Anda di halaman 1dari 7

A.

Definisi Karsinoma Hepatoselul or (Hepatoma)


Hepatoma disebut juga kanker hati atau karsinoma hepatoselul er atau
karsinoma hepato primer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang
tidaknormal yang di tandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang
memiliki kemampuan membelah /mitosis disertai dengan perubahan sel hati
yang menjadi ganas.
B. Etiologi
Penyebab karsinoma ini tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
terlihat :
-

Virus Hepatitis B (HBV)

Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti kuat, baik
secara epidemiologis klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV
terhadap ha ti mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan
proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan
aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya
perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif
bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan
secara tidak langsung oleh kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi
sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau bebe rapa gen
yang berubah akibat HBV ( Hussodo, 2009 ) . Koinsidensi infeksi HBV dengan
pajanan agen onkogenik lain seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya
HCC tanpa melalui sirosis hati (HCC pada hati non sirotik). Transaktifasi beberapa
promoter selular atau viral tertentu oleh gen x HBV (HBx) dapat mengakibatkan
terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx mampu
menyebabkan proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit
oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari apoptosis sel ( Hussodo, 2009) .
-

Virus Hepatitis C (HCV)

Prevalensi anti HCV pada pasien HCC di Cina dan Afrika Selatan sekitar 30%
sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70 -80%. Prevalensi anti HCV jauh
lebih tinggi pada kasus HCC dengan HbsAg -negatif daripada HbsAg -positif.
Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti HCV
positif, interval saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29
tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas
nekroinflamasi kronik dan sirosis hati ( Hussodo, 2009) .
-

Sirosis Hati

Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis hati.


Peningkatan pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di hubungkan
dengan kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan displasia praganas.

Semua tipe sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma, tetapi hubungan


ini paling besar pada hemokromatosis, sirosis terinduksi virus dan sirosis alkoholik
( Hussodo, 2009) .
-

Aflaktosin

Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang di produksi oleh jamur


Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat
karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1 -2-3-epoksid merupakan karsinogen
utama dari kelompok aflatoksin yang m ampu membentuk ikatan dengan DNA
maupun RNA. ( Hussodo, 2009) .
-

Alkohol

Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat


alkohol ( >50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC melalui
sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung
dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan HCC
pada pengidap infeksi HBV atau HCV ( Hussodo, 2009).
C. Patogenesis
Telah dipastikan terdapat tiga keterkaitan etiologik yang utama : infeksi oleh HBV,
Penyakit hati kronis (khususnya yang berkaitan dengan HCV dan alkohol) dan kasus
khusus hepatokarsinogen dalam makanan (terutama aflatoksin)
- Banyak faktor, termasuk usia, jenis kelamin, bahan kimia, virus, hormon, alkohol,
dan gizi, berinteraksi dalam pembentukan HCC. Sebagai contoh, penyakit yang
paling besar kemungkinannya menimbulkan HCC pada kenyataannya adalah
tirosinemia herediter yang sangat jarang, hampir 40% pasien akan terjangkit
tumor ini walaupun sudah dil akukan kontrol diet (Kumar, 2007).
- Patogenesis pasti HCC mungkin berbeda antara populasi prevalen HBV
insidensi tinggi versus populasi dengan insidensi rendah (Negara Barat), sedang
pada penyakit hati kronis lainnya, seperti alkoholism, HCV, dan
hemokromatosis herediter lebih sering terjadi.
- Sirosis yang terjadi tampaknya merupakan kontirubutor penting, tetapi tidak
mutlak untuk muncul HCC (Kumar, 2007) .
Banyak bukti epidemiologis yang mengaitkan infeksi HBV kronis dengan kanker
hati, dan terdapat bukti kuat yang mengisyaratkan peran infeksi HCV. Penelitian
molekular terhadap karsinogenesis HBV memperlihatkan bahwa genom HBV
tidak mengandung sekuensi onkogenik. Selain itu, tidak terdapat tempat selektif
untuk integrasi DNA virus ke genom pejamu, sehingga tidak terjadi mutasi
atau pengaktivan proto -onkogen tertentu. Faktor berikut diperkirakan berperan :

- Siklus kematian dan regenerasi sel yang berulang, seperti terjadi pada
hepatitis kronis apapun sebabnya, penting dalam patogenesis kanker hati
- Akumulasi mutasi selama siklus pembelahan kontinu sel akhirnya
menyebabkan sebagian hepatosit mengalam i transformasi. Instabilitas genom
lebih besar kemungkinannya terjadi jika terdapat DNA HBV yang terintegrasi dan
hal ini menimbulkan penyimpangan kromosom sep erti delesi, translokasi dan
duplikasi
- Analisis molekular terhadap sel tumor pada orang yang terinfeksi HBV
memperlihatkan bahwa setiap kasus bersifat klonal dalam kaitannya dengan
pola integrasi DNA HBV yang mengisyaratkan integrasi virus mendahului atau
menyertai proses transformasi
- Genom HBV mengkode suatu elemen regulatorik, protein X HBV yang
merupakan suatu activator transkripsional transacting pada banyak gen dan
terdapat di sebagian besar tumor deng an DNA HBV terintegrasi. Tampaknya di
sel hati yang terinfeksi HBV, protein X HBV menggang gu pengendalian
pertumbuhan normal dengan mengaktifkan proto onkogen sel pejamu dan
mengacaukan kontrol daur sel. Protein ini juga memiliki efek anti apoptotik
- Seperti pada virus papiloma manusia, sebagian (tetapi tid ak semua) studi
mengisyaratkan bahwa protein HBV tertentu mengikat dan mengaktifkan gen
penekan tumor TP53. Keterkaitan antara infeksi hepatitis C dan kanker hati
cukup kuat (Kumar, 2007) .
Memang dibanyak belahan dunia termasuk Jepang dan Eropa tengah, inf eksi HCV
kronis merupakan fa ktor risiko terbesar terjadinya kanker hati. HCC pada
pengidap hepatitis C hampir selalu timbul pada sirosis. Didaerah tertentu
didunia seperti Cina dan Afrika Selatan, tempat HBV endemi k juga banyak terjadi
pajanan ke aflatoksin dalam makanan yang berasal dari jamur Aspergillus
flavus . Toksin yang sangat karsinogenik ini ditemukan dalam kacang dan padi
-padian yang berjamur. Penelitian pada hewan memperlihatkan bahwa
aflatoksin dapat berikatan secara kovalen dengan DNA sel dan menyebabkan
mutasi diproto -onkogen atau gen penekan tumor terutama TP53. Namun
karsinogenesis tidak terjadi kecuali jika hati aktif secara mitosis, seperti pada kasus
hepatitis virus kronis dengan pro ses kerusakan dan perbaikan yang berulang -ulang
(Kumar, 2007) . Tidak ada satupun pengaruh yang berkaitan dengan HCV
berperan dalam pembentukan kolangiokarsinoma. Pengaruh kausal yang diakui
pada tumor yan g jarang ini adalah kolangitis sklerotikans primer, infeksi kronis
saluran empedu oleh cacing hati Opisthorchis sinensis dan yang sejenis, serta
riwayat pajanan ke Thorotrast (dahulu digunakan dalam radiografi saluran
empedu). Namun sebagian besar kolangio karsinoma timbul tanpa adanya
faktor risiko sebelumnya (Kumar, 2007) .
Stadium Klinis

Tingkat penyakit (stadium) hepatoma primer terdiri dari :


Ia : Tumor tunggal diameter 3 cm tanpa emboli tumor, tanpa metastasis
kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
Ib : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter 5 cm di separuh hati,
tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIa : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan 10 cm di
separuh hati, atau dua tumor dengan gabungan 5 cm di kedua belahan hati kiri
dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal
ataupun jauh
IIb : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan 10 cm di separuh
hati, atau tumor multiple dengan gabungan 5 cm di kedua belahan hati kiri dan
kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun
jauh
IIIa : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena
porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal jauh salah
satu daripadan ya
IIIb : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis (Desen,
2008).
D. Diagnosis
Melakukan pemeriksaan berkala bagi kelompok risiko tinggi antara lain
pengidap virus Hepatitis B dan C, dokter, promiskus, dan bagi orang yang
mempunyai anggota keluarga penderita kanker hati. Pemeriksaan dilakukan setiap
3 bulan sekali pada penderita sirosis hati dengan HBsAg positif dan pada
penderita hepatitis kronis deng an HBsAg negatif atau penderita penyakit hati
kronis atau dengan sirosis dengan HBsAg negatif pernah mendapat transfusi
atau hemodialisa diperiksa 6 bulan sekali. Diagnosis dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut dengan
keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul, terus-menerus,
kadang- kadang terasa hebat apabila bergerak. Di samping keluhan nyeri perut
ada pula keluhan seperti benjolan di perut kanan atas tanpa atau dengan
nyeri, perut membuncit karena adanya asites dan keluhan yang paling umum yaitu
merasa badan semakin lemah, anoreksia, perasaan lekas kenyang, feses hitam,
demam, bengkak kaki, perdarahan dari dub ur (Sujono, 2000) .
Pemeriksaan fisik

Biasanya hati terasa besar dan berbenjol -benjol, tepi tidak rata, tumpul,
kadang-kadang terasa nyeri bila ditekan. Bila letak tumor di lobus kiri maka
pembesaran hati terlihat di epigastrium, tapi bila tumor tersebut terletak di
lobus kanan maka pembesaran hati terlihat di hipokhondrium kanan (Sujono,
1999) .
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan Alfa fetoprotein
(AFP) yaitu protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal. Rentang
normal AFP serum adalah 0 -20 ng/ml, kadar AFP meningkat pada 60% -70%
pada penderita kanker hati. ( Hussodo, 2009)
2. Ultrasonografi (USG) Abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan FP, pasien sirosis hati dianjurkan
menjalani pe meriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada pasien
dengan risiko tinggi USG lebih sensitif dari pada AFP serum berulang. Sensitivitas
USG untuk neoplasma hati bekisar anatara 70%-80%. Tampilan USG yang khas
untuk HCC kecil adalah gambaran mosaik, formasi septum, bagian perifer
sonolusen (ber -halo), bayangan lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik,
serta penyangatan eko posterior. Berbeda dari metastasis, HCC dengan diameter
kurang dari dua sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yan g khas. USG
color Doppler sangat berguna untuk membedakan HCC dari tumor hepatik lain.
Tumor yang berada di bagian atas -belakang lobus kanan mungkin tidak dapat
terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran terlalu kecil dan isoekoik.
Modalitas imaging lain seperti CT -scan, MRI dan angiografi kadang diperlukan
untuk mendeteksi HCC, namun karena beberapa kelebihannya, USG masih tetap
merupakan alat diagnostik yang paling populer dan bermanfaat ( Hussodo, 2009) .
3. Strategi Skrining Dan Surveilans
Skrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan diagnostik pada populasi
umum, sedangkan surveillance adalah aplikasi berulang pemeriksaan diagnostik
pada populasi yang beresiko untuk suatu penyakit sebelum ada bukti bahwa
penyakit tersebut sudah terjadi. Karena sebagian dari pasien HCC dengan atau
tanpa sirosis adalah tanpa gejala untuk mendeteksi dini H CC diperlukan
strategi khusus terutama bagi pasien sirosis hati dengan HBsAg atau anti
-HCV positif. Berdasarkan atas lamanya waktu penggandaan ( doubling time)
diameter HCC yang berkisar antara 3 sampai 12 bulan (rerata 6 bulan) dianjurkan
untuk melakukan p emeriksaan AFP serum dan USG abdomen setia 3 hingga
6 bulan bagi pasien sirosis maupun hepatitis kronik B atau C. Cara ini di
Jepang terbukti dapat menurunkan jumlah pasien HCC yang terlambat dideteksi dan
sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor kecil (dini). Namun hingga kini masih

belum jelas apakah dengan demikian Juga terjadi penurunan mortalitas (liverrelated mortality) (Husodo, 2009).
E. Terapi
Karena sirosis hati yang melatar belakanginya serta tingginya kekerapan multinodularis, resektabilitas HC C sangat rendah. Di samping itu kanker ini juga
sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi
ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor,
serta derajat pemburukan hepati k. Untuk menilai status k linis, s istem skor
Child-pugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien.
Mengenai terapi HCC menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya
penelitian dengan kontrol yang membandingkan efikasi terapi bedah atau
terapi ablative lokoregion al, di samping besarnya heterogenitas kesintasan
kelompok kontrol pada berbagai penelitian individual (Husodo, 2009).
Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non -sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati
normal pilihan utama terapi adalah reseksi he patik. Namun untuk pasien sirosis
diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati
yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang dapat
digunakan untuk seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat hipertensi portal
atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan
bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5
tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya
metastasis ekstrahepatik HCC difus atau multifocal, sirosis stadium lanjut dan
penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani
operasi (Husodo, 2009).
Transplantasi Hati
Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan
untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami
disfungsi. Dilaporkan survival analisis 3 tahun mencapai 80% bahkan dengan
perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperatif dengan obat antiviral seperti
lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai survival analisis 5 tahun 92%.
Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor
bahkan mungkin diperkuat oleh obat anti rejeksi yang harus diberikan. Tumor
yang berdiameter kurang dari 3cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan
tumor yang diameternya lebih dari 5cm (Husodo, 2009) .
Ablasi Tumor Perkutan
Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil
karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar

kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan fibrosis.


Untuk tumor (diameter <5cm). PEI bermanfaat untuk pasien dengan tumor
kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non -child A.
Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang l ebih tinggi
daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3cm, namun
tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal
dan efek sampingnya lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan PEI. Guna
mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik (polyprenoic
acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada
bulan ke -38 secara bermakna dibandingkan dengan kelompok plasebo
(kelompok plasebo 49%, kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%)
(Husodo, 2009).
Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien HCC di diagnosis pada stadium menengah lanjut
(intermediate -advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan
meta analisi, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial embolization/chemo
embolization) saja yang menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta
dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan HCC yang tidak resektabel.
TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi
ha tinya cukup baik (Child-Pugh) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi
vascular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara
radikal. Sebaliknya bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh BC), serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang
berat (Husodo, 2009). Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak
resektabel seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiesterogen,
antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi art erial atau sistemik masih
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang pasti
(Husodo, 2009).

Anda mungkin juga menyukai