Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan
di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang memburuk dengan
meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TByang tidak berhasil disembuhkan terutama di
22 negara dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO)
melaporkan dalam GlobalTuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam
pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB
dalam dua dekade terakhir ini. Insiden TB secara global dilaporkan menurun dengan
laju2,2% pada tahun 2010-2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban
global akibat TB masih tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insiden kasus TB
mencapai 8,7 juta (termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang meninggal
karena TB. Secara global diperkirakan insiden TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan
20% kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95%kasus TB dan 98% kematian akibat TB
di dunia terjadi di negara berkembang.1,2
Pada tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati urutan keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan. Indonesia merupakan negara dengan beban tinggi
TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium Development Goals
(MDG) untuk penemuan kasus TB diatas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun
2006.1,2 Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama pengendalian TB karena
dapat memutuskan rantai penularan. Meskipun Program Pengendalian TB Nasional telah
berhasil mencapai target angka penemuan dan angka kesembuhan, penatalaksanaan TB di
sebagian besar rumah sakit dan praktek swasta belum sesuai dengan strategi Directly
Observed Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan berdasarkan
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC).2,3Pada awalnya, penerapan strategi
DOTS di Indonesia hanya dilaksanakan di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Seiring
berjalannya waktu, strategi DOTS mulai dikembangkan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat
(BKPM) dan Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta. Hasil survei prevalens TB tahun
2004 melaporkan bahwa pola pencarian pengobatan sebagian besar pasien TB ketika
pertama kali sakit adalah rumah sakit sehingga melibatkan rumah sakit untuk melaksanakan
1

strategi DOTS menjadi sesuatu yang penting yang memberikan kontribusi berarti terhadap
upaya penemuan pasien TB.2,4
Upaya perluasan strategi DOTS ke rumah sakit merupakan tantangan besar bagi
Indonesia dalam mengendalikan TB. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh
program nasional TB pada tahun 2005 menyebutkan bahwa meskipun angka penemuan
kasus TB di rumah sakit cukup tinggi, angka keberhasilan pengobatan masih rendah, yaitu di
bawah 50% dengan angka putus berobat mencapai 50%-85%.4 Public Private Mix (PPM)
adalah keterlibatan seluruh penyedia kesehatan publik dan swasta, formal dan informal
dalam penyediaan perawatan TB sesuai denganInternational Standard for Tuberculosis Care
(ISTC) untuk pasien yang telahatau diduga menderita TB. Belum terdapat komitmen kuat
dari pihak manajemen (pimpinan rumah sakit) dan tenaga medis (dokter umum dan
spesialis) serta paramedis dalam penanggulangan TB sesuai ISTC.
Laporan hasil evaluasi Joint External TB Monitoring Mission (JEMM) 2011
menyebutkan, dari sekitar 1.523rumah sakit di Indonesia, hanya 38% yang melaksanakan
program DOTS. Publicprivate mix (PPM) memungkinkan semua penyedia layanan
kesehatan untuk berpartisipasidalam memberikan gabungan yang tepat dari tugas pelayanan
kesehatan yang selarasdengan program pengendalian penyakit nasional dan dilaksanakan
secara lokal.5 Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB tetap menjadi
hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Tingginya angka putus obat
mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman terhadap OAT (obat anti TB) yang
membutuhkan biaya yang lebih besar dan bertambah lamanya pengobatan. Angka putus obat
di rumah sakit di Jakarta pada tahun 2006 sekitar 7%. Berdasarkan laporan Subdit TB
Depkes RI tahun 2009, proporsi putus obat pada pasien TB parukasus baru dengan hasil
basil tahan asam (BTA) positif berkisar antara 0,6%-19,2%dengan angka putus obat tertinggi
yaitu di Provinsi Papua Barat, angka putus obat di Jakarta pada tahun 2009 sebesar 5,7%.4
Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya kasus putus obat pada pasien TB paru.
Komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dengan pasien merupakan factor penting
yang menentukan keberhasilan pengobatan. Penelitian yang dilakukan oleh Janani dkk, di
Srilanka pada tahun 2002 menyatakan bahwa putus obat berhubungan dengan kebiasaan
merokok, riwayat pengobatan TB sebelumnya, dan luas lesiradiologis. 6 Penelitian di India
pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa putus obat berhubungan dengan jenis kelamin,
2

konsumsi alkohol, usia, status pengobatan TBdan jumlah kuman BTA pada awal
pemeriksaan.7 Penelitian di Uzbekistan pada tahun2005 menyatakan bahwa putus obat juga
berhubungan dengan status pekerjaan.8 Selain itu juga terdapat beberapa penelitian lain yang
menyatakan bahwa putusobat berhubungan dengan status perkawinan, jarak rumah ke
tempat pengobatan(RS), penghasilan, efek samping pengobatan, tingkat pendidikan,
penyakit penyerta(DM, hepatitis, tumor paru, dll), sumber biaya pengobatan, jenis
pengobatan yang digunakan dan pengawas menelan obat (PMO).9,10

BAB II
3

TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengelolaan Neonatus dari ibu sakit TB
Kehamilan akan meningkatan resiko berkembangnya TB aktif pada wanita
yang sebelumnya terinfeksi, terutama pada trimester terakhir atau pada periode awal
pasca-natal. Kejadian TB pada ibu hamil meningkat secara bermakna, sejak awal
epidemi HIV.Sekitar 2% dari ibu hamil yang terinfeksi HIV didiagnosis dengan TB,
dan TB merupakan penyebab utama kematian ibu di daerah endemik HIV.
Peningkatan risiko untuk bayi yang baru lahir dari ibu dengan TB dan TB-HIV
meliputi :

Infeksi dan penyakit TB


Transmisi HIV dari ibu ke bayi
Lahir prematur dan berat badan lahir rendah
Kematian peri-natal dan neonates
Menjadi yatim piatu

2. TB neonatal
Ada 2 istilah pada TB Neonatal yang harus dibedakan yaitu:
1) TB Kongenital
Terjadi ketika neonatus tertular M.tuberculosis saat dalam rahim melalui
penyebaran hematogen lewat vena umbilikal, saat persalinan melalui aspirasi atau
meminum cairan amnion atau sekresi cervicovaginal yang terkontaminasi M.
tuberculosis. Gejala TB kongenital biasanya muncul pada minggu pertama kehidupan
dan mortalitas TB kongenital tinggi.
2) TB Neonatal/ TB Perinatal
Adalah ketika neonatus terinfeksi setelah lahir dengan terpapar pada kasus TB
BTA (+), yaitu biasanya ibu atau kontak lain yang dekat. Penularan pascanatal terjadi
melalui droplet dengan patogenesis yang sama seperti TB pada anak. Seringkali sulit
membedakan antara TB Kongenital dan TB Neonatal/ Perinatal.
Neonatus yang terpapar TB dapat bergejala ataupun tidak. Gejala TB pada
neonatus mulai muncul minggu ke 2-3 setelah kelahiran. Gejala dan tanda tidak
spesifik, diagnosis sering terlambat oleh karena awalnya diduga sepsis. Gejala awal
seperti letargi, sulit minum, berat badan lahir rendah dan kesulitan pertambahan berat
badan. Tanda klinis lain meliputi distres pernapasan, pneumonia yang sulit sembuh,
4

hepatosplenomegali, limfadenopati, distensi abdomen dengan asites, atau gambaran


sepsis neonatal dengan TB Diseminata. Diagnosis TB harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding pada

kronis neonatal yang berespon buruk terhadap terapi

antimikroba, infeksikongenital, dan pneumonia atipikal. Petunjuk yang paling utama


dalam diagnosisTB pada neonatus yaitu riwayat ibu terinfeksi TB atau HIV. Poin
utama padariwayat ibu meliputi pneumonia yang sulit membaik, kontak dengan
kasusindeks TB, dan riwayat pengobatan TB dalam 1 tahun terakhir.
Pemeriksaan

penunjang

yang

diperlukan

pada

TB

kongenital

adalahpemeriksaan M. tuberculosis melalui darah vena umbilikus dan plasenta.


Padaplasenta sebaiknya diperiksa gambaran histopatologis dengan kemungkinan
adanya granuloma kaseosa dan BTA, bila perlu dilakukan kuretase endometrium
untuk mencari endometritis TB.
3. Manajemen Neonatus asimptomatik yang terpapar terhadap ibu dengan TB
Setelah kelahiran, neonatus yang lahir dari ibu dengan suspek atau terbukti
TB, harus dipastikan apakah sakit TB atau tidak. Penting untuk menentukantingkat
infeksi ibu dan sensitifitas terhadap obat TB melalui pemeriksaan BTA dan biakan/
uji kepekaan. Tidak perlu memisahkan neonatus dari ibu jikaibu tidak memiliki
MDR-TB dan pemberian ASI dapat dilanjutkan. ImunisasiBCG sebaiknya tidak
diberikan dahulu, sampai status TB neonatus tersebut diketahui. Imunisasi BCG juga
sebaiknya tidak diberikan pada neonatus atau bayi yang sudah dikonfirmasi terinfeksi
HIV. Jika neonatus tersebut tidak memiliki gejala (asimtomatik), dan ibunya terbukti
TB yang sensitif dengan OAT, maka neonatus diberikan terapi pencegahan dengan
isoniazid (10mg/kg) selama 6 bulan. Neonatus harus dipantau secara rutin setiap
bulan, dan dievaluasi kemungkinan adanya gejala TB untuk memastikan TB aktif
tidak berkembang.
Pada akhir bulan ke-6, bila bayi tetap asimptomatik, pengobatan dengan INH
distop dan dilakukan uji tuberkulin. Jika uji tuberkulin negatif dan tidak terinfeksi
HIV, maka dapat diberikan BCG 2 minggu setelahnya. Akan tetapijika uji tuberkulin
positif, harus dievaluasi untuk kemungkinan sakit TB. Jika ibu terbukti tidak
terinfeksi dan sakit TB, bayi harus diskrining TB. Jika tidak ada bukti infeksi TB,
maka bayi harus dipantau secara teratur untuk memastikan penyakit TB aktif tidak
5

berkembang. Jika diagnosis sakit TB sudah dikonfirmasi atau bayi menunjukkan


tanda klinis sugestif TB, pengobatan harus dimulai oleh dokter spesialis anak.
Imunisasi BCG diberikan 2 minggu setelah terapi jika bayi tidak terinfeksi HIV. Jika
terinfeksi HIV, BCG tidak diberikan. Neonatus yang lahir dari ibu yang MDR atau
XDR-TB harus dirujuk ke ahli untuk menangani masalah ini. Kontrol infeksi
diperlukan untuk mengurangi kemungkinan transmisi dari ibu ke anak yaitu dengan
menggunakan masker.
4. Tatalaksana Neonatus dengan sakit TB
Neonatus sakit TB harus dirawat di ruang perinatologi atau NICU yang
difasilitasi rujukan. Pengobatan TB kongenital dan TB neonatal sama, dan harus
dilaksanakan oleh dokter yang berpengalaman dalam manajemen TB anak. Harus
dilakukan investigasi lengkap dari ibu dan neonatus. Foto toraks danpengambilan
spesimen dari lokasi yang memungkinkan harus diambil, untuk membuktikan
diagnosis TB pada neonatus. Pemberian OAT harus dimulai pada bayi yang kita
curigai TB sambil menunggu konfirmasi bakteriologis karena TB berkembang
dengan cepat pada neonatus.
Respon baik terhadap terapi dapat dilihat dari nafsu makan yang meningkat,
pertambahan berat badan dan perbaikan radiologis. Menyusui bayi tetap dilakukan
oleh karena risiko penularan M. tuberculosis melalui ASI dapatdiabaikan. Demikian
juga tentang OAT yang dikonsumsi ibu, hanya dieksresikan dalam jumlah kecil, dan
tidak terbukti dapat menginduksi resistensi obat. Bayi tidak boleh dipisahkan dari
ibu, oleh karena menyusui dapat diandalkan menjadi salah satu faktor yang dapat
meningkatkan kelangsungan hidup neonatus dengan TB.

Catatan:

Diagnosis TB pada ibu dibuktikan secara klinis, radiologis dan mikrobiologis.


Bila ibu terdiagnosis TB aktif maka diobati dengan

OAT. Apabila

memungkinkan, bayi tetap disusui langsung, tetapi ibu harus memakai masker
untuk mencegah penularan TB pada bayinya. Pada ibu yang sangat infeksius
(BTA positif), bayi dipisahkan sampai terjadi konversi BTA sputum atau ibu tidak
infeksius lagi, tetapi tetap diberikan ASI yang dipompa. Pemeriksaan ulangan
BTA pada ibu yang memberikan ASI dilakukan 2 minggu setelah pengobatan.
Dosis obatTB yang ditelan ibu mencapai ASI dalam jumlah maksimal 25% dosis
terapeutik bayi.
7

Lakukan pemeriksaan plasenta (PA, makroskopik & mikroskopik), dan darah

v.umbilikalis (Mikrobiologi BTA & biakan TB).


Klinis:
- Prematuritas, berat lahir rendah, distres pernapasan, hepatosplenomegali,

demam, letargi, toleransi minum buruk, gagal tumbuh, distensi abdomen.


- Bila klinis sesuai sepsis bakterialis dapat diberikan terapi kombinasi.
a. Pemeriksaan penunjang:
- Foto rontgen toraks dan bilas lambung.
- Bila pada evaluasi klinis terdapat limfadenopati, lesi kulit atau eardischarge,
-

lakukan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau PA.


Bila selama perjalanan klinis terdapat hepatomegali, laku pemeriksaan USG

abdomen, jika ditemukan lesi di hati, lanjutkan dengan biopsi hati.


b. Imunisasi BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu. Setelah ibu dinyatakan tidak
infeksius lagi, maka dilakukan uji tuberkulin. Jika hasilnya negatif, isoniazid
dihentikan dan diberikan BCG pada bayi.
5. Manajemen TB HIV pada Anak
Meningkatnya prevalensi HIV membawa dampak peningkatan resiko
paparan, progresivitas penyakit TB dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
akibat TB serta masalah TB lainnya, misalnya TB diseminat (milier), TB Ekstra Paru,
serta TB MDR. Fenomena ini dapat diamati pada daerah sub-sahara di Afrika yang
mempunyai angka pasien HIV dan koinfeksiTB cukup tinggi. Demikian pula dengan
Indonesia, kecenderungan peningkatan pengidap HIV positif, terutama dengan
meningkatnya penggunaan narkoba, akan meningkatkan insiden TB dengan masalahmasalah tertentu yang terjadi pada pengidap HIV positif. Seperti halnya pada dewasa,
pada awal infeksi HIVsaat imunitas masih baik tanda dan gejala TB tidak berbeda
dengan anak tanpaHIV.
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan
pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan
kematian pada kelompok tersebut. Besarnya angka kejadian TB pada anak terinfeksi
HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat. Meningkatnya jumlah kasus TB
pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium
tuberculosis dan kerentanan anak (CD 4 kurang dari15%, umur di bawah 5 tahun).
Meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa telah berdampak terhadap peningkatan

jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur yang rentan sehingga anak tersebut
sangat mudah terkena TB terutamaTB berat (milier dan meningitis).
Infeksi HIV menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis
dan tatalaksana TB pada anak menjadi lebih sulit karena faktor berikut :
a. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB, banyak
mempunyai kemiripan gejala.
b. Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi
imunokompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya
telah terinfeksi TB.
c. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputumpositif
mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat
tejadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan keteraturan pengobatan.
Tanpa konfirmasi bakteriologis, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 5 hal,
yaitu: 1) kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif; 2)uji
tuberkulin positif (>5 mm pada anak terinfeksi HIV); 3) gambaran sugestif TB secara
klinis (misalnya Gibbus); dan 4) gambaran sugestif TB pada fototoraks; 5) respon
terhadap OAT.
Kementerian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan Permenkes 21 tahun 2013,
semua pasien TB wajib ditawarkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK (Tes atas
Inisiasi Petugas Kesehatan), World Health Organization merekomendasikan
dilakukan pemeriksaan HIV pada suspek TB maupun sakit TB. Kecurigaan adanya
HIV pada penderita, terutama:
a. Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin, yaitu infeksi berulang (3
episode infeksi bakteri yang sangat berat seperti pneumonia, meningitis, sepsis
dan sellulitis pada 12 bulan terakhir), bercak putih di mulut (thrush), parotitis
kronik, limfadenopatigeneralisata, hepatomegali tanpa penyebab yang jelas,
demam yang menetap dan atau berulang, disfungsi neurologis, herpes
zoster(shingles),

dermatitis

HIV, penyakit paru supuratif

yang kronik

(chronicsuppurative lung disease).


b. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim
ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, yaitu: otitismedia kronik,
diare persisten, gizi kurang atau gizi buruk.
9

c. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV, yaitu:
PCP (Pneumocystis carii pneumonia), kandidias esofagus, LIP (lymphoid
interstitial pneumonitis) atau Sarkoma Kaposi.
Skema permintaan HIV ini dinamakan Provider Initiated Testing and
Counseling/PITC atau Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan
(KTIPK) tanpa melihat faktor resiko perilaku. Mengingat adanya kondisi
imunokompromais, cut-off point uji tuberculin pada pasien HIV diturunkan menjadi
5mm, sehingga hasil indurasi 5mm saja pada uji tuberkulin sudah dikategorikan
positif. Tuberkulosis paru pada bayi dapat bermanifestasi secara akut. Oleh karena
itu, jika ibu mengidap HIV dan TB, adanya TB paru harus dipikirkan pada bayi yang
tidak memberikan respons terhadap antibiotik standar. TB paru sulit dibedakan
dengan LIP yang sering terjadi pada pasien dengan HIV berusia >2 tahun. Gejala
khas LIP antaralain limfadenopati generalis dan simetris, pembesaran kelenjar
parotis, dan jari tabuh.
6. Pengobatan TB HIV pada Anak
Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping
minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini, paduan
obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO (2011) adalah
INH, Rifampisin, PZA dan Etambutol selama fase intensif 2 bulan pertama
dilanjutkan dengan minimal 4 bulan, pemberian INH dan Rifampisin selanjutnya
diberikan pada fase lanjutan. Pada TB milier dan meningitis TB diberikan INH,
Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin selama fase intensif, selanjutnya INH
dan Rifampisin selama 10 bulan fase lanjutan.
Tambahan terapi yang direkomendasikan untuk pasien anak HIV dan TB
termasuk cotrimoxazole preventive therapy (CPT),antiretroviral therapy (ART)dan
suplementasi piridoksin dengan dosis 10 mg/hari serta pemberian nutrisi.
Kategori diagnostik TB pada penderita HIV
TBringan, TB paru BTA negatif, Limfadenitis TB

Fase awal
2 RHZE

Fase lanjutan
RH (4-7 bulan)

TBtulang

2 RHZE

RH (10 bulan)

10

TB milier, TB meningitis

2RHZES

RH (10 bulan)

Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps yang


lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini maka
pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu 9 bulan sedangkan
pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan. Mortalitas TB pada
anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi karena
tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ
yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misalnya diagnosis, kepatuhan kurang,
malnutrisi berat dan imunosupresi berat.
Tatalaksana TB pada anak dengan HIV yang sedang atau akan mendapat
pengobatan antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan
interaksi antara obat. Interaksi antara obat TB dan antiretroviral dapat menyebabkan
pengobatan HIV ataupun TB menjadi tidak efektif, serta bertambahnya risiko
toksisitas. Rifampisin misalnya, obat ini berinteraksi dengan obat penghambat enzim
reverse transkriptase non-nukleosida (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor,
NNRTI) dan penghambat enzim protease (protease inhibitors: PI).Rifampisin
menurunkan konsentrasi PI hingga 80% atau lebih, dan NNRTI hingga 2060%.
Rekomendasi ART dapat diberikan bersamaan dengan rifampisin adalah efavirenz
(suatu NNRTI) ditambah 2 obat penghambat reverse transcriptasenukleosida
(nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NRTI), atau ritonavir (dosis yang
dinaikkan) ditambah dua NRTI. Rekomendasi mengenai kombinasi ini sering
mengalami revisi sehingga harus disesuaikan dengan informasi terbaru menurut
CDC.
Reaksi simpang (adverse events) yang ditimbulkan oleh OAT hampir serupa
dengan yang ditimbulkan oleh obat antiretroviral, sehingga dokter sulit membedakan
ketika akan menghentikan obat yang menimbulkan reaksi. Isoniazid dapat
menyebabkan neuropati perifer, begitu juga dengan NRTI (didanosine, zalcitabine,
dan stavudine). Reaksi paradoks juga dapat terjadi jika pengobatan terhadap TB dan
HIV mulai diberikan pada waktu bersamaan. Dosis OAT tidak memerlukan
penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh ARV. Pemberian ARV dapat dimulai bila
11

anak telah mendapat OAT selama minimal 2-8 minggu. Keadaan klinis dan
imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk menentukan hal-hal berikut:
-

Apakah

pemberian OAT akan dimulai bersamaan dengan obat

antiretroviral,
Apakah pemberian

setelahpemberian OAT dimulai,


Apakah pengobatan TB harus

antiretroviral

harus

menunggu

diselesaikan

dahulu

bulan
sebelum

pemberianantiretroviral dimulai.
Pada anak yang akan diberikan pengobatan TB ketika sedang mendapatkan
pengobatan antiretroviral, harus dilakukan evaluasi kembali terhadap antiretroviral
yang digunakan serta lamanya pengobatan TB dengan paduan OAT tanpa
rifampisin.Pemberian steroid untuk TB berat pada anak dengan HIV disesuaikan
dengan keadaan imunosupresi penderita.
7. Pemberian ART
Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV atau langsung
HIV, pemberian ART dimulai setelah pasien mendapat pengobatan TB selama 2-8
minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi terjadinya IRIS (Immune
Reconstitution Inflammatory Syndrome) dan efek samping obat yang saling tumpang
tindih. Hal yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah
potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin.Pemilihan ARV
dan pemantauan pengobatannya mengacu pada buku Petunjuk Teknis Tatalaksana
Klinis Koinfeksi TB HIV
8. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa IO (Infeksi Oportunistik) pada ODHA (Orang Dengan HIV
AIDS)dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam
pengobatan pencegahan yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah

suatu infeksi yang belum pernah diderita.


Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan
untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas PPK dalam menurunkan

angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan
12

dengan penurunan insidens infeksi oportunistik. Pemberian PPK mengacu pada buku
Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB HIV.
9. Manajemen Tb Resisten Obat Pada Anak
Kejadian TB resisten obat pada anak secara global masih belum pasti karena
kesulitan mendapatkan konfirmasi bakteriologis pada anak. KejadianTB resisten obat
di Indonesia belum pasti, tetapi kewaspadaan terhadap kasus ini perlu ditingkatkan
mengingat penatalaksanaan kasus TB pada anak masih belum optimal dan angka
terjadi TB resisten obat pada dewasa yang terusmeningkat. Diperkirakan banyak
anak yang kontak dengan kasus TB dewasaresistenobat, sehingga kejadian TB
resisten obat pada anak akan mencerminkan pengendalian TB resisten obat pada
dewasa.
a. Definisi
Resistensi obat pada pasien TB ada 3, yaitu: Monoresisten, MDR, dan
XDR. Dikatakan monoresisten bila hasil uji kepekaan mendapatkan resisten
terhadap isoniazid atau rifampisin.3Seorang pasien TB anak dikatakan
mengalami MDR bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil basil M.
tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin, sedangkan
extensively drug-resistant (XDR)-TB bila hasil uji kepekaan mendapatkan
hasil MDR ditambah resisten terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat
injeksi lini kedua (second-line injectable agents).
b. Diagnosis TB MDR pada anak
Diperlukan petunjuk kecurigaan

klinis

yang

cermat

untuk

mendiagnosis MDR-TB pada anak. Faktor-faktor risiko termasuk riwayat


pengobatan sebelumnya, tidak ada perbaikan dengan pengobatan TB lini
pertama, adanya kontak MDR-TB yang telah diketahui, kontak dengan pasien
yangmeninggal saat pengobatan TB atau pengobatan TB yang gagal. Anak
tersangka TB-MDR akan dilakukan pemeriksaan sesuai dengan alur
pemeriksaan dewasa tersangka TB-MDR. Algoritme berikut menunjukkan
strategi diagnostik untuk menentukan faktor resiko TB-MDR pada anak yang
terdiagnosis maupun tersangka TB.

13

c. Prinsip penatalaksanaan TB-MDR pada anak


Prinsip dasar paduan terapi pengobatan

untuk

anak

sama

denganpaduan terapi dewasa pasien TB-MDR. Obat-obatan yang dipakai


untukanak TB-MDR juga sama dengan dosis disesuaikan dengan berat badan
pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua tidak child friendly.
d. Prinsip Paduan pengobatan TB-MDR pada anak
Anak-anak dengan MDR-TB harus ditatalaksana sesuai dengan
prinsip pengobatan pada dewasa. Yang meliputi:
Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang kemungkinan strain itu masih
sensitif; satu darinya harus injectable, satu fluorokuinolon (lebihbaik
kalau generasi kuinolon yang lebih akhir bila ada), dan PZA harus

dilanjutkan.
Gunakan high-end dosing bila memungkinkan.
Semua dosis harus diberikan dengan menggunakan DOT.
Durasi pengobatan harus 18-24 bulan.
Semua obat diminum setiap hari dan dengan pengawasan langsung.
14

Pemantauan pengobatan TB-MDR pada anak sesuai dengan alur pada


dewasa dengan TB-MDR.

Alur Tata Laksana Anak yang diobati TB MDR dan HIV

15

10. Pencegahan Tuberkulosis Pada Anak


Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium

bovis.

Pemberian

vaksinasi

BCG

berdasarkan

Program

Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG
pada bayi >2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian
vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes.
Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat
seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapat pada usia muda. Saat ini
vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan. Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
Terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester-3
kehamilan berisiko tertular ibunya melalui plasenta, cairan amnion maupun
16

hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama
masa neonatal berisiko tertular ibu melalui percik renik. Pada kedua kondisi
tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan.
Terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang lahir dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidakdianjurkan
diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian
apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi
BCG. Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder,
adenitis supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan akan sembuh selama
beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten dipertimbangkan
untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin
memerlukan rujukan.
11. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan
BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut
akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB
berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian
kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.

Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:

17

Keterangan:

Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15

mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.


Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap
adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke3, ke 4, ke 5 atau ke
6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB,

pengobatan harus segera ditukar ke regimenterapi TB anak dimulai dari awal.


Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6

bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapatdihentikan.


Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BSG
setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.2,3

BAB III
KESIMPULAN

18

TB paru masih merupakan masalah mortalitas dan morbilitas di negara-negara


berkembang. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian BCG pada anak
dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB dewasa. Disamping itu dengan adanya
penyakit karena HIV, maka perhatian pada penyakit TB harus lebih ditingkatkan. Diagnosis
TB anak sering sulit karena gambaran roentgen paru dan gambaran klinik tidak selalu khas
dan juga penemuan basil TB yang sulit pada anak.

19

Anda mungkin juga menyukai