dari parese nervus fasialis dan akalasia esophagus pada neonatus.

BAB 2
STATUS PASIEN
Identitas pasien
-

Nama

: By. Ny. J

Jenis kelamin

: Laki-laki

Lahir

: 2 Maret 2016

Alamat

: Jl. K.H. Wahid Hasyim Samarinda

Anak ke

: 3 dari 3 bersaudara

MRS

: 24 Maret 2016

Identitas Orang Tua


-

Nama Ayah

: Tn. A

Umur

: 33 tahun

Alamat

: Jl. K.H. Wahid Hasyim Samarinda

Pekerjaan

: Satpam

Pendidikan Terakhir : SMP

Ayah perkawinan ke : I

Nama Ibu

: Ny. J

Umur

: 29 tahun

Alamat

: Jl. K.H. Wahid Hasyim Samarinda

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan Terakhir : SMP

Ibu perkawinan ke

:I

Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 8 April 2016 pukul 14.00 WITA, di ruang
PICU RSUD AW. Sjahranie Samarinda. Alloanamnesa oleh ibu kandung pasien
Keluhan Utama
Muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
6

Muntah dialami sejak 1 minggu SMRS. Ibu pasien mengaku, pasien muntah
setiap kali setelah meminum ASI. Isi muntahan berupa ASI yang diminum
Biasanya ibu pasien memberikan ASI setiap 2 jam dengan lama pemberian ASI
selama 30 menit. Selama 10 hari pertama kehidupan pasien, ibu mengaku pasien
tidak mengalami muntah selama minum ASI. Ibu pasien mengaku, pasien tidak
mengalami muntah hijau. Banyaknya tiap kali muntah gelas aqua. Muntah
yang dialami tidak menyemprot. Pasien mengalami muntah tanpa didahului batuk.
Pasien tidak mengalami sesak, demam, maupun batuk. BAB tiap 2 hari sekali.
BAK dalam batas normal.
Selain itu, Ibu pasien mengeluhkan wajah pasien sebelah kanan yang miring
saat pasien menangis. Ibu pasien mengaku mata kanan pasien terbuka sebelah dan
bibir pasien sebelah kanan miring saat pasien menangis. Sedangkan mata kiri dan
bibir sebelah kiri pasien normal. Ibu mengaku hal ini telah terjadi sejak pasien
lahir. Pasien tidak pernah mengalami kejang sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan berupa muntah sebelumnya. Pasien tidak
mengalami kejang sebelumnya. Riwat alergi dan asma disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa dengan pasien
- Riwayat alergi disangkal.
- Riwayat Hipertensi, DM, dan penyakit jantung disangkal.
Riwayat Ibu :
Hamil ini adalah hamil ketiga dari ibu pasien. Anak pertama lahir pada tahun
2010. Selama kehamilan ibu rutin kontrol ke praktek bidan swasta, tidak ada
penyakit yang dialami selama kehamilan. Namun ibu pasien mengaku pada dua
kehamilan sebelumnya, ibu mengalami tekanan darah tinggi. Ibu mengaku berat
badan selama hamil naik sekitar 10 kg. selama hamil obat-obat yang dikonsumsi
hanya vitamin penambah darah. Pasien merupakan anak ketiga, lahir dengan
operasi seksio sesarea karena ibu pasien bekas dilakukan operasi seksio sesarea
pada dua kehamilan sebelumnya di RSUD AW Sjahranie ditolong oleh Dokter
7

spesialis kandungan. Pasien lahir cukup bulan dengan BB 3000 gram dan PB 48
cm.
Riwayat Persalinan Sekarang :
Bayi lahir pada tanggal 2 Maret 2016 pukul 16.35 dengan operasi seksio
sesarea pada usia kehamilan 39 minggu dengan jenis kelamin laki-laki. Bayi lahir
langsung menangis kuat.
Riwayat Kelahiran yang Lalu:
Anak pertama lahir pada tahun 2010 dengan operasi seksio sesarea atas
indikasi tekanan darah tinggi dalam kehamilan, berat badan lahir 3200 gr dengan
jenis kelamin perempuan. Anak kedua lahir pada tahun 2013 dengan operasi
seksios sesarea atas indikasi tekanan darah tinggi dalam kehamilan, berat badan
lahir 2.900 gram dengan jenis kelamin laki-laki. Namun anak kedua telah
meninggal saat usia 6 bulan karena kejang dan kemudian mengalami penurunan
kesadaran.
Resume Persalinan
Usia kehamilan

: 39 minggu

Letak bayi

: Presentasi kepala

Warna air ketuban : Jernih


Jenis persalinan

: Seksio sesarea atas indikasi bekas seksio sesarea 2 kali

Riwayat Saudara- saudara


8

Hamil

Kondisi

Jenis

Usia

Sehat/tidak

Usia

ke1

saat lahir
Aterm

persalinan
Spontan

6 tahun

Sehat

meninggal
-

Aterm

Spontan

6 bulan karena

Pasien

Aterm

Spontan

1 bulan 11

Sehat

kejang
hari

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir

: 3000 gr

Panjang badan lahir

: 48 cm

Berat badan sekarang

: 3050 gr

Tinggi badan sekarang

: 49cm

Gigi keluar

:-

Tersenyum

:-

Miring

:-

Tengkurap

:-

Duduk

: -

Merangkak

: -

Berdiri

:-

Berjalan

:-

Berbicara 2 kata

:-

Makan dan Minum Anak


ASI

: Sejak lahir dan masih meminum ASI


hingga sekarang

Susu formula/sapi

:-

Pemeriksaan Prenatal
Periksa di

: Praktek Bidan Swasta


9

Penyakit kehamilan

:-

Obat-obat yang sering diminum

: Vitamin penambah darah

Riwayat Kelahiran
Lahir di

: RS

Ditolong oleh

: Dokter spesialis kandungan

Usia dalam kandungan

: 9 bulan

Jenis partus

: SC a.i bekas SC 2 kali

Riwayat kelahiran

: Bayi langsung menangis kuat

Keluarga Berencana
Keluarga Berencana

: Ya

Memakai sistem

: Steril

Riwayat Imunisasi
Imunisasi

Usia saat imunisasi


I

II

III

IV

Booster I

Booster II

BCG

(-)

////////////

////////////

////////////

////////////

////////////

Polio

(+)

(-)

(-)

(-)

Campak

////////////

////////////

////////////

////////////

DPT

(-)

(-)

(-)

////////////

Hepatitis

(+)

(-)

(-)

//////////

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 8 April 2016
Kesan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: Composmentis

Tanda Vital
10

Frekuensi Nadi

: 147 x/menit

Frekuensi Napas

: 36 x/menit

Temperatur

: 37,7o C per axial

Sp02

: 97 % Antropometri

Berat badan

: 3.050 gr

Panjang Badan

: 49 cm

Lingkar kepala

: 32 cm

Lingkar Lengan Atas

: 8,2 cm

Status Gizi

: BB/U = 66 % atau < 2 SD (Gizi Kurang

berdasarkan Z- Score)

Kepala
Rambut

: Warna hitam,tidak mudah dicabut

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil


isokor diameter 2mm/2mm, reflex cahaya (+/+), mata
cowong (-/-), hemiparese (+/-)

Hidung

: Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-),


terpasang O2 nasal kanul 0,5 lpm.

11

Mulut

: Mukosa bibir tampakbasah, sianosis (-), lidah bersih,


faring hiperemis (-), pembesaran tosil (-),terpasang NGT
(+), hemiparese (+/-)

Leher

: Kakukuduk (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks
Pulmo
Inspeksi

: Bentuk dan pergerakan simetris, retraksi subkostal (-)


retraksi suprasternal (-)

Palpasi

: Fremitus raba sulitdievaluasi

Perkusi

: Sonor di semua lapangan paru

Auskultasi

: Rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Inspeksi

: Iktus cordis tidak tampak

Palpasi

: Iktuscordisteraba di ICS V left parasternal line

Perkusi

: Batas jantung

Cor:

Kanan : ICS III right parasternal line


Kiri
Auskultasi

: ICS V left midclavicular line

: S1,S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi

: distended (-), terdapat kasa bekas op (+), darah (-)

Palpasi

: Soefl, kembung (-), distended (-), nyeritekan (+),


hepatomegali (-), splenomegali (-), turgor kuli tbaik.

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) kesan normal

Ekstremitas

: Akral hangat (+), oedem (-)

Status Neurologis

Kesadaran
GCS E4V5M6

Meningeal Sign
Kaku kuduk (-)
Kernig sign (-)
12

Laseque (-)
Brudinzky I (-)
Brudzinsky II (-)

Pemeriksaan Saraf Kranialis


Pemeriksaan Saraf Kranialis
Okulomotorius (III)

Nilai

Sela mata

SDE

Pergerakan mata kearah superior, SDE


medial, inferior

Strabismus

(-)

Refleks pupil terhadap sinar

(+/+) diameter 2mm/2mm

Troklearis (IV)

Pergerakan mata torsi superior

SDE

Trigeminus (V)

Membuka mulut

Normal

Mengunyah

Normal

Menggigit
Abdusens (VI)

SDE

Pergerakan mata ke lateral


Fasialis (VII)

Normal

Menutup mata

(-/+)

Memperlihatkan gigi

SDE

Sudut bibir
Vestibulokoklearis (VIII)

Fungsi pendengaran (Subjektif)

Non Simetris (pareseDex)


SDE

Vagus (X)

Bicara

SDE

Menelan
Assesorius (XI)

SDE

Memalingkan kepala
Hipoglossus (XII)

SDE

Pergerakan lidah

SDE
13

Anggota Gerak Atas

Motorik

Anggota Gerak Atas

Pergerakan

Kekuatan
Refleks fisiologis

Biseps

Triceps
Refleks patologis

Kanan

Kiri

SDE

SDE

SDE

SDE

Tromner

(-)

(-)

Hoffman

(-)

(-)

Kanan

Kiri

SDE

SDE

SDE

SDE

Anggota Gerak Bawah

Motorik

Anggota Gerak Bawah

Pergerakan

Kekuatan
Refleks fisiologis

Patella

Achilles
Refleks patologis

Babinski

(-)

(-)

Chaddock

(-)

(-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Leukosit
Hb
Hct
Plt
GDS

24/03/2016
12.700
14,7
44,4
358.000
66
14

Na
K
Cl
Leukosit
Hb
Hct
Plt
GDS
Na
K
Cl
Ureum
Kreatinin
Leukosit
Hb
Hct
Plt
SGOT
SGPT
Albumin
Albumin
Leukosit
Hb
Ht
Plt

136
6,4
108
29/03/2016
8.950
12,8
39,3
342.000
78
144
5,2
116
20,0
0,7
4/4/2016
11.400
11,6
37,4
228.000
32
21
3,1
6/3/2016
2,6
7/3/2016
16.350
12,2
35,5
279.000

PemeriksaanRadiologis
Foto OMD (Barium Meal) Abdomen 30/3/2016

15

Interpretasi :

Distribusi udara dalam loop usus normal

Tampak kontras mengisi

esophagus, lambungsampai duodenum pars

desendens

30 menitkemudiantampakkontrassampaiusushalus

Tampak penyempitan lumen distal esofagus

Kesan

: Penyempitan lumen distal esofagus

CT Scan Kepalatgl 30/3/2016

16

Interpretasi :

Tampak gambaran hipodens di parietotemporal sinistra, curiga kromik


subdural hematoma

Sistem ventrikel menyempit, oedem serebri

Diagnosis Utama

: Akalasia Esofagus

Diagnosis lain

: Hemiparese facialis dekstra + Edema cerebri

Diagnosis Komplikasi : Gizi Kurang


PENATALAKSANAAN :
- Inf. KAEN 4A + D40% 1 flash 450 cc/24 jam
- Inj. Ranitidin 2 x 3mg
- InfAminosteril 6% 50 cc /24 jam
- Inf. Ivelip 20% 20 cc/24 jam
- Puasa
17

- Konsulbedahanak
- Foto barium meal
- Pasang OGT dan DC

Prognosa

: ad Malam

18

Follow Up Ruangan

Tanggal

24-032016

Muntahsetiapdiberi

GCS : E4V5M6

(hari 0 )

(-), demam (-),

RuangBayi

kan ASI, kembung


sesak (-)

Usia :
24 hari

Observasi
vomiting
HR. 143 x/menit, RR. 38 x/menit
ecObstruksis
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), etinggi
gastric outlet
hemipesefasialdextra
obstruksi +
Thorax : S1S2 tunggal reguler
Hiperkalemia
+
vesikuler(+/+),whz(-/-),rhonki(-/-)
Hemiparese
facial D
Abd:soefl,distended(-), Bu(+)N

P
- Inf. KAEN 4A + D40% 1 flash
450 cc/24 jam
- Inj. Ranitidin 2 x 3mg
- InfAminosteril 6% 50 cc /24 jam
- Foto barium meal
- Pasang OGT dan DC

Ekst:akral hangat
28-032016

Produksi OGT

(hari4 )

(-), sesak (-)

RuangBayi

hijau(+), demam

GCS : E4V5M6

Observasi
vomiting
HR. 140 x/menit, RR. 42 x/menit
ecObstruksis
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), etinggi
gastric outlet
hemipesefasialdextra
obstruksi +
Hiperkalemia

- Inf. KAEN 4A 500 cc/24 jam


- InfAminosteril 6% 20 cc /24 jam
- Inj. Ampisilin 2 x 150 mg
- Inf. Ivelip 20% 20 cc/24 jam

19

Thorax : S1S2 tunggal reguler


Usia :

vesikuler(+/+),whz(-/-),rhonki(-/-)

28hari

Abd:soefl,distended(-), Bu(+)N

+
Hemiparese
facial D

- Puasa

Ekst:akral hangat
02-042016

Muntah (-), BAB

(hari8 )

kejang (-)

(+), kembung (-),

RuangBayi

GCS : E4V5M6

Akalasia
+
Hemiparese
HR. 128 x/menit, RR. 48 x/menit
facial
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), dextraec
Edema
hemipesefasialdextra
cerebri
Thorax : S1S2 tunggal reguler

- Inf. KAEN 4A 500 cc/24 jam

vesikuler(+/+),whz(-/-),rhonki(-/-)

- Pro myotomi Heller Rabu 6/04/2016

- InfAminosteril 6% 20 cc /24 jam


- Inj. Ampisilin 2 x 150 mg
- Inf. Ivelip 20% 20 cc/24 jam
- ASI 6 x 10 cc

Abd:soefl,distended(-), Bu(+)N
Ekst:akral hangat
06-042016

Luka post op (+),

(hari12)

(-), kembung (-),

PICU

muntah (-), demam


NGT :
retensicairanjernih

GCS : E4V5M6

Post
op
myotomihelle
HR. 134 x/menit, RR. 52 x/menit
r
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), a/iAkalasiaH0
+
hemipesefasialdextra
Hemiparese

- Inf. D10 1/5 NS 280 cc/24 jam


- Ivelip 20% 7,5 cc/ 24 jam
- Aminofusi 5% 60 cc/24 jam
- KCl 7,4% 6 cc/24 jam
20

minimal

Thorax : S1S2 tunggal reguler

facial
dextraec
vesikuler(+/+),whz(-/-),rhonki(-/-)
Edema
Abd:luka post op (+), soefl,distended(-), cerebri
Bu(+)N

- Cefotaxiem 2 x150 mg
- Paracetamol 3 x 30mg
- Albumin 20% 2 x 10cc

Ekst:akral hangat
06-042016

Luka post op (+),

(hari 12)

(-), kembung (-),

PICU

muntah (-), demam


OGT :
retensicairanjernih
minimal

GCS : E3V4M6

Post
op
myotomihelle
HR. 134 x/menit, RR. 52 x/menit
r a/i Akalasia
+
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), H-0
Hemiparese
hemipesefasialdextra
facial
Thorax : S1S2 tunggal reguler
dextraec
Edema
vesikuler(+/+),whz(-/-),rhonki(-/-)
cerebri

- Inf. D10 0,18 NS 280 cc/24 jam

Abd:luka post op (+), soefl,distended(-),


Bu(+)N

- Albumin 20% 2 x 10cc

- Ivelip 20% 7,5 cc/ 24 jam


- Aminofusi 5% 60 cc/24 jam
- KCl 7,4% 6 cc/24 jam
- Cefotaxiem 2 x150 mg
- Paracetamol 3 x 30mg

Ekst:akral hangat
08-042016

Luka post op (+),

(hari14)

(-), kembung (-)

muntah (-), demam

GCS : E4V5M6

Post
op - Inf. D10 0,18 NS 225 cc/24 jam
myotomihelle
- Inf. Ivelip 20% 15 cc/ 24 jam
HR. 116 x/menit, RR. 48 x/menit
r a/i Akalasia
+
K/L : Ane (-/-), ikt (-/-), RC (+/+), H-0
21

PICU

hemipesefasialdextra
Thorax : S1S2 tunggal reguler
vesikuler(+/+),whz(-/-),rhonki(-/-)
Abd:luka post op (+), soefl,distended(-),
Bu(+)N

Hemiparese
facial
dextraec
Edema
cerebri

- Inf. Aminofusin 5% 60 cc/24 jam


- Inj. Cefotaxiem 2 x150 mg
- Paracetamol 3 x 30mg
- Albumin 20% 2 x 10cc (H-2)
- Diet ASI 8 x 5cc (OGT)

Ekst:akral hangat

22

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1

PARESE NERVUS FACIALIS

3.1.1

Definisi
Kelumpuhan saraf fasialis (N VII) merupakan kelumpuhan otot-otot wajah

dimana pasien tidak atau kurang dapat menggerakkan otot wajah, sehingga wajah
pasien tidak simetris. Hal ini tampak sekali ketika pasien diminta untuk
menggembungkan pipi dan mengerutkan dahi.1
3.1.2

Epidemiologi
Foester melaporkan bahwa kerusakan saraf fasialis sebanyak 120 dari

3907 kasus (3%) dari seluruh trauma kepala saat Perang Dunia I. Friedman dan
Merit menemukan sekitar 7 dari 430 kasus trauma kepala. Adapun kelumpuhan
saraf fasialis yang tidak diketahui penyebabnya (Bells Palsy) sekitar 20-30 kasus
per 100.000 penduduk pertahun, sekitar 60-75% dari semua kasus merupakan
paralysis nervus fasialis unilateral.3
Insiden pada laki-laki dan perempuan sama, namun rata-rata muncul pada
usia 40 tahun meskipun penyakit ini dapat timbul di semua umur. Insiden terendah
adalah pada anak di bawah 10 tahun, meningkat pada umur di atas 70 tahun.
Frekuensi kelumpuhan saraf fasialis kanan dan kiri sama. Kausa tumor merupakan
hal yang jarang, hanya sekitar 5% dari semua kasus kelumpuhan saraf fasialis.3
3.1.3. Etiologi
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan
congenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan
penyakit-penyakit tertentu.1,3
1.

Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir ( congenital ) bersifat irreversible

dan terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1
Pada kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan
perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular
(sindrom Moibeus).3
2.

Infeksi
23

Proses infeksi di intracranial atau infeksi telinga tengah dapat


menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yang menyebabkan
kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes otikus. Infeksi
Telinga tengah yang dapat menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis
media supuratif kronik ( OMSK ) yang telah merusak Kanal Fallopi.1
3.

Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang

paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan
prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel
schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa
menginvasi cabang akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacammacam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran
aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara
ipsilateral.2
4.

Trauma
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika

terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu
luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi
penyebab. Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma
akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.2
5.

Gangguan Pembuluh Darah


Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf

fasialis diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri
media.1
6.

Idiopatik ( Bells Palsy )


Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui

penyebabnya atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema
fasialis. Karena terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bells Palsy.3

7.

Penyakit-penyakit tertentu

24

Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,


misalnya DM, hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi
telinga tengah, sindrom Guillian Barre.3
3.1.4. Manifestasi Klinis
Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu,
terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer.
Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2
sisi, tidak lumpuh ; yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan
N VII jenis perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua otot
sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus
pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama N. Fasialis.6
Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat
persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah
bagian atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral)
(gambar 1). Karenanya kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari saraf VII
(lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik) akan mengakibatkan
kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak.
Penderitanya masih dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi dan menutup mata
(persarafan bilateral) ; tetapi pasien kurang dapat mengangkat sudut mulut
(menyeringai, memperlihatkan gigi geligi) pada sisi yang lumpuh bila disuruh.
Kontraksi involunter masih dapat terjadi, bila penderita tertawa secara spontan,
maka sudut mulut dapat terangkat.6
Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter
maupun yang involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor neuron) saraf VII
sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada strok dan
lesi-butuh-ruang

(space occupying lesion) yang mengenai korteks motorik,

kapsula interna, talamus, mesensefalon dan pons di atas inti saraf VII. Dalam hal
demikian pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan saraf VII
supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber. 6

25

Gambar 1 Persarafan Otot Wajah , Perasat Otot wajah disebabkan oleh lesi UMN
dan LMN nervus VII.
Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi . (Lihat gambar 2) 3,7
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di antara pipi
dan gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak
ditutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya
ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang
terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan
terlibatnya saraf intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan
titik dimana korda timpani bergabung dengan saraf fasialis di kanalis
fasialis.
3.

Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus


stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah dengan hiperakusis.

4. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)


Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai dengan nyeri di
belakang dan didalam liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti
ini dapat terjadi pascaherpes di membrana timpani dan konka. Sindrom
Ramsay-Hunt adalah kelumpuhan fasialis perifer yang berhubungan dengan
26

herpes zoster di ganglion genikulatum. Tanda-tandanya adalah herpes zoster


otikus , dengan nyeri dan pembentukan vesikel dalam kanalis auditorius dan
dibelakang aurikel (saraf aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalan
pendengaran, gangguan pengecapan, pengeluaran air mata dan salivasi.
5. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat
terlibatnya nervus akustikus.
6. Lesi ditempat keluarnya saraf fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya saraf trigeminus, saraf akustikus dan kadang kadang juga saraf
abdusen, saraf aksesorius dan saraf hipoglossus.

Gambar 2. komponen serat saraf fasialis dan intermediet dan tanda-tanda


kerusakan segmen

individualnya

3.1.5. Klasifikasi Kelumpuhan Fasialis


Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik
dari kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak
pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan .
pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6

27

merupakan kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem berbeda


penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas
dalam tabel:8
Tabel 1. Klasifikasi House-Brackmann
Grade

Penjelasan

Normal

II

Disfungsi ringan

Karakteristik
Fungsi fasial normal
Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi dekat,
bisa ada sedikit sinkinesis.
Pada istirahat simetri dan selaras.
Pergerakan dahi sedang sampai baik
Menutup mata dengan usaha yang minimal
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika melakukan

III

Disfungsi sedang

pergerakan
Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara kedua
sisi
Adanya sinkinesis ringan
Dapat ditemukam spasme atau kontraktur hemifasial
Pada istirahat simetris dan selaras
Pergerakan dahi ringan sampai sedang
Menutup mata dengan usaha

IV

Disfungsi sedang
berat

Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang maksimum


Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan asimetri
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada
Tidak dapat menutup mata dengan sempurna

Disfungsi berat

Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.


Wajah tampak asimetris
Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata

VI

3.1.6.

Total parese

Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan


Tidak ada pergerakkan

Uji Diagnostik
28

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fungsi saraf fasialis. Tujuan


pemeriksaan fungsi saraf fasialis adalah untuk menentukan letak lesi dan
menentukan derajat kelumpuhannya.1
1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk
terciptanya mimik dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot
tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut :
a. M. Frontalis
b. M. Sourcilier
c. M. Piramidalis

: diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.


: diperiksa dengan cara mengerutkan alis
:
diperiksa dengan cara mengangkat dan

mengerutkan hidung ke atas


d. M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata
kuat-kuat
e. M. Zigomatikus

diperiksa

dengan

cara

tertawa

lebar

sambil

memperlihatkan gigi
f. M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
kedepan sambil memperlihatkan gigi
g. M. Businator
: diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi
h. M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul
i. M. Triangularis
: diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke
bawah
j. M. Mentalis

: diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang

tertutup rapat ke depan


Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri :
a.
b.
c.
d.

Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )
Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )
Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )
Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan

mempunyai nilai tiga puluh ( 30 ).1


2. Tonus
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan
fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot

29

muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek
memberikan gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya
berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga
untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi
satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.1
3. Gustometri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda
timpani, salah satu cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum
percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan).2
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,
kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah
penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk
ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk
akan tersebar melalui ludah ke sisis lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah
yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh untuk menyatakan
pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2
untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.2
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang
rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua
sisi adalah patologis.1
4. Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi
kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no 50
kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus
lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada
kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran
ludah sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada
jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh saraf korda
timpani.2
5. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex

30

Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabutserabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus
superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas
saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata.1,2
Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara
pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang 510 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip yang
menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan bahwa kalau
ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis.1,2
6. Refleks Stapedius
Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter,
yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan
untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.1
7. Uji audiologik
Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani
pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantaran
tulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial kedelapan dapat
dinilai dengan menggunakan uji respon auditorik yang dibangkitkan dari batang
otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus internus.
Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan suatu kelainan dalam telinga tengah,
dan dengan memandang syaraf fasialis yang terpapar pada daerah ini, perlu
dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi kelumpuhan saraf ketujuh pada
waktu otitis media akut, maka mungkin gangguan saraf pada telinga tengah.
Pengujian reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan
menggunakan suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu
gerakan reflek dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane
timpani dan menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut
diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada
perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen saraf
kranialis.2
8. Sinkinesis

31

Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis


yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai
berikut :1
a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau
pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal
nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.
Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan
emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai
satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak
simetris.
9. Hemispasme
Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai pada
penyembuhan kelumpuhan fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita
diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedip-ngedipkan
mata berulang-ulang maka bibir akan jelas tampak gerakan otot-otot pada sudut
bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang berat kadang-kadang
otot-otot platisma di daerah leher juga ikut bergerak. Untuk setiap gerakan
hemispasme dinilai dengan angka (-1).1
Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya
berjumlah lima puluh (50) atau 100%. Gradasi paresis fasialis dibandingkan
dengan nilai tersebut dikalikan dua untuk persentasenya.1

3.1.7. Pemeriksaan Penunjang


Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji
fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi
(ENOG), dan uji stimulasi maksimal.2
32

1.

Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini

bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG


dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau
suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun,
nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut.
Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan
kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.2
2.

Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG

melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang
lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila
terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam
sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch
Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen
pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami
penyembuhan normal saraf fasialis.2
3.

Uji Stimulasi Maksimal


Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakkan sonde ditekankan

pada wajah di daerah saraf fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan


hingga 5 ma, atau sampai pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah
periorbital, pipi, ala nasi, dan bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda
secara perlahan. Tiap gerakan di daerah-daerah ini menunjukkan suatu respons
normal. Perbedaan respons yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang
lumpuh dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah
apabila terjadi kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25 persen
dari arus yang digunakan pada sisi yang normal. Bila dibandingkan setelah 10
hari, 92 persen penderita Bells Palsy kembali dapat melakukan beberapa fungsi.
Bila respon elektris hilang, maka 100 persen akan mengalami pemulihan fungsi
33

yang tidak lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bentuk pengujian yang paling
dapat diandalkan adalah uji fungsi saraf secara langsung.2

Gambar 3 Ekspresi Wajah Penderita Kelumpuhan Saraf Fasialis


3.1.8. Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap kelumpuhan saraf VII dapat dikelompokkan dalam 3
bagian:1,2,9
1. Pengobatan terhadap kelumpuhan saraf fasialis
A. Fisioterapi
1. Heat Theraphy, Face Massage, Facial Excercise
Basahkan handuk dengan air panas, setelah itu handuk diperas dan
diletakkan dimuka hingga handuk mendingin. Kemudian pasien diminta untuk
memasase otot-otot wajah yang lumpuh terutama daerah sekitar mata, mulut dan
daerah tengah wajah.Masase dilakukan dengan menggunakan krim wajah dan
idealnya juga dengan menggunakan alat penggetar listrik. Setelah itu pasien
diminta untuk berdiri didepan cermin dan melakukan beberapa latihan wajah
seperti mengangkat alis mata, memejamkan kedua mata kuat-kuat, mengangkat
dan

mengerutkan

hidung,

bersiul,

menggembungkan

pipi

dan

menyeringai.3,9Kegiatan ini dilakukan selama 5 menit 2 kali sehari.3


2. Electrical Stimulation
Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanic berenergi lemah.2 Tindakan
ini bertujuan untuk memicu kontraksi buatan pada otot-otot yang lumpuh dan juga
berfungsi untuk mempertahankan aliran darah serta tonus otot.9
34

B. Farmakologi
Obat-obatan yang dapat diberikan dalam penatalaksanaan kelumpuhan
saraf fasialis antara lain9:
1. Asam Nikotinik
Pada kelumpuhan saraf fasialis yang dikarenakan iskemiaAsam nikotinik
dan obat-obatan yang bekerja menghambat ganglion simpatik servikal digunakan
untuk memicu vasodilatasi sehingga dapat meningkatkan suplai darah ke saraf
fasialis.
2. Vasokonstriktor, Antimikroba
Obat ini diberikan pada kelumpuhan saraf fasialis yang disebabkan oleh
kompresi saraf fasialis pada kanal falopi. Obat ini bekerja mengurangi bendungan,
pembengkakkan, dan inflamasi pada keadaan diatas.
3. Steroid
Obat ini diberikan untuk mengurangi proses inflamasi yang menyebabkan
Bells Palsy.
4. Sodium Kromoglikat
Diberikan pada kelumpuhan saraf fasialis jika dipikirkan adanya reaksi
alergi.
5. Antivirus
Baru-baru ini antivirus diberikan dengan atau tanpa penggunaan
prednisone secara simultan.
C. Pengobatan Psikofisikal
Akupuntur, biofeedback, dan electromyographic feedback dilaporkan
dapat membantu pentembuhan Bells Palsy.9

2.

Pengobatan Sekuele ( Gejala Sisa )


Pengobatan terhadap gejala sisa yang dapat dilakukan antara lain 9:
35

A.

Depresi
Pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis memiliki ketakutan bahwa

mereka memiliki penyakit yang mengancam jiwa ataupun penyakit yang


melibatkan pembuluh darah otak. Konseling dan terapi kelompok yang
melibatkan penderita dengan usia yang sama terbukti efektif untuk mengatasi
depresi tersebut.
B.

Nyeri
Sebagian pasien dengan Bells Palsy dan hampir seluruh pasien dengan

Herpes Zooster Cephalic merasakan nyeri. Nyeri ini dapat diatasi dengan
analgesic non-narkotik. Dapat diberikan steroid dengan dosis awal 1 mg/ kg BB/
hari dan tapering off setelah 10 hari penggunaan.
C.

Perawatan Mata
Secara umum, Perawatan mata ditujukan untuk menjaga kelembaban mata

agar tidak terjadi keratitis dan kerusakan kornea. Pasien diminta untuk
mengedipkan mata 2 sampai 4 kali permenit disamping penggunaan obat tetes
mata.
3.

Indikasi Untuk Operasi


Pada kasus dengan gangguan hantaran berat atau sudah terjadi denervasi

total, tindakan operatif segera harus dilakukan dengan teknik dekompresi saraf
fasialis transmastoid.1
3.1.9. Komplikasi
Setelah kelumpuhan fasial perifer, regenerasi saraf yang rusak, terutama
serat otonom dapat sebagian atau pada arah yang salah. Serat yang terlindung
mungkin memberikan akson baru yang tumbuh ke dalam bagian yang rusak.
Persarafan baru yang abnormal ini, dapat menjelaskan kontraktur atau sinkinesis
(gerakan yang berhubungan) dalam otot-otot mimik wajah6.
Sindrom air mata buaya (refleks gastrolakrimalis paradoksikal) tampaknya
didasarkan oleh persarafan baru yang salah. Di perkirakan bahwa serat sekretoris
untuk kelenjar air liur tumbuh ke dalam selubung Schwann dari serat yang cedera
yang berdegenerasi dan pada asalnya serat tersebut bertanggung jawab untuk
glandula lakrimalis7.
36

3.2

AKALASIA ESOFAGUS

3.2.1

Definisi
Akalasia adalah gangguan motilitas berupa hilangnya peristalis esofagus

dan gagalnya sfingter esofagokardia berelaksasi sehingga makanan tertahan di


esofagus. Akibatnya, terjadi hambatan masuknya makanan ke dalam lambung
sehingga esofagus berdilatasi membentuk megaesofagus 4.
Akalasia yang kuat (vigorous achalasia) terlihat pada pasien yang
memperlihatkan disfagia. Pada pasien ini, LES adalah hipertensif dan gagal untuk
relax,sebagaimana terlihat dalam achalasia. Terlebih lagi, kontraksi corpus
esofagus berlanjut untuk menjadi simultan dan non-peristaltik. Meskipun
demikian, amplitudo dari kontraksi dalam respon menelan adalah normal atau
tinggi, yang mana inkonsisten dengan achalasia klasik. Hal tersebut dinyatakan
bahawa pasien pada perkembangan awal achalasia mungkin tidak memiliki
kelainan dalan corpus esofagus yang terlihat pada tahap selanjutnya dari penyakit.
Pasien yang memperlihatkan vigorous achalasia dapat berada pada fase awal dan
akan berlanjut untuk mengembangkan kontraksi corpus esofagus 5.
Akalasia juga diketahui menjadi kondisi yang premalignant dari esofagus.
Lebih dari priode 20 tahun, seorang pasien akan memiliki sampai 8% peluang
untuk berkembangnya carcinoma. Squamous cell carcinoma adalah tipe yang
umum teridentifikasi paling banyak dan dipikirkan menjadi akibat dari longstanding air fluid levels dalam corpus esofagus, yang menyebabkan iritasi mukosa
dan menginduksi metaplasia. Acdenocarcinoma cenderung untuk muncul dalam
sepertiga tengah dari esofagus, dibawah air-fluid level dimana iritasi mukosa
adalah yang paling besar. Tidak ada program pengawasan yang spesifik telah
dimulai pada pasien dengan achalasia yang terobati 5.

3.2.2

Etiologi
Dasar penyebab akalasia adalah tidak efektifnya peristalsis esofagus

bagian distal serta gagalnya relaksasi sfingter bawah.Penelitian menunjukkan


37

adanya kelainan persarafan parasimpatis berupa hilangnya sel ganglion di dalam


plexus Auerbach, yang disebut juga pleksus mienterikus, yang diduga terjadi
akibat prosesautoimun atau infeksi kronis 4.
3.2.3

Patogenesis
Segmen esofagus bagian bawah yang panjangnya berkisar antara 28 cm

menyempit dantidak mampu berelaksasi. Esofagus bagian proksimal dari


penyempitan tersebut mengalami dilatasi dan pemanjangan sehingga akhirnya
menjadi megaesofagusyang berkelok-kelok. Bentuk esofagus ini sangat
bergantung pada lamanya proses, dapat berbentuk botol, fusiform, sampai
berbentuk sigmoid dengan hipertrofi jaringan otot sirkuler dan longitudinal.
Mukosa mungkin mengalami peradangan akibat rangsangan retensi makanan 4.
Akalasia adalah salah satu faktor risiko terjadinya karsinoma epidermoid.
Karsinoma dapat terjadi pada 5% pasien yang tidak mendapat terapi, rata-rata 20
tahun dari saat terdiagnosis. Jika sudah terjadi karsinoma, prognosisnya lebih
buruk dibandingkan dengan karsinoma esofagus yang bukan berasal dari akalasia.
Hal ini diduga karena gejalanya sangat mirip dengan akalasia sehingga
menimbulkan keterlambatan diagnosis 4.
Patogenesis dari akalasia diduga terjadi degenerasi neurogenik, yang mana
idiopatik atau karena infeksi. Pada binatang eksperimen, penyakit ini telah
direproduksi oleh destruksi nucleus ambiguus dan nucleus motor dorsalis dari
nervus vagus. Pada pasien dengan penyakit ini, perubahan degeneratif telah
ditunjukkan oleh nervus vagus dan pada ganglia dalam pleksus mienterikus dari
esofagus itu sendiri. Degenerasi ini mengakibatkan hipertensi dari LES (lower
esophageal sphincter), sebuah kegagalan sfingter untuk merelaksasikan
penelanan, peningkatan dari tekanan esofagus intraluminal, dilatasi esofagus, dan
kehilangan berikutnya dari peristalsis yang progresif pada corpus esofagus.
Dilatasi esofagus mengakibatkan kombinasi dari sfingter yang tidak berelaksasi,
yang mana menyebabkan perubahan anatomis yang terlihat pada studi radiografis,
seperti sebagai sebuah esofagus yang terdilatasi dengan bentukan lonjong/lancip,
penyempitan seperti birds beak pada akhir distal. Ada tingkat air fluid level
pada esofagus dari makanan dan saliva yang terentensi, ketinggian yang mana
38

merefleksikan derajat resistensi yang dipaksakan oleh sfingter yang tidak


relaksasi. Sebagai progres dari penyakit, esofagus menjadi terdilatasi dan
berkelok-kelok secara masif 10.
3.2.4

Gambaran Klinis
Akalasia biasanya dimulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang

ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut.Gejala utama akalasia
adalah disfagia, regurgitasi, rasa nyeri atau tidak enak di belakang sternum dan
berat badan menurun. Lama timbulnya gejala sangat bervariasi, dari beberapa hari
sampai bertahun-tahun, dan gejala lambat laun semakin berat 4.
Trias klasik dari gejala-gejala yang tampak terdiri atas disfagia,
regurgitasi, dan penurunan berat badan. Meskipun demikian, heartburn, tersedak
setelah makan (postprandial choking), dan batuk nokturnal adalah umum terlihat.
Disfagia yang pasien alami mulai dengan cairan dan berlanjut ke padat.
Kebanyakan pasien menggambarkan makan sebagai sebuah proses yang
membutuhkan banyak tenaga. Mereka makan secara perlahan dan menggunakan
volume air yang besar untuk membantu menghempaskan makanan ke bawah
dalam lambung. Saat air memperkuat tekanan, nyeri dada retrosternal dialami dan
dapat memberat sampai LES terbuka, yang mana memberika rasa lega yang cepat.
Regurgutasi makanan-makanan yang tak tercerna, dan berbau busuk adalah umum
dan dengan progresifnya penyakit, aspirasi dapat menjadi mengancam jiwa.
Pneumonia, abscess paru, dan bronchiectasis sering merupakan hasil dari long
standing achalasia. Disfagia berlanjut secara perlahan bertahun-tahun dan pasien
beradaptasi pada pola hidupnya untuk mengakomodasi ketidaknyamanan yang
menyertai penyakit ini. Pasien sering tidak mencari perhatian medis sampai
gejala-gejala mereka berlanjut dan akan hadir dengan peregangan yang nyata dari
esofagus5.
Disfagia adalah gejala utama yang mula-mula dirasakan sebagai rasa
penuh atau rasa mengganjal di daerah esofagus distal, hilang timbul, dan semakin
lama semakin berat. Pasien akan makan secara perlahan-lahan dan selalu disertai
minum yang banyak. Regurgitasi terjadi bila penyakit sudah lanjut dan sudah
terjadi dilatasi esofagus bagian proksimal. Regurgitasi biasanya dirasakan pada
39

waktu malam sehingga pasien terbangun dari tidurnya. Makanan yang mengalir
balik belum dicerna, tidak asam,ldan baunya manis karena pengaruh ludah.
Keadaan ini berbahaya karena dapat menimbulkan pneumonia aspirasi. Keluhan
nyeri umumnya tidak dominan. Mula-mula keadaan gizi baik dan baru menurun
pada tahap lanjut 4.
3.2.5

Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan yang berarti. Dengan

anamnesis sebetulnya sudah dapat diduga adanya akalasia, walaupun demikian


tetap harus dipikirkan diagnosis banding penyakit keganasan, stenosis, atau benda
asing esofagus 4.
Pada esofagografi terdapat penyempitan daerah batas esofagogaster dan
dilatasi bagian proksimalnya. Jika proses akalasia sudah lama, bentuk esofagus
berubah menjadi berkelok dan akhirnya berbentuk huruf S. Dengan pemeriksaan
esofagoskopi dapat disingkirkan kelainan penyempitan karena striktur atau
keganasan. Pada akalasia, terdapat gangguan kontraksi dinding esofagus sehingga
pengukuran tekanan di dalam lumen esofagus dengan manometri sangat
menentukan diagnosis. Tekanan di dalam sfingter esofagogaster meninggi dan
tekanan di dalam lumen esofagus lebih tinggi daripada tekanan di dalam lambung
4

.
Diagnosis dari achalasia biasanya dibuat dari esofagogram dan studi

motilitas. Penemuan tersebut dapat beraneka ragam, tergantung pada sifat alami
yang berkelanjutan dari penyakit. Esofagogram akan menunjukkan esofagus yang
berdilatasi dengan penyempitan distal yang disebut sebagai gambaran paruh
burung klasik (classic birds beak) dari esofagus yang terisi barium

Pemeriksaan esofagografi menggunakan kontras pada kurang lebih 90% pasien


yang dicurigai menderita akalasia menunjukkan adanya pelebaran esofagus dan
bentuk klasik gambaran paruh burung. Tetapi pada pasien yang menjalani
pemeriksaan ini, hanya 50-58% pasien menunjukkan adanya gambaran radiologis
yang mendukung diagnosis akalasia, sementara sisanya perlu menjalani
pemeriksaan manometri untuk menegakkan diagnosis. Jadi, esofagografi dengan
kontras kurang sensitif sebagai pemeriksaan penunjang tunggal untuk kasus
40

akalasia 4. Spasme sfingter dan pengosongan yang tertunda melalui LES, sebaik
dilatasi dari corpus esofagus diobservasi. Kurangnya gelombang peristaltik pada
corpus dan kegagalan relaksasi dari LES harus diperhatikan. Kurangnya
gelembung udara lambung merupakan penemuan yang umum bagian yang tegak
lurus dari esofagogram dan merupakan hasil dari LES yang erat yang tidak
mengijinkan udara untuk melewati dengan mudah ke dalam lambung. Pada tahap
yang lebih lanjut dari penyakit, dilatasi esofagus yang masif, kelokan, dan
esofagus sigmoidal (megaesophagus) terlihat 5

Gambar 4 : Penelanan Barium yang Menunjukkan Gambaran Khusus (Birds


Beak) pada Akalasia Esofagus
Foto Roentgen dada memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah
dalam menegakkan diagnosis akalasia, sehingga perlu dilakukan konfirmasi tes
radiografik lainnya seperti fluoroskopi kontras barium, endoskopi, dan
manometri. Beberapa penyakit dapat memberikan gambaran menyerupai akalasia
pada foto Roentgen dada maupun barium kontras, seperti adenokarsinoma,
keganasan esofagus, keganasan lambung, keganasan paru non-sel kecil,
skleroderma, amiloidosis, penyakit kolagen vaskular, dan limfoma 4.
Endoskopi konvensional, manometri, dan foto kontras esofagus dapat
membedakan akalasia dari pseudoakalasia. Penggunaan ultrasonografi memiliki
kehandalan yang baik, yakni sekitar 82-100% dalam membedakan antara akalasia
murni dan psudoakalasia 4.
41

Manometri merupakan uji baku emas (gold standard) untuk diagnosis dan
akan membantu mengeliminasi gangguan motilitas esofagus yang potensial
lainnya. Dalam akalasia tipikal, penelusuran manometri menunjukkan lima
penemuan klasik, dua kelainan dari LES, dan tiga dari corpus esofagus. LES akan
menjadi hipertensif, dengan tekanan yang biasanya lebih tinggi dari 35 mmHg
tetapi, lebih penting lagi, akan gagal untuk relaksasi dengan deglutisi (menelan).
Corpus esofagus akan memiliki tekanan diatas dasar (penekanan pada esofagus)
dari evakuasi undara yang tidak sempurna, simultaneous mirrored contraction
dengan tidak ada bukti dari peristalsis yang progresif, dan bentuk gelombang
beramplitudo rendah mengindikasikan kurangnya tonus otot. Lima penemuan ini
memberikan diagnosis akalasia. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi
mukosa sebagai bukti dari esofagus atau kanker. Jika tidak endoskopi akan
berkontribusi kecil pada diagnosis akalasia 5.
3.2.6

Penatalaksanaan
Ada pilihan pengobatan bedah dan nonbedah untuk pasien dengan

akalasia; semua diarahkan pada penurunan obstruksi yang disebabkan oleh LES.
Karena tidak dari mereka menyatakan hasil dari penurunan motilitas pada corpus
esofagus, mereka seluruhnya merupakan pengobatan paliatif 5.
Diet dan obat-obatan untuk menghilangkan atau mengurangi kontraksi
sfingter esofagus dan otot polos dinding esofagus dianjurkan pada tahap awal
penyakit. Tindakan ini biasanya disertai dengan dilatasi yang bertujuan membuat
sfingter esofagus bagian bawah terbuka sehingga otot-ototnya rusak 4. Pilihan
pengobatan nonbedah meliputi obat-obatan dan intervensi endoskopi tetapi
biasanya hanya merupakan solusi jangka pendek untuk sebuah masalah yang
abadi. Pada tahap awal dari penyakit, pengobatan medis dengan nitrogliserin
sublingual, nitrat, atau calcium channel blockers (CCB) dapat menawarkan
berjam-jam pengurangan tekanan dada sebelum atau setelah makan. Bougie
dilation sampai 54 Fr dapat menawarkan beberapa bulan sebagai pereda tetapi
memerlukan dilatasi berulang untuk dapat bertahan 5.
Injeksi botulinum toxin (Botox) secara langsung ke dalam LES mengeblok
pelepasan asetilkolin, mencegah kontraksi otot halus, dan secara efektif
42

merelaksasikan LES. Dengan pengobatan berulang, Botox dapat menawarkan


pereda gejala selama bertahun-tahun, tetapi gejala-gejala timbul lagi lebih dari
50% dalam waktu enam bulan 5. Toksin botulinum yang disuntikkan dengan
bantuan endoskop adalah toksin yang bekerja menghambat pengeluaran
asetilkolin di prasinaps pada serabut syaraf sehingga dapat menurunkan tonus
sfingter esofagus. Meskipun demikian, terapi ini hanya berhasil pada dua pertiga
pasien. Selain itu pula, boyulinum hanya efektif untuk jangka pendek sehingga
harus dilakukan penyuntikan ulang 4.
Dilatasi dengan Gruntzig-type balloon (volume terbatas, kontrol tekanan)
adalah efektif pada 60% pasien dan memiliki sebuah risiko perforasi kurang dari
4%; meskipun demikian, perforasi mengancam jiwa dan harus dititikberatkan
secara hati-hati pada pasien yang tidak sehat 5.Dilatasi yang dilakukan dengan
dilator yang terdiri atas sonde dengan balon yang dapat diisi dengan udara atau air
bertekanan tinggi sehingga otot sirkuler teregang dan robek. Dilatasi ini harus
diulang sewaktu timbul gejala kembali. Angka keberhasilan cara dilatasi 70%
dengan komplikasi perforasi 1.4% dan kematian 0.3%. massalah yang sering
timbul adalah refluks, yang terjadi pada 22% kasus 4.
Bedah esofagotomi terdiri atas memotong otot esofagus pada arah sumbu
esofagus sepanjang sfingter bawah, di luar mukosa. Tindakan ini dapat dikerjakan
secara terbuka (torakotomi atau laparotomi), torakoskopik, atau laparoskopik.
Hasil operasi ini cukup memuaskan. Tingkat keberhasilannya dikatakan mencapai
80-90%, bergantung pada keterampilan operator. Bukti penelitian yang kuat
menyimpulkan bahwa indikasi esofagomiotomi adalah pasien yang (1) masih
berusia muda, (2) mengalami kegagalan terapi farmakologis atau dilatasi balon,
(3) berisiko tinggi mengalami perforasi pada teknik dilatasi, yaitu pasien dengan
esofagus yang berkelok-kelok atau divertikula, atau telah menjalani pembedahan
untuk kelainan lain sebelumnya, dan (4) ingin menghindari prosedur terapi
berulang. Esofagomiotomi memberikan hasil yang memuaskan pada 95% kasus,
dengan lama perawatan rumah sakit hanya tiga hari bila dikerjakan secara
laparoskopik 4.
Bedah esofagotomi menawarkan hasil yang superior dan kurang membuat
trauma daripada dilatasi balon. Teknik saat ini merupakan modifikasi dari Heller
43

myotomy yang digambarkan secara original oleh sebuah laparotomi pada 1913.
Perubahan yang bervariasi telah dibuat untuk prosedur tersebut tetapi modified
laparoscopic Heller myotomy merupakan pilihan operasi saat ini. Hal tersebut
dikerjakan atau dengan video atau bantuan robot. Keputusan untuk melakukan
sebuah prosedur antirefluks menyisakan kontroversi. Kebanyakan pasien yang
telah menjalani sebuah myotomi akan mengalami beberapa gejala-gejala refluks.
Tambahan prosedur antirefluks parsial, seperti Toupetatau Dor fundoplication,
akan mengembalikan perlindungan terhadap refluks dan menurunkan gejala-gejala
postoperatif. Ini khususnya nyata pada pasien yang

bersihan esofagusnya

(esophageal clearance) dirusak dengan hebat 5.


Esofagotomi dipertimbangkan dalam beberapa pasien simptomatis dengan
esofagus yang berkelok-kelok (megaesofagus), esofagus sigmoid, kegagalan lebih
dari satu myotomi, atau sebuah striktur refluks yang tidak dapat berdilatasi. Lebih
sedikit dari 60% pasien yang menjalani keunggulan myotomi berulang dari
operasi, dan fundoplikasi untuk pengobatan striktur refluks bahkan memiliki hasil
yang lebih buruk. Terlebih lagi untuk mengobati secara tepat akalasia tahap akhir,
reseksi esofagus juga mengeliminasi risiko untuk karsinoma. Sebuah transhiatal
esophagotomy dengan atau tanpa pemeliharaan nervus vagus menawarkan hasil
jangka panjang yang baik 5.

44

BAB 4
PEMBAHASAN

TEORI

KASUS
ANAMNESIS

Pneumonia Aspirasi
-

Pasien

Pasien datang dengan keluhan :

biasanya

mendadak

batuk dan sesak sesudah


makan

atau

demam.

minum.

2. Demam

Umumnya pasien datang 1-2

SMRS.

minggu

sesudah

aspirasi,

dengan

keluhan

demam

nyeri

pleuritik,

menggigil,
batuk,
-

1. Pasien datang dengan keluhan

dan

dahak

purulen

dialami

hari

3. Batuk berdahak sejak 1 hari


SMRS.
4. Pasien juga muntah sebanyak
1x

setelah

batuk

dan

susu

yang

berbau (pada 50% kasus).

mengeluarkan

Bisa ditemukan nyeri perut,

diminum kemudian setelah itu

anoreksia,

pasien

dan

penurunan

berat badan. Pada pneumonia


aspirasi akibat infeksi, awitan

tampak

susah

saat

bernapas.
5. Pasien

memiliki

riwayat

gejala biasanya terjadi secara

sering batuk terutama saat

perlahan-lahan selama hingga 2

minum susu.

minggu,

dengan

demam,

penurunan berat badan, anemia,


leukositosis, dispnea, dan batuk
disertai

produksi

sputum

berbau busuk.

6. Pasien selalu kembung saat


sejak 2 bulan yang lalu
7. Susah BAB sejak 2 bulan
yang lalu
8. Tidak ada keluarga pasien

Faktor penyebab paling sering Aspirasi

yang mengalami gejala sama

Pneumonia :

seperti pasien.

gangguan neuromuscular, Anaestesi,

9. Pasien hanya diberi ASI dan

pada kondisi dimana reflek batuk dan

tidak diberikan makanan lain

refleks muntah tertekan, gangguan

karena khawatir pasien akan

45

menelan,
masif

Muntah

dengan

bahan-bahan

aspirasi

material

muntah.

yang

berasal dari lambung, benda asing,


abnormalitas

struktur

esophagus,

Gastroesofageal refluks disease, serta


hilangnya kesadaran
Hirschsprung Disease :
1. Keterlambatan

pengeluaran

mekonium pertama yang pada


umumnya keluar > 24 jam.
2. Muntah berwarna hijau.
3. Adanya

obstipasi

masa

neonatus.
4. Jika

terjadi pada anak

yang

lebih besar obstipasi semakin


sering,
5. Adanya
kembung
seperti
multipel

riwayat
berat

konstipasi,
dan

perut

tong,

massa

faeses

dan

sering

dengan

enterocolitis, dan dapat terjadi


gangguan pertumbuhan.
6. Riwayat keluarga sebelumnya
yang pernah menderita keluhan
serupa.

PEMERIKSAAN FISIK
Pneumonia Aspirasi :
Pemeriksaan saat diruangan :
Tanda fisis seperti pada tipe
1. Pasien tidak mengalami sesak
pneumonia klasik bisa didapatkan
2. Terdengar suara nafas tambahan
berupa demam, sesak napas, tandaronki pada kedua lapang torak
tanda konsolidasi paru (perkusi
46

paru pekak, ronki nyaring, suara

3. Tidak ada retraksi

napas

bronchial).

4. Terdapat

terlihat

retraksi

interkostal,

Pada
otot

inspeksi
epigastrik,

suprasternal,

abdomen

pada pasien terutama setelah

dan

pernapasan cuping hidung.

distensi

minum susu
5. Pasien demam
6. Pada pemeriksaan lainnya tidak
ditemukan adanya kelainan

Hirschsprung Disease :

1. Perut

kembung

karena

mengalami obstipasi.
2. Bila

dilakukan

colok

dubur
ditarik

maka

sewaktu

jari

keluar

maka

feses

akan

menyemprot keluar dalam jumlah


yang banyak dan tampak perut anak
sudah kembali normal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pneumonia Aspirasi :

1.

Hasil
Penunjang :

Foto Toraks

a) Terjadi
Gambaran radiologi pneumonia
aspirasi
pada

bervariasi

beratnya

penyakit

dan

bercak infiltrat terutama pada


lobus paru kanan tepatnya di
area
kanan

percabangan
dan

di

bronkus

lobus

kiri

tepatnya di area percabangan

ireguler

bronkus kiri.

yang tidak berbatas tegas yang


mengalami peningkatan densitas.

lengkap

b) Pada foto toraks pasien tampak

Tetapi lobus bawah kiri juga bisa


area-area

darah

pada

(16.500/mm3)

lokasinya.
Lobus bawah dan lobus tengah

terkena.
Ditemukan

leukositosis

pemeriksaan

tergantung

kanan paling sering terkena,

Pemeriksaan

c)

Pada foto polos abdomen


47

Pada tahap awal area densitas


tinggi tersebut hanya lokal, akan
tetapi pada tahap lanjut akan

berkelompok/ menyatu (infiltrat).


Gambaran radiologi klasik dari
pneumonia adalah perselubungan
inhomogen (konsolidasi) dengan
air bronchograms sign, dengan
distribusi segmental atau lobar.

ditemukan distensi kolon.


d) Pada

foto

penyempitan

BNO

terlihat

pada

kolon

rektosigmoid pasien.
e) Pada

pemeriksaan

rektosigmoidografi

ditemukan

adanya zona dilatasi dan zona


yang mengalami penyempitan
pada

Pemeriksaan laboratorium

daerah

kolon

rektosigmoid.

Terdapat leukositosis dan laju


endap darah (LED) meningkat.
Hirschsprung Disease :
1. Pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran

obstruksi

usus letak rendah, meski pada


bayi

masih

sulit

untuk

membedakan usus halus dan usus


besar.
2. Pemeriksaan
dimana

enema

akan

barium,

dijumpai

tiga

tanda khas yaitu adanya daerah


penyempitan di bagian rektum
ke proksimal yang panjangnya
bervariasi,
transisi,

terdapat

terlihat di proksimal

daerah

penyempitan

daerah

dilatasi,

daerah

daerah
ke

serta

pelebaran

arah

terdapat

lumen

di

proksimal daerah transisi.


3. Apabila dari foto barium enema
48

tidak terlihat tanda-tanda khas


penyakit

Hirschsprung,

maka

dapat dilanjutkan dengan


retensi

barium.

khasnya

foto

Gambaran

adalah

terlihatnya

barium yang membaur dengan


feses ke arah proksimal kolon.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan dan tindakan yang

1. Penatalaksaan Umum
Penumoni Aspirasi :

didapat diruangan:
-

1. Terapi suportif umum

a. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80 100 mmHg atau saturasi 95 96% berdasarkan

pemeriksaan analisis -

gas darah.
pengenceran

dahak

pemberian

bronkodilator

Inj. Gentamicin 2 x 12,5 mg


Inj. Paracetamol 3 x 50 mg
CTM 0,5 mg, Ambroxol 2,5
pulv

yang

kental, dapat disertai nebulizer untuk

Inj. Ampisilin. 4 x 200 mg

mg, Efedrin 2,5 mg 3 x 1

b. Humidifikasi dengan netribulizer


untuk

IVFD D5NS 500 cc/24 jam

KLISMA

bila

terdapat bronkospasme
c. Pengaturan cairan.
d. Ventilasi mekanis
2. Antibiotik
Jika tidak terdapat tanda-tanda infeksi
maka

dilakukan

observasi

dan

diberikan antibiotik empiris sebelum


hasil kultur ada. Pneumonia yang di
dapat diluar rumah sakit (dalam
masyarakat)

diberikan

golongan
49

penisilin.

Hirschsprung Disease :

Tindakan-tindakan

medis

dapat

dilakukan tetapi untuk menangani


distensi

abdomen

pemasangan

dengan

pipa

anus

pemasangan pipa

atau

lambung dan

irigasi rektum.
Pemberian antibiotika dimaksudkan
untuk pencegahan infeksi terutama
untuk enterokolitis dan mencegah
terjadinya
dapat

sepsis. Cairan

diberikan

keseimbangan

untuk

infus

menjaga

cairan,

elektrolit,

dan asam basa tubuh.


Penanganan bedah pada umumnya
terdiri atas dua tahap yaitu tahap
pertama
kolostomi

dengan
dan

pembuatan
tahap

kedua

dengan melakukan operasi definitif


yaitu

prosedur

Swensons

sigmoidectomy, prosedur Duhamel,


prosedur

Soaves

Transanal

Endorectal Pull-Through, prosedur


Rehbein

dengan

anterior,

prosedur

cara

reseksi

Laparoskopic

Pull-Through, prosedur dan prosedur


miomektomi anorektal.

50

51

BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Keluhan yang dialami pasien adalah demam yang telah dialami sejak 3
hari SMRS, pasien juga mengalami batuk sejak 1 hari SMRS. Namun menurut
pengakuan ibu pasien, pasien sering mengalami batuk terutama setelah meminum
susu. Pasien sempat mengalami muntah 1x setelah batuk. Setelah terjadi hal ini,
pasien terlihat susah saat bernapas. Selain itu, ibu pasien mengeluhkan perut
kembung pada pasien yang terjadi sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengalami
susah BAB, pernah tidak BAB dalam 10 hari. Saat BAB, biasanya BAB keluar
mencret dan angin sehingga tampak menyemprot. Adapun hasil pemeriksaan fisik
yang ditemukan adalah kesadaran komposmentis pada pasien, suhu meningkat
dan frekuensi pernapasan normal, tidak ada distensi abdomen, bising usus normal.
Pada pemeriksaan penunjang, foto thoraks ditemukan adanya gambaran infiltrat
pada lobus kanan pada percabangan bronkus kanan dan kiri serta adanya
leukositosis pada hasil pemeriksaan darah lengkap, dan pada pemeriksaan foto
polos abdomen, rektosigmoidografi, dan foto BNO ditemukan adanya kolon yang
berdilatasi dan terdapat penyempitan pada daerah kolon rektosigmoid. Jika
ditelaah berdasarkan anamnesis hingga pemeriksaan penunjang, maka didapatkan
kesimpulan bahwa telah sesuai dari diagnosis dan penatalaksanaan pada pasien ini
dengan literature yang kami dapatkan.

52

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis


Perifer. In : Soepardi EA, Iskandar N editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2007.
2. Maisel R, Levine S, 1997. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar
Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC.
3. K.J.Lee. Essential Otolaryngology and Head and Neck Surgery. IIIrd Edition,
Chapter 10 : Facial Nerve Paralysis.2006.
4. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar
ilmu bedah Sjamsuhidajat De Jong, Ed 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2007.
5. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston textbook of
surgery: the biological basis of modern surgical practice 19th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2012.
6. SM. Lumbantobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2006.
7. Peter Duus. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Jakarta : Balai Pustaka, 1996.
8. John
YS
Kim.
Facial
Nerve
www.emedicine.com/plastic/topic522.htm.

Paralysis.

Diakses

dari

9. May, Mark and Barry M. Schaizkin. The Facial Nerve. New York : Thieme,
2000.
10. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB,
Pollock RE. Schwartzs principles of surgery, 9th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc. 2010.

53

Anda mungkin juga menyukai