Anda di halaman 1dari 7

REVIEW MATERI

ISLAMIC STUDIES
(Ahmad Baso dan Tedi Kholiyudin)
Islam Indonesia, Islam yang Ramah Budaya

Pengantar
Islamic Studies atau all about Islam, pembelajaran tentang Islam rasanya tidak
habis dan tidak ada hentinya dibicarakan, dibahas, dan dikupas intisarinya di
berbagai negara di belahan dunia, baik negara yang menjadikan Islam sebagai
landasan dasar pemerintahannya, negara yang hanya mayoritas penduduknya
beragama Islam tanpa menerapkan Islam sebagai landasan dasar pemerintahannya,
negara dengan penduduk minoritas muslim, atau bahkan di negara yang tidak
mengakui keberadaan agama apapaun sama sekali. Begitupun di Indonesia,
bahasan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam, seringkali di bahas,
bahkan termasuk sesuatu yang sudah lumrah didengar. Di Indonesia, pembahasan
tentang Islam seringkali dikaitkan dengan seluruh sendi-sendi kehidupan manusia,
dikaitkan dengan ekonomi, budaya, sosial, dan politik.
Di Indonesia khususnya, beberapa bulan terakhir, tepatnya sekitar tahun lalu
muncul isu tentang Islam yang sedang hangat dibicarakan sampai saat ini, yakni
bahasan tentang Islam Nusantara. Islam Nusantara atau yang sering dipahami juga
oleh khalayak sebagai Islam Indonesia memang menarik untuk dikaji, selain karena
banyaknya kontroversi yang muncul menyikapi gagasan tersebut, juga karena Islam
Nusantara merupakan bahasa intelektual sebagian besar para ulama dan cendekiawan

terkemuka di Indonesia dalam menerjemahkan dan menginterpretasikan Islam yang


bersumber dari Quran, Hadits Nabi, Ijma, dan Qiyas kedalam budaya Indonesia.
Tulisan ini tidak akan membahas tentang kontroversi yang muncul akibat
munculnya gagasan Islam Nusantara. Bahasan tulisan ini lebih menekankan pada
aspek historis dan perjalanan Islam Nusantara di Indonesia.
Sejarah, Konsep, dan Bentuk Islam Nusantara
Membicarakan Islam Nusantara, artinya membahas keberadaan dan eksistensi
Islam di bumi Indonesia. Membicarakannya, tentu sama dengan membicarakan hal
gagasan lain yang tidak akan terlepas dari akar historisnya.
Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat, India, Persia, Arab,
dan Cina selama abad ke-11, meskipun muslim telah mendatangi Nusantara
sebelumnya.1 Satu-satunya sumber yang dapat membuktikan bahwa Islam masuk
sekitar abad 11 adalah ditemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar,
Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu
terdapat prasaati huruf Arab Riqah yang berangka tahun, jika dimasehikan sekitar
tahun 1082.2
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya
jaringan perdagangan di luar kepulauan nusantara. Pedagang dan bangsawan dari
kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Hal
tersebut dapat dibuktikan oleh pernyataan Othman Yatim3, dkk dalam bukunya yang
mengatakan bahwa pada abad 13 Masehi ditemukan batu nisan dikuburan seorang
1 Penyebaran Islam di Nusantara, Wikipedia.com.
2 Tanaya, Proses Masuknya Islam di Indonesia (Nusantara),Artikel, 2008.
Diunduh dari https://sejarawan.wordpress.com/2008/01/21/prosesmasuknya-islam-di-indonesia-nusantara/, tanggal 8 Mei 2016 : 10 : 56.

sultan, yaitu Sultan Pasai yang bernama Malik al-Salih yang meninggal pada tahun
1297 Masehi.
Dianutnya agama Islam oleh para bangsawan kerajaan, turut serta membantu
penyebaran agama Islam. Hal itu dikarenakan, kerajaan mempunyai otoritas tertinggi
dalam mengatur dan membuat kebijakan terkait kehidupan rakyatnya. Sebagai
contoh, Salah satu kerajaan besar Islam di Nusantara yaitu Kerajaan Aceh
Darussalam, yang berdiri pada Tanggal 12 Dzulqaidah Tahun 916 H/1511 M.
Kontribusi

pemerintahan

kerajaan

ini

dalam

keikutsertaannya

menyebarluaskan agama Islam, diantaranya dalam bidang ilmu pengetahuan dan


keagamaan yang diperkuatnya melalui lembaga-lembaga kajian ilmiah. Lembagalembaga kajian ilmiah tersebut terdiri atas : 1) Balai Sertia Ulama' (jawatan
pendidikan) 2) Balai Jama'ah Himpunan Ulama' yang merupakan studi klub vang
beranggotakan para ahli agama. 3) Balai Sertia Hukama' (Lembaga Pengembangan
Ilmu Pengetahuan). Adapun lembaga pendidikan yang terdapat di sana, meliputi : 1)
Meunasah (Ibtidaiyah). 2) Kangkang (Tsanawiyah), untuk tingkat ini belajarnya di
masjid dan yang dipelajari adalah kitab-kitab Ilmu Hisab, Al-Qur'an, Ilmu Falaq,
Fiqih dan Hadits. 3) Daya (Aliyah), tingkat ini berpusat di masjid-masjid besar. 4)
Daya Teuku Cik (Perguruan Tmggi) dan lain sebagainya.4
Kemajuan dalam berbagai bidang tersebut seperti dikuatkan oleh pernyataan
B. Schiere dalam bukunya "Indonesian Sociological Studies" yang dikutip oleh Yahya
Harun5, ia mengatakan : Aceh adalah pusat perdagangan Muslim India dan ahli
3 Yatim, Othman dan Nasir, Abdul Halim, Efigrafi Islam Terawal di
Nusantara, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pusataka Kementerian
Pendidikan Malaysia, 1990 : viii.
4 Harun, Yahya, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, Yogyakarta :
PT. Kurnia Kalam Sejahtera, 1995 : 14.

fikirnya (kaum cendekiawan dan ulama-ulama) berkumpul sehingga Aceh menjadi


pusat kegiatan studi Islam.
Berawal dari para daI yang berprofesi sebagai pedagang, kemudian
diimbangi dengan hadirnya peranan kerajaan-kerajaan di nusantara, dan yang
terpenting adalah adanya peranan intens sembilan daI

yang menetukan dan

meletakkan dasar dari jenis dan model keberislaman di nusantara, yang kemudian kita
kenal dengan sebutan Walisongo.
Model keberislaman yang diciptakan oleh Walisongo itulah yang kemudian
bisa disebut sebagai landasan dasar dari konsep Islam Nusantara. Yakni praktekpraktek keislaman yang ramah akan budaya, ramah akan ritual lokalitas dari tempat
yang menjadi target penyebaran Islam. Praktek keislaman yang tidak membuang
sekaligus kepercayaan masyarakat local sebelum Islam datang, akan tetapi tetap
menjaganya dengan diimbangi dan dimasukan nilai-nilai islami.
Konsep Islam nusantara belakangan nyaring digaungkan. Konsep tersebut
merupakan Islam khas ala Indonesia yang merupakan gabungan nilai Islam teologis
dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di tanah air.
Istilah Islam Nusantara agaknya terlalu ganjil didengar. Sama halnya jika
mendengar Islam Brunei, Islam Arab, Islam Iran, Islam Amerika, dan seterusnya.
Karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Al-Quran
dan Hadits ?. Memang benar, Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu,
akan tetapi selain memiliki landasan Nusus al-Syariah (Al-Quran dan sunnah), Islam
juga memiliki acuan Maqasid Al-Syariah (tujuan syariat). Maqasid Al-Syariah sendiri
digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqra (penelitian).6

5 Ibid,

Azyumardi Azra, ketika menjelaskan tentang apa sesungguhnya makna


terdalam dari konsep Islam Nusantara, mengatakan Islam nusantara adalah Islam
yang distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan
vernakularisasi. Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan agama di
Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (Kalam Asyari, Fiqih SyafiI, dan Tasawwuf
Ghazali) menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam
nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islam legacy) menjadi harapan
renaisans peradaban Islam global.7
Jika kita mengacu pada definisi Islam Nusantara menurut Azra, disana jelas
bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang unik, dalam artian Islam memiliki ciri
tertentu sebagai alat pembeda dengan yang lain. Unik dalam hal ini juga bisa dilihat
dari bentuk ritual dari keberislaman orang Indonesia, yaitu masih adanya budayabudaya asli masyarakat Indonesia sebelum Islam masuk. Dengan kata lain, Islam di
Indonesia disesuaikan dengan keadaan pribumi serta disesuaikan dengan kedaerahan.
Begitu dua kata yang tersusun dari netitas agama dan budaya ini ramai
dibicarakan, barulah para tokoh agama dalam hal ini, NU berikhtiar merumuskan
definisinya. Prof. Isom Yusqi salah satunya, yang menyebutkan bahwa Islam
Nusantara merupakan : istilah yang digunakan untuk merangkai ajaran dan paham
keislaman dengan budaya dan kearifan lokal nusantara yang secara prinsipil tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam.8

6 Ahmad Hilmy Hasan, Dasar epistemology dan Konsep Islam Nusantara:


Dari NU untuk Dunia, 16 des 2015.
7 Qurrahman, Taufiq, Menyikapi Gagasan Islam Nusantara, Islam
mypersona.
8 Op.cit,

Teramat jelas dari definisi yang di buat oleh Prof. Isom, bahwasanya Islam
Nusantara bukanlah sebuah sekte Islam yang sengaja mengkotak-kotakkan atau
bertujuan untuk memecah belah, memporak porandakan, dan menghancur leburkan
umat Islam di Indonesia, dengan fahamnya yang dianggap bukan faham keislaman
yang diwahyukan Allah lewat Rasulullah SAW. Justru hadirnya gagasan Islam
Nusantara mempunyai tujuan untuk lebih memperkokoh bangunan keberislaman
yang telah dibangun oleh para walisongo, sebagai penyebar Islam di bumi nusantara.
Cukup satu yang perlu diperjelas, bahwa selama terdapat konteks apapun termasuk
budaya lokalitas , yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam, maka hal
tersebut yang tidak perlu lagi dikompromikan.
Islam nusantara merupakan cara pandang Islam yang sesuai dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika. Artinya, Islam Nusantara memandang perbedaan sebagai
sebuah kekayaan dan merupakan rahmat Tuhan YME, bukan menuding,
menyalahkan, menyesatkan, bahkan mengkafirkan.
Penutup
Islam Nusantara merupakan sebuah kreasi luar biasa yang menggabungkan
nilai-nilai budaya lokalitas dengan nilai luhur Islam, dengan tujuan untuk tetap
membuat agama Islam berkembang, bertambah besar, diterima dengan tanpa
terpaksa, dan diyakini sebagai ajaran yang rahmatan lil alamin. Dengan demikian,
amat keliru jika ada yang menganggap Islam Nusantara sebagai ajaran atau sekte baru
dalam Islam. Konsep Islam Nusantara merupakan pandangan umat islam Indonesia
yang melekat dengan budaya nusantara. Inilah yang menjadi landasan konsep Islam
nusantara.

Daftar Pustaka

Ahmad Hilmy Hasan, Dasar epistemology dan Konsep Islam Nusantara: Dari NU
untuk Dunia, 16 des 2015.
Mattulada, dkk. Agama dan Perubahan Sosial. 1983. Jakarta : CV Rajawali.
Harun, Yahya, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII. 1995. Yogyakarta : PT.
Kurnia Kalam Sejahtera.
Yatim, Othman dan Nasir, Abdul Halim, Efigrafi Islam Terawal di Nusantara. 1990.
Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pusataka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Qurrahman, Taufiq, Menyikapi Gagasan Islam Nusantara, Islam mypersona.
www.Wikipedia.com

Anda mungkin juga menyukai