Anda di halaman 1dari 12

REFLEKSI KASUS PRAKTEK BELAJAR LAPANGAN

BLOK 276

PUSKESMAS NELAYAN
FAIZ TEGAR PRATITA
110170020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2014

ASMA BRONKIAL
(REFLEKSI)
A. Deskripsi Pengalaman
Pada refleksi kasus saya yang pertama pada minggu pertama ini saya mengambil
kasus Asma bronkial, saya mengambil kasus ini karena menurut saya kasus ini
menarik, saya juga diarahkan dan dibimbing dokter yangada di puskesmas untuk
menjadikan kasus ini sebagai refleksi kasus.
Pasien yang saya dapat adalah seorang anak umur 3 tahun diantar oleh
ibunya datang ke puskesmas dengan keluhan sesak napas. Sesak
dirasakan sejak semalam yang menyebabkan anak tidak bisa tidur.
Sesak hanya dirasakan saat cuaca dingin dan pada saat beraktivitas
atau saat anak kecapean. Keluhan juga disertai batuk berdahak dengan
warna bening tetapi tidak dirasakan pilek. Sebelumnya pasien
mengeluhkan demam. Konsumsi air hangat bisa meredakan keluhan
pasien. Pasien tidak merasakan keringat malam. Namun mengeluhkan
kaki terasa dingin. Pasien menderita penyakit asma sejak umur 2 tahun
dan dikeluarga pasien ada juga yang menderita asma yaitu ayahnya.
Tinjauan sistem tubuh lainya dalam batas normal.
Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien komposmentis dan tampak
kesulitan bernafas. Pengukuran tanda-tanda vital frekuensi napas 60
kali/menit, frekuensi nadi 100 kali/menit, suhu 36,8 0C. Terlihat tarikan
dinding dada. Suara wheezing pada paru kanan atas ditemukan. Akral
teraba dingin. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.
Pemberian antibiotik dan obat bronkodilator diberikan oleh dokter
puskesmas sebagai tatalaksana pada pasien ini.
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciriciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari
yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan
adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas,
yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri

patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai
dengan perubahan struktur saluran napas.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan

bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang

menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai
beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh

mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf.
Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related
Peptide

(CGRP).

Neuropeptida

itulah

yang

menyebabkan

terjadinya

bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan


aktivasi sel-sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma,
besarnya hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung,
yang merupakan parameter objektifberatnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai
cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun
inhalasi zat nonspesifik.
Dalam kasus ini pasien merupakan penderita asma sejak usia 2 tahun.
Sehingga, perjalanan penyakit asma yang diderita pasien sudah cukup lama.
Dengan kontrol rutin ke Puskesmas, pasien bisa mengatasi gejala-gejala yang
timbul. Pemberian antibiotik untuk mengaasi infeksi yang ada, antiinfamasi untuk
mencegah terjadinya anda-tanda inflamasi dan pemberian bronkodilator untuk
mengatasi penyempitan bronkus karena suatu reaksi erhadap antigen antibodi
yaitu untuk meregangkan dan merelaksasikan otot bronkus sehingga pasien bisa
bernafas normal dan tidak terasa berat saat bernafas. Jadi sejauh ini perkembanan
penyakit masih bisa diatasi dan tidak terlalu berdampak yang serius pada pasien.
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor resiko genetik diantaranya yaitu atopi/alergi. Hal yang
diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. Faktor
resiko genetik yang berikutnya adalah hipereaktivitas bronkus. Saluran napas
sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. Jenis kelaminm juga
merupakan faktor resiko genetik. Pria merupakan risiko untuk asma pada anak.

Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali
dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih
kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. Ras/etnik,
obesitas juga ermasuk salah satu faktor resiko genetik. Obesitas atau peningkatan
Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti
leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan
penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas
dan status kesehatan.
Selain faktor resiko genetik ada juga faktor resiko dari lingkungan. Alergen dalam
rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti
anjing, kucing, dan lain-lain), alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
Kemudian faktor lainnya seperti alergen makanan (contoh: susu, telur, udang,
kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet,
dan pewarna makanan), alergen obat-obatan tertentu (contoh: penisilin,
sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik,
antipiretik), bahan yang mengiritasi (contoh: parfum, household spray), ekspresi
emosi berlebih (stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping
gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit
diobati), asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif (asap rokok berhubungan
dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah
kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini), polusi udara
dari luar dan dalam ruangan, exercise-induced asthma (pada penderita yang
kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar
penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau
olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas

tersebut), perubahan cuaca (cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin
sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga), dan status
ekonomi.
Pada pasien ini jelas dikeluhakan oleh pasien faktor resiko yang jelas
dirasakan. Suhu dingin dan aktivitas berat yang mendominasi keluahan asma
timbul. Hal ini saya ketahui dari anamnesis mengenai faktor yang mempengaruhi
(faktor yang memeperberat dan memperingannya). Selain itu faktor resiko yang
lainnya adalah genetik yaitu turunan dari ibu pasien. Kemungkinan penyakit asma
diturunkan dari ibu ke pasien.
Aspek utama yang menjadi fokus refleksi pada minggu pertama kali ini
yaitu bagaimana mengatasi penyakit dan mengedukasi kepada pasien supaya
keluhan-keluhan yang timbul tidak bertambah berat, mengingat asma merupakan
salah satu penyakit yang sulit untuk hiilang bilamana bahan alergen tidak
dihindari. Maka dari itu penting sekali edukasi kepada pasien penderita asma
sehingga keluhan bisa ditekan dan bisa dicegah.
Dengan edukasi yang baik kepada pasien penderita asma, gejala bisa
ditekan dan tujuan dari edukasi bisa tercapai dengan baik. Tujuan yang ingin
dicapai pada refleksi kali ini adalah cara mengedukasi yang baik kepada pasien
penderita asma. Upaya promotif dan preventif jelas merupakan hal yang paling
utama dalam pencegahan suatu penyakit.
Banyak penderita asma tidak diobati menurut pedoman mutakhir,
menimbulkan asma tidak terkontrol dan merupakan beban bagi penderita,
keluarga serta seluruh sistem perawatan kesehatan. Pemantauan dan penilaian
secara terus menerus penting untuk keberhasilan penanganan klinis. Menurut
konsep baru, penanganan asma dibuat dalam 3 golongan umur yaitu 0-4 tahun, 412 tahun dan diatas 12 tahun, serta menggunakan 2 domain dalam evaluasi derajat
berat dan kontrol asma, yaitu gangguan dan risiko. Bila diagnosis asma sudah
ditegakkan, setiap penderita dilakukan penilaian derajat berat asma, Derajat berat
adalah intensitas intrinsik proses penyakit yang diukur praterapi, dan dapat

memberikan informasi kepada dokter untuk mengembangkan rencana pengobatan


awal. Pengobatan awal diberikan sesuai dengan regimen (tahap) pengobatan.
Evaluasi kontrol dalam 2-6 minggu (tergantung derajat berat awal atau
kontrol). PFM digunakan pada penderita

6 tahun. Bila hasil spirometri

menunjukkan kontrol buruk dibanding tanda kontrol lainnya, pertimbangkan


obstruksi yang menetap dan nilai ukuran lainnya. Bila obstruksi yang menetap
tidak menerangkan kontrol yang kurang, lakukan step up, karena FEV1 yang
buruk merupakan prediktor eksaserbasi. Bila riwayat eksaserbasi menunjukkan
kontrol buruk, nilai derajat gangguan paru dan pertimbangkan stepup, penanganan
eksaserbasi dan menggunakan kortikosteroid/ KS oral terutama untuk penderita
dengan riwayat eksaserbasi berat. Bila kontrol asma tidak didapat dengan cara
tersebut, evaluasi kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat, teknik inhalasi,
kontrol lingkungan (pajanan baru) dan penanganan komorbid. Bila asma sudah
terkontrol, pemantauan seterusnya adalah penting agar kontrol asma dapat
dipertahankan serta menentukan tahap dan dosis obat terendah. Pendekatan
bertahap (stepping up dan stepping down) dianjurkan untuk memperoleh dan
mempertahankan kontrol asma. Pendekatan pengobatan bertahap menggabungkan
kelima komponen yang diperlukan dalam penanganan asma. Jenis, jumlah dan
jadwal obat ditentukan oleh ambang berat asma atau kontrol asma. Pengobatan
ditingkatkan (stepping up) bila diperlukan, dan diturunkan (stepping down) bila
mungkin. Oleh karena asma adalah penyakit kronis, asma persisten dapat
dikontrol terbaik dengan pemberian obat pengontrol jangka lama untuk menekan
inflamasi setiap hari. Kortikosteroid inhalasi merupakan obat anti-inflamasi yang
efektif untuk semua usia pada semua tahap perawatan asma persisten. Seleksi
terapi alternatif berdasarkan atas pertimbangan pengobatan yang efektif untuk
penderita (gangguan, risiko atau keduanya) dan riwayat penderita mengenai
respons sebelumnya (sensitivitas dan respons terhadap berbagai obat asma dapat
berbeda di antara penderita) serta kesediaan dan kemampuan penderita ataupun
keluarga untuk menggunakan obat-obatan. Bila asma sudah terkontrol,
pemantauan adalah esensial, oleh karena asma dapat berbeda dengan waktu.

Stepping up mungkin diperlukan, atau bila mungkin stepping down, identifikasi


obat minimal diperlukan dalam mempertahankan kontrol asma.
Penilaian derajat berat dan kontrol dilakukan menurut 2 domain yang sama
yaitu gangguan (gejala, tidur, dan aktivitas) dan risiko eksaserbasi yang
memerlukan steroid oral. Derajat berat asma ditentukan oleh domain gangguan
dan risiko terberat. Pendekatan stepwise adalah untuk menolong, bukan untuk
menggantikan. Ambang derajat berat ditentukan oleh domain gangguan terberat
(nilai dari 2-4 minggu yang akhir, dapat menggunakan PFM) dan risiko.
Keputusan berdasarkan data klinis untuk memenuhi kebutuhan penderita. Dewasa
ini tidak cukup bukti hubungan antara frekuensi eksaserbasi dengan berbagai
ambang derajat berat asma. Bila perbaikan tidak dicapai dalam 4-6 minggu
walaupun teknik pengobatan dan ketaatan cukup baik, pertimbangkan terapi
penyesuaian atau alternatif. Penderita dengan dua atau lebih eksaserbasi,
memerlukan steroid oral dalam 6 bulan akhir atau empat episode mengi dalam
satu tahun terakhir, dianggap sebagai penderita asma persisten, meskipun tidak
disertai ambang gangguan yang konsisten dengan asma persisten. Sebelum step
up, perlu dievaluasi kepatuhan penderita minum obat, teknik penggunaan inhaler,
kontrol lingkungan dan komorbiditas. Bila diberikan pengobatan alternatif,
hentikan penggunaannya sebelum step up.
Berdasarkan teori dan sharing dengan doker puskesmas pengobatan
terhadap penderita asma pada pasien ini cukup dengan pemeberian antibioik untuk
infeksi, antiinflamasi untuk inflamasinya dan pemberian bronkodilator untuk
melegakan nafas yang tadinya ada pengecilan saluran pernafasan karena
konstriksi dari bronkus. Selain tatalksana jangan melupakan edukasi kepada
pasien. Hal itu sangat penting untuk mencegah kekambuhan asma.
Diharapkan dengan tatalaksana dan edukasi yang tepat bisa memeperbaiki
keadaan pasien menjadi lebih baik dan sehat. Konsekuensi dari tindakan dan
tatalaksana yang diberikan bagi saya sendiri mungkin dilihat dari umur pasien
yang sudah menginjak dewasa tua dikhawatirkan efek samping obat terhadap
tubuh akan semakin terasa. Di usia tua penurunan fungsi tubuh juga terjadi,
sehingga kemungkinan terjadi akumulasi obat di hati bisa berakibat fatal.

Pemberian kortikosteroid sangat baik untuk inflamasi akan tetapi efek


sampingnya terhadap organ tubuh sangat berbahaya. Untuk itu kepatuhan pasien
menuruti edukasi dari dokter sangat penting dalam mengurangi asupan obat yang
berdampak kurang baik bagi tubuh. Mungkin konsekuensi tindakan yang saya
berikan kepada pasien yang dirasakan keluargannya, dikhawatirkan yang
dirasakan keluarga pasien yaitu rasa tidak percaya akan diberikan saya karena
mungkin suatu saat efek samping dari obat akan terasa dan dikeluhkan oleh
keluarga pasien. Rekam kerja mungkin berpikiran hal yang sama dengan saya
mengenai efek jangka panjang yang diimbulkan obat tersebut. Perasaan saya
ketika menghadapi kasus ini sangat senang, karena saya bisa bertemu langsung
dengan pasien sebenarnya yang benar-benar sakit asma. Bisa melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosa dan melihat tatalaksana merupakan hal
yang paling menyenangkan dan merupakan kesempatan yang langka. Akan tetapi
meskipun baik bagi saya ketika saya melihat pasien asma saya merasa kasihan
dengan kondidi yang dialami pasien tersebut yang selalu merasakan kesulitan
bernafas dan rasa berat saat bernafas. Meminum obat juga harus rutin setiap gejala
asma timbul. Jadi secara keseluruhan ada rasa senang dan sedihnya ketika
mendapatkan pasien asma di puskesmas. Perasaan pasien saat itu terlihat seperti
biasa saja mungkin karena hal ini dianggap sudah biasa terjadi. Dilihat dari
ekspresi wajah juga terlihat dan cara menjawab pertanyaan yang saya ajukan
bahwa pasien merasa gelisah akan tetapi tetap dijalani pasien dan sudah menjadi
hal yang biasa bahwa selalu terjadi gejala asma yang timbul.
Faktor yang menjadi keputusan saya memberikan tatalaksana seperti yang
telah ditulisakan diatas ada dari faktor internal dan eksternal. Untuk faktor internal
saya berdasarkan pengetahuan yang saya pelajari ketika saya kuliah sedangkan
faktor eksternal saya dari masukan dokter puskesmas dan berdasarkan referensirefensi yang terkait penyakit asma bronkial.
Landasan pikiran yang saya pakai berdarkan referensi yang saya pelajari.
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi,
diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan
terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan

dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang
dapat mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan
sistem imun bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator
masih merupakan hipotesis.
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti
alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur,
alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi
pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok,
menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang
menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi
biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha
menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari
adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan
berbagai faktor lainnya. Penatalaksanaan asma bertujuan untuk menghilangkan
dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat, mencegah
eksaserbasi akut, meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal
mungkin, mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan
aktivitas lainnya, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya
keterbatasan aliran udara ireversibel, meminimalkan kunjungan ke gawat darurat
Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien adalah hal
yang penting sebagai dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter selalu
bersedia mendengarkan keluhan pasien, itu merupakan kunci keberhasilan
pengobatan. Komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu
mengembangkan hubungan dokter pasien, identifikasi dan menurunkan pajanan
terhadap faktor risiko, penilaian, pengobatan dan monitor asma serta
penatalaksanaan asma eksaserbasi akut.
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2
golongan: Akut dan kronis. Serangan akut adalah keadaan darurat dan
membutuhkan bantuan medis segera, Penanganan harus cepat dan sebaiknya
dilakukan di rumah sakit/gawat darurat. Kemampuan pasien untuk mendeteksi
dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien dapat mengobati dirinya

sendiri saat serangan di rumah sebelum ke dokter. Dilakukan penilaian berat


serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala, pemeriksaan fisis dan bila
memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan yang
tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan
laboratorium

yang

dapat

menyebabkan

keter-lambatan

dalam

pengobatan/tindakan. Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami


sistem penanganan asma secara mandiri, sehingga dapatmengetahui kondisi
kronik dan variasi keadaan asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin
yang yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal
sebagai pengontrol, Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk
mengatasi eksaserbasi/serangan, dikenal pelega.
Ciri-ciri asma terkontrol tanpa gejala harian atau 2x/minggu, tanpa
keterbatasan aktivitas harian, tanpa gejala asma malam, tanpa pengobatan pelega
atau 2x/minggu, fungsi paru normal atau hampir normal, tanpa eksaserbasi. Ciriciri asma tidak terkontrol asma malam (terbangun malam hari karena gejala
asma), kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut, kebutuhan obat pelega
meningkat. Pengendalian asma bertujuan, meningkatkan kemandirian pasien
dalam upaya pencegahan asma, menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang
terpajan faktor risiko asma, terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat
berisiko asma, terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma
sesuai standar/kriteria, menurunnya angka kesakitan akibat asma, menurunnya
angka kematian akibat asma. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara
dapat dilakukan dengan Komunikasi, Informasi dan Edukasi diantaranya
penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan
asma, meningkatkan pengetahuan, motivasi dan partisipasi pasien dalam
pengendalian asma, untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian
asma. meningkatkan kemandirian pasien dalam ketrampilan penggunaan obat/alat
inhalasi. Pelaksanaan KIE tentang asma dan faktor risikonya dapat dilakukan
melalui berbagai media penyuluhan, seperti penyuluhan tatap muka, radio, televisi
dan media elektronik lainnya, poster, leaflet, pamflet, surat kabar, majalah dan
media cetak lainnya.

Ketika menghadapai pasien ini belum terfikir alternatif lain sebagai


attalksana pada pasien ini, hanya terbatas pada tatalaksana pengobatan antibiotik,
antiinflamasi dan bronkodilator. Selain tatalaksana diatas juga ada edukasi sebagai
pencegahan kambuhan penyakitnya.

KESIMPULAN
Perasaan saya mengenai kasus ini saya merasa insyaallah apabia
mendapatkan kasus yang serupa bisa mengatasinya dengan ilmu dan teori yang
saya dapat dari bangku kuliah dan praktek di puskesmas. Dengan mengetahui
penyebab sampai dengan pencegahan dari asma saya bisa belajar banyak hal
untuk dipelajari dan menjadikan acuan kedepannya apabila menemukan kasus
yang serupa. Dengan pengalaman ini pola pikir saya mengenai menajemen
penyakit mulai meluar. Berfikir tidak hanya obantnya saja tetapi kita juga harus
memikirkan benar-benar dari penyebab, perjalanan penyakit, gejala dan tanda,
pemeriksaan

penunjang,

dignosis,

tatalksana,

komplikasi

dan

juga

pencegahannya. Selain itu aspek-aspek yang lain seperti kesigapan diri merawat
pasien dan menanggapi maslah-masalah atau keluahan-keluahan yang dirasakan
oleh keluarga pasien, rekan sejawat dan rekan kerja. Kasus ini mengajarkan saya
bagaimana berpola pikir yang luas tentang suatu penyakit dan mengajarkan saya
betapa tidak enaknya itu rasa sakit. Sehat itu penting dan sangat mahal harganya.

Anda mungkin juga menyukai