Anda di halaman 1dari 32

Laporan Tutorial Modul 1

Bengkak pada Wajah dan Perut

Tutor: dr. Nur Gifarani


Kelompok 11
1. Aisyah Aftita (2012730005)

7. Fitri Malisa (2012730045)

2. Chandrika Karisa A (2012730021) 8. Haryoko (2012730049)


3. M. Rizki Fahlevi (2012730060)

9. Rifqoh Atiqoh (2012730085)

4. Nova Kurnia (2012730068)

10. Sarah Khairina (2012730096)

5. Faza Faisal (2012730042)

11. Ziaul Fatwa AY (2012730113)

6. Kindi Faruqi (2010730058)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2014

Kata pengantar
Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas ini. Dan tidak lupa pula Shalawat beriring salam kami sampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW karena beliau telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman
yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Kami ucapkan terima kasih kepada para pengajar, fasilitator dan narasumber atas bimbingan
dan ilmu yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Laporan ini
merupakan hasil diskusi PBL Modul 1: Bekak pada Wajah dan Perut Sistem Urogenital.
Pembahasan di dalamnya kami dapatkan dari buku-buku text book, diskusi kelompok, diskusi
dengan beberapa narasumber, dan lainnya dengan pemahaman berdasarkan pokok bahasan.
Kami sadari laporan hasil dari Modul 1 ini masih jauh dari kata sempurna. Kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaannya dan
untuk perbaikan lapoaran kedepannya.Demikian yang dapat kami sampaikan, Insya Allah laporan ini
dapat bermanfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan dapat dijadikan
pelajaran bagi adik-adik kami selanjutnya.

Jakarta, April 2014

Tim Penyusun

Tujuan Pembelajaran
Setelah pembelajaran modul ini selesai, mahasiswa diharapkan dapat me
nyebutkan penyakit-penyakit yang menyebabkan pembengkakan pada muka dan
perut, menjelaskan gejala-gejala klinis, penyebab, patomekanisme, cara-cara
diagnosis, penatalaksanaan/terapi, komplikasi dan aspek epidemiologi penyakitpenyakit yang menyebabkan pembengkakan pada muka dan perut.

TIK
Setelah pembelajaran dengan modul ini mahasiswa diharapkan dapat:
A. Menyebut penyakit-penyakit yang menyebabkan muka dan perut bengkak!
B. Menjelaskan tentang patomekanisme terjadinya penyakit-penyakit yang
menyebabkan pembengkakan pada muka dan perut
C. Menjelaskan tentang gejala-gejala klinik dari penyakit-penyakit yang
menyebabkan pembengkakan muka dan perut
D. Menjelaskan tentang cara-cara diagnosis dari penyakit-penyakit yang
menyebabkan pembengkakan muka dan perut
E. Menjelaskan tentang penatalaksanaan dari penyakit-penyakit yang
menyebabkan pembengkakan muka dan perut
F. Menjelaskan tentang prognosis dari penyakit-penyakit tersebut.
G. Menjelaskan tentang aspek epidemiologi penyakit-penyakit yang tersebut

SKENARIO
Seorang anak laki-laki, 12 thn, dibawa oleh ibunya ke Puskesmas dengan
wajah , perut kedua tungkai bengkak .Pembengkakan terjadi sejak 3 minggu yang lalu
yang makin lama semakin bertambah. Tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi lain.

KATA SULIT
(-)

KATA/KALIMAT KUNCI
1. Laki-laki 12 tahun
2. Bengkak di wajah, perut dan tungkai

MIND MAPPING
Laki-laki,
12 tahun

Anamnesis
Pemeriksaan
Fisik

DD

Pemeriksaa
n
Penunjang

PERTANYAAN
1. Organ apa saja yang terkait dengan penyakit pada skenario? Dan bagaimana
gambaran histologi?
2. Bagaimana mekanisme kerja organ terkait ?
3. Bagaimana tubuh melakukan mekanisme keseimbangan cairan? Hormon apa
saja yang terlibat?
4. Bagaimana patomekanisme bengkak pada skenario? Apakah bengkak terjadi
bersamaan? Mengapa bengkak makin lama makin bertambah ?
5. Penyakit apa saja terkait dengan gejala bengkak?
6. Bagaimana alur Diagnosis ?
7. Differential Diagnosis

JAWABAN
1.
SISTEM PERKEMIHAN
Terdiri atas sepasang ginjal dan ureter, kandung kemih, dan uretra. Ginjal
menghasilkan 1,5L urin/hari dan menghasilkan 125 ml filtrate/menit dimana 124ml
di reabsorbsi, 1 ml di jadikan urine. Ginjal juga mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit. Merupakan tempat pembentukan hormone Renin (merangsang pengaktifan
angiotensinogen) dan Eritropoietin (merangsang pembentukan SDM). Mengubah pro
Vit D menjadi aktif.
Ginjal memiliki hilus, pelvis renalis, calix minor dan calix major, sinus renalis,
cortex dan medulla, piramida dan kolumna renalis (bagian dari medulla). Terdiri atas
1- 1,4 juta nefron.
Cabang utama nefron : Korpuskel ginjal,Tubulus Kontortus Proksimal, Gelung nefron
(bagian tipis dan tebal)(ansa henle), Tubulus Kontortus Distal, Tubulus Colligens.
Tubulus Colligens dari berbagai nefron, bermuara di ductus colligens yang
mengangkut urine ke calyx dan ureter.
Nefron : Kortika (berada di korteks), Jukstamedullar (dekat medula)

SIRKULASI DARAH
Aorta abdominalis Arteri iliaca communis sinistra dan dextra Arteri iliaca
interna dan externa Arteri iliaca interna Arteri renalis Arteri segmentalis

Arteri intralobaris Arteri arcuata Arteri interlobularis Arteriol aferen


Glomerulus Arteriol eferen Kapiler peritubular Vasa recta Vena
interlobularis Vena arcuata Vena intralobaris Vena renalis Vena Cava
Inferior.
KORPUSKEL GINJAL DAN FILTRASI DARAH
Korpuskel ginjal mengandung : kapiler, glomerulus, yang di kelilingi oleh
simpai epitel berdinding ganda simpai (Bowman) glomerular lapisan visceral
(Internal) dan parietal (eksternal).
Diantara kedua lapisan terdapat ruang kapsular yang menampung air yang berasal dari
hasil penyaringan dinding kapiler dan lapisan visceral.
Memiliki kutub vascular (tempat masuk arteriol aferen dan keluarnya arteriol eferen)
dan kutub tubular (tempat TKP berasal)
Lapisan parietal glomerular terdiri atas selapis epitel skuamosa yang ditunjang
lamina basal dan selapis tipis serat reticular diluar. Pada kutub tubular epitel berubah
menjadi selapis kuboid yang merupakan ciri dari TKP.
Lapisan viseral kapsula Bowman melekat erat pada kapiler Glomerulus
dengan inti sel selnya pada sisi kapsula lamina basal.
Sel ini disebut podosit dan pada dasarnya berbentuk bintang, dengan badan
selnya terpisah 1 2 mikrometer dari lamina basal kapiler glomerulus.
Dari badan sel, beberapa prosesus mayor meluas dari perikarion menuju
kesatu atau lebih lengkung kapiler.
Dari prosesus primer meluas banyak sekali prosesus sekunder yang kecil atau
pedikel, yang melekat pada permukaan luar lamina basal kapiler.
Pedikel podosit yang berdekatan saling berselang seling yang di sebut celah
filtrasi atau slit pores di antara pedikel.
Celah celah ini pada akhirnya semua mengalir ke rongga Bowman dan
kemudian ke lumen tubulus kontortus proksimal.
Endotel kapitel glomerulus memiliki banyak pori atau tingkap ( fenestrata )
yang berdiameter sekitar 80 mikrometer.
Glomerulus adalah masa kapiler yang berbelit belit sepanjang perjalanan
arteriol, dengan sebuah arteriol aferen memasuki glomerulus dan sebuah
arteriol eferen meninggalkan glomerulus.

Diameter arteriol aferen lebih besar dari diameter arteriol eferen. Akibatnya
glomerulus merupakan sebuah sistem yang bertekanan relatif tinggi,
membantu pembentukan cairan jaringan dalam jalinan kapiler.
Epitel parietal kapsula Bowman yaitu podosit mengelilingi sekelompok kecil
kapiler dekat arteriol aferen dan eferen, terdapat tangkai dengan daerah
bersisian dengan lamina basal kapiler yang tidak di lapisi endotel. Pada daerah
itu terdapat sel Mesangial.
Sel ini berbentuk bintang mirip perisit dengan cabang sitoplasma yang meluas
di antara endotel dan lamina basal.
Sel mesangial berfungsi menyingkirkan protein besar dari lamina basal.
Sel mesangial dapat mengkerut bila dirangsang oleh angiotensin , dengan
akibat mengurangnya aliran darah dalam kapiler glomerulus.
Mesangial menyokong kapiler, bersifat fagositik, dan akan bermitosis untuk
berproliferasi pada beberapa penyakit ginjal.

TUBULUS KONTORTUS PROKSIMAL


Dindingnya dibatasi oleh epitel selapis kuboid. Sel selnya bersifat
eosinofilik dan memiliki brush border. Batas sel tidak jelas.
Bagian pertama Tubulus Kontortus Proksimal menuju ke medula menjadi
segmen tebal pars desendens Ansa Henle.
Fungsi Tubulus Kontortus Proksimal ialah mengurangi isi filtrat glomerulus
sebanyak 80-85%. Hal ini terlaksana melalui transpor dan pompa natrium aktif
ke ruang ekstrasel.
Glukosa, asam amino dan protein seperti juga bikarbonat akan diresorpsi.

ANSA HENLE
Segmen tebal pars desenden Ansa Henle terdapat di medula, dindingnya di
batasi oleh epitel selapis kuboid, dan melanjutkan diri menjadi segmen tipis
Ansa Henle.
Segmen tipis Ansa Henle terdapat di medula, dindingnya di batasi oleh epitel
selapis gepeng, dan melanjutkan diri menjadi segmen tebal pars asenden Ansa
Henle.

Segmen tebal pars asenden Ansa Henle terdapat di medula, dindingnya di


batasi oleh epitel selapis kuboid, berjalan menuju ke korteks dan melanjutkan
diri menjadi tubulus kontortus distal.

TUBULUS KONTORTUS DISTAL


Terdapat di korteks ginjal, sebagai lanjutan dari segmen tebal pars asendens
Ansa Henle.
Dindingnya dibatasi oleh epitel selapis kuboid, bersifat basofilik, batas sel
agak jelas. Selanjutnya Tubulus Kontortus Distal akan dihubungkan dengan
duktus koligens.

DUCTUS COLLIGENS
Duktus Koligens bukan merupakan bagian dari nefron. Duktus Koligens
berjalan menuju ke medula. Dindingnya di batasi oleh epitel selapis kuboid
sampai epitel selapis silindris. Batas sel teratur dan jelas.
Duktus koligens berfungsi menyalurkan urin dari nefron ke pelvis ureter
dengan sedikit absorpsi air yang di pengaruhi oleh hormon anti diuretik
(ADH).
Di bagian medula yang menuju ke tengah, beberapa duktus koligens bersatu
untuk membentuk duktus yang lebih besar yang bermuara ke apeks papila.
Saluran ini disebut duktus papilaris Bellini, yang berdiameter 100 200
mikrometer atau lebih.
Muara kepermukaan papila tersebut sangat besar, sangat banyak dan sangat
rapat, sehingga tampak seperti sebuah tapisan (area kribrosa).

PELVIS DAN URETER


Ujung atas ureter yang melebar (pelvis) terletak dalam hilus ginjal dan
terbelah menjadi kaliks mayor dan minor. Setiap kaliks minor melingkupi
papila medula. Dinding pelvis lebih tipis dari dinding ureter.
Panjang ureter 25-30 cm , terletak pada dinding posterior abdomen di
belakang peritoneumm, dan berakhir dengan menembus dinding kandung
kemih secara serong.

Mukosa pelvis dan ureter terdiri dari epitel transisional yang di sokong oleh
lamina propria.
Epitel terdiri dari 2- 3 lapis sel pada bagian pelvis dan 4-5 lapis sel pada ureter.
Epitel terletak di atas lamina basal tipis dan di bawahnya ada lamina propria
yang merupakan jaringan fibrosa yang relatif padat dengan banyak serat
elastin.
Pada lamina propria tidak terdapat kelenjar.
Di bawah lamina propria, terdapat tunika muskularis tebal yang terdiri berkas
sel otot polos yang dipisahkan oleh berkas jaringan ikat.
Otot polos di susun oleh lapis dalam yang longitudinal dan lapis luar yang
sirkular.
Lapisan ini tidak berbatas jelas. Pada bagian bawah ureter, terdapat lapisan
ketiga yaitu lapis serong atau longitudinal luar.
Pada bagian pelvis, ototnya disusun melingkar mengitari papila dan berfungsi
sebagai sfingter, yang memeras papila, dan mengeluarkan urin dari duktus
papilaris Bellini.
Pada bagian bawah ureter, tidak terdapat otot polos melingkar, tetapi kedua
lapis otot memanjang sekarang tidak dipisahkan oleh lapis sirkular.
Di sebelah luar lapisan otot terdapat tunika adventisia yang mengandung
jaringan ikat fibroelastis.

KANDUNG KEMIH (VESICA URINARIA )


Epitelnya transisional terdiri atas 6 8 lapis sel pada kandung kemih kosong.
Pada kandung kemih penuh, epitelnya hanya setebal 2 3 lapis.
Di bawah epitel terdapat tunika muskularis mukosa yang tidak utuh, yang di
bentuk oleh serat serat otot kecil yang tidak beraturan.
Di dalam lamina propria terdapat kelenjar kecil yang terdiri atas sel sel
bening penghasil mukus dengan saluran keluar tunggal atau bercabang.
Lamina propria tebal dengan lapis luar yang longgar di sebut submukosa, yang
memungkinkan mukosa ini berlipat pada kandung kemih kosong.

Di luarnya terdapat tunika muskularis yang terdiri dari otot polos tiga lapis.
Lapis sirkular tengah membentuk sfingter tebal di sekitar muara uretra dalam,
dan tidak begitu tebal di sekitar muara ureter.
Di luarnya terdapat tunika adventisia yang terdiri atas jaringan fibroelastis.
Bagian akhir saluran keluar yang menghubungkan kandung kemih dengan
dunia luar adalah uretra.

URETHRA
URETRA PRIA
Panjang uretra pria antara 15-20 cm dan dibagi dalam 3 bagian:
1. Uretra pars prostatika:
Bagian pertama uretra yang berjalan menurun dari muara uretra dalam
kandung kencing menembus kelenjar prostat. Pada uretra ini bermuara dua duktus
eyakulatorius dan saluran keluar kelenjar prostat. Epitelnya transisional.
2. Uretra pars membranase:
Bagian kedua uretra, hanya pendek, dan berjalan dari puncak prostat di antara
otot rangka pelvis, menembus membran perineal dan berakhir dalam bulbus korpus
kavernosum uretra. Epitel berlapis atau bertingkat silindris.
3. Uretra pars kavernosa atau pars spongiosa:
Bagian ujung uretra menembus korpus spongiosum dan bermuara pada glans
penis. Ujung uretra bagian penis yang melebar yaitu fosa navikularis, dibatasi oleh
epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Terdapat sedikit sel Goblet penghasil
mukus. Kelenjar tubular Littre yang bercabang lebih banyak terdapat pada permukaan
dorsal uretra. Kelenjar memiliki epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk dan
menghasilkan mukus.
URETRA WANITA
Uretra wanita jauh lebih pendek daripada uretra pria. Panjangnya hanya 4 cm.
Epitelnya adalah epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.
Lamina proprianya adalah jaringan ikat fibrosa longgar yang ditandai oleh
banyaknya sinus venosus, mirip jaringan kavernosa.
Tunika muskularisnya terdiri atas dua lapis otot polos, longitudinal dibagian
dalam dan sirkuler di bagian luar, yang diperkuat oleh sfingter otot rangka pada
muaranya.

PENIS
Penis berfungsi:
1. Sebagai saluran keluar air kemih
2. Sebagai saluran keluar cairan semen
3. Sebagai alat sanggama.
Penis disusun oleh tiga bangunan erektil berbentuk silinder sepasang di bagian
dorsal yaitu korpora kavernosa penis, dan satu di bagian sentral yaitu korpus
kavernosum uretra atau korpus spongiosum uretra, yang membungkus uretra pars
kavernosa.
Pasangan korpora kavernosa penis terpisah satu sama lain dibagian proksimal
oleh septum pektiniformis (septum penis mediana), tetapi kemudian bersatu lagi di
bagian bawah sudut pubis, untuk kemudian berjalan bersama-sama ke depan.
Kulit yang membungkus penis, tipis dan lembut dan ujungnya akan berlipat
disebut prepusium.
Pada glans penis dan permukaan dalam prepusium, terdapat sejumlah kelenjar
sebasea yang telah mengalami modifikasi yaitu kelenjar Tyson.
Tiap korpus kavernosum penis dibungkus oleh selubung fibrosa tebal yaitu
tunika albuginea.
Serat kolagen yang terdapat di sebelah luar longitudinal dan yang di sebelah
dalam sirkular.
Di antara kedua korpus kavernosum penis terdapat septum pektiniformis yang
ditembus oleh celah-celah terbuka, sehingga ruang-ruang kavernosa dikedua
sisi dapat berhubungan satu sama lain.
Trabekula yang merupakan lanjutan dari selubung fibrosa, terdiri atas seratserat kolagen, elastin dan serat otot polos dan menyusun rangka bagian dalam
yang padat.
Ruangan diantara rangka-rangka tersebut dilapisi oleh selapis tipis sel endotel
dan merupakan sinus-sinus darah.
Susunan trabekula tersebut sedemikian rupa, sehingga ruang-ruang kavernosa
terbesar terdapat di daerah tengah dari tiap korpus kavernosum penis dan
berangsur-angsur mengecil dibagian tepi.

Tunika albuginea korpus spongiosum penis lebih tipis daripada tunika


albuginea korpora kavernosa penis, dan mengandung banyak serat elastin dan
serat otot polos.
Trabekulanya juga lebih tipis dan lebih elastis daripada yang terdapat pada
korpora kavernosa penis. Ruang-ruang kavernosanya kecil-kecil, ukurannya
hampir sama dan secara lambat laun akan bermuara kedalam ruang venosa
kecil disekitar uretra.
2. Filtrasi Glomerulus
Darah yang masuk ke dalam nefron melalui alteriol aferen dan selanjutnya
menuju glomerulus akan mengalami filtrasi tekanan darah pada arteriol aferen
relatif cukup tinggi sedangkan pada arteriol eferen relatif lebih rendah
sehingga keadaan ini menimbulkan filtrasi pada glomerulus. Cairan filtrasi
pada glomerulus akan masuk menuju tubulus, dari tubulus masuk menuju ansa
henle, tubulus distal, duktus koligentes, pelvis ginjal, ureter, vesica urinaria,
dan akhirnya keluar berupa urine. Membran glomerulus memiliki ciri khas
yang berbeda dengan lapisan pembuluh darah lain, yaitu terdiri dari lapisan
endotel kapiler, membrane basalis, lapisan epitel yang melapisi capsula
bowman. Permiabilitas membran glomerulus 100-1000 kali lebih permiabel
dibandingkan permiabilitas kapiler pada jaringan lain.
Laju Filtrasi Gomerulus ( GFR ) Glomerulus Filtration Rate dapat diukur
dengan menggunakan zat zat yang difiltrasi glomerulus akan tetapi tidak di
sekresi maupun di reabsorpsi oleh tubulus. Kemudian jumlah zat yang terdapat
pada urine diukur persatuan waktu dan dibandingkan dengan jumlah zat yang
terdapat pada cairan plasma. Pengaturan GRF rata rata normal pada laki laki
125ml/menit, GFR pada wanita lebih rendah dibandingkan pada pria.
Faktor faktor yang mempengaruhi besarnya GFR antara lain :
1.Ukuran anyaman kapiler,
2.Permiabilitas kapiler,
3.Tekanan Hidrostatik dan tekanan osmotik yang terdapat di dalam atau diluar
lumen kapiler.
Proses terjadinya filtrasi tersebut dipengaruhi oleh adanya berbagai tekanan
seperti :
1.Tekanan kapiler pada glomerulus 50 mm Hg,
2.Tekanan pada capsula bowman 10 mm Hg,
3.Tekanan osmotik koloid plasma 25 mm Hg.
Ketiga faktor diatas berperan penting dalam peningkatan laju filtrasi,
semakin tinggi tekanan kapiler pada glomerulus semakin meningkat filtrasi
dan sebaliknya semakin tinggi tekanan pada capsula bowman serta tekanan
osmotik koloid plasma akan menyebabkan semakin rendahnya filtrasi yang
terjadi pada glomerulus. Komposisi filtrat pada glomerulus dalam cairan filtrat

tidak ditemukan erytrocit, sedikit mengandung protein ( 1/200 protein


plasma ). Jumlah elektrolit dan zat zat terlarut lainnya sama dengan yang
terdapat dalam cairan interstilstil pada umumnya. Dengan demikian
komposisi cairan filtrate cairan glomerulus hampir sama dengan plasma
kecuali dengan protein yang terlarut.Sekitar 99% cairan filtrate tersebut di
reabsorpsi kembali ke dalam tubulus ginjal.
Faktor faktor yang mempengaruhi laju filtrasi glomerulus :
1.Tekanan Glomerulus, semakin tinggi tekanan glomerulus semakin tinggi laju
filtrasi semakin tinggi tekanan osmotic koloid plasma semakin menurun laju
filtrasi dan semakin tinggi tekanan capsula bowman semakin menurun laju
filtrasi.
2.Aliran darah ginjal, semakin cepat tekanan darah ke glomerulus semakin
meningkat laju filtrasi.
3.Perubahan Arteriol Aferen, apabila terjadi vasokontriksi arteriol aferen akan
menyebabkan tekanan darah ke glomerulus menurun keadaan ini akan
menyebabkan laju filtrasi menurun begitu pun sebaliknya.
4.Perubahan Arteriol Aferen pada keadaan vasokontriksi arteriol aferen akan
terjadi peningkatan laju filtrasi glomerulus begitupun sebaliknya.
5.Pengaruh perangsangan simpatis rangsangan simpatis ringan dan sedang
akan menyebabkan vasokontriksi arteriol aferen sehingga menyebabkan
penurunan laju filtrasi glomerulus.
6.Perubahan tekanan arteri peningkatan tekanan arteri melalui autoregulasi
akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah arteriol aferen sehingga
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus.
Reabsorpsi dan Sekresi pada Tubulus
Hampir 99% dari cairan filtrate di reabsorpsi kembali bersama zat zat yang
terlarut di dalam cairan filtrate tersebut, akan tetapi tidak semua zat zat yang
terlarut dapat direabsorpsi sempurna antara lain glukosa dan asam amino.
Mekanisme reabsorpsi pada tubulus melalui dua cara yaitu: Transpor Aktif zat
zat yang mengalami transpor aktif pada tubulus proksimal yaitu ion Na+, K+,
PO4-, NO3-, glukosa dan asam amino. Terjadinya difusi ion ion terutama ion
Na+ melalui sel tubulus ke dalam pembuluh kapiler peritubuler disebabkan
perbedaan potensial listrik di dalam epitel tubulus ( -70mvolt) dan di luar sel (
-3mvolt ). Perbedaan electrochemichal gradientini membentuk terjadinya
proses difusi. Selain itu, perbedaan konsentrasi ion Na+ di dalam dan di luar
sel tubulus membantu meningkatkan proses difusi tersebut. Meningkatnya
difusi natrium disebabkan permiabilitas sel tubuler terhadap ion natrium
relative tinggi. Keadaan ini dimungkinkan karena terdapat banyak mikrovili
yang memperluas permukaan tubulus. Proses ini memerlukan energi dan dapat

berlangsung terus menerus peritubuler.


Transpor Pasif, terjadinya transpor pasif ditentukan oleh jumlah konsentrasi
air yang ada pada lumen tubulus permiabilitas membran tubulus terhadap zat
yang terlarut dalam cairan filtrate dan perbedaan muatan listrik pada dinding
sel tubulus. Zat yang mengalami transpor pasif misalnya, ureum sedangkan air
keluar dari lumen tubulus melalui proses osmosis. Perbedaan muatan listrik di
dalam lumen tubulus menyebabkan terjadinya proses difusi ion Na+ dari
lumen tubulus ke dalam sel epitel tubulus dan selanjutnya menuju sel
peritubulus bersamaan dengan perpindahan ion Na+ di ikuti pula terbawanya
ion Cl-, HCO3-, ke dalam kapiler. Kecepatan reabsorpsi ini ditentukan pula
oleh perbedaan potensial listrik yang terdapat di luar dan di dalam lumen
tubulus.

3. Bagaimana tubuh melakukan mekanisme keseimbangan cairan?


Hormon apa saja yang terlibat?
Ginjal (ren) manusia berjumlah sepasang, terletak di rongga perut sebelah kanan
depan dan kiri depan ruas-ruas tulang belakang bagian pinggang. Ginjal memiliki
beberapa fungsi, diantaranya :
1. Fungsi ekskresi

Mensekresikan zat atau senyawa tidak berguna seperti:


- Urea
: hasil akhir katabolisme protein
- Kreatinin : hasil akhir katabolisme otot
- As. Urat : hasil akhir katabolisme purin
2. Fungsi homeostasis
a. Ginjal bersama paru mempertahankan ph darah 7,4 dengan
mempertahankan ratio NaHCO3/H2CO3 = 20/1, dengan cara :
- Ginjal mereabsorbsi NaHCO3 dari filtrate tubuli ke dalam darah dibawah
pengaruh enzim carbonic anhydrase
- Paru mengeluarkan CO2 agar H2CO3 tidak berlebihan
Asidosis Respiratorik
Pada penyakit akibat gangguan pernapasan, seperti :
- pneumonia
- emfisema
- asma bronkial
CO2 darah tidak dapat secara bebas keluar bersama udara ekspirasi
sehingga terjadi peningkatan p CO2 yang menyebabkan H2CO3 meningkat
sehingga ratio NaHCO3/H2CO3 kurang dari 20/1. keadaan ini
menyebabkan PH < 7,4 sehingga menimbulkan asidosis respiratorik.
Untuk mengatasi agar ratio NaHCO3/H2CO3 tetap 20/1 maka tubuh
berusaha meningkatkan kadar NaHCO3 dengan cara meningkatkan

reasobsi NaHCO3 malalui tubuli ginjal, sehingga kadar NaHCO 3 dalam


darah meningkat dan diharapkan ratio NaHCO3/H2CO3 menjadi 20/1
kembali. Bila ratio tercapai disebut asidosis respiratorik terkompensasi.
Namun bila ratio tidak tercapai disebut asidosis respiratorik tak
terkompensasi.

Asidosis Metabolik
Apabila ginjal rusak, sel-sel tubuli ginjal tidak dapat mereasobsi
NaHCO3 sehingga NaHCO3 dari dalam darah yang difiltrasi oleh
glomerulus tidak dikembalikan kedalam darah tetapi terbuang bersama
urin. Akibatnya NaHCO3 dalam darah kadarnya menurun. Hal ini
menyebabkan ratio NaHCO3/H2CO3 juga menjadi kurang dari 20/1
sehingga menyebabkan timbulnya asidosis metabolik, walaupun
pernapasan tidak terganggu. Untuk mengatasi penurunan kadar
NaHCO3 darah, agar ratio NaHCO3/H2CO3 tetap 20/1, maka paru
berusaha menurunkan kadar H2CO3 dengan cara melakukan
pernapasan cepat dan dalam (misalnya pernapasan kuzmaull). Bila
ratio 20/1 tercapai maka keadaan tersebut disebut asidosis metabilik
terkompensasi. Namun bila tidak tercapai maka disebut asidosis
metabolik tak terkompensasi.
Asidosis Metabolik dapat timbul akibat :
-

gagal ginjal kronis


diare berat (NaHCO3 banyak terbuang bersama cairan usus)
diabetes melitus yang tak terkontrol

Alkalosis Metabolik
Biasanya terjadi pada :
- muntah-muntah
- pengeluaran cairan lambung
- konsumsi alkali (sebagai obat maag)
alkalosis metabolik terjadi karena peningkatan NaHCO3 PH > 7,4

paru akan hipoventilasi agar PCO 2 meningkat H2CO3 untuk


mencapai ratio 20/1 sehingga PH kembali 7,4. jika berhasil maka disebut
alkalosis metabolik terkompensasi. Namun jika ratio tidak tercapai 20/1
dan PH tetap > 7,4 maka disebut alkalosis metabolik tak terkompensasi.

Alkalosis Respiratorik
Biasanya terjadi pada :
-

hiperventilasi

- reaksi histeris
- keracunan salisilat (tahap awal)
- koma hepatik
alkalosis respiratorik disebabkan karena penurunan dari H 2CO3 PH
>7,4 karena rasio > 20/1, maka untuk mengatasinya ginjal akan
mengurangi produksi NaHCO3 agar ratio NaHCO3/H2CO3 = 20/1 tercapai.
Bila berhasil maka disebut alkalosis respiraorik terkompensasi. Namun,
bila ratio tetap >20/1 (PH > 7,4) maka disebut alkalosis respiratorik tak
terkompensasi.
b. Mempertahankan cairan intravaskuler, mereabsorbsi air di tubuli distal
dibawah pengaruh hormon ADH (antidiuretik)
3. Fungsi hemostasis
Ginjal menjalankan fungsi hemostasis dengan mensintesis dan mensekresi
eritropoietin yang berperan dalam eritropoiesis SDM
4. Fungsi metabolisme
Dalam sel-sel ginjal berlangsung proses glukoneogenesis yakni
pembentukan (sintesis) glukosa dari zat-zat non KH seperti gliserol, laktat dan
asam amino glikogenik.
5. Fungsi endokrin
Fungsi ginjal pada pengaktifan vitamin D.
Vitamin D3 (kolekalsiferol) di hati mengalami hidroksilasi pada posisi 25 dari
inti steroid menjadi 25-hidroksikalsiferol. 25-hidroksikalsiferol kemudian
diangkut ke ginjal di mana terjadi hidroksilasi lagi pada posisi 1 inti steroid
menjadi 1,25-dihidroksikalsiferol (kalsitriol). Kalsitriol ini bersifat sebagai
hormon.
Vitamin D3 (kolekalsiferol)
(Hati)
25-hidroksikalsiferol
(Ginjal)
1,25-dihidroksikalsiferol (kalsitriol)

4. Patomekanisme Edema

Reaksi antigen-antibodi pada glomerulus menyebabkan permeabilitas terhadap


protein plasma meningkat. Akibatnya protein plasma yang seharusnya digunakan oleh
tubuh menjadi lolos ke filtrate. Sehingga terjadi proteinuria dan hipoalbumin dalam
plasma.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan penurunan tekanan
osmotik koloid plasma. Dan menyebabkan volume plasma menurun dan terjadi
peningkatan cairan interstisium. Mekanisme ini hamper menyebabkan edema.
Hypovolemia juga mengakibatkan penurunan aliran plasm gnjal (RPF) dan GFR,
serta mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin. Hypovolemia juga mengaktifkan
reseptor volume dalam atrium kiri.

Akibatnya adalah peningkatan produksi

aldosterone dan hormone antidiuretik (ADH). Ginjal tersebut menahan garam dan air,
yang selnjutnya akan memperburuk edema.
Bengkak terjadi pada muka dan perut
Peningkatan

tekanan

hidrostatik

kapiler

dan

penurunan

tekanan

osmotik

menyebabkan peningkatan air keluar dari kapiler. Dari aliran darah tersebut cairan
banyak keluar ke interstisial yang terdiri dari jaringan ikat. Sehingga menyebabkan
meningkatnya air pada jaringan ikat tersebut.
Pada kasus edema kemungkinan masalah terjadi pada aliran limfe ataupun perbedaan
tekanan di antaranya sehingga plasma menjadi sulit dikembalikan ke dalam aliran

darah. Itu lah yang dinamakan edema ketika terjadi penimbunan cairan pada
interstisium.
Edema pada kasus skenario terjadi hanya pada daerah muka, perut, dan tungkai. Hal
itu disebabkan daerah muka dan perut itu banyak mengandung jaringan ikat.
Sedangkan pada tungkai diakibatkan pengaruh gaya gravitasi bumi. Jaringan ikat
dibagi dalam 3 bagian, yaitu jaringan ikat sejati, jaringan dengan ciri khusus, dan
jaringan penyokong. Jaringan ikat sejati dibagi lagi menjadi jaringan ikat longgar dan
jaringan ikat padat.
Yang mana pada daerah muka dan perut banyak mengandung jaringan ikat longgar.
Jaringan ikat longgar banyak ditemukan di stratum papilare dermis, hypodermis,
lapisan serosa peritoneum dan rongga pleura, serta di kelenjar dan membrane mukosa
yang menyokong sel-sel epitel. Sifat jaringan ikat longgar diantaranya memiliki
konsistensi halus, bersifat fleksibel, dipendarahi dengan baik, dan tidak terlalu
resisten terhadap stress. Artinya jaringan ini mudah terpengaruh dengan tekanan luar
maka ia mudah terjadi edema. Sedangkan jaringan ikat padat memiliki sifat
sebaliknya sehingga resisten terhadap stress contohnya adalah tendon.

5. Mengapa pada scenario bengkak semakin bertambah ?


Bengkak merupakan bentuk edema, terjadi karena terlalu banyak cairan yang
mengisi ruang interstisial. Umumnya bengkak terasa lunak dan dapat digerakkan.,
kecuali jika sebagian besar cairan berada dalam ruang intrasel. Jika edema diberi
tekanan ringan kemudian cairan edema berpindah sementara kemudian terlihat
lekukan pada jaringan tersebut maka disebut pitting edema.
Penyebab edema :
1. Menurunnya protein plasma
Menurunnya protein plasma akan menyebabkan menurunnya tekanan osmotic
koloid plasma, sehingga cairan akan keluar dari vascular menuju ruang
interstisial.
Beberapa cara keluarnya cairan ke interstisial :
Protein keluar bersama urin (pada penyakit ginjal).
Sintesis protein yang menurun (pada penyakit hati).
Intake protein yang menurun (malabsorpsi).
Pengeluaran protein plasma yang bermakna (pada luka bakar yang
luas).
2. Meningkatnya permeabilitas kapiler
Meningkatnya permeabilitas kapiler menyebabkan protein plasma banyak
keluar ke interstisial sehingga menyebabkan tekanan osmotic koloid

interstisial meningkat sehingga berakibat pada keluarnya cairan dari vascular


ke interstisial.
Seperti pada infeksi atau cedera, pori pada kapiler melebar sehingga protein
plasma dan cairan dapat keluar ke interstisial.
3. Meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler
Meningkatnya tekanan hidrostatik akan mendorong cairan keluar ke
interstisial (ekstrasel).
Contohnya pada kasus gagal jantung kongestif.
4. Obstruksi atau sumbatan pembuluh limfe
Cairan yang tekumpul di ekstraselular tidak dapat dikembalikan ke vascular
juka pembuluh lifa tersumbat atau ada obstruksi.
Contohnya pada kasus pembedahan karena kanker payudara yang
menyebabkan kel. Limfe diangkat, dan juga pada kasus filariasis yang
menyebabkan sumbatan pada pembuluh limfe.
Pada scenario edema kemungkinan disebabkan oleh proteinuria (protein keluar
bersama urin) dan hipoalbuminemia. Albumin dalam plasma berfungsi untuk menjaga
tekanan osmotic kolid plasa, jika terjadi hipoalbuminemia maka tekanan osmotic
koloid plasma akan menurun dan menyebabkan transudasi/ keluarnya cairan dari
vascular ke interstisial/ ekstraselular dan menyebabkan edema (bengkak).
Edema diperberat karena keluarnya cairan yang banyak ke interstisial
menyebabkan volume darah berkurang (hipovolemia). Sebagai kompensasi terhadap
hipovolemia yang terjadi, produksi ADH (Anti Diuretik Hormon) dan aldosteron akan
meningkat dan menyebabkan retensi Na+ dan H2O yang semakin mempeburuk edema
yang ada. Pengulangan rantai kejadian di atas dapat menyebabkan edema massif
(anasarka).

Hipoalbu
minemia
dan
proteinu
ria

Tekanan
osmotik
koloid
plasma

Cairan
keluar
ke
interstisi
al

ADH
Aldoster
on

Kompen
sasi

Hipovole
mia

Retensi
Na+ dan
H 2O

Edema
bertamb
ah berat

6. Macam-macam penyakit yang menyebabkan bengkak pada wajah,perut


dan kedua tungkai
Kelainan dengan patogenesis kompleks
Sindroma nefrotik Hipoalbuminemia pada SN berhubungan dengan
kehilangan protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik yang
menyebabkan perpindahan cairan intravaskuler ke interstisium dan
memperberat pembentukan edema.
Sirosis hepatis
Peningkatan kadar ADH akan menyebabkan retensi garam sedangkan sistem
saraf simpatis dan angiotensin akan menyebabkan penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus dan meningkatkan reabsorbsi garam pada tubulus proksimal.
Heart failure
Tekanan hidrostatik kapiler paru melebihi tekanan onkotik pembuluh
darah.Akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial jika kecepatan
transudasi cairan melebihi kecepatan limfatik akan terjadi edema
Penyakit Renal intrinsik
Gagal ginjal akut(ARF)
terjadi aktivasi kompensatorik sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensinaldosterone.Angiotensin menyebabkan vasokontriksi ginjal,kulit,dan jaringan
vaskular.aldosterone menyebabkan retensi garam dan air
Gagal ginjal kronik
Adanya peninkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosterone,sebagian di
perantarai oleh growth factor.
GNAPS
Perubahan ekskresi garam akibatkan edemasama dengan mekanisme gagal
ginjal
Malnutrisi.
Terdapat hubungan kompleks antara nutrisi,status kesehatan dan keluaran klinik
mekanisme terjadi melalui penurunan nafsu makan karena penyakit.penyakit akut dan
kronik dapat menginduksi respons inflamasi misal gagal ginjal akut,kronik,gagal
jantung,dan rheumatoid arthtritis

7. Hubungan Usia dan Jenis Kelamin Pada DD di Skenario


1. Sindroma Nefrotik

Usia:
Sindrom Nefrotik karena GN Lesi Minimal (GNLM) : 70-80 % pada
anak (<15 tahun) , Laki-laki : Perempuan = 2 : 1.
Sindrom Nefrotik karena glumerulonoferitis fokal (GSF) : 10-15 %
pada kasus SN Pada anak.
Sindrom Nefrotik karena GNmembranosa (GNMN) : 30-40 % pada
orang dewasa, dan pada anak < 5 %.

Jenis Kelamin:
Perbandingan Pria dan wanita 2 : 1

2. Glomerulonefritis Akut

Usia :
* 3 7 tahun

Jenis Kelamin:
*Perbandingan penyakit ini pada laki-laki dan perempuan adalah 2:1

3. Malnutrisi Kwashiorkor

Usia:
* Kasus ini sering dijumpai di daerah miskin, persediaan makanan yang
terbatas, dan tingkat pendidikan yang rendah.
* Bayi pada masa menyusui anak pra sekolah
* 1 4 tahun

Jenis kelamin :
Tidak terpengaruh

8. Alur Diagnosis
Anamnesis yang akurat sangat penting. Gejala dan tanda penyakit jantung, hati dan
ginjal harus ditanyakan.

Apakah edema terjadi unilateral (Obstruksi limfatik, obstruksi vena,


rupturnya kista) atau bilateral (sindroma nefrotik, malnutrisi, gagal
ginjal, gagal jantung, gagal hati)
Apakah ada sesak nafas?
Adakah edema ditempat lain? (Edema yang terjadi difus di seluruh tubuh
menunjukkan kadar albumin serum yang rendah, atau kebocoran kapiler dan bukan
gagal jantung

Nafsu makan menurun atau tidak


Apakah ada mual dan muntah?
Warna urin dan feses
Jumlah urin berkurang atau tidak
Riwayat timbulnya ikterus
Rasa gatal, keluhan saluran cerna, nyeri perut
Riwayat alkoholisme dan transfusi
Riwayat pengobatan
Riwayat penyakit keluarga

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda anemia


Frekuensi nadi, dan tekanan vena jugularis
Pemeriksaan ronkhi, wheezing, retraksi dada, cuping hidung
Ada tidaknya sianosis.
Pemeriksaan ascites, pitting edema
Perabaan hati, limpa dan kandung empedu

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tergantung dari gambaran yang didapat pada
anamnesis dan pemeriksaan fisis. Namun yang biasanya dilakukan adalah :

pengukuran kadar albumin serum


kebocoran protein urin
tes fungsi hati
kreatinin, EKG, foto toraks, dan ekokardiografi.
USG, Radiologi

9. Differentia Diagnosis (Sindroma Nefrotik)


Nephrotic syndrome (Sindroma nefrotik) Sindroma nefrotik (SN) merupakan
salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema
anarsarka, proteinuria massif 3,5 g/hari, hiperkolesterolemia dan lipiduria.
Pada proses awal atau SN ringan, untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala
ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN akan tetapi pada SN berat
yang disertai kadar albumin rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang.
Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.

Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen,


hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta hormone tiroid
sering dijumpai pada SN. Umumnya, SN dengan fungsi ginjal normal kecuali
sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada
beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respone yang baik
terhadap terapi steroid akan tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.
Etiologi Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan GN sekunder
akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease),
akibat obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik
Keganasan :
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, myeloma multiple, dan
karsinoma ginjal.
Penyakit jaringan penghubung
Lupus Eritematosus Sistemik, Artritia Reumatoid, MCTD (mixed connective tissue
disease)
Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilinamin, probenesid, air raksa,
kaptpril, heroin.
Lain-lain :
Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik, refluks
vesikoureter, atau sengatan lebah.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering.
Dalam kelompok GN primer, terbagi atas: (a) GN lesi minimal (GNLM) sering pada
anak anak, (b) Glomerulosklerosis fokal (GSF), (c) GN membranosa (GNMN)
sering pada orang dewasa dan (d) GN membranoproliferatif (GNMP).
Glomerulonefritis sekunder akibat ineksi yang sering dijumpai misalnya pada GN
pasca infeksi Streptokokus atau infeksi virus hepatitis virus B, akibat obat misalnya
obat anti inflamasi non steroid atau preparat emas organic, dan akibat penyakit
sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes mellitus.
Patofisiologi
Reaksi antigen antibodi menyebabkan permeabilitas membran basalis glomerulus
meningkat diikuti oleh kebocoran protein (albumin).
Proteinuri : Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil
berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana

basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap


protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin.
Protein lain yang diekskresi adalah globulin pengikat tiroid, IgG, IgA, antitrombin III
dan protein pengikat vitamin D.
Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan
glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana
basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier (suatu polyanionic
glycosaminoglycan) dan size selective barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri
disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati
membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity.
Hipoalbuminemi Keadaan ini disebabkan oleh kehilangan sejumlah protein tubuh
melalui urine (proteinuria) dan usus (protein loosing enteropathy), katabolisma
albumin, pemasukan protein yang kurang kerana nafsu makan yang menurun dan
utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal. Jika kompensasi hepar
dalam mensintesa albumin tidak adekuat, akan terjadi hipoproteinemi.
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan
kehilangan protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia disebabkan oleh
protenuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Oleh itu, untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma, maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati. Akan
tetapi tetap dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme
albumin oleh tubulus proksimal.
Hiperlipidemi Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid
di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,
VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.
Lipiduri Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber
lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang
permeabel.
Edema Teori underfil menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor utama
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstisium
dan terjadi edema. Oleh kerana itu, ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisma kompensasi ini akan memperbaiki

volume intravascular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia


sehingga edema semakin berat.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama. Retensi
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi
edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah
terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisma tersebut ditemukan pada
pasien SN.
Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan
bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume
plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat
selama fase diuresis.
Hiperkoagulabilitas Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III,
protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V,
VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi
sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).
Kerentanan terhadap infeksi Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena
kehilangan lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme
menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan
imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.
Manifestasi klinis
Protenuria : > 3.0 gr/24 jam. Perubahan pada membrana dasar glomerulus
menyebabkan peningkatan permebilitas glomerulus terhadap protein plasma yaitu
albumin. Hipoalbuminemia : albumin serum 3,5 g/1,73m2 luas permukaan
tubuh/hari), hipoalbuminemi (<3 g/dl), edema, hiperlipidemi, lipiduri dan
hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas.
Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang
menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
Penatalaksanaan
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit
dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria, mengontrol edema
dan mengobati komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom nefrotik harus dicari dan
diberi terapi, da obat-obatan yang menjadi penyebabnya disingkirkan.
a). Diuretik
Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari)
atau golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic

(spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi. Penurunan berat


badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari.
b). Diet.
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat.
Diet rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus diberikan. Penelitian telah
menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal tertentu, asupan yang rendah
protein adalah aman, dapat mengurangi proteinuria dan memperlambat hilangnya
fungsi ginjal, mungkin dengan menurunkan tekanan intraglomerulus. Derajat
pembatasan protein yang akan dianjurkan pada pasien yang kekurangan protein akibat
sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari
dapat mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D dapat diberikan kalau pasien
mengalami kekurangan vitamin ini.
c) Terapi antikoagulan
Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme , terapi antikoagulan dengan
heparin harus dimulai. JUmlah heparin yang diperlukan untuk mencapai waktu
tromboplastin parsial (PTT) terapeutik mungkin meningkat karena adanya penurunan
jumlah antitrombin III. Setelah terapi heparin intravena , antikoagulasi oral dengan
warfarin dilanjutkan sampai sindrom nefrotik dapat diatasi.
d) Terapi Obat
Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu
prednisone 1 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 6 minggu.
Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis maintenance (5 10 mg)
kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada
saat tapering off, keadaan penderita memburuk kembali (timbul edema, protenuri),
diberikan kembali full dose selama 4 minggu kemudian tapering off kembali. Obat
kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani sindroma nefrotik (prednisone,
metil prednisone) terutama pada minimal glomerular lesion (MGL), focal segmental
glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus glomerulonephritis. Obat antiradang
nonsteroid (NSAID) telah digunakan pada pasien dengan nefropati membranosa dan
glomerulosklerosis fokal untuk mengurangi sintesis prostaglandin yang menyebabkan
dilatasi. Ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, pengurangan tekanan
intraglomerulus, dan dalam banyak kasus penurunan proteinuria sampai 75 %.
Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh
yang berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan
siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida
dan meningkatkan kolesterol HDL.
Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3*12,5 mg), kalsium
antagonis (Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat enzim konversi

angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor


angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai
efek aditif dalam menurunkan proteinuria.
Komplikasi Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar
kolesterol pada umumnya meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari normal
sampai sedikit tinggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh meningkatnya
LDL (low density lipoprotein) yaitu sejenis lipoprotein utama pengangkut kolesterol.
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan oleh peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme hati. Mekanisma hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan
peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.
Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai oleh akumulasi lipid pada debris sel
dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria
lebih dikaitkan dengan protenuria daripada dengan hiperlipidemia.
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi
intravascular. Pada SN akibat GNMP kecenderungan terjadinya trombosis vena
renalis cukup tinggi. Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vena trombosis)
sering dijumpai pada SN.
Terjadinya infeksi oleh kerana defek imunitas humoral, selular, dan gangguan system
komplemen. Oleh itu bacteria yang tidak berkapsul seperti Haemophilus influenzae
and Streptococcus pneumonia boleh menyebabkan terjadinya infeksi. Penurunan IgG,
IgA dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh kerana sintesis yang
menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang
melalui urine.
Gagal ginjal akut disebabkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan berakumulasi di
dalam jaringan tubuh, kurang sekali cairan di dalam sirkulasi darah. Penurunan aliran
darah ke ginjal menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan timbulnya
nekrosis tubular akut.
Prognosis
Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak, prognosis adalah
sangat baik kerana minimal change disease (MCD) memberikan respon yang sangat
baik pada terapi steroid dan tidak menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic renal
failure). Tetapi untuk penyebab lain seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSG)
sering menyebabkan terjadi end stage renal disease (ESRD). Faktor faktor lain yang
memperberat lagi sindroma nefrotik adalah level protenuria, control tekanan darah
dan fungsi ginjal.

10. GLOMERULONEFRITIS

DEFINISI
(GN) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus
tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai
ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang
disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut
(glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain menunjukkan
adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis (GN)
dibagi 2 primer dan sekunder ,
Primer : penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
Sekunder : kelainan ginjal akibat penyakit sistemik lain seperti DM , LES ,
myeloma multiple dan amyloidosis.

EPIDEMIOLOGI
Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun
dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang
menyerang anak dibawah usia 3 tahun.
ETIOLOGI
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29.. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12
dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui
sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi
mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan
seperti keracunan timah hitam tridion, penyakitb amiloid, trombosis vena
renalis, purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus.
PATOMEKANISME
adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut dan
idiopatik
1. Antigen dari luar (kuman streptococcus) masuk ke dalam tubuh
2. Adanya proses imunologi terbentuknya Antibodi untuk melawan Antigen yang
masuk tadi
3. Terbentuklah Komplex Antigen Antibodi (imun)

4. Terjadi Proses Kemotaksis di Glomerulusnya dengan aktivasi komplemen dan


juga pengeluaran lisosom
5. Yang akhirnya merusak Glomerulus
MANIFESTASI KLINIS
Edema mendadak mulai muka/kelopak mata lalu kaki ataupun pada kemaluan
Oliguri/anuri
Hematuri
Edema anasarka
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk membantu diagnosis GN :

Pemeriksaan urin, gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal.

Pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-dsDNA, antibodi
anti-GBM.

ANCA (untuk membedakan GN primer dan sekunder).

Ultrasonografi ginjal (untuk menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan


kelainan lain seperti obstruksi sistem pelviokalises).

Biopsi ginjal diperlukan untuk menegakkan diagnosis secara histopatologi.

PENATALAKSANAAN

Pengaturan asupan protein, dibatasi bila kadar ureum tinggi

cairan diperhatikan karena asupan cairan harus seimbang dengan


pengeluarannya

Antibiotik gol penisilin seperti amoksisilin 50mg/kgbb 3 dosis selama 10 hari


dan jika alergi diberdi eritromisin dosis 30mg/kgbb/hari

Obat simptomatik

Bendungan sirkulasi = pembatasan cairan , diuretic (furosemide)

Anti Hipertensi

PROGNOSIS

Diperkirakan 95 % akan sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase akut


dari penyakit ini dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis

11. Malnutrisi - Kwarsiokor

Definisi
Adalah satu bentuk malnutrisi yang disebabkan oleh defisiensi protein yang
berat bisa dengan konsumsi tubuh yang tidak mencukupi kebutuhan.
Etiologi
Disebabkan oleh kekurangan supan protein yang mempunyai nilai biologik
katabolisme tubuh. Keadaan kekurangan protein bisa terjadi pada infeksi, diare
kronik, pada penyakit hati kronis dan juga pada gangguan ginjal.
Epidemiologi
Sering dijumpai pada umur tertentu yaitu bayi yang masih menyususi dan
pada anak prasekolah. 1 3 tahun merupakan umur yang membutuhkan banyak
protein. Penyakit ini terjadi pada penduduk yang berekonomi rendah.
Patogenesis
Pada kwashiorkor yang klasik, gangguan metabolisme dan perubahan sel
menyebabkan edema dan perlemakan hati. Pada penderita defisiensi protein tidak
terjadi katabolisme jaringan yang sangat berlebihan karena persediaan energi dapat
dipenuhi oleh jumlah kalori yang cukup dalam dietnya. Namun kekurangan protein
dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino esensial yang
dibutuhkan untuk sintesis. Oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka
produksi insulin akan meningkat dan sebagian asam amino dari dalam serum yang
jumlahnya sudah kurang tersebut akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino
dalam serum merupakan penyebab kurangnya pembentukan albumin oleh hati,
sehingga kemudian timbul edema.
Perlemakan hati terjadi karena gangguan pembentukan lipoprotein beta
sehingga transport lemak dari hati ke depot lemak juga terganggu dan akibatnya
terjadi akumulasi lemak dalam hati.
Gejala Klinis
-

Derajat Edema

(+) tangan dan kaki


(++) tungkai bawah
(+++) seluruh tubuh
berfungsi untuk menentukan jumlah pemberian cairan.
Hipotrofi otot
Pembesaran hati
Perubahan mental
Retardasi pertumbuhan
Rambut rontok
Kelainan hati (perlemakan hati)
Kelainan jantung (hipokalemia, hipomagnesemia)

Pemeriksaan Lab

Tes darah (albumin, Hb, Glukosa, protein serum)


Kadar enzim pencernaan
Biopsi hati
Pemeriksaan tinja & urin

Terapi
Pemberian vitamin A, D, C, dan B kompleks
Pemberian mineral : jumlah cairan 130 200 ml/kgBB/Hari (per oral / NGT)
Pemberian protein
minggu 1 : fase stabilisasi (75% - 80% kebutuhan normal) : 1 1,5
gram/kgBB/Hari
minggu 2 : fase transisi (150% dari kebutuhan normal) : 2 3 gram/kgBB/hari
minggu 3 : fase rehabilitasi (150-200% kebutuhan normal) : 4 6
gram/kgBB/hari
Prognosis
Penanganan yang cepat dan tepat umumnya memberikan prognosis yang baik.
Namun ada kemungkinan pasien memperoleh gangguan fisik dan gangguan
intelektual.

Kesimpulan
Berdasarkan informasi yang didapat pada skenario, laki-laki 12 tahun
mengalami bengkak wajah , perut kedua tungkai. Sejak 3 minggu yang lalu dan
bertambah berat, tidak ada tanda tanda infeksi keluhan ini mengarah kepada
Sindroma Nefrotik, namun untuk menentukan terapi diperlukan pemeriksaan fisik dan
penunjang lainya.

Daftar Pustaka

Guyton and Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta :
EGC
Wiguno Prodjosudjadi, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta
: Dept. Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1 & 2. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Sylvia A. Price and Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi. Edisi 6. Volume
2. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A. Patofosiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit ed. 6
vol.2. Jakarta : EGC, 2005.
Robins, kumar. Buku ajar patologi. Edisi 7. Volume 1. Jakarta :EGC
Hull, David. Dasar-dasar pediatri. Ed. 3. EGC Jakarta 1998
Behram,Kleigman, Arvin. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15. EGC .
Jakarta 2000

Anda mungkin juga menyukai