Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam


Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.1 Untuk menjamin
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang dibutuhkan alat bukti tertulis
yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang
diselenggarakan oleh jabatan Notaris berdasarkan jabatannya tersebut. .
Kewenangaan Notaris terkait dengan pembuatan suatu Akta lebih lanjut
diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(UUJN) yang disebutkan sebagai berikut:
Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Akta autentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh dalam hukum acara
perdata serta mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam
kehidupan masyarakat. Notaris adalah pembuat dokumen yang kuat dalam proses
hukum. Notaris dituntut untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam UUJN agar tercapai suatu akta autentik. Dalam berbagai hubungan bisnis,
kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain,
kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta autentik makin meningkat sejalan
1

Pasal 1 butir 1, UU No. 2 Tahun 2012 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris
1

dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan


ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui
akta autentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin
kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya
sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses
penyelesaian sengketa tersebut, akta autentik yang merupakan alat bukti tertulis
terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara
murah dan cepat.2
Keberadaan Notaris dalam sistem hukum telah dikenal sejak jaman
sebelum Masehi dan pertama kali dikenal dalam pemerintahan Firaun di Mesir.
Perkembangan Notaris dalam sistem hukum yang kita kenal saat ini adalah
pewarisan dari sistem hukum Roma yang kemudian mempengaruhi seluruh sistem
hukum yang ada di dunia, Sebagai contoh, Inggris yang juga mempunyai ruang
bagi Public Notary dengan Public Notary Act 1843.3
Dalam perkembangannya, fungsi dan peran Notaris diakui keberadaannya
sebagai pihak ketiga yang layak dipercaya dalam menjamin legalitas suatu
perbuatan hukum.4 Dengan melihat hal tersebut, keterlibatan seorang Notaris
sangat penting di dalam setiap pembuatan akta autentik apapun. Seorang Notaris
harus mengetahui betul perjanjian apa yang dia buat, dan perbuatan hukum atau
peristiwa apa yang telah terjadi.
Terkait dengan tugas dan kewajiban Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya:
a.

Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya
akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihakpihak yang berkepentingan karena jabatannya.

b.

Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu, artinya akta yang


dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang
berkepentingan dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris

https://dinatropika.wordpress.com/2012/04/26/etika-dan-tanggung-jawab-profesi-Notaris/,
diakses pada tanggal 27 November 2015
3
Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary atau
Electronic Notary, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 113-114
4
Ibid., hal. 114
2

harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran


isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu.5
Notaris sebagai manusia biasa secara kodratnya dapat melakukan
kesalahan baik itu bersifat pribadi maupun menyangkut jabatannya. Notaris
dituntut untuk menjunjung tinggi etika profesi hukum dalam hal ini tentunya etika
jabatan. Etika jabatan ini dirumuskan dalam bentuk tertulis yang disebut Kode
Etik Jabatan Notaris.
Dalam praktek di lapangan, tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan
oleh Notaris sehingga menimbulkan akibat hukum yang merugikan masyarakat
yang seharusnya dilindungi kepentingan hukumnya, sehingga dalam hal demikian
terjadi, peranan Majelis Pengawas Notaris diperlukan. Pengawasan pelaksanaan
jabatan Notaris sebagaimana dimaksud menurut Pasal 67 ayat (5) UUJN adalah
meliputi pengawasan terhadap perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan
Notaris yang bersangkutan. Pengawasan atas kedua aspek tersebut diperlukan
karena jabatan Notaris adalah suatu jabatan kepercayaan dan dalam melakukan
pekerjaannya, Notaris harus dapat menjaga kerahasiaan menyangkut dokumendokumen yang dibuatnya dan seorang Notaris harus memiliki moral yang baik
dan terpuji.
Salah satu perbuatan hukum yang mewajibkan keterlibatan Notaris
didalamnya adalah dalam hal pembuatan akta pendirian suatu perseoran terbatas.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT) mensyaratkan pendirian
perseroan terbatas harus dengan akta notaris sebagaimana disebutkan dalam Pasal
7 ayat (1). Kalimat dengan akta notaris menegaskan bahwa sudah menjadi
wewenang Notaris untuk membuatkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas, dimana
Permohonan

Pengesahan Badan

Hukum

Perseroan Terbatas

merupakan

wewenang pendiri bersama-sama yang dapat dilaksanakan sendiri atau dikuasakan


kepada Notaris. Sehingga dalam hal perbuatan hukum ini, seorang Notaris
dituntut untuk memberikan pemenuhan terhadap syarat-syarat pendirian Badan
Hukum Perseroan Terbatas dan menjalankan kewenangan jabatannya sessuai
dengan ketentuan UUJN. Oleh karena itu Notaris harus mampu memahami
5

Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika,
(Yogyakarta:UII Press, 2009), hal. 49
3

permasalahan yang ada sehingga mampu memberikan jawaban atas permasalahan


yang tepat terkait dengan pendirian Perseroan Terbatas. Dan dalam menjalankan
tugas jabatannya Notaris harus memperhatikan semua peraturan-peraturan terkait
jabatannya selaku pejabat umum, dan peraturan-peraturan terkait dengan
perbuatan hukum yang dibuatnya.

B.

KEDUDUKAN KASUS
Pada tanggal 22 Juni 2007, Nyonya Ineke Wijaya dan Tuan Johanes

Wijaya, pemilik Farm Johanes Wijaya (Pelapor) hendak melakukan


penandatanganan perjanjian kerjasama dengan Tuan Teuku Anwar Djohansyah
untuk mendirikan PT Golden Lobster dengan klausul bahwa PT Golden Lobster
baru akan dibentuk setelah seluruh persyaratan terpenuhi. Penandatanganan akta
dilakukan di lokasi Farm Johanes Wijaya di Desa Cogrek dibuat dihadapan
Notaris R. Syarif Budiman SH, Notaris di kota Depok (Terlapor), yang
dituangkan dalam Akta Nomor 2 Tanggal 22 Juni 2007. Pertemuan di Farm JW
dalam rangka pembuatan Akta perjanjian kerjasama tersebut merupakan
pertemuan pertama dan terakhir kalinya antara Pelapor dan Terlapor serta satusatunya Akta yang dibuat oleh Notaris R. Syarif Budiman SH (Terlapor) untuk
kepentingan Terlapor.
Setelah beberapa waktu Pelapor belum juga mendapatkan Salinan Akta
Perjanjian Kerjasama Nomor 2 tersebut. Komunikasi kepada Terlapor telah
dilakukan oleh Pelapor untuk meminta salinan akta tersebut. Namun baru pada
tanggal 16 Agustus 2007 Pelapor hanya mendapatkan foto copy salinan akta yang
dikirimkan melalui faksimili dan titipan kilat.
Pada tanggal 27 Agustus 2007 Pelapor mendatangi kantor Terlapor namun
Terlapor tidak berada di tempat dan hanya menjanjikan akan memberikan salinan
aslinya pada tanggal 28 Agustus 2007. Tidak lama setelah meninggalkan kantor
Terlapor, Pelapor memutuskan untuk kembali ke kantor Terlapor dan menunggu
Terlapor mengingat kantor tersebut sekaligus tempat tinggal Terlapor. Saat
Pelapor tiba di kantor Terlapor, Pelapor mendapati karyawan Terlapor sedang
berkomunikasi via telepon dengan Terlapor dan memegang data-data berupa Akta
4

Nomor 2 tanggal 22 Juni 2007 tentang Perjanjian Kerjasama, Akta Nomor 3


tentang Pendirian PT Golden Lobster, Akta Nomor 4 tentang Surat Kuasa untuk
memasukkan harta kekayaan CV Eksotika ke PT Golden Lobster dan Akta Nomor
5 tentang Surat Kuasa untuk memasukkan harta kekayaan Tuan Johanes Wijaya ke
PT Golden Lobster.
Pelapor terkejut dengan keberadaan Akta Nomor 3, 4 dan 5 tersebut,
karena Pelapor merasa hanya menandatangani Akta Nomor 2 tentang Perjanjian
Kerjasama pada tanggal 22 Juni 2007, dan tidak pernah menandatangani akta-akta
maupun surat-surat lain selain Akta Nomor 2 tersebut. Selain itu pada saat
penandatanganan Akta Nomor 2, tidak ada saksi-saksi yang hadir pada
penandatanganan dan tidak ada saksi yang ikut menandatangani Akta Nomor 2
dimaksud. Informasi yang diterima Pelapor dari karyawan Terlapor bahwa
karyawan Terlapor tidak tahu menahu mengenai pembuatan akta dan tidak pernah
mengetik akta-akta yang dimaksud. Penandatanganan oleh karyawan Terlapor
tersebut sebagai saksi atas perintah Terlapor dan dilakukan di kantor Terlapor.
Akibat keberadaan akta-akta selain Akta Nomor 2 tersebut diatas, Pelapor
dirugikan karena tidak dapat melakukan aktivitas sehubungan dengan bidang
usahanya yaitu penangkaran, lebih jauh lagi, seluruh asset Pelapor dikuasai, dijaga
dan diambil alih oleh PT Golden Lobster.
Pelapor melakukan tindakan hukum akibat perbuatan Terlapor, yaitu
melaporkan dan memohon kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris Kota
Depok untuk menindak tegas pelanggaran yang dilakukan oleh Terlapor.
MPD Notaris Kota Depok melakukan pemeriksaan terhadap Terlapor dan
mengeluarkan Surat tanggal 6 Oktober 2008 Nomor 40/MPD-DEPOK/X/2008
perihal penyampaian hasil pemeriksaan MPD Notaris Kota Depok atas laporan
Pelapor terhadap Terlapor, Notaris di Kota Depok. Surat tersebut disampaikan dan
diterima Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Notaris Jawa Barat pada tanggal 27
Oktober 2008 yang dilanjutkan dengan sidang pemeriksaan surat dari MPD
Notaris Kota Depok pada tanggal 25 November 2008.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh MPD Notaris Kota Depok dan
MPW Notaris Jawa Barat tersebut ditemui fakta-fakta hukum sebagai berikut:
5

1. Bahwa Terlapor benar mengakui telah melakukan membuat aktaakta pada tanggal 22 Juni 2007 sebagai berikut :
a. Akta Nomor 2 tentang perjanjian kerjasama
b. Akta Nomor 3 tentang pendirian PT Golden Lobster
c. Akta Nomor 4 tentang Surat Kuasa untuk memasukkan harta
kekayaan CV Eksotika ke PT Golden Lobster
d. Akta Nomor 5 tentang Surat Kuasa untuk memasukkan harta
kekayaan Tuan Johanes Wijaya ke PT Golden Lobster
2. Semua pembuatan dan penandatangan akta-akta dimaksud pada
butir 1 diatas tidak dihadiri oleh saksi-saksi.
3. Pembuatan Akta dengan alokasi waktu:
a. Perjanjian kerjasama dibuat jam 14.00 WIB
b. Pendirian PT Golden Lobster dibuat jam 14.25 WIB
c. Surat Kuasa Nomor 4 dibuat jam 14.40 WIB
d. Surat Kuasa Nomor 5 dibuat jam 14.55 WIB
4. Pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di tempat Pelapor
di Kp. Kandang RT 01 RW 05, Desa Cogrek, Kecamatan Parung,
Kabupaten Bogor.

C.

PERMASALAHAN

Sehubungan dengan kasus diatas, maka dalam penulisan ini akan dibahas
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1)

Apa saja pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris dalam


kasus tersebut dan bagaimana sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran
tersebut?

2)

Bagaimana analisa terkait kasus dan pemberian sanksi terhadap Notaris


sehubungan dengan kasus?

BAB II
7

PEMBAHASAN

1)

Pelanggaran

Yang Dilakukan Oleh Notaris dan Sanksi Terhadap

Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Notaris


A. Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Notaris
Berdasarkan pemeriksaan lanjutan MPW terkait perbuatan Terlapor
tersebut, maka pada tanggal 27 November 2008 MPW Notaris Jawa Barat
melakukan pemeriksaan dan klarifikasi guna kepentingan objektifitas dan
kebenaran atas kasus diatas, dan terbukti bahwa Terlapor (Notaris R. Sjarief
Budiman, SH Notaris di Kota Depok) telah melakukan hal-hal berikut:
1.

Telah menjalankan Jabatan dengan melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a. dan
huruf l. Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, yaitu:
- tidak bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga
kepentingan pihak terkait dalam perbuatan hukum (huruf a);
- tidak membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu
juga oleh penghadap, saksi dan Notaris (huruf l).

2.

Melanggar Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30


Tahun 2004, yaitu: bahwa segera setelah akta dibacakan, akta tersebut
ditandantangani oleh setiap penghadap, saksi saksi dan Notaris.

3.

Melanggar Ketentuan Pasal 3 Kode Etik Notaris tentang kewajiban


bertindak jujur, mandiri dan tidak berpihak, penuh tanggung jawab atas
akta-akta yang dibuatnya.

4.

Selain itu juga dianggap telah melanggar Pasal 4 angka 15 Kode Etik
Notaris yaitu:
Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut
sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain
namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap:
a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang JabatanNotaris;
8

b.
c.
d.

Penjelasan pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun


2004 tentang Jabatan Notaris;
Isi sumpah jabatan Notaris;
Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang telah
ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak
boleh dilakukan oleh anggota.

Pelanggaran terkait pasal tersebut adalah pelanggaran mengenai Isi


Sumpah Jabatan Notaris sebagai mana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN
Nomor 30 tahun 2004, yaitu yang berbunyi sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik
Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan
Notaris seria peraturan perundang-undangan lainnya.
bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah,
jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak.
bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan
menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi,
kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang
diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa
pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan
sesuatu kepada siapa pun."
5.

Pelanggaran lebih lanjut yang dilakukan dengan membuatkan akta-akta


Nomor 3, 4 dan 5 tanpa sepengetahuan penghadap yaitu Pelapor, membuat
akta-kata yang dibuatnya melanggar hukum. Karena pada dasarnya Notaris
hanya membuatkan akta atas kehendak (inisiatif) dari para pihak, yaitu para
penghadap. Selain itu tanda tangan yang menjadi keharusan pembuatan akta
sehingga akta tidak kehilangan sifat otentisitasnya tidak dilakukan karena
Akta Nomor 3, 4 dan 5 tidak pernah ditandantangani oleh para penghadap
yaitu Pelapor. Atas pelanggaran-pelanggaran tersebut sesuai ketentuan Pasal
16 ayat (8) UUJN Nomor 30 Tahun 2004, akta-akta tersebut hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Atas fakta-fakta tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Notaris


selaku pejabat yang hanya mengakomodir kehendak para pihak, telah dengan
tidak bertanggung jawab melakukan pelanggaran terhadap beberapa hal berikut:
1.

Notaris tidak melaksanakan syarat otentisitas akta yang harus dipenuhi,


yaitu tidak membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan tidak segera ditandatangani pada saat
itu juga.

2.

Tidak bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga


kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.

3.

Tidak memberikan pelayanan hukum kepada klien/masyarakat yang


memerlukan dengan sebaik-baiknya.

4.

Tidak memberikan penyuluhan hukum agar masyarakat menyadari hak dan


kewajibannya sebagai warga negara dan sebagai masyarakat,
Tindakan Notaris tersebut telah merugikan masyarakat pengguna jasa, juga

telah mencoreng nama baik dan citra Notaris. Hal ini dapat menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat kepada Notaris.

B. Sanksi Terhadap Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Notaris


Sanksi yang diputuskan oleh MPW Notaris Jawa Barat terhadap Terlapor
adalah:
1.

Mengusulkan diberikan sanksi berupa teguran keras dalam bentuk


tertulis.

2.

Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat Notaris agar


Terlapor diberikan sanksi pemberhentian sementara selama 3 (tiga)
bulan.

Sementara pertanggungjawaban Notaris (Terlapor) terhadap akta-akta


yangg dibuatnya tersebut selain teguran keras secara tertulis dan pemberhentian
adalah:

10

1. Membatalkan Akta Pendirian PT. Golden Lobster. Pembatalan terhadap


Akta ini harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan (Pelapor) ke
Pengadilan Negeri;
2. Membayar biaya, ganti rugi, dan bunga, apabila Pelapor merasa
dirugikan dengan akta-akta yang dibuat tanpa sepengetahuannya.
Akibat keberadaan akta-akta selain Akta Nomor 2 tersebut diatas,
Pelapor dirugikan karena tidak dapat melakukan aktivitas sehubungan
dengan bidang usahanya yaitu penangkaran, karena seluruh asset
Pelapor dikuasai, dijaga dan diambil alih oleh PT Golden Lobster.
Tuntutan ganti rugi tersebut harus dilakukan melalui Pengadilan
Negeri.
Notaris selain merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh Undang
Undang dalam membuat akta autentik, dalam menjalankan jabatannya harus
bersikap profesional dan menjunjung peraturan perundang undangan serta
menjunjung tinggi Kode Etik Notaris.
Sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab hukum dan
tanggung jawab moral. Pertanggungjawaban Notaris melekat mulai dari Notaris
diambil sumpahnya atau janji sampai kepada Notaris pensiun pada usia yang telah
ditentukan oleh peraturan jabatan Notaris.
Dalam menjalankan jabatannya Notaris tunduk dan terikat pada aturan
aturan yang ada yakni UUJN, Kode Etik Notaris, Kitab Undang Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) dan peraturan hukum lainnya.
Dalam Pasal 1 butir 9 Kode Etik Notaris disebutkan bahwa;
Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota
perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris yang melanggar ketentuan Kode Etik dan/atau dispilin organisasi.
Sanksi atas pelanggaran dari Pasal 16 ayat (1) huruf a. UUJN sebagaimana
dijelaskan diatas, dijelaskan secara terperinci dalam Pasal 16 ayat (11) yang
berbunyi sebagai sebagai berikut:

11

Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa :
a. Peringatan tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian dengan hormat;
d. Pemberhentian dengan tidak hormat.
Sehubungan dengan dikenakannya sanksi yang disebutkan diatas, dalam
Pasal 9 ayat (1)

UUJN, disebutkankan

Notaris berhenti sementara dari

jabatannya karena alasan-alasan berikut :


a. Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;
b. Berada di bawah pengampuan;
c. Melakukan perbuatan tercela;
d. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan
serta Kode Etik Notaris; atau
e. Sedang menjalani masa penahanan
Pengenaan sanksi kepada Notaris bergantung pada besarnya kesalahan
yang dibuat oleh Notaris. Dalam ketentuan mengenai sanksi yang diatur dalam
UUJN, terkait dengan pelanggaran atas ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a.
tersebut diatas, maka Pasal 85 UUJN juga mengatur mengenai pengenaan sanksi
berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pemberhentian sementara;
d. Pemberhentian dengan hormat; atau
e. Pemberhentian dengan tidak hormat.
Pengenaan sanksi atas pelanggaran tersebut diatas selaras dengan
ketentuan pengenaan sanksi yang diatur dalam Pasal 6 Kode Etik Notaris, yang
selengkapnya berbunyi:
(1).Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan
pelanggaran Kode Etik dapat berupa:
12

a) Teguran;
b) Peringatan;
c) Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan
Perkumpulan;
d) Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan;
e) Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
perkumpulan.
(2).Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai diatas terhadap
anggota yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas
dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.
Terhadap penjatuhan sanksi-sanksi tersebut juga diatur dalam
Kode Etik Notaris pada Bab VI Pasal 13 Tentang Pemecatan
Sementara yaitu Tanpa mengurangi prosedur atau tata cara
maupun penjatuhan sanksi secara bertingkat, maka terhadap
anggota Perkumpulan yang telah melanggar Undang-undang No.
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan yang bersangkutan
dinyatakan bersalah, serta dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
Pengurus Pusat wajib memecat sementara sebagai anggota
Perkumpulan disertai usul kepada Kongres agar anggota
Perkumpulan tersebut dipecat dari anggota Perkumpulan.

Selain itu karena adanya pelanggaran terhadap Pasal 44 ayat (1) UUJN,
maka pada Pasal 84 UUJN mengatur ketentuan mengenai sanksi berupa ganti
rugi, sebagaimana diatur berikut:
Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i,
Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49,
Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta
hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi
alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris

2)

Analisa Terkait Kasus dan Pemberian Sanksi Terhadap Notaris


Sehubungan Dengan Kasus
Dalam kasus diatas terjadi kerugian secara materiil yang dialami Pelapor,

karena akibat perbuatan Terlapor, Pelapor tidak bisa beraktivitas, dan adanya
pengambilalihan asset Pelapor oleh PT Golden Lobster tanpa sepengetahuan
Pelapor. Hal ini yang menyebabkan Pelapor mengajukan laporan ke Majelis

13

Pengawas Notaris untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana


mestinya.
Pembuatan

akta-akta

yang

dilakukan

Notaris

(Terlapor)

tanpa

sepengetahuan penghadap (Pelapor) dapat dikategorikan perbuatan melawan


hukum, karena akta yang dibuat cacat dalam bentuknya dan adanya penipuan
(bedrog), karena keberadaan akta-akta yang tidak diketahui atau disembunyikan
keberadaannya dengan disengaja oleh Terlapor. Hal ini sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Pasal 1869 KUHPerdata, yang berbunyi:
Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik,
baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum
yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya,
mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila
ditandatangani oleh para pihak
Pengenaan sanksi kepada Terlapor tersebut diatas telah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang diatur terkait dengan Jabatan Notaris, yaitu dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.
Dalam hal Pelapor hendak menindaklanjuti gugatan atas kerugiannya,
maka secara perdata dapat melakukannya melalui jalur Pengadilan Negeri.
Meskipun telah sesuai, namun menurut Penulis, sanksi yang diberikan
kurang memberikan efek jera bagi Notaris yang dengan sadar melakukan
perbuatan melanggar hukum seperti yang dilakukan Terlapor, karena sanksi
berupa teguran tertulis dan pemberhentian sementara hanya selama 3 (tiga) bulan
menurut Penulis cukup ringan.
Akibat sanksi yang tidak memberikan efek jera tersebut, dapat saja
menimbulkan potensi pelanggaran serupa dilakukan karena pelaku pelanggaran
merasa hukuman yang diterimanya tidak terlalu berat. Selain itu juga memberikan
citra (image) negatif bagi pihak masyarakat bahwa Notaris itu tidak dapat
dipercaya.

14

BAB III
PENUTUP

A.

KESIMPULAN
Notaris adalah pejabat yang berwenang membuat akta autentik, dan salah

satu bentuk akta autentik adalah Akta Pendirian Perseroan Terbatas.


Berdasarkan hasil analisa kasus tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Kewenangan Notaris dalam membuat akta autentik terletak pada pasal 15
ayat (1) UUJN, dimana posisi Notaris adalah pihak yang netral (tidak
berpihak), pihak yang memberikan jasa terhadap keinginan para pihak
dalam bentuk solusi pembuatan akta. Dan dalam membuat akta autentik
haruslah berdasar pada pasal 16 ayat (1) UUJN yaitu menjunjung tinggi
sikap jujur dan terbuka dalam memberikan pelayanan yang terbaik, dengan
ketelitian dalam memahami permasalahan secara terperinci tanpa adanya
yang terlewatkan, mandiri tidak terpengaruh pendapat pihak lain.
2. Tujuan diadakannya pengawasan Notaris dan Kode Etik Notaris untuk
terciptanya perlindungan terhadap masyarakat dan melindungi profesi
Notaris, agar tetap berada dalam koridor hukum.
B.
SARAN
Dikarenakan seorang Notaris mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap
akta akta yang dibuatnya secara notaril maka saran dari penulis adalah :
1. Pembuatan akta yang dilakukan oleh seorang Notaris yang tidak sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Kode Etik jabatan
Notaris yang bersangkutan.
2. Sebagai profesi khusus seorang Notaris juga harus dibekali dengan
keahlian dalam pendidikan dan pelatihan khusus yang dimana menuntut
Notaris untuk memiliki pengetahuan yang luas, serta bertanggung jawab
15

untuk melayani kepentingan umum, dan dalam menjalani tugas harus


menjunjuang tinggi martabat profesi sebagai jabatan kepercayaan dan
terhormat.
3. Notaris diharapkan dengan sungguh sungguh ketika membuat akta, maka
wajib mengikuti ketentuan yang berlaku agar terhindar dari permasalahan
hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum


dan Etika. Yogyakarta: UII Press, 2009.
Makarim, Edmon. Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang
Cybernotary atau Electronic Notary. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,
2013.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
16

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris


Kode Etik Notaris
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
https://dinatropika.wordpress.com/2012/04/26/etika-dan-tanggung-jawab-profesiNotaris/, diakses pada tanggal 27 November 2015
Putusan Majelis Pengawas Notaris Wilayah Jawa Barat Nomor 226/MPWJABAR/2008

MARGARET GOZALI
JAKARTA, JANUARI 2016

17

Anda mungkin juga menyukai