Laporan Tekel RZF
Laporan Tekel RZF
Disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti responsi praktikum mata kuliah Teknologi
Eksplorasi Laut di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Jenderal Soedirman
oleh :
Ridho Zul Fakhri
H1K012033
Asisten Praktikum:
Jamaludin
I.
PENDAHULUAN
1.4. Manfaat
Manfaat melakukan praktikum ini adalah :
1. Memberikan informasi dalam upaya konservasi penyu, terutama untuk sarang dan
penetasan (Hatchery).
2. Dapat dijadikan sumber informasi awal untuk penelitian lebih lanjut di Pantai Batu
Hiu , Kecamatan batu Hiu Kabupaten Pangandaran.
II.
Kegunaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Thermometer
Hand refraktometer
Selang bening
Tiang pancang
Roll meter
Kamera
Alat tulis
Transek kuadrat 5x5m dan 2x2m
Plastik
Mengukur salinitas
Mengukur kemiringan pantai
Menentukan posisi selang
Mengukur jarak selang dan lebar pantai
Pengamatan secara visual dan dokumentasi
Mencatat data
Mentransek lokasi pengambilan sampel
Untuk wadah sampel
frekuensi, frekuensi relatif, dominasi, dominasi relatif, dan indeks nilai pentingnya, dengan
rumus sebagai berikut:
Individu
Luas kuadrat
Kerapatan jenis
100
Kerapatan relatif
kerapatan semua jenis
Jumlah kptak semua jenis
Frekuensi
jumlah keseluruhan kotak
frekuensi spesies
100
Frekuensi relatif
frekuensi seluruh spesies
Luas diameter batang
Dominasi
Luas transek
Dominasi suatu spesies
100
Dominasi relatif
dominasi semua spesies
Indeks nilai penting = kerapatan relatif + frekuensi relatif + dominasi relatif
Kerapatan
Selisihtinggi air
100
jarak pancang
III.
3.1.
Hasil Wawancara
Penyu yang mendarat di Pangandaran terdiri dari lima jenis yaitu penyu tempayang,
penyu sisik, penyu belimbing, penyu lekang, penyu pipih. Diantara lima jenis penyu tersebut
penyu tempayang termasuk jenis penyu yang dapat saling memakan.
Penyu memiliki kebiasan mencari makan di sekitar terumbu karang, dan penyakit
yang sering menyerang penyu adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit misalnya adanya
cacing laut yang terdapat dipunggung penyu. Umur penyu tergantung dari jenis dan faktorfaktor pendukung lainnya misalnya penyu dengan semua faktor pendukung yang sesuai
cenderung berumur panjang sampai ratusan tahun.
Masa reproduksi penyu berbeda-beda sesuai dengan masing-masing spesies misalnya
untuk spesies penyu sisik saat berumur 14 thun. Faktor yang mempengaruhi pendaratan
penyu di suatu wilayah :
1. Kemiringan pantai : semakin landai semakin memungkinkan penyu untuk mendarat dan
tidak adanya abrasi pada tempat tersebut.
2. Jenis sedimen pantai : penyu cenderung lebih meyukai sedimen pasir halus, jenis penyu
sisik meyukai jenis pasir putih yang terdiri dari serpihan karang (karena sesuai
habitatnya).
3. Faktor lingkungan lainnya seperti ketenangan suatu tempat (jauh dari wilayah
penduduk), keharusan penyu untuk secepatnya meletakkan telur disuatu tempat karena
jarak dari tempat asal penyu masih jauh.
4. Musim sangat mempengaruhi penyu untuk mendarat terutama yang akan meletakkan
telur, untuk pendaratan penyu diwilayah pengandaran antara bulan juni sampai
desember, masing-masing jenis berbeda misalnya untuk penyu lekang pada bulan
desember.
Penangkaran penyu di Pangandaran termasuk semi alami : telur diambil dari alam,
lalu telur diteaskan (selama proses penetasan semakin hangat suhu akan menghasilkan penyu
jantan) sekitar 7 bulan tukik akan dilepas ke alam bebas. Penyu deawasa yang dipelihara
dalam kolam dengan pemberian pakan dua kali dalam sehari yaitu jam enam pagi dan jam
enam sore.
3.2.
Analisis Vegetasi
Vegetasi yang terdapat di Pantai Batu Hiu di bagi ke dalam 3 kriteria tingkatan
vegetasi yaitu pohon tiang, pohon pancang, dan semai. Pohon tiang adalah pohon muda yang
diameter batangnya antara 10 20 cm, sedangkan pohon pancang adalah anakan pohon yang
tingginya lebih dari sama dengan 150 cm, sedangkan pohon semai adalah anakan pohon yang
tingginya kurang dari 150 cm (Bima, 2014).
Tabel 1. Transek 5 x 5 m pohon/tiang
Stasiun
Spesies
Pandanus
tectoricus
Terminali
a catappa
Keliling
(cm)
Luasan area
(/cm2)
13
40.82
132.67
12
37.68
113.04
12
37.68
113.04
Pandanus
tectoricus
Terminalia
catappa
Terminalia
catappa
Spesies
Diameter
(cm)
Kera
patan
Jenis
(/m2)
Kerap
atan
Relatif
(%)
Frekue
nsi
Jenis
(/m2)
0.32
80
0.5
50
5.31
37.00%
167
0.08
20
0.5
50
9.04
63.00%
133
0.4
Kerapatan
Jenis (/m2)
INP
(%)
14.35
Spesies
Frekue
Dominan Dominansi
nsi
si Jenis
Relatif
Relative
2
(/m )
(%)
(%)
Jumlah ()
11
Kerapatan
Relatif (%)
1
10
Frekuensi
Jenis (/m2)
Frekuensi
Relative (%)
INP (%)
Terminalia
catappa
Hibiscus tiliaceus
Pandanus
tectoricus
0.44
48.89
0.5
33.33
82.22
0.04
4.44
0.5
33.33
37.77
0.42
46.67
0.5
33.33
80
0.9
1.5
Spesies
Ipomoea
pescaprae
Spinifex
longifolius
Cuscuta
aproximata
Jumlah ()
3
7
4
Kerapatan
Jenis (/m2)
Kerapatan
Relatif (%)
Frekuensi
Jenis (/m2)
Frekuensi
Relative (%)
INP (%)
0.75
21.43
0.5
33.33
54.76
1.75
50
0.5
33.33
83.33
28.57
0.5
33.33
61.9
3.5
1.5
Berdasarkan pengamatan di Pantai Batu Hiu didapatkan hasil untuk tingkatan pohon
dewasa tidak ditemukan. Tingkatan pohon tiang ditemukan Pandanus tectoricus dan
Terminalia catappa, untuk pohon pancang ditemukan 3 jenis yaitu Pandanus tectoricus,
Hibiscus tiliaceus dan Terminalia catappa, sementara semai didapatkan 3 jenis vegetasi yaitu
Spinifex longifolius, Cuscuta approximate, dan Ipomoea pescaprae. Hasil pengamatan jenis
vegetasi dapat dilihat pada Tabel 1, 2 dan 3. Vegetasi pada pantai mempunyai peran yang
sangat penting bagi penyu untuk melindungi telur terkena langsung sinar matahari, mencegah
perubahan suhu yang yang tajam di sekitarnya dan melindungi sarang dari gangguan predator
serta memberikan pengaruh terhadap kelembaban, suhu dan kestabilan pada pasir yang
memberikan keamanan saat penggalian lubang sarang (Bustard, 1972 dalam Puta et al.,
2014). Sedangkan Menurut Nuitja (1992) dalam Putra et al. (2014) vegetasi pantai sangat
berpegaruh terhadap lingkungan penelurannya dikarenakan akar vegetasi yang dapat
mengikat butiran pasir dan menghindar terjadinya keruntuhan pasir sehingga akan dapat
mempermudah penyu dalam melakukan penggalian dan proses penelurannya dan suhu
maupun kelembaban disekitar vegetasi relative stabil dengan cahaya matahari tidak langsung
mengenai ke permukaan pasir dan baik bagi telur penyu selama masa inkubasi. Selain itu
juga dapat menghindari telur dalam sarang dari serangan predator dan juga para pencuri telur
oleh manusia karena sarang telur yang terlindungi oleh vegetasi.
Nilai kerapatan relatif vegetasi pohon / tiang Pandanus tectoricus dan Terminalia
catappa yang ditemukan di sepanjang pantai Batu Hiu, Pangandaran yaitu masing masing
sebesar 80% dan 20%. Nilai kerapatan relatif untuk kategori pancang / anakan yaitu 46.67%
untuk jenis Pandanus tectoricus, 48.89% untuk jenis Terminalia catapa, dan 4.44% untuk
jenis Hibiscus tiliaceus. Selanjutnya kerapatan relatif untuk kategori semai yaitu Spinifex
longifolius 50%, Cuscuta approximata 28.57%, serta Ipomoea pescaprae 21.43%.
Spesies tumbuh tumbuhan di daerah sekitar pantai peneluran Penyu Hijau
(Chelonia mydas) dapat diketahui dengan analisis vegetasi. Analisis ini menggunakan transek
kuadran, pada analisis ini didapat nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi relatif (FR),
Dominasi Relatif (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP). Hasil analisis vegetasi untuk
tumbuhan tingkat pohon dewasa, pohon tiang, pohon pancang, dan semai disajikan dalam
gambar dibawah ini,
kategori dewasa sampai semai yang mengindikasikan bahwa jenis-jenis tersebut masih
mempunyai kemampuan untuk dapat melakukan permudaan alam secara mandiri. Hal ini
dapat bermanfaat secara langsung terhadap habitat penyu untuk bertelur dan menyebabkan
kawasan menjadi lebih terlindung secara alami dari gangguan predator (Roemantyo, et al,
2012).
3.2.3. Geomorfologi Pantai
Hasil pengukuran geomorfologi pantai Batu Hiu, Kabupaten Pangandaran yang dapat
mempengaruhi habitat sarang bertelur penyu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Morfologi Pantai
Stasiun
Kemiringan (%)
1
2
6.9
2.42
Lebar total
pantai (m)
57.7
45.5
Lebar Pantai
Lebar
intertidal (m)
20
15.5
Lebar
subtidal (m)
37.7
30
Berdasarkan hasil pengukuran nilai kemiringan pantai di pantai Batu Hiu, Kabupaten
Pangandaran dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai kemiringan pantai di dua stasiun memiliki nilai
kemiringan pantai yang berbeda. Nilai kemiringan pantai tersebut memiliki nilai pada stasiun
1 sebesar 6.9% sedangkan pada stasiun 2 sebesar 2.42%. Nilai kemiringan pantai pada stasiun
1 lebih tinggi dibandingkan pada stasiun 2.
Lebar Pantai Batu Hiu. Garis pantai sepanjang 7 kilometer tersebut merupakan tempat
sarang penyu yang biasa digunakan penyu untuk bertelur. Menurut informasi yang di dapat
dari warga sekitar, panjang pantai tempat peneluran dahulu mencapai 14 kilometer ke arah
Barat pantai. Hal ini disebabkan karena daerah sekitar pantai di daerah Batu Hiu sudah
dimanfaatkan warga sebagai tempat tinggal maupun kegiatan bisnis jasa bagi warga sekitar
Pantai Batu Hiu untuk meningkatkan perekonomian warga sekitar. Bagi Penyu ini sangat
merugikan, karena semakin sempitnya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh penyu untuk
membuat sarang (Agus, 1989).
Bara et al. (2013) menjelaskan bahwa kemiringan pantai 3%-8% masuk dalam
kategori datar, sedangkan nilai kemiringan antara 8% -16% menunjukkan kategori landai.
Berdasarkan hasil yang didapat dan sesuai dengan pernyataan Bara et al. (2013) kemiringan
pada stasiun 1 termasuk kategori landai sedangkan pada stasiun 2 termasuk dalam kategori
datar. Bara et al. (2013) juga menjelaskan bahwa semakin landai pantai peneluran maka
semakin memudahkan penyu untuk melakukan aktivitas pendaratan mencari lokasi sarang
sebagai tempat bertelur. Selain itu, semakin curam pantai maka akan semakin besar pula
energi penyu yang diperlukan untuk naik bertelur, dan semakin sulit penyu melihat objek
yang berada jauh di depan, karena mata penyu hanya mampu berakomodasi dan melihat
dengan baik pada sudut 150 ke bawah (Putra et al., 2014).
Hasil pengukuran nilai lebar pantai di pantai Batu Hiu, Kabupaten Pangandaran yang
dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai lebar pantai di kedua stasiun memiliki nilai lebar pantai
yang berbeda. Nilai lebar total pantai pada stasiun 1 yaitu sebesar 57.7 m dengan lebar
intertidal sebesar 20 m dan lebar subtidal 37.7 m, sedangkan pada stasiun 2 nilai lebar total
pantai sebesar 45.5 m dengan lebar intertidal sebesar 15.5 m dan lebar subtidal 30 m. Nilai
lebar total pantai pada stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 2.
Berdasarkan hasil tersebut, nilai lebar pantai pada kedua stasiun di pantai Batu Hiu,
Kabupaten Pangandaran tergolong dalam kategori cukup luas. Menurut Satriadi et al. (2003),
kebiasaan penyu yang memilih lokasi bertelur pada tempat luas dan lapang. Bara et al. (2013)
juga menambahkan bahwa penyu lebih memilih meletakkan telur-telurnya diatas pasang surut
antara 3080 m. Putra et al. (2014) menyatakan, sarang yang tidak terlalu dekat dengan air
laut akan menghindarkan sarang penyu dari rendaman air laut. Apabila sarang penyu
terendam air laut maka akan menyebabkan gagalnya penyu untuk menetas.
3.4.
dijangkau dari laut, posisinya harus cukup tinggi untuk mencegah telur terendam oleh air
pasang, pasir pantai relatif lepas (loose) serta berukuran sedang untuk mencegah runtuhnya
lubang sarang pada saat pembentukannya. Pemilihan lokasi ini agar telur berada dalam
lingkungan bersalinitas rendah, lembab dan substrat memiliki ventilasi yang baik sehingga
telur-telur tidak tergenang air selama masa inkubasi (Miller, 1997).
Tabel 5. Parameter fisik sarang
Tipe Substrat (%)
S
tasiun
1
2
P
asir
Halus
asir
Kasar
1
00%
1
00%
P
asir
Sedang
Temp
eratur (oC)
Jar
ak Sarang
Dengan
Pasang Air
Laut (m)
Jar
ak Sarang
Dengan
Surut Air
Laut (m)
37.7
57.7
31
30
45.5
Berdasarkan data dilapangan di dapatkan bawah rata rata sedimen pada setiap stasiun
di Pantai Batu Hiu yaitu 100% sedimen pasir halus. Kandungan pasir, liat dan debu
berpengaruh terhadap suhu sarang. Sarang yang kandungan pasir sedikit atau banyak debu
dan liatnya dapat menyebabkan pembusukan telur di dalam sarang (Nuitja, 1983).
Kandungan pasir yang tinggi menghindarkan sarang dari genangan air, karena air akan
langsung diteruskan tanpa tertahan dan dapat menyimpan suhu sehingga akan tetap hangat
yang bermanfaat untuk perkembangan embrio (Putra et al., 2014)
Karakter fisik pantai juga mempengaruhi keberhasilan penetasan telur penyu.
Karakter fisik tersebut antara lain kemiringan pantai, suhu sarang, kelembaban sarang,
kehalusan pasir, kondisi diatas pantai, kondisi laut disekitar pantai peneluran dan sebagainya
(YAL, 2000). Menurut Ackerman (1997), penyu menggali sarang dan meletakkan telurtelurnya di sebuah pantai berpasir. Pantai berpasir tempat peneluran penyu merupakan
inkubator serta memiliki suasana lingkungan yang sesuai bagi perkembangan embrio penyu.
Iklim mikro yang sesuai untuk inkubasi telur penyu ditimbulkan dari adanya interaksi antara
karakter fisik material, penyusun pantai, iklim lokal dan telur-telur dalam sarang.
Pantai peneluran penyu memiliki persyaratan umum antara lain pantai mudah
dijangkau dari laut, posisinya harus cukup tinggi untuk mencegah telur terendam oleh air
pasang, pasir pantai relatif lepas (loose) serta berukuran sedang untuk mencegah runtuhnya
lubang sarang pada saat pembentukannya. Pemilihan lokasi ini agar telur berada dalam
lingkungan bersalinitas rendah, lembab dan substrat memiliki ventilasi yang baik sehingga
telur-telur tidak tergenang air selama masa inkubasi (Mortimer, 1992 ; Miller, 1997).
IV.
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan praktikum yang dilakukan pada lokasi Pantai Batu Hiu
dapat disimpulkan bahwa :
1. Jenis Vegetasi yang terdapat di pantai Batu Hiu adalah Pandanus tectoricus,
Terminalia catappa, Hibiscus tiliaceus, Ipomoea pescaprae, Spinifex longifolius,
dan Cuscuta aproximata
2. Morfologi pantai sarang penyu di pantai Batu Hiu, Kabupaten Pangandaran yaitu
tercatat kemiringannya berkisar antara 2.42 6.9%. Lebar total pantai berkisar
antara 45.5 57.7 m. Lebar intertidal berkisar antara 15.5 20 m. Lebar subtidal
berkisar antara 30 37.7 m.
3. Parameter fisik sarang penyu di pantai Batu Hiu, Kabupaten Pangandaran yaitu
tercatat tipe substrat pada sarang penyu adalah pasir halus dengan suhu 31 oC. Jarak
sarang dengan pasang air laut yaitu berkisar antara 30 37.7 m, sedangkan jarak
sarang dengan surut air laut yaitu berkisar antara 45.5 57.7 m.
5.2. Saran
Saran untuk praktikum ini selanjutnya yaitu, membandingkan tingkat keberhasilan
peneluran penyu yang ada di sarang alami dengan sarang buatan oleh warga penangkaran
sekitar.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, R.A. 1997. The Nest Environment and The Embryonic Development of Sea
Turtles, In: Lunz, P.L dan Musick, J.A (eds). The Biology of Sea Turtle. CRC Press,
Boca Raton. Pp. 8 106.
Anshary, M., T. R. Setyawati, A. H. Yanti. 2014. Karakteristik Pendaratan Penyu Hijau
(Chelonia mydas, Linnaeus 1758) di Pesisir Pantai Tanjung Kemuning Tanjung Api
Dan Pantai Belacan Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. Jurnal Protobiont. Volume
3. No. 2. Hal : 232 239.
Hitipeuw C dan Maturbongs JA. 2002. Marine Turtle Conservation Programme JamursbaMedi Nesting Beach, North Coast of the Bird's Head Peninsula, Papua. In: I Kinan
(Ed.). Proceedings of the Western Pacific Sea Turtle Cooperative Research and
Management Workshop, 161-175. Honolulu 5-8 February 2002. Western Pacific
Regional Fishery Management Council. Honolulu, Hawaii, USA.
Miller, J.D. 1997. Reproduction In Sea Turtles. In: Lutz, P.L dan Musick, J.A (eds). The
Biology of Sea Turtle. CRC Press, Boca Raton. pp. 51 82
Nuitja, I.N.S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Institut Pertanian Bogor
Press : Bogor.
Putra, B. A., E. Wibowo, S. Rejeki. 2014. Studi Karakteristik Biofisik Habitat Peneluran
Penyu Hijau (Chelonia mydas) Di Pantai Paloh, Sambas, Kalimantan Barat. Journal
Of Marine Research. Volume 3. No. 3. Hal : 173 181.
Roemantyo, A. S. Nastiti, N. N. Wiadnyana. 2012. Struktur Dan Komposisi Vegetasi Sekitar
Sarang Penyu Hijau (Chelonia mydas Linnaeus) Pantai Pangumbahan, Sukabumi
Selatan, Jawa Barat. Berita Biologi. Volume 11. No. 3. Hal : 373 387.
Rofiah, A., R. Hartati, E. Wibowo. 2012. Pengaruh Naungan Sarang terhadap Persentase
Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) di Pantai Samas Bantul,
Yogyakarta. Journal Of Marine Research. Volume 1. No. 2. Hal : 103 108.
Sheavtiyan, T. R. Setyawati, I. Lovadi. 2014. Tingkat Keberhasilan Penetasan Telur Penyu
Hijau (Chelonia Mydas, Linnaeus 1758) di Pantai Sebubus, Kabupaten Sambas.
Jurnal Protobiont. Volume 3. No. 1. Hal : 46 54.
Suwondo Y dan Hendri AY. 2004. Analisis distribusi sarang penyu hijau Chelonia midas di
pulau Jemur, Riau. Jurnal Biogenesis 1(1), 3136.
YAL (Yayasan Alam Lestari). 2000. Mengenal Penyu.Yayasan Alam Lestari dan Keidanren
Nature Conservation Fund (KNCF) Jepang. 81 hal
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan dan analisis data
Kerapatan
kerapatan=
jumlah individu
luas kuadrat
8
=0.32
25
11
kerapatan pohon pancang(Terminalia catappa)= =0.44
25
1
kerapatan pohon pancang(Hibiscus tiliaceus)= =0.04
25
3
kerapatan pohon semai( Ipomoea pescaprae)= =0.75
4
Kerapatan relativ
kerapatan suatu jenis
kerapatan relativ=
100
kerapatan seluruh jenis
Frekuensi
jumlah pe tak ditemukan suatu jenis
f=
jumlah petak seluruh
Frekuensi relativ
frekuensi suatu spesies
f relativ=
frekuensi seluruh spesies
Dominasi
luas bidan g dasar suatu spesies
dominasi=
luas petak contoh
Dominasi relativ
dominasi suatu spesies
dominasi relatif =
dominasi seluruh spesies
Indeks nilai penting untuk pohon dan tiang (%)
INP=kerapatan relativ + f relativ +dominasi relativ
Indeks nilai penting untuk semai dan pancang (%)
INP=kerapatan relativ +f relativ
1. Pengukuran morfologi pantai
Lebar pantai
Lebar intertidal
= 20 m
Lebar subtidal
= 37.7 m
lebar total=lebar intertidal +lebar subtidal
lebar total=20+37.7
lebar total=57.7 m
Kemiringan
selisih tinggi air
kemiringan=
100
jarak antar tiang pancang
Jarak antar tiang = 111 cm
a. Titik 1 = 34 cm
Titik 2 = 30 cm
kerapatan pohon tiang(Pandanus tectoricus)=
3430
100
111
kemiringan=3.60
Jarak antar tiang = 98 cm
b. Titik 2 = 30 cm
Titik 3 = 20 cm
3020
kemiringan=
100
98
kemiringan=10.20
kemiringan=
kemiringan ratarata=
3.60 +10.20
2
kemiringan ratarata=6.9
Keterangan