IMUNOPATOLOGI 2
Disusun oleh :
Theresia Nurida A.
(108114126)
Lukas Surya W.
(108114128)
Trifonia Rosa K.
(108114131)
Retno Pamungkas
(108114135)
Maria Jessica C. D.
(108114138)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
Rheumatoid Arthritis kerap dikaitkan dengan kelainan hipersensitivitas tipe III. Hal
ini dikarenakan dalam pemeriksaanya kerap ditemukan adanya kompleks imunoglobulin G
yang berada pada cairan sendi yang menyebabkan terjadinya inflamasi. Selain itu, RA
merupakan kelainan sistem imun yang merupakan autoimun disease. Hal ini dikarenakan
pada dasarnya terjadi kelainan pada sel-sel limfosit yang mengakibatkan teraktivasinya jalurjalur imun dan protein-protein imun sehingga terjadi reaksi inflamasi.
C. PATOFISIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIS
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan perubahan konformasi pada sendi akibat
adanya inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan karena adanya
kelainan pada sistem imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya hipersensitivitas tipe III
dan adanya kelainan autoimun yang memicu teraktivasinya sistem imun secara berlebihan.
1. Patofisiologi Hipersensitivitas tipe III
Secara umum, hipersensitivitas tipe III adalah kelainan sistem imun yang
disebabkan adanya kompleks antibodi (imunoglobulin) yang kemudian menjadi suatu
antigen yang mengaktivasi jalur komplemen. Karena kompleks antibodi ini mengaktivasi
jalur komplemen klasik, maka akan terjadi sekresi protein-protein imun dan sel-sel imun
yang kemudian dapat memicu reaksi inflamasi sehingga dapat melukai sel ataupun bagian
dimana kompleks imun tersebut terbentuk seperti persendian dan glomerulus nefron.
Berbeda dengan hipersensitivitas tipe II, kompleks imun yang terbentuk
disebabkan oleh antigen yang terlarut dalam cairan (plasma, sinovial, dan cairan tubuh
lain) sehingga tidak terjadi kompleks dengan sel tubuh. Hipersensitivitas tipe III ini dipicu
oleh berbagai sebab seperti kelainan autoimun, toxin bakteri, maupun antigen yang
terpapar dari luar seperti spora jamur (Marc, 2009).
Proses yang terjadi adalah sebagai berikut :
Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus yang dapat
memicu pembentukan kompleks dari imunoglobulin tertentu. Beberapa antigen yang dapat
memicu kompleks antibodi adalah antigen dari dalam diri (autoimun) seperti vimetin,
fibrin, dll, kemudian dikatakan adanya infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya alergen
seperti spoa dari aspergilus yang menyebabkan terjadinya kompleks antibodi ada paruparu. Kompleks antibodi kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2009).
Pada akhirnya, akan terjadi migrasi sel-sel imun seperti netrofil, basofil, dan
eosinofil yang juga melepaskan mediator-mediator inflamasi dan menyebabkan
peradangan sendi.
2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Terkait Hipersensitivitas Tipe III
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena penyebab
internal berupa genetik maupun eksternal berupa antigen-antigen khusus (toksin bakteri
dan rokok). Dari segi genetik, seseorang akan mengalami peningkatan prosentase
menderita RA apabila pada DNA nya terdapat gen HLA-DRB1 yang diekspresikan.
Pengekspresian gen ini akan menyebabkan perubahan epitope pada sel limfosti yang
nantinya akan berikatan dengan MHC dan menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada
orang normal. Antibodi ini disebut dengan ACPA (Anti Citrunillated Protein Antigen).
ACPA akan berikatan dengan protein-protein tersitrunilasi dan menyebabkan pembentukan
kompleks imun pada sendi yang disebut Rheumatoid Factor (RF) (Mclnnes, 2011).
Selain adanya gen HLA-DRB1 yang diekspresikan, beberapa faktor eksternal juga
mempengaruhi terjadinya RA. Salah satu agen yang paling banyak menyebabkan RA
adalah rokok. Rokok dapat memicu terjadinya sitrunilasi pada protein-protein yang berada
dalam jaringan ikat seperti vimetin. Vimetin merupakan protein yang terdapat banyak pada
sel-sel jaringan ikat terutama persendian. Pada penderita RA, vimetin tersitrunilasi
merupakan antigen utama pemicu kelainan ini. Selain itu, beberapa sekret bakteri dapat
menyebabkan terjadinya sitrunilasi tersebut (Klareskog, 2006). Apabila terdapat sitrunilasi
protein maka akan terbentuk antigen tersitrunilasi dan ACPA akan berikatan dengan
antigen tersebut sehingga terjadilah kompleks imun (RF). Dalam diagnosisnya, ACPA
positif belum tentu menunjukkan adanya RF. Hal ini dikarenakan walaupun terdapat
4
ACPA, namun belum tentu seorang penderita terpapar dengan antigen tersitrunilasi
sehingga belum tentu terbentuk kompleks imun (Scott, 2010). Selain itu, walaupun tidak
diekspresikanya gen HLA-DRB1, dengan adanya antigen RA (protein tersitrunilasi),
aktivasi sel-sel imun pada cairan sinovial akan terjadi sehingga menyebabkan
terbentuknya IgG yang berlebihan dan membentuk kompleks (Ursum, 2009).
3. Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis
Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel myeloid dan sel
dendrit yang melimpah. Sel-sel ini akan terkatifasi dengan adanya antigen berupa protein
tersitrunilasi. Sel T helper terutama Th 1 dan Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan
berbagai mediator-mediator inflamasi seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa
sedangkan sel dendrit dan myeloid akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan, TGFbeta. Protein-protein inflamasi ini akan menyebabkan deferensiasi IL-17 meningkat dan
menurunkan deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan sistem imun). Pada
penderita RA, ditemukan dalam cairan sinovialnya sel T regulatory yang memiliki
penurunan fungsi, sehingga tidak ada proses supresi dari mediator-mediator inflamasi. Hal
ini mengakibatkan adanya inflamasi pada daerah persendian. Sel B (CD20) yang
membantu Sel T pada membran sinovial juga akan membentuk sel B plasma yang akan
mensekresikan IgG. Pada orang dengan alele HSL-DRB1, IgG yang dihasilkan merupakan
IgG dengan FC anti protein tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk kompleks
imun dengan protein tersitrunilasi. Akibatnya, protein komplemen akan teraktivasi
menggunakan jalur klasik sehingga terjadi kerusakan pada persendian (Mclnnes, 2011).
Selain itu, sel-sel imun yang lain juga berperan dalam proses inflamasi seperti
netrofil, makrofag, sel mast, dan NK-cells. Makrofag akan mensekresikan mediatormediator inflamasi seperti IL-6, IL-1, (juga 12, 15, 18, dan 23) dan TNF alfa. Selain itu,
makrofag akan memfagositosis sel-sel tulang pada persendian sehingga menyebabkan
kerusakan sendi. Selain makrofag, netrofil juga berperan dalam patogenesis RA, sebagai
pensintesis sitokin dan senyawa oksigen reaktif. Sel Mast juga berperan dalam mensintesis
beberapa kemokin dan amina vasoaktif penyebab inflamasi pada sendi (Scott, 2010).
Beberapa sitokin yang berperan penting dalam patogenesis RA adalah IL-1, IL-6,
dan TNF alfa. Ketiga sitokin ini akan menyebabkan osteoklas sehingga menyebabkan
deformasi sendi. Keseluruhan sitokin yang diseksresikan oleh sel-sel imun melalui protein
reseptor tirosin kinase dengan jalur JAK (Mclnnes, 2011).
penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan
gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (AHRQ, 2008).
Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi,
berat badan menurun, anemia. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai
pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai
persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan
temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba
hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas
tangan dan kaki adalah hal yang umum (AHRQ, 2008).
Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :
1. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi,
edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan
sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
gangguan fungsi secara menetap
(AHRQ, 2008).
Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini
sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut pada sendisendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan
pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi
dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan
lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah
tulang tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi (AHRQ,2008).
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut
usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan
kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari,
mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi
kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat
terjadi berulang.
Kerusakan sendi berlangsung dengan rasa sakit. Gejala khas pada arthritis adalah
nyeri sendi. Nyeri hebat di pagi hari setelah istirahat malam. Nyeri juga hebat ketika
8
beristirahat daripada ketika bekerja. Kekakuan sendi adalah gejala lain. Kekakuan otot-otot
selama pagi setelah bangun terlihat pada pasien rheumatoid arthritis serta osteoarthritis.
Namun, di antara pasien dengan osteoarthritis kekakuan pergi setelah sekitar setengah jam
aktivitas. Untuk pasien rheumatoid arthritis kekakuan dapat bertahan lebih lama. Sendi bisa
menjadi meradang. Hal ini ditandai dengan kehangatan dan kemerahan dari sendi. Ada
pembengkakan di atas sendi bersama dengan kemerahan. Sendi terasa panas dan menyakitkan
untuk disentuh. Seiring waktu sendi kecil dapat rusak dan menyebabkan cacat permanen.
Cacat yang disebabkan karena erosi tulang yang berakhir pada sendi, erosi kartilago dan
pecahnya tendon di sekitar sendi. Kelainan ini bersifat terlihat di tangan dan sendi jari.
Misalnya, ibu jari yang cacat dan ini kita disebut deformitas Boutonniere jempol. Ujung jari
melengkung atau disebut cacat leher angsa dll (NHS, 2012).
Pada pasien rheumatoid arthritis mungkin terjadi radang di sekitar sendi. Ini muncul
sebagai lesi bengkak disebut nodul rematik. Ini biasanya tidak nyeri, keras, oval atau bulat
massa yang umum selama titik-titik tekanan seperti pergelangan tangan, siku, pergelangan
kaki dll. Nodul rheumatoid dapat juga terjadi pada mata atau organ lain seperti paru-paru.
Dalam paru-paru mereka dapat menyebabkan komplikasi seperti akumulasi cairan di dalam
dan sekitar paru-paru.Gejala lain dari rheumatoid arthritis adalah anemia atau rendahnya
jumlah sel darah merah. Hal ini karena mungkin ada kekurangan produksi sel darah merah
baru untuk menebus yang hilang. Jumlah trombosit juga dapat diubah (NHS, 2012).
Beberapa pasien mungkin menderita radang pembuluh darah atau vaskulitis arthritis.
Komplikasi ini mungkin mengancam nyawa. Hal ini dapat menyebabkan ulserasi kulit yang
dapat terinfeksi, ulkus lambung dan kerusakan saraf. Ulkus lambung dapat menyebabkan
komplikasi seperti perdarahan atau perforasi dan patologi saraf dapat menyebabkan nyeri,
mati rasa atau kesemutan sensasi. Pembuluh darah dari otak dan jantung juga mungkin
terlibat menyebabkan serangan jantung atau stroke. Dalam hati mungkin ada akumulasi
cairan yang disebut pericarditis. Otot-otot jantung bisa meradang menyebabkan miokarditis.
Kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa orang mungkin mengalami
peningkatan mendadak dalam gejala dan ini disebut flare-up. Flare up biasanya sulit untuk
memprediksi dan dapat terjadi lebih sering pada pagi hari setelah bangun tidur (NHS, 2012).
Rheumatoid arthritis secara keseluruhan memiliki dampak yang parah pada kualitas
hidup. Ada dampak yang parah pada fungsi fisik, sosial dan kesejahteraan emosional serta
kesehatan mental. Kondisi terkait lainnya dengan kondisi ini termasuk depresi dan kecemasan
(NHS, 2012).
RA dini (early RA/ERA) didefinisikan sebagai pasien dengan gejala yang terjadi kurang
dari 3 bulan
Pasien dengan penyakit tetap yang mempunyai gejala yang timbul karena inflamasi dan
/atau karena kerusakan sendi.
Membedakan Arthritis Dengan Inflamasi Dari Arthritis Tanpa Inflamasi
Ciri-ciri
Dengan Inflamasi
Tanpa Inflamasi
Nyeri sendi
Dengan aktivitas dan pada Dengan aktivitas
saat istirahat
Pembengkakan sendi
Jaringan lunak
Pada banyak tulang
Erythema local
Kadang-kadang
Tidak ada
Panas Lokal
Berkali-kali
Tidak ada
Kekakuan pagi hari
> 30 menit
< 30 menit
Gejala sistematik
Umum, khususnya keletihan Tidak ada
(Aleteha, et al, 2010).
Pembengkakan
atau nyeri sendi
pada 3 atau lebih
sendi
Keterlibatan
simetris
dari
tangan dan kaki
(khususnya
metacarpophalang
eal,
metatarsophalange
al)
Durasi 4 minggu
atau lebih
Psoriatic arthritis
Lupus
Reaktif arthritis
Spondyloathropaties
Polyarticular sepsis
Raynauds
Inflamasi okulariritis/uveitis
Urethritis
Inflammatory
bowel disease
Infeksius diare
Nephritis
Isolated
distal
interphalangeal
joint inflammation
10
minimal 4 dari keseluruhan 7 domain meliputi : kekakuan di pagi hari, jumlah keseluruhan
sendi yang terlibat, presence of symmethry, Rheumathoid nodule, uji faktor rheumatoid positif
(RF), dan tes perubahan radiografi. Dalam kriteria 2010, penilaian pasien ditujukan bagi
mereka dengan sinovitis klinis setidaknya 1 sendi (joint) tidak dijelaskan oleh penyakit lain.
Sistem penilaian penyakit menggunakan dari 0-5 berdasarkan dari angka dan tipe joint yang
terlibat. Joint yang terlibat didefinisikan sebagai pembengkakan sendi atau nyeri sendi pada
pemeriksaan indikasi sinovitis aktif. sendi besar (Large Joint) meliputi bahu, siku, pinggul,
lutut, dan pergelangan kaki. Sendi kecil (Small Joint) mengacu pada metacarpophalangeal
(MCP),
proximal
interphalangeal
(PIP),
2-5
Metarshophalangeal
(MTP),
sendi
interphalangeal jempol, dan pergelangan tangan, dan sendi metatarsophalangeal kecuali dari
assessment karena tergabung dalam ostheoarthritis (Aleteha, et al, 2010).
Tidak ada persyaratan khusus untuk rheumathoid tangan, arthritis nodul, atau arthritis
simetris dalam kriteria 2010. Penulis mencatat bahwa keterlibatan simetris bukan merupakan
kriteria independen dari RA, meskipun kemungkinan dari presentasi bilateral meningkat
dengan adanya peningkatan lebih besar sendi-sendi yang terlibat dan lebih progresifnya
penyakit (Aleteha, et al, 2010).
11
Mirip dengan kriteria 1987, kriteria 2010 memanfaatkan ada atau tidak adanya RF
(afinitas tinggi auto-antibodi terhadap bagian Fc immunoglobulin) sebagai salah satu domain.
Disamping itu, kriteria 2010 memanfaatkan adanya atau tidak adanya yang baru-baru in
diidentifikasi yaitu anti-citrullinated protein antibody (ACPA). Nilai dari RF dan ACPA
merupakan penanda dari disfungsi autoimun, dinilai berdasarkan range nilai; dimana
Normal didefinisikan sebagai kurang dari upper limit normal (ULN) dari hasil
laboratorium, positif-rendah diantara ULN dan kurang dari 3 kali nilai ULN, dan positif
tinggi lebih dari 3 kali nilai ULN. Penanda (marker) inflamasi, kecepatan sedimentasi
eritrosit (ESR) dan C-reactive protein (CRP) level dinilai berdasarkan referensi standar
laboratorium (Aleteha, et al, 2010).
Tidak seperti pada kriteria 1987, pada kriteria 2010 durasi terapi dipertimbangkan,
tetapi tidak dengan perubahan raiografik, sebagai faktor dari nilai akhir. Pada kriteria 2010
nilai paling tidak 6-10 dianggap cukup indikatif untuk RA, dan karenanya pasien akan
dipertimbangkan untuk menjalani pengobatan (Aleteha, et al, 2010).
Karena
itu
disarankan
menggunakan
kriteria
2010
ACR/EULAR
untuk
assessmentdari pasien yang telah ada dan yang akan datang untuk memfasilitasi lebih awal
pengobatan yang mampu mengubah perkembangan penyakit.
12
dari 1:80 tidak normal. Beberapa tes faktor rheumatoid kini dilaporkan dalam IU
(International Unit) (Eustice, 2007).
Rheumatoid Arthritic Factor (RF) adalah pemeriksaan penyaring untuk mendeteksi
adanya antibodi golongan IgM , IgG atau IgA yang terdapat dalam serum pada penderita
rheumatoid arthritis ( Nerl, 2012).
Serum dari pasien dengan rheumatoid arthritis biasanya berisi autoantibodi ke
bagian Fc IgG manusia. Autoantibodi ini disebut "faktor rematik" karena hubungan
mereka dengan penyakit terkait. Faktor Rheumatoid terutama dimiliki untuk kelas IgM
imunoglobulin. Namun, faktor rheumatoid telah dikaitkan dengan masing-masing subclass
IgG manusia dan dengan IgA dan IgE. Peningkatan kadar faktor rheumatoid tidak hadir
dalam penyakit sendi lainnya seperti osteoarthritis, ankylosing spondylitis, gout, demam
rematik, arthritis supuratif, psoriatic arthritis, arthritis colitic dan sindrom Reiter. Karena
ini tingkat kekhususan, deteksi arthritis. Faktor sangat berguna sebagai indikator
rheumatoid arthritis. tes RF dapat membantu dokter dalam deteksi, diagnosis, prognosis,
dan pemantauan terapi rheumatoid arthritis. Tes untuk faktor rheumatoid adalah tes
serologi yang paling banyak digunakan sebagai bantuan untuk diagnosis rheumatoid
arthritis. Metode penentuan RF meliputi presipitasi kapiler, radioimmunoassay, laser dan
tingkat nephelometry dan tes aglutinasi partikel (Nerl, 2012).
2. UJI ACPA
Test ACPA dikenal juga sebagai tes antibody anti-cyclic citrullinated peptide (antiCCP) yang merupakan enzyme-linked immunosorbent assay dimana tes ini untuk melihat
kehadiran antibodi yang mengenali antigen tertentu yang mengandung citrulline.
Citrulline merupakan non-standar asam amino yang dibuat dengan modifikasi enzimatik
arginin (proses yang dikenal sebagai citrullination) (Suwannalai, 2011).
Antibody protein anti-citrullinated (ACPA) terlibat dalam patogenesis penyakit
rheumatoid arthritis (RA). ACPA dapat ditemukan pada awal perjalanan penyakit bahkan
sebelum onset penyakit, dan adanya ACPA pada saat diagnosis dapat memprediksi
perjalanan penyakit. Selain itu, ACPA dapat berkontribusi untuk patogenesis penyakit
dengan mengaktifkan sel-sel kekebalan tubuh dan sistem komplemen. Respon ACPA
kemungkinan merupakan respon B-sel T-cell-dependent, mengingat sifat protein dari
antigen yang dikenali dan mengikat kuat dengan antigen leukosit manusia bersama-sama
dengan alel epitop. Evolusi seperti respon biasanya ditandai dengan gelombang pertama
antibodi IgM setelah kontak dengan antigen pertama, segera diikuti oleh kehadiran IgG.
14
Setelah paparan antigen berulang, respon IgG yang lebih didorong sedangkan penurunan
puncak IgM. Pengamatan terakhir ini dijelaskan oleh kehadiran Ig-switched, afinitas
matang, sel memori B yang terbentuk dalam kehadiran sel T CD4 +. Sel-sel T helper
memberikan aktivitas yang diperlukan untuk pematangan afinitas, switching isotipe dan
pembentukan sel memori (Suwannalai, 2011).
ACPA tes didasarkan pada deteksi autoantibodi dengan ELISA atau MEIA atau
immunoenzymofluorimetry. Pemeriksaan ACPA meliputi anti-cyclic citrullinated peptide
(Anti- CCP) dan anti-mutated citrullinated vimentin (anti-MCV).
-
e, 2012).
Pada sel, beberapa protein struktural menjalani 'citrullination' di bawah arahan
enzim seluler. Residu arginin menjalani deimination untuk membentuk asam amino
non-standar citrulline. Peptida citrullinated lebih cocok ke dalam HLA-DR4 molekul
15
16
3. X-RAY
X-ray sendi mungkin normal atau hanya menunjukkan pembengkakan jaringan
lunak pada awal penyakit. Sebagai penyakit berlangsung, X-ray dapat memperlihatkan
erosi tulang khas rheumatoid arthritis pada sendi. Sendi X-ray dapat membantu dalam
memantau perkembangan penyakit dan kerusakan sendi dari waktu ke waktu. Scanning
tulang, prosedurnya menggunakan sedikit zat radioaktif, juga dapat digunakan untuk
menunjukkan sendi yang meradang. Pemindaian MRI juga dapat digunakan untuk
menunjukkan kerusakan sendi (Stoppler, 2013).
American College of Rheumatology telah mengembangkan sistem untuk
mengklasifikasikan rheumatoid arthritis yang terutama didasarkan pada penampilan X-ray
dari sendi. Sistem ini membantu para profesional medis menggolongkan keparahan
rheumatoid arthritis sehubungan dengan tulang rawan, ligamen, dan tulang.
Tahap I
Tidak ada kerusakan terlihat pada X-ray, meskipun mungkin ada tanda-tanda
penipisan tulang
Tahap II
1. Pada X-ray terlihat bukti penipisan tulang di sekitar sendi dengan atau tanpa/sedikit
kerusakan tulang
2. Kemungkinan adanya sedikit kerusakan tulang rawan
3. Mobilitas sendi mungkin terbatas, tidak ada kelainan bentuk sendi
4. Atropi pada otot yang berdampingan
5. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak disekitar sendi
17
Tahap III
1. Pada X-ray, terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan penipisan tulang di
sekitar sendi
2. Deformitas sendi tanpa pengkakuan permanen atau fiksasi sendi
3. Atrofi otot yang ekstensif
4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak di sekitar sendi
Tahap IV
1. Pada X-ray terlihat bukti kerusakan tulang rawan dan tulang dan osteoporosis di
sekitar sendi
2. Deformitas sendi dengan fiksasi permanen sendi (disebut sebagai ankilosis)
3. Atrofi otot yang ekstensif
4. Kemungkinan adanya kelainan jaringan lunak sekitar sendi (Stoppler, 2013).
Reumatologis juga mengklasifikasikan status fungsional penderita RA sebagai
berikut:
Kelas I
Kelas II : mampu melakukan kegiatan perawatan diri dan pekerjaan biasa tapi terbatas
dalam kegiatan diluar pekerjaan (seperti berolahraga, pekerjaan rumah tangga)
Kelas III : mampu melakukan aktivitas perawatan diri biasa tapi terbatas dalam pekerjaan
dan kegiatan lainnya
Kelas IV : terbatas dalam kemampuan untuk melakukan perawatan diri biasa, pekerjaan,
dan kegiatan lainnya (Stoppler, 2013).
penyakit. RA merupakan penyakit yang tidak hanya pada sendi, namun seluruh tubuh. Dan
18
pasien yang mempunyai RA memiliki inflamasi sistemik yang merata pada seluruh tubuh,
dan ditunjukkan pada laju endap eritrosit (Ruderman, 2008).
Salah satu metode yang digunakan untuk pemeriksaan laju endap darah adalah
metode westergren.
a. Metode Westergren
Keseluruhan serum di anti koagulasi dengan sodium sitrat dan didiamkan.
Setelah 1 jam, jarak dalam milimeter antara bagian atas tube dan sedimen eritrosit yang
terukur. Nilai normal tidak disesuaikan dengan umur dan gender pada beberapa
laboratorium, padahal karakteristik ini mempengaruhi laju endap darah. Laju endap
darah umumnya meningkat bersamaan dengan usia dan agak meningkat pada wanita.
Batasan tinggi normal pada pria adalah sama dengan usia dibagi 2, sedangkan pada
wanita, ditambah usia ditambah 10 dan dibagi 2 (Klipple, 2008).
Laju endap darah dapat diguNakan untuk mengidentifikasi seberapa keparahan
yang diderita pasien awal dalam menentukan artritis mereka, dan juga digunakan untuk
memonitor terapi. Pasien yang pengobatannya tepat dan perkembangan penyakit yang
membaik, akan menunjukan laju endap eritrosit yang menurun dan dapat menunjukan
respon dari pengobatan (Ruderman, 2008).
b. C-Reactive Protein (CRP)
Selama proses inflamasi, protein abnormal spesifik yang disebut C-reactive
protein (CRP) muncul dalam darah pada respon inflamasi sitokin seperti IL-6. Protein
ini hampir tidak ada pada serum darah orang sehat. Level CRP dapat meningkat
dramatis (100 kali atau lebih) setelah trauma parah, infeksi bakteri, inflamasi, bedah,
atau proliferasi neoplastik. Pengukuran CRP sudah banyak digunakan dalam aktivitas
penilaian dari penyakit inflamasi, untuk mendeteksi infeksi setelah bedah, untuk
mendeteksi penolakan transplantasi, dan memonitor progres inflamasi (Fishbach,
2009).
Level serum CRP berubah dengan cepat dibandingkan laju endap darah; dengan
stimulus yang adekuat, CRP dapat meningkat dalam waktu 4 sampai 6 jam dan normal
dalam 1 minggu. CRP sering diukur secara simultan dengan laju endap darah sebagai
pengukuran inflamasi yang umum (McNeil, 2005).
c. Metode Nephelometri
Nephelometri menggunakan antibodi untuk berikatan dengan target protein dan
mengukur penyebaran cahaya oleh antigen-antibodi kompleks. ELISA menggunakan
coated plate untuk membentuk ikatan kompleks antibodi-antigen. Ikatan kompleks ini
19
dideteksi oleh tambahan antibodi kedua yang dilabeli dengan enzin, kemudian
dicampurkan dengan substrat, menghasilkan warna yang dapat diukur dengan
spektrofotometri. Karena CRP adalah serum protein stabil dan pengukurannya tidak
mempengaruhi komponen serum yang lain, maka cenderung kurang tidak tetap
dibandingkan laju endap darah. CRP dipengaruhi oleh usia dan gender. Umumnya,
level <0,2 mg/dL dinilai normal dan level >1 mg/dL dianggap konsisten dengan
inflamasi (McNeil, 2005).
G. PENATALAKSANAAN TERAPI RHEUMATOID ARTHRITIS
1. Non-farmakologi (lifestyle)
Terapi non-farmakologi RA, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Berhenti merokok
b. Melakukan operasi penggantian sendi
c. Memelihara aktivitas fisik
d. Melakukan diet sehat
e. Menjaga berat badan agar tetap ideal
Intervensi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Melakukan olahraga teratur
b. Melakukan terapi okupasi
c. Hidroterapi
d. Memberikan edukasi kepada pasien
Glukokortikoid
Pada awal inflamasi arthritis, steroid dapat diberikan sebagai dosis tunggal, baik
secara intramuskuler atau intra-arterikuler untuk menginduksi berkurangnya
inflamasi. Prednison pada dosis rendah dapat digunakan untuk meredakan gejala
jangka pendek dan tanda-tanda penyakit dari RA (Gcelu and Kalla, 2011).
Leflunomide
merupakan
DMARDs
yang
menghambat
sintesis
pirimidin,
memperlambat pertumbuhan gigi atau tulang pada bayi setelah lahir serta
menyebabkan perubahan warna gigi bayi yang baru lahir ketika diambil selama
paruh terakhir kehamilan. Minocycline dapat mengurangi efektivitas beberapa pil
KB (Singh, et al, 2012).
6) Garam Emas
Garam emas merupakan DMARD yang sekarang sedang banyak digunakan di
negara-negara maju. Bentuk sediaan yang biasa digunakan adalah injeksi dengan
dosis 50mg/minggu. Cara kerja dari obat ini belum banyak diketahui dengan pasti
(Singh, et al 2012).
c. Terapi DMARD Biologis
DMARDs biologis memberikan kontrol peradangan yang cepat dan telah
terbukti keampuhannya baik dari segi hasil klinis dan kerusakan struktural pada awal
penyakit. Terapi biologis efektif ketika obat DMARDs tidak berhasil dalam terapi RA.
Namun, DMARDs biologis lebih mahal daripada DMARDs tradisional, dan ini
membatasi penggunaannya pada awal penyakit (Gcelu and Kalla, 2011). Terapi biologis
adalah rekayasa genetika molekul protein yang memblok proinflamasi sitokin TNF-alfa
dan IL-1, mengurangi sel B perifer, atau berikatan dengan CD80/86 pada sel T untuk
mencegah co-stimulasi yang dibutuhkan untuk melengkapi aktivitas sel T. Obat-obat
penghambat sitokin TNF-alfa antara lain infliximab, etanercept, adalimumab,
penghambat IL-1 yaitu anakinra, pengurang sel B perifer yaitu rituximab dan yang
berikatan dengan CD80/86 yaitu abatecept (Singh, et al 2012).
1) Etanercept
Etanercept adalah protein fusi yang terdiri dari 2 reseptor TNF p75 terkait dengan
fragmen fc dari IgG1 manusia. Ikatan obat dengan TNF, sehingga secara biologis
membuat etanercept aktif dan mencegahnya berinteraksi dengan permukaan sel
reseptor TNF yang menyebabbkan aktivasi sel. Obat ini diberikan secara injeksi
subkutan, 50 mg sekali seminggu atau 25 mg dua kali seminggu. Pemberian
etanercept dihindari oleh pasien dengan multipel sklerosis. Banyak uji klinik telah
menggunakan etanercept pada pasien yang gagal terapinya menggunakan DMARDs
(Singh, et al 2012).
2) Infliximab
23
Infliximab merupakan antibodi simerik gabungan dari IgG 1 tikus dan manusia.
sebuah antibodi anti-TNF yang diciptakan dengan mengekspos tikus ke TNF
manusia. Bagian yang berikatan dari antibodi tersebut digabungkan ke bagian IgG
kontan manusia untuk mengurangi antigenitas dari protein asing. Antibodi tersebut,
ketika diinjeksikan pada manusia, berikatan dengan TNF dan mencegah interaksi
dengan reseptor TNF pada sel inflamasi. Infliximab diberikan secara infusi intavena
dengan dosis 3 mg/kg pada 0, 2, dan 6 minggu dan kemudian setiap 8 minggu.
Untuk mencegah pembentukan antibodi karena ada protein asing, methotrexate
seharusnya diberikan secara oral pada dosis tipikal yang digunakan untuk terapi RA
sepanjang pasien menggunakan infliximab. Infliximab diindikasikan untuk psoriatrik
artritis dan ankylosing spondylitis (Singh, et al 2012).
3) Adalimumab
Adalimumab merupakan antibodi IgG1 manusia terhadap TNF. Karena tidak ada
komponen protein asing, adalimumab kurang antigenik dari pada infliximab. Obat
ini disediakan dalam bentuk injeksi 40 mg, yang diaplikasikan secara subkutan
setiap 14 hari (Singh, et al 2012).
4) Antagonis reseptor IL-1
Anakinra adalah sebuah antagonis reseptor IL-1 yang merupakan antiinflamasi yang
terjadi secara alami. Dengan berikatan pada reseptor IL-1 pada sel target dapat
mencegah interaksi antara IL-1 dengan sel. IL-1 sangat penting dalam patogenesis
RA. IL-1 menstimulasi pelepasan faktor kemotaksis dan molekul adhesi, dan
memperantarai perpindahan dari leukosit ke jaringan. Selain itu juga melepaskan
faktor yang diketahui dapat memperbesar pembuluh darah dan direct sitotoksin yang
menghasilkan kerusakan jaringan (Singh, et al 2012).
5) Abatacept
Abatacept merupakan modulator co-stimulan yang terbukti mengobati RA pada
pasien dengan untuk penyakit sedang hingga berat yang gagal mencapai respon yang
memadai dari satu atau lebih DMARD. Dengan berikatan pada reseptor CD80/CD86
di sel antigen, abatacept menghambat interaksi antara sel antigen dan sel T,
mencegah sel T mengativasi proses inflamasi, yang mana menghasilkan
pengurangan sitokin, proliferasi sel T, dan konsekuensi lainnya dari aktivasi sel T.
Abatacept adalah perpaduan protein yang digunakan pada ekstraseluler dari domain
4 dari antigen sitotoksik limfosit T ( bagian yang berikatan dengan obat) dan
fragmen dari domain fc dari modifikasi IgG manusia untuk mencegah fiksasi
24
komplemen. Obat ini diberikan dengan cara infus intravena berdasarkan berat pasien
( < 60 kg : 500 mg ; 60-100 kg : 750 mg ; > 100 kg ; 1000 mg) setiap 2 minggu
untuk 2 dosis setelah dosis awal dan kemudian setiap 4 minggu. Untuk pasien yang
gagal mencapai respon yang memadai dengan inhibitor TNF-alfa, setengahnya
memiliki respon klinis terhadap abatacept (Singh, et al 2012).
6) Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonal simerik yang terdiri dari protein utama
manusia dengan bagian antigen berikatan berasal dari antibodi tikus untuk
mendapatkan protein CD20 pada permukaan sel dari sel limfosit B dewasa. Ikatan
rituximab dengan sel B menghasilkan deplesi perifer sel B, dengan pemulihan
bertahap setelah beberapa bulan. Efek berkepanjangan pada sel B menghasilkan
durasi aksi yang memungkinkan untuk terapi intermiten yang bervariasi berdasarkan
reaksi gejala arthritis. Rituximab berguna bagi pasien yang terapinya gagal
menggunakan methotrexate atau inhibitor TNF. 2 infus 1000 mg diberikan 2 minggu
secara terpisah (Singh, et al 2012).
7) Tocilizumab
Tocilizumab adalah yang pertama dikelas pengobatan RA dengan menargetkan
reseptor interleukin-6 (IL-6) yang merupakan zat kimia dalam tubuh yang
menyebabkan rasa sakit dan peradangan yang sistemik menetap yang dialami
penderita Artritis Rematoid. Tocilizumab adalah suatu antibodi yang menghambat
titik dimana IL-6 menempel pada permukaan sel. Ketika IL-6 tidak dapat menempel
pada sel, sel tidak dapat mengaktifkan sistem inflamasi pada RA. Tujuan dari terapi
dengan Tocilizumab adalah untuk mengurangi gejala dari RA, termasuk nyeri dan
bengkak. Studi lain juga menunjukkan hasil terapi dengan tocilizumab
memperlambat dan mencegah kerusakan lanjut pada sendi akibat penyakit RA.
Tocilizumab diberikan 4 mg per kg berat badan dengan cara diinjeksikan sekali
setiap 4 minggu (Singh, et al, 2012).
8) Certolizumab pegol
Certolizumab pegol direkomendasikan untuk terapi penyakit Rheumatoid arthritis
yang telah mencoba MTX dan DMARDs lainnya selama 6 bulan, serta memiliki
rheumatoid arthritis aktif yang parah. Certolizumab pegol memiliki struktur yang
berbeda dengan inhibitor TNF lainnya. Certolizumab pegol terdiri dari fragmen
ikatan antibodi (Fab) dari antibodi monoklonal manusia terhadap konjugasi PEG
TNF, karena itu, tidak seperti agen lainnya, tidak mengandung fragmen Ig konstan.
25
Dosis yang direkomendasikan untuk RA adalah 400 mg ( 2 kali injeksi 200 mg)
untuk awal dan pada minggu kedua dan keempat, diikuti dengan dosis 20 mg setiap
minggu (Singh, et al, 2012).
9) Golimumab
Golimumab adalah inhibitor TNF-antibodi monoklonal yang menargetkan dan
menetralkan membran yang terikat TNF-alpha. Golimumab sedang diselidiki untuk
administrasi oleh subkutan (SC) injeksi dan intravena (IV) infus. Untuk awal,
Golimumab diberikan 50 mg secara subkutan sebulan sekali (Singh, et al, 2012).
Terapi kombinasi dengan 2 atau lebih DMARDs mungkin efektif ketika terapi single
DMARDs tidak berhasil. Kombinasi antara siklosporine plus methotrexate dan methotrexate
plus sulfasalazine dan Hydroxychloroquine khususnya efektif. Suatu penelitian menyarankan
bahwa terapi kombinasi awal dengan salah satunya menggunakan methotrexate, sulfasalazine
plus prednisone, atau infliximab plus methotrexate merupakan kombinasi DMARDs pada
rheumatoid arthritis awal (Singh, et al 2012).
DM
poor respon
DMARD lain
26
Terapi kombinasi ini diperlukan untuk menekan lebih dari satu penyebab RA.
Kombinasi terapi yang sering digunakan adalah DMARD (MTX) dengan NSAID maupun
kortikosteroid. Dari kombinasi ini, penyebab imuologis dari RA dapat dihambat dengan
MTX, sedangkan rasa nyeri dari RA akibat peradangan dapat ditekan dengan NSAID atau
kortikosteroid. Penggunaan DMARD secara bersamaan juga merupakan alternatif apabila
single DMARD tidak berhasil. Hal ini penyebab RA tidak hanya dikarenaan satu hal saja
melainkan banyak. Penggunaan satu DMARD hanya akan menghambat sebagian penyebab
RA. Misalkan penggunaan MTX hanya akan menghambat pembentukan sitokin dan sintesis
purin, namun bila dilakukan kombinasi dengan sulfasalazine dapat menyebabkan hambatan
pada sintesis mediator inflamasi yang lebih luas (Singh, et al 2012).
Pengobatan lini kedua dari RA adalah menggunakan DMARD biologis. DMARD
biologis merupakan DMARD dengan kerja spesifik, misal menghambat interaksi TNF alfa
dengan reseptornya, menghambat aktivasi dari sel B CD20, dan lain sebagainya. Efek
farmakologis yang ditimbulkan dari DMARD biologis memang lebih baik karena kerjanya
yang sepesifik. Akan tetapi harganya yang sangat mahal membuat obat ini menjadi lini kedua
dalam pengobatan RA (Singh, et al 2012).
DAFTAR PUSTAKA
AHRQ,
2008,
Rheumatoid
Arthritis
Medicines:
A
Guide
for
Adults,
http://www.effectivehealthcare.ahrq.gov/repFiles/RheumArthritisConsumerGuide_Single
page.pdf, diakses pada tanggal 18 April 2013.
Aleteha, D., Neogi T., Silman, A.J., et al., 2010, Rheumathoid Arthritis Classification Criteria
: An American College Of Rheumathology/European League Against Rheumatism
Collaborative Initiative. Arthritis Rheum., 2010; 62(9): 2569-2581.
Blumental, 2012, Rheumatoid Arthritis And The Incidence Of Influenza And InfluenzaRelated Complications: A Retrospective Cohort Study BMC Musculoskeletal Disorders
2012, 13:158, 2-10.
Bose , N, MD ., 2012 , Should I Order An Anti-CCP Antibody Tes to Diagnose Rheumatoid
27
28
Ruderman, E., 2008, What is Erythrocyte Sedimentation Rate (Sed Rate) And How Is It Used
To Diagnose Rheumatoid Arthritis ?, http://abcnews.go.com/Health/PainArthritis,
diakses pada tanggal 17 April 2013.
Scott, 2010, Rheumatoid arthritis, Lancet, vol 376, 1094-1108.
Singh, J.A., et al, 2012, 2012 Update of the 2008 American College of Rheumatology
Recommendations for the Use of Disease-Modifying Antirheumatic Drugs and Biologic
Agents in the Treatment of Rheumatoid Arthritis, Arthritis Care & Research, Vol. 64, No.
5, May 2012, pp 625639.
Stoppler, M.C., 2013, Rheumatoid Arthritis,
http://www.medicinenet.com/rheumatoid_arthritis, diakses pada tanggal 17 April 2013.
Sukandar, 2009, ISO Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan, Jakarta, pp. 659.
Swannalai , P.,2011, The Fine Specificity of IgM Anti-citrullinated Protein Antibodies
(ACPA) is Different From That Of IgG ACPA, Biomed Central, Netherland.
Ursum, 2010, Different Properties Of ACPA and Igm-RF Derived From A Large Dataset:
Further Evidence Of Two Distinct Autoantibody Systems, Rhinitis Research and
Therapy, 11, no3, pp: 1-6.
29