Anda di halaman 1dari 28

I.

PENDAHULUAN

Kanker serviks adalah penyebab kematian terbanyak akibat kanker di


negara berkembang. Pencegahan kanker serviks dapat dilakukan dengan program
skrining sitologi dan pelayanan kesehatan yang baik. Setiap tahun diperkirakan
didapatkan 50.000 orang penderita baru di seuruh dunia yang pada umumnya
terjadi di negara berkembang.
Kanker serviks di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara.
Di negara berkembang, kanker serviks masih menempati urutan pertama sebagai
penyebab kematian akibat kanker pada wanita usia reproduktif. Hampir 30 %
jumlah kasus kanker serviks terjadi di negara berkembang. Sebelum tahun 1930,
kanker serviks merupakan penyebab utama kematian, namun jumlah penderita
turun secara drastis sejak mulai dilakukan teknik skrining pap smear. Namun, saat
ini program skrinning belum memasyarakat di negara berkembang, sehingga
insidensi kanker serviks masih tinggi.
Upaya registrasi kanker sudah dilakukan untuk mengetahui insidensi
kejadian kanker. Namun, di negara berkembang, sistem registrasi ini belum
berjalan dengan baik., sehingga sulit didapatkan data yang akurat mengenai
kanker serviks. Data yang bisa didapatkan saat ini adalah berdasarkan data dari
laboratorium pemeriksaan histopatologi.
Bagi penderita kanker serviks, yang paling penting adalah penegakkan
diagnosis sedni mungkin dan memberikan terapi yang efektif dan sekaligus
prediksi prognosisnya. Hingga saat ini, pilihan terapi masih sangat terbatas pada
operasi, radiasi, dan kemoterapi., atau kombinasi dari beberapa modalitas terapi
ini. Namun, tentu saja terapi ini masih bersifat simptomatis karena belum
menyentuh dasar penyebab kanker uaitu adanya perubahan perilaku sel. Saat ini
pilihan terapi masih sangat bergantung pada luasnya penyebaran penyakit secara
anatomis dan senantiasa berubah seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran.
1

Penetuan pilihan terapi dan prediksi prognosisnya atau untuk membandingkan


tingkat keberhasilan terapi baru harus berdasarkan pada perluasan penyakit.
Secara universal disetujui penetuan luasnya penyebaran penyakit melalui sistem
stadium.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari
metaplasia epitel di daerah skuamkolumner junction yaitu daerah peralihan
mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks meruakan
kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya
antara uterus dan vagina. Kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa
yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil
lendir pada saluran servikal.

2.2 Etiologi
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus HPV(human
papilloma virus). Lebih dari 90% kanker serviks jenis skuamosa
menganung DNA virus HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan
HPV tipe 16. Penyebaran virus ini terutama melalui hubungan seksual.
Faktor lain yang berhubungan dengan kanker serviks adalah
aktivitas seksual terlalu muda (<16 tahun), jumlah pasangan seksual yang
tinggi, dan adanya riwayat infeksi. Selain itu, bahan karsinogenik spesifik
dari tembakau dijumpai dalam lendir serviks wanita perokok. Bahan ini
dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama dengan infeksi HPV
mencetukan transformasi maligna.

2.3 Patofisiologi
Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi
kanker diakibatkan oleh adanya mutasi en pengendali siklus sel. Gen
pengandali tersebut adalah onkogen, tumor supresor gen, dan repair gen.
Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam
karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi
3

maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat perkembangan


tumr yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun
kanker invasif berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua
perubahan ini progres menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami
regresi secara spontan sebanyak 3-35%.
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka
regresi yang tinggi. Watu yang diperlukan dari displasia menjadi
karsinoma insitu berkisar antara 1-7 tahun, sedangkan waktu yang
diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3-20 tahun. Proses
perkembangan kanker servik berlangsung lambat, diawali adanya
perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini
daat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya
akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan
gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7-10 tahun
perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi
invasif pada stroma serviks degan adanya proses keganasan. Perluasan lesi
di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat
berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada
serviks, parametria dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum dan atau
vesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada
sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan
perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap,
dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi
keganasan. Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada
dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein
tersebut E1, E2, E4, E5, E6, dan E7 yang merupakan segmen open reading
frame. Di tingkat seluler, infeksi HPV pada fase laten bersifat epigenetic.
Pada infeksi fase laten, terjadi ekspresi E1 dan E2 yang
menstimulus ekspresi terutama L1 dan L2 yang berfungsi pada replikasi
dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel
epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi
4

imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang


mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan
E2 dan jumlah HPV lebih dari kurang lebih 50.000 viron per sel dapat
menorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu
untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif. Ekspresi E1 dan E2
rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6
dan E7. Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV,
protein 53 (p53) sebagai suppresor tumpr diduga paling banyak berperan.
Fungsi p53 wild type sebagai kontrol negatif siklus sel dan genom
mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi
p53. Kompleks p53-E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild
type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit.
Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis
berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai
sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan
lesi pre-kanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks. Dengan
demikian dapatlah diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV
terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi
penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV. Dan seharusnya p53
dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker
serviks. Bila pembuluh limfe terkena invasi, kanker dapat menyebar ke
pembuluh getah bening pada servikal dan parametria, kelenjar getah
bening obturator, iliaca eksterna, dan kelenjar getah bening hipogastrika.
Dari sini tumor menyebar ke kelenjar getah bening iliaka komunis dan
pada aorta. Secara hematogen, tempat penyebaran terutama adalah paruparu, kelenjar getah bening mediastinum dan supravesikuler, tulang, hepar,
empedu, pankreas, dan otak.

2.4 Penegakkan diagnosis


a. Anamnesis
Pada anamnesis, sering kali ditemukan adanya pengeluaran
sekret vagina yang agak banyak dan kadang-kadang disertai dengan
bercak perdarahan. Tanda ini akan berulang dan terjadi setelah
bersetubuh atau membersihkan vagina. Seiring dengan perjalanan
penyakit, maka perdarahan akan menjadi semakin sering, lebih
banyak, dan berlangsung lebih lama. Sekret vagina juga akan
menjadi berbau siring dengan masa nekrosis lanjut. Apabila tumor
telah menyebar ke luar dari serviks dan melibatkan jaringan di
rogga pelvis, dapat dijumpai nyeri yang menjalar ke pinggul atau
kaki. Beberapa penderita juga akan mengeluhkan nyeri berkemih,
hematuria, perdarahan rektum sampai sulit berkemih dan buang air
besar. Penyebaran ke kelenjar getah bening tungkai bawah dapat
menimbulkan edema tungkai bawah, atau terjadi uremia apabila
ada penyumbatan kedua ureter.

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, serviks dapat teraba membesar,
ireguler, dan teraba lunak. Bila tumor tumbuh eksofitik maka
terlihat lesi pada porsio atau sudah sampai vagina.
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Histopatologi jaringan biopsi
Diagnosis kanker serviks dapat dilakukan melalui
pemeriksaan histopatologi jaringan biopsi. Bila dijumpai lesi
seperti kanker secara kasat mata, harus dilakukan biopsi walau
hasil pemeriksaan pap smear masih dalam batas normal. Biopsi
lesi yang tidak nyata dapat dilakukan dengan bantuan
kolposkopi.

Kecurigaan lesi tidak kasat mata didasarkan pada hasil


pemeriksaan sitologi serviks. Diagnosis kanker serviks hanya
berdasarkan pada hasil pemeriksaan histopatologi jaringan
biopsi. Hasil pemeriksaan sitologi tidak bisa digunakan sebagai
dasar penetapan diagnosis.
Biopsi dapat silakukan secara langsung tanpa bantuan
anestesia dan dapat dilakukan secara rawat jalan. Perdarahan
yang terjadi dapat diatasi dengan penekanan atau meninggalkan
tampon vagina. Lokasi biopsi sebaiknya dapat diambil dari
jaringan yang masih sehat dan hindari biopsi jaringan nekrosis
pada lesi besar. Bila hasil biopsi dicurigai adanya mikroinvasi,
dilanjutka dengan konisasi. Konisasi dapat dilakukan dengan
pisau atau dengan elektrokauter.
2. Pemeriksaan sitologi
Tes sitologi dilakukan dengan melakukan tes pap smear.
Tes ini merupakan penapisan untuk mendeteksi infeksi HHPV
dan prakanker serviks. Ketepatan diagnostik sitologinya kurang
lebih 90% pada displasia keras atau karsinoma in situ, dan 76%
pada displasia ringan atau sedang didapatkan hasil negatif palsu
5-50%, sebagian besar disebabkan pengambilan sediaan yang
tidak adekuat. Sedangkan hasil positif palsu sebesar 3-15%.
Hasil dinyatakan negatif apabila tidak ditemukan sel ganas
dan pemeriksaan harus diulangi satu tahun lagi. Hasil
inkonklusif adalah bila sediaan tidak memuaskan. Hal ini bisa
disebabkan karena fiksasi tidak baik, tidak ditemukan sel
endoserviks, gambaran sel radang yang padat menutupi sel.
Pemeriksaan sitologi diulangi setelah dilakukan pengobatan
radang dan sebagainya.

Displasia

adalah

bila

didapatkan

sel-sel

diskariotik

padapemeriksaan mikroskopik. Derajat ringan, sedang, sampai


karsinoma in situ. Diperlukan konfirmasi dengan kolposkopi
dan biopsi. Setelah itu, harus dilakukan penanganan lebih lanjut
dan harus diamati minimal 6 bulan berikutnya. Hasil akan
dinyatakan

positif

apabila

terdapat

sel-sel

ganas

pada

pengamatan mikroskopik. Selanjutnya harus dilakukan biopsi


untuk memastikan diagnosis dan penanganan harus dilakukan
rumah sakit rujukan dengan seorang ahli onkologi.
HPV akan keluar sebagai hasil apabila pada infeksi virus
ditemukan sediaan negatif atau displasia. Selanjutnya dilakukan
pemantauan ketat dengan konfirmasi kolposkopi dan ulangi
kembali pemeriksaan pap smear.
3. Kolposkopi
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena
proses

metaplasia.

Pemeriksaan

kolposkopi

memerlukan

keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam mengetes


daerah yang abnormal.
4. Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan
yodium. Pada serviks normal akan membentuk bayangan yang
terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen.
Sedangkan pada sel epitel serviks yang mengandung kanker
akan menunjukkan warna yang tidak berubah karena tidak ada
glikogen.

5. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah pelvik
limfangiografi yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada
saluran pelvik. Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan
intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap
lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter
terminal.

Pemeriksaan

radiologi

direkomendasikan

untuk

mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi


sitoskopi,

pielogravi

intravena,

enema

barium,

dan

sigmoidoskopi. MRI atau CT-scan abdomen atau pelvis dapat


dilakukan untuk menilai penyebarn lokal dari tumor dan/atau
terkenanya nodus limpa regional.

Gambar 2.1. Stadium kanker serviks menurut FIGO


9

2.5 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis dipastikan secara histologik dan sesduah
dikerjakan perencanaan oleh tim yang bisa melakukan rehabilitasi dan
pengamatan lanjutan, maka terapi karsinoma serviks dapat ditegakkan.
Pemilihan pengobatan kanker leher rahim tergantung pada lokasi dan
ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan
rencana penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat rendah biasanya tidak
memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal
seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada
lesi preanker bisa berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi (diatermi),
pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel abnormal tanpa melukai
jaringan yang sehat di sekitarnya dan LEEP (Loop Electrosurgical Excision
Procedure) atau konisasi.

1. Pembedahan
Pada karsinoma in situ, seluru kanker sering kali dapat diangkat
dengan bantuan pisau bedah ataupun LEEP atau konisasi. Dengan
pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak. Karena
kanker bisa kambuh kembali, maka pasien dianjurkan untuk menjalani
pemeriksaan ulang dan pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun
pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Penderita dapat melakukan
histerektomi apabila tidak memiliki rencana untuk hamil lai.
Pembedahan dapat bersifat kuratif maupun paliatif. Histerektomi
merupakan bentuk tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks ataupun salah satunya. Biasanya
dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA. Umur pasien sebaiknya
dilakukan sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat
dilakukan pada pasien dengan usia kurang dari 65 tahun. Pasien juga
10

harus dalam kondisi bebas dari penyakit umum dengan resiko tinggi
seperti penyakit jantung, ginjal, dan hepar.

2. Radioterapi
Radioterapi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta
mematikan limfe nodi pada pelvis. Kanker serviks stadium IIB, III, dan
IV sebaiknya diobati dengan radiasi. Metode radioterapi dapat bersifat
kuratif maupun paliatif. Pengobatan kuratif adalah mematikan sel
kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke
kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan sebanyak
mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum, vesika
urinaria, usus halus, dan ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya
akan diberikan pada pasien dengan stadium I sampi IIIB. Apabila sel
kanker sudah keluar ke rongga panggul, maka radioterapi hanya akan
bersifat paliatif dan diberikan secara selektif kepada stadium IVA.
Terapi radioaktif ada dua jenis, yaitu radioterapi eksternal, dan
radio

terapi

internal.

Radioterapi

eksternal

adalah penyinaran

menggunakan mesin yang dilakukan 5 hari per minggu selama 5-6


minggu. Radioterapi internal adalah pemberian kapsul berisi zat
radioaktif yang dimasukkan ke dalam serviks. Kapsul diberikan selama
1-3 hari dan pengobatan dapat diulang beberapa kali selama 1-2
minggu.

3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah pemberian obat melalui infus, tablet, atau
intramuskuler. Obat kemoterapi diguakan untuk membunuh sel kanker
dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi
tergantung pada jenis dan fase kanker. Kemoterapi diberikan untuk
mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak
mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir,
kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup
11

yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan untuk


penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum
memberikan keuntungan yang memuaskan. Obat yang digunakan paa
kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adremycin
Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin), dan lain-lain.

2.6 Prognosis
Prognosis pada kanker serviks bisa diketahui berdasarkan stadium
penyakit yang ditentukan dengan 5 years survival rate. Prognosis 5 years
survival rate untuk kanker serviks, yaitu :
Stadium I

: 85-92 %

Stadium II A : 75-83 %
Stadium II B : 58-67 %
Stadium III

: 25-35 %

Stadium IV

: 8-14 %

12

2.7 PENCEGAHAN DAN DETEKSI DINI


Tidak seperti Penyakit Menular Seksual (PMS) lainnya yang menyebar
melalui cairan tubuh, HPV merupakan virus yang menyebar melalui kontak dari
kulit ke kulit, karena itu penggunaan kondom tidak sepenuhnya efektif karena
kondom tidak meliputi seluruh area kulit dimana HPV dapat ditemukan. Deteksi
dini terutama adalah melakukan pemeriksaan skrining secara teratur 1 tahun sekali
untuk mengetahui lesi prekanker.
Vaksin HPV saat ini sudah digunakan untuk mencegah kanker leher rahim
dan kutil kelamin karena HPV. Vaksin tersebut bekerja dengan cara melindungi
dari 4 tipe HPV yang paling sering menyebabkan penyakit, yaitu tipe 6, 11, 16,
dan 18, tipe yang menyebabkan 70% kanker leher rahim dan 90% kutil kelamin.
Vaksin tersebut dikeluarkan oleh U.S.Foods and Drugs Administration (FDA)
pada tahun 2006 dan sudah dinyatakan aman untuk wanita berusia 9 26 tahun.
Vaksin diberikan dalam 3 dosis dalam periode 6 bulan yaitu pemberian awal, 2,
dan 6 bulan berikutnya. Belum diketahui keefektifannya pada wanita yang hanya
menerima 1 atau 2 dosis saja. Karena ini sangat penting diberikan 3 dosis penuh
untuk para wanita. Keefektifan vaksin HPV menurut penelitian diperkirakan
selama 5 tahun, seberapa lama vaksin ini dapat memberikan efek perlindungan
masih belum jelas.

13

Gambar. 9 Gardasil, vaksin HPV. 20


Sebaiknya vaksin diberikan sebelum kontak seksual pertama atau sebelum
wanita terekspos dengan HPV. Hal ini disebabkan karena vaksin mencegah
penyakit pada wanita yang belum terkena satu atau beberapa tipe HPV yang dapat
dilindungi oleh vaksin. Vaksin ini tidak bekerja terlalu efektif pada wanita yang
sudah memiliki virus HPV di dalam tubuhnya sebelum menerima vaksin. Efek
samping paling umum adanya nyeri ketika disuntikkan, skrinning tetap perlu
dilakukan setelah memperoleh vaksin HPV karena vaksin tidak melindungi untuk
semua tipe HPV.

14

III. KESIMPULAN

Kanker serviks adalah penyakit yang penyebab utamanya adalah Human


Papiloma Virus yang merupakan penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
kanker pada wanita. Wanita dengan riwayat berganti-ganti pasangan, usia lanjut,
multipara, dan menikah waktu muda merupakan orang-orang dengan resiko tinggi
untuk terkena kanker serviks.
Kanker serviks dapat diatasi dengan melakukan pembedahan, radioterapi,
dan kemoterapi. Namun, pemilihan pengobatan disesuaikan dengan stadium
kanker. Penyakit ini memiliki prognosis berdasarkan 5 years survival rate yang
beragam berdasarkan stadium dari penyakit ini.

15

STATUS ORANG SAKIT

I. Identitas Pasien
Nama
Umur
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Suku
Alamat
No RM
Tanggal masuk
Pukul

: Ny. S
: 50 Tahun
: Islam
: SMP
: IRT
: Jawa
: Jalan Temuning Sampalih
: 19.76.20
: 07-01-2016
: 10.23 WIB

Nama suami
Umur
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Suku
Alamat

: Tn. E
: 57 Tahun
: Islam
: STM
: Pegawai Swasta
: Melayu
: Jalan Temuning Sampalih

II. ANAMNESA
Ny. S, 50 tahun, P3A1, Islam, Jawa, SMP, IRT Istri dari Tn. E, 57 tahun, Islam,
Melayu, STM, Pegawai Swasta, Jalan Temuning Sampalih datang ke RS Haji
Medan pada tanggal 07-01-2016 pukul 10.23 wib dengan :
KU
: Nyeri Perut
Telaah
: Pasien datang ke RSHM dibawa oleh suaminya pada tanggal 7
januari 2016 pada pukul 10.23 wib. Dengan keluhan nyeri pada
perutnya. Hal ini sudah dirasakan os lebih kurang satu minggu ini,
sebelumnya satu tahun yang lalu os mengalami perdarahan dari
kemaluan. Darah yang keluar bergumpal dan haid yang dialami
juga lama, lebih dari 10 hari. Os juga ,mengaku haidnya tidak
teratur riwayat dikusuk (-), riwayat nyeri saat berhubungan (-),
riwayat keluar darah saat berhubungan (-), riwayat keputihan (-),
riwayat trauma (-), BAK dan BAB (+) Normal.
RPT / RPO

: (-)
16

RPK

: (-)

Riwayat Haid
Menarche
Lama haid
Siklus haid
Darah haid
Dysmenorrhea
Riwayat Pernikahan
Riwayat Kontrasepsi
Riwayat Persalinan

: 13 tahun
: 5 - 7 hari
: Tidak teratur.
: 2-3 x ganti pembalut/hari
: (-)
: 1 kali
: (-)
: P3A1

1. Abortus
2. Anak perempuan, aterm, BBL 3.000gr, PSP, di tolong oleh bidan,
hidup, umur sekarang 25 tahun.
3. Anak laki-laki, aterm, BBL 3.100gr, PSP, di tolong oleh bidan, hidup,
umur sekarang 22 tahun.
4. Anak laki-laki, aterm, BBL 3100gr, PSP, di tolong ole3h bidan, hidup,
umur 18 tahun
Riwayat Operasi : (-)
III.

PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Present
Sens
TD
HR
RR
T
TB
BB

: CM
: 120/80 mmHg
: 80 x/i
: 20 x/i
: 36,50 C
: 157 cm
: 65 kg

Anemis
Ikterik
Dyspnoe
Sianosis
Oedem

: (-/-)
: (-/-)
: (-)
: (-)
: (-)

B. Status Generalisata
Kepala
Mata
Leher
Thorax

: Dalam Batas Normal


: konjungtiva anemis -/-, sclera ikterus -/: KGB tidak teraba, TVJ tidak meningkat
: Cor : Bunyi jantung normal, reguler,suara tambahan (-)
17

Pulmo : Suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)


Abdomen

: Teraba massa padat, immobile, kenyal, permukaan rata, nyeri


tekan (-), dengan ukuran benjolan sebesar kepalan tangan orang
dewasa dengan pole 1 jari dibawah pusat, pole bawah setentang
simphisis pubis.

Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-)


BAB

: (+) N

BAB

: (+) N

P/V

: (-)

C. STATUS GINEKOLOGIS
Inspekulo :

Portio : menonjol (drum stick (+), permukaan Licin. Lividae (-).

Erosi : (-)

Darah : (+)

Fluor Albus : (-)

Massa di OUE : (-)

massa eksofitik pada serviks : (-)

Pemeriksaan Dalam (VT)

Uterus

:
: uterus anteflexi lebih besar dari biasanya teraba

massa sebesar kepalan tangan orang dewasa, permukaan rata, immobile

Parametrium

: parametrium kanan dan kiri lemas. Tidak teraba

massa

Adnexa

: adnexa kanan dan kiri tidak teraba massa.

Cavum douglas

: tidak menonjol
18

Setelah dilakukan anamnesa dan pemeriksan fisik Os didiagnosa sementara


dengan :
1. Mioma uteri
2. Kista Ovarium
3. Hamil 12 minggu
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
Darah rutin
Hemoglobin
Hitung eritrosit
Hitung leukosit
Hematokrit
Hitung trombosit

Index eritrosit
MCV
MCH
MCHC

Nilai
12,9
4,2
8,800
37,4
235.000

Nilai Rujukansatuan
12 16
g/dl
3,9 - 5,6
10*6/l
4,000- 11,000
/l
36-47
%
150,000-450,000
/l

90,0
31,0
34,4

80 96
27 31
30 34

Kimia Klinik
Hitung jenis leukosit

fL
pg
%

Nilai Rujukan

Eosinofil

13

Basofil

01

N.Stab

2 6

N. Seg

69

5375

Limfosit

23

2045

Monosit

48

LED

0-10

Golongan Darah

mm/jam

O
19

Glukosa Darah Sewaktu

100mg/dL

<140 mg/dl

Ultrasonografi Trans Abdominal Sonography (USG TAS)


Uterus anteflexi dengan ukuran lebih besar dari biasa

Tampak gambaran hiperechoic berbentuk kumparan berukuran 8x8x9 cm

Adnexa kanan dan kiri dalam batas normal

Diagnosa : Mioma Uteri


Rencana : Laparotomi pada tanggal 08 Januari2016 pukul 09.00 WIB
Lapor supervisor dr. Muslich Sp.OG
Persiapan :
1. Informed Consent
2. Surat izin operasi
3. Anjurkan ibu berpuasa 6 jam sebelum operasi
4. IVFD RL 20 tetes/menit
5. Injeksi cefotaxime 2 gram
6. Pemasangan kateter
7. Konsul anestesi
8. Awasi vital sign
E. Laporan Operasi
Operator: Dr. Muslich P, SpOG
Tanggal: 08/01/2016
1. Ibu dibaringkan di meja operasi dengan kateter dan infuse terpasang baik.
2. Dilakukan spinal anestesi, dilakukan tindakan antiseptic dan aseptic
dengan betadine dan alkhohol 70% kemudian abdomen ditutup dengan
duck steril kecuali lapangan operasi.
3. Dibawah spinal anastesi dilakukan insisi pfenenstil mulai dari kutis,
subkutis.

20

4. Dengan menyisipkan pinset anatomi dibawahnya, fascia digunting


kekanan dan kekiri otot dikuakkan secara tumpul.
5.

Peritoneum dijepit dengan klem, diangkat lalu digunting keatas dan


kebawah evaluasi cavum abdomen tampak uterus lebih besar dari
biasanya.

6. Kemudian diputuskan untuk dilakukan TAH+BSO, ligamentum rotundum


diklem dan digunting, kemudian diikat.

Identifikasi ligamentum

infundibulo pelvikum diklem, diinsisi dan diikat.


7. Plica vesica uterine disisihkan dengan kasa, Kedua arteri uterine diklem
dan dinsisi dengan elctro dan dijahit.
8. Portio di klem kemudian dilakukan pemancungan hingga vagina posterior,
puncak vagina dijahit. Ligamentum sacrouterina diklem dan dinsisi
dengan electrocauter kemudian diikat, evaluasi perdarahan.
9. Puncak vagina dijahit dengan vicryl no. 1 dan evaluasi perdarahan
10. Dilakukan pencucian pada cavum abdomen, kemudian cavum abdomen
ditutup lapis demi lapis.
11. Luka operasi dibersihkan dan ditutup supratul, kasa steril dan hipavix.
12. KU Post TAH + BSO : stabil
-

Awasi perdarahan dan vital sign pasien pasca operasi

POST OPERASI
Tindakan Operasi : Total abdominal Histerektomi (TAH) + BSO
Temuan Post Operasi : ditemukan massa berukuran 8 x 8 x9 cm
Intruksi post Operasi :

Awasi vital sign dan tanda-tanda perdarahan.

Pemeriksaan lab post operatif


21

IVFD RL 20 gtt/i

Inj Cefotaksime 1 gr/ 8 jam

Inj Gentamicyn 80 mg/12 jam

Inj ketorolax 30 mg/8 jam

Inj ranitidine 50 mg/12 jam

Follow up tanggal 09-01-2016, pukul 06.00 WIB


S

nyeri luka operasi

Sens

Compos mentis

Anemis

: -

TD

110/70 mmHg

Ikterik

: -

HR

85x/i

Dyspnoe

: -

RR

22x/i

Sianosis

: -

37,1 C

Oedem

: -

SL

Abdomen

soepel, peristaltik (+) normal

L/O

Tertutup perban kesan kering

P/V

(-)

BAK

(+) via kateter, 500cc

BAB

(-)

Flatus

(+)

Post TAH + BSO a/I mioma uteri + H1

Th

IVFD RL 20 gtt/i

Inj Cefotaksime 1 gr/ 8 jam

Inj Gentamicyn 80 mg/12 jam

Inj ketorolax 30 mg/8 jam


22

Inj ranitidine 50 mg/12 jam

Follow up tanggal 10 -01-2016, jam 06.00 WIB


S

nyeri luka operasi

Sens

Compos mentis

Anemis

: -

TD

120/80 mmHg

Ikterik

: -

HR

72x/i

Dyspnoe

: -

RR

22x/i

Sianosis

: -

36,4 C

Oedem

: -

SL

Abdomen

soepel, peristaltik (+) normal

L/O

Tertutup verban kesan kering

P/V

(-)

BAK

(+) via kateter 350cc

BAB

(-)

Flatus

(+)

:Post TAH + BSO a/I mioma uteri + H2

Th/

:
IVFD RL 20 gtt/i

Inj Cefotaksime 1 gr/ 8 jam

Inj Gentamicyn 80 mg/12 jam

Inj ketorolax 30 mg/8 jam

Inj ranitidine 50 mg/12 jam

Follow up tanggal 11 -01-2016, jam 06.00 WIB


S

Os sulit tidur

Sens

Compos mentis

Anemis

: -

TD

110/70 mmHg

Ikterik

: -

HR

88x/i

Dyspnoe

: 23

SL

RR

22x/i

Sianosis

: -

37,0 C

Oedem

: -

Abdomen

soepel, peristaltik (+) normal

L/O

Tertutup perban kesan kering

P/V

(-)

BAK

(+) via kateter, 30cc/jam (rencana kateter aff

BAB

(+)

Flatus

(+)

sore)

:Post TAH + BSO a/I mioma uteri + H3

Th/

:
Inj Cefotaksime 1 gr/ 8 jam

Inj Gentamicyn 80 mg/12 jam

Inj ketorolax 30 mg/8 jam

Inj ranitidine 50 mg/12 jam

Follow up tanggal 12-01-2016, jam 06.00 WIB


S

(-)

Sens

Compos mentis

Anemis

: -

TD

110/70 mmHg

Ikterik

: -

HR

82x/i

Dyspnoe

: -

RR

22x/i

Sianosis

: -

36,2 C

Oedem

: -

SL

Abdomen

soepel, peristaltik (+) normal

L/O

Tertutup verban kesan kering

P/V

(-)

BAK

(+) Normal
24

BAB

(+) Normal

Flatus

(+)

:Post TAH + BSO a/I mioma uteri + H4

Th/

: oral : Cepadroxil 2x500mg


As.Mefenamat 3x500mg
Pondex 1x1
Grahabion 1x1

Follow up tanggal 13-01-2016, jam 06.00 WIB


S

(-)

Sens

Compos mentis

Anemis

: -

TD

110/70 mmHg

Ikterik

: -

HR

80x/i

Dyspnoe

: -

RR

20x/i

Sianosis

: -

36,5 C

Oedem

: -

SL

Abdomen

soepel, peristaltik (+) normal

L/O

Tertutup verban kesan kering

P/V

(-)

BAK

(+) Normal

BAB

(+) Normal

Flatus

(+)

:Post TAH + BSO a/I mioma uteri + H5

Th/

: oral : Cepadroxil 2x500mg


As.Mefenamat 3x500mg
Grahabion 1x1
Antasida syr 3x1
PBJ dan control ulang ke poli klinik kebidanan.
25

Hasil Laboratorium Patologi Anatomi


Makroskopis.
Diterima Jaringan Uterus ukuran 9x5,5x3 cm, ovarium ukuran 3x2x1 cm.
Mikroskopis.
Sediaan jaringan dari serviks tampak disebuki oleh sel-sel radang limfosit
Sediaan jaringan dari endometrium tampak gambaran berbentuk polipoid yang
dilapisi oleh epitel dengan inti dan kromatin dalam batas normal.
Sediaan jaringan dari ovarium Itampak kista lutein dengan perdarahan.
Sediaan jaringan dari ovarium II tampak kista folikel.

Kesimpulan :
Cervisitis + Endometrial Polip + Cyst Lutein Berdarah + Cyst Folikel.

26

DAFTAR PUSTAKA

Bader, Thomas J. 2005. Ob/Gyn Secrets 3rd Edition. Philadelphia : Elsevier


Mosby.
Debbie, Saslow. 2012. American Cancer Society, Amricaan Society for
Colposcopy and Cervival Pathology, and American Society for Clinica Pathology
Screening Guidelines for the Prevention and Early Detection of Cervical Cancer.
American Journal of Clinical Pathology. 137: 516-542.
Edianto, Deri. 2006. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Jakarta :
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Gale, Alic, Margaret, Odle, Theresa. 2006. Gale Encyclopedia of Cancer. The
Gale Group.
Mansjoer, Arif, Kuspuji, Triyanti, Savitri, Rakhmi, et al. 2001. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius.
Prayetni, Suprijono. 1997. Peran Squamus cell carcinoma dalam evaluasi terapi
karsinoma uteri.
Winknjosastro, H. 1997. Ilmu Kebidanan Edisi III. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sasworo Prawiroharjo.

27

28

Anda mungkin juga menyukai