KOMPLIKASI PEMASANGAN
INTUBASI ENDOTRAKEAL
BAB I
PENDAHULUAN
Penanganan jalan nafas adalah aspek penting dalam ilmu kedokteran anestesi dan
kegawat daruratan medis. Bila ada sumbatan pada jalan napas, udara yang
mengandung oksigen tidak dapat masuk ke paru-paru dan lama-kelamaan tubuh akan
mengalami hipoksia, hipoksemia, dan berujung pada kematian akibat asfiksia.
Berkurangnya suplai oksigen yang masuk ke dalam tubuh mengakibatkan suplai ke
jaringan menjadi berkurang akibatnya akan terjadi iskemik pada berbagai jaringan
tubuh. Hal inilah yang membuat patensi jalan napas dan pemastian bahwa oksigen
dapat benar-benar masuk ke paru-paru menjadi sangat penting. Beberapa alat mulai
dari oropharyngeal airway, nasopharyngeal airway, laryngeal mask, hingga
endotracheal tube (ETT) dapat menjadi pilihan alternatif patensi jalan napas
tergantung pada kebutuhan dan kondisi pasien.1
Intubasi endotrakeal / Endotracheal Intubation (ETI) adalah sebuah prosedur nonbedah yang cepat, simple, dan aman yang dapat memenuhi semua tujuan dari
penanganan jalan nafas yaitu menjaga jalan nafas, melindungi paru-paru dari dari
aspirasi, dan mencegah kebocoran ventilasi. Oleh karena itu, ETI masih menjadi goldstandart dari penanganan jalan nafas. Selain dari keuntungan keuntungannya,
pemasangan ETI tidak jarang juga menimbulkan komplikasi. Presentase dari pasien
yang mengalami komplikasi dari pemasangan ETI bervariasi dari 2%-28%,
berdasarkan jenis komplikasinya. Jumlah tersebut patut diwaspadai karena tidak
jarang mengancam jiwa. Pada referat ini saya akan membahas tentang apa saja
komplikasi yang mungkin terjadi dari pemasangan ETI.
BAB II
INTUBASI ENDOTRAKEAL
Pengertian
Intubasi adalah proses pemasukan sebuah pipa penghubung ke dalam trakea untuk
membantu pernapasan.2
Indikasi
Intubasi diindikasikan untuk hal-hal sebagai berikut:2
Mallampati
Adalah sebuah penilaian ukuran lidah terhadap rongga mulut. Semakin
besar ukuran lidah yang menutupi struktur faringeal, tingkat kesulitan
intubasi juga meningkat. Mallapati dapat dibagi menjadi 4 derajat, yaitu:2
o Derajat I : seluruh komponen arkus faring dapat terlihat dengan
jelas sampai dengan dasarnya.
o Derajat II : bagian atas pillar faring dan sebagian dar uvula dapat
terlihat.
o Derajat III : hanya palatum molle dan palatum durum yang terlihat.
o Derajat IV : hanya terlihat palatum durum.
Pasien dengan malapati kelas III dan IV akan lebih sulit untuk
diintubasi daripada derajat lainnya.2
3
Gambar 1. Mallampati
Sumber: Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Airway management. Morgan &
Mikhails clinical anesthesiology. 5h ed. New York: McGrawHill; 2013. p. 320-28.
Bukaan Mulut
Pasien dapat membuka mulut selebar 3 cm atau lebih.2
Jarak Thyromental
Jarak antara mentum dan superior thyroid notch sepanjang 3 cm atau lebih.2
Laringoskop
Sebuah alat yang digunakan untuk melakukan intubasi trakea dan
pemriksaan laring. Jenis laringoskop yang sering digunakan ialah
macintosh dan miller. Kedua jenis laringoskop tersebut digunakan
berdasarkan anatomi pasien. Laringoskop terdiri dari gagang, bilah,
dan flens. Pada ujung bilah terdapat lampu yang digunakan untuk
melihat jalan napas pada saat intubasi.2
Tube
Yang dimaksud ialah endotracheal tube (ETT). ETT yang diberikan
disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pada ETT dewasa terdapat sistem inflasi cuff yang terdiri dari katup,
pilot ballon, pipa inflasi, dan cuff. Sebelum dilakukan laringoskop
dilakukan pemeriksaan kelengkapan alat-alat dan memposisikan kepala
6
tekanan
lebih rendah.2
Tekanan sebuah cuff bergantung pada volume inflasi, perbandingan
diameter cuff dengan trakea, komplians trakea, komplians cuff, dan
tekanan intratoraks. Keuntungan dari ETT ialah pengamanan total jalan
napas dan mudah untuk menghisap sekret. Kesalahan yang dapat
terjadi ketika pamasangan ETT ialah ETT masuk terlalu dalam sampai
ke bronkus. Hal ini dapat menyebabkan hipoksia akibat atelektasis
pada satu bronkus paru. Kesalahan lain dapat berupa ETT masuk ke
dalam esofagus. Untuk memastikan bahwa ETT sudah masuk kedalam
trakea ialah dengna penggunaan kapnografi. Pada pemasangan yang
benar kapnografi akan mendeteksi kadar end-tidal CO2.2
Airway
Alat yang dimaksud ialah guedel/oropharyngeal airway (OPA) dan pipa
nasofaring/nasopharyngeal airway (NPA). Kedua hal tersebut digunakan
untuk mencegah jatuhnya lidah yang dapat memblokir jalan napas.2
Tape
Plester yang digunakan untuk memfiksasi ETT.2
Introducer
Sebuah kawat yang dimasukan kedalam ETT sehingga mempermudah proses
memasukkan ETT.2
Connector
Teknik Intubasi
Hal pertama yang dilakukan ialah memposisikan kepala pasien dan membuka mulut
pasien. Operator mengambil laringoskop dengan tangan kiri. Operator mengarahkan
bilah laringoskop ke sisi kanan orofaring untuk menggeser lidah ke sisi kiri.
Kemudian mengangkat gagang laringoskop sehingga pita suara dapat terlihat.2
Dengan tangan kanan operator mengambil ETT dan memasukannya ke dalam pita
suara sehingga memasuki trakea. Setelah ETT terpasang cuff dikembangkan dengan
sedikit udara untuk mempertahankan ventilasi bertekanan positif dan laringoskop
dikeluarkan. Untuk memastikan ETT masuk ke dalam trakea dilakukan aukultasi pada
dada dan epigaster. Pemeriksaan definitif yang dapat memastikan bahwa ETT sudah
memasuki trakea ialah dengan pemasangan kapnografi. Hasil kapnografi dengan endtidal CO2 menunjukan bahwa ETT telah memasuki trakea.2
BAB III
KOMPLIKASI INTUBASI
Tindakan laringoskopi dan intubasi bukanlah suatu tindakan yang tanpa risiko dan
komplikasi. Beberapa komplikasi yang sering ditemui adalah hipoksia, hiperkarbia,
trauma gigi dan jalan napas, salah memposisikan tuba, respon fisiologis terhadap
keberadaan tuba pada jalan napas, atau dapat juga malfungsi pada tubanya sendiri.
Komplikasi intubasi dibagi menjadi 4 bagian, yakni sebagai berikut4:
Komplikasi saat
memasukkan selang
intubasi
Komplikasi saat
selang berada di
Komplikasi
Komplikasi setelah
saluran
saat ekstubasi
ekstubasi
o Gagal melakukan
pernapasan
o Tension
o Sulit
o Sakit pada
intubasi
o Cedera pada
pneumothorax
o Aspirasi
ekstubasi
o Masalah-
kerongkongan
o Edema laring
o Suara parau
medulla spinalis
dan collumna
vertebralis
o Tertutupnya arteri
sentral pada retina
dan kebutaan
o Abrasi kornea
o Trauma pada
bibir, gigi, lidah,
dan hidung
o Munculnya
refleks otonom
yang berbahaya
o Hipertensi,
takikardia,
bradikardi, dan
aritmia
pulmoner
o Obstruksi
masalah
saluran
dengan cuff
o ETT
berkaitan
pernapasan
o Diskoneksi
atau
ke
trakea atau
bergesernya
posisi ETT
o ETT keluar
o Lapisan
pelindung
ETT
terjahir
bronkus
o Edema
laring
o Aspirasi
oral
tidak
bagus
o ETT tertelan
atau
tertelannya
konten
gaster
(hoarseness)
o Cedera pada
saraf
o Ulkus
superfisial pada
laring
o Granuloma
laring
o Degenerasi
jaringan elastis
dan jaringan
ikat pada trakea
(trachemomala
cia)
o Penyempitan
(stenosis)
9
o Peningkatan
tekanan
intrakranial dan
intraokular
o Laringospasme
o Bronkospasme
o Perforasi saluran
pernapasan
o Trauma pada
laring dan
trakea
o Granuloma
glotis dan
subglotis
o Paralisis pita
suara
o Terbentuknya
fistula pada
hidung,
trakea dan
retrofaring,
esofagus
faring, uvula,
laring, esofagus,
dan bronkus
o Intubasi esofagus
dan bronkus
Lebih lanjut akan dibahas komplikasi-komplikasi diatas yang sering terjadi ataupun
yang menimbulkan dampak yang serius :
dalam keadaan darurat seperti masalah CVCI. Masalah utama dengan ventilasi jet
adalah risiko barotrauma karena tekanan oksigen jet. Risiko meningkat jika jalan
napas terhambat. Tingkat ventilasi harus dibatasi untuk minimum yang diperlukan
untuk mencegah hipoksia yang mengancam kehidupan (4-6/ min), cricothyrotomy
atau trakeostomi dilakukan tanpa penundaan.2
Intubasi esofagus
Mengenali tanda intubasi esofagus sangat penting untuk mencegah hipoksia pada
pasien apneu. Ini dapat dikenali oleh suara gemericik epigastrium pada auskultasi,
distensi abdomen dan hilangnya suara nafas pada thorax. Satu-satunya metode
mengkonfirmasikan penempatan yang benar dari ETT adalah memvisualisasikan pada
pita suara; sayangnya hal ini tidak mungkin dilakukan pada intubasi yang sulit, situasi
umum di mana intubasi esofagus terjadi. Serat optik bronkoskop melalui ETT dan
visualisasi dari cincin trakea dan karina juga menegaskan penempatan trakea. Setiap
upaya harus dilakukan untuk mengkonfirmasi penempatan yang benar. Terkadang
terdapat kesulitan dalam memutuskan apakah tabung telah benar penempatannya. Jika
ada keraguan, tabung harus ditarik dan dimasukkan kembali seperti intubasi awal.
Pepatah lama "bila ragu, keluarkan" masih berlaku.5
Intubasi bronkus
Intubasi endobronkial terjadi jika selang terlalu lama masuk ke salah satu bronkus.
Intubasi endobronkial yang paling umum ketika jarak untuk melewati karina. Idealnya
ETT dimasukkan 2-3cm diatas karina, karena anatomi dari bronkus kanan lebih landai
dari kiri, maka jika ETT melewati karina akan masuk ke bronkus paru kanan. Formula
standar untuk panjang yang benar dari ETT yang akan dimasukkan dapat berfungsi
sebagai pedoman yang berguna. Paru-paru yang tidak terintubasi tidak memberikan
kontribusi pertukaran gas, sehingga mengakibatkan hipoksia. Selain itu, paru-paru
diintubasi adalah hyperinflated, menerima seluruh volume tidal, predisposisi
overdistension dan barotrauma. Tanda-tanda adalah dari hipoksemia arteri, termasuk
sianosis dan sesak napas. Selain itu, penyerapan inhalasi agen anestesi mungkin
terganggu. Ketika intubasi endobronkial diidentifikasi, ETT harus ditarik beberapa
sentimeter dan paru-paru ekspansi untuk memperluas daerah atelektasis. Bronkoskopi
fiberoptik adalah alat diagnostik yang optimal. Perhatikan juga bahwa tabung
ditempatkan dengan benar dapat mengubah posisi mereka selama gerakan kepala atau
reposisi patient.6
11
Tension pneumotoraks
Hal ini dapat menyebabkan hipoksia berat dan hipotensi, dan dapat terjadi setelah
perforasi nafas selama intubasi atau karena barotrauma selama IPPV. Harus dicurigai
baik bila ada hipoksia dan hipotensi, atau ketika terjadi bersamaa dengan salah satu
tanda-tanda perforasi jalan napas. Airway pressure meningkat, ventilasi paru-paru
mungkin sulit, suara napas tidak hadir pada sisi yang terkena dengan pergeseran
mediastinum ke sisi yang berlawanan, ada hiper-resonansi pada perkusi, dan suara
napas yang berkurang atau tidak ada. X-ray menegaskan diagnosis, tetapi dengan
adanya kompensasi kardiorespirasi, pneumothorax harus segera didekompresi dengan
memasukkan tube pada sela iga ke 2 pada sisi yang terkena.5
Laryngealoedema
Edema subglotis khususnya lebih sering terjadi pada anak-anak, karena kartilago
14
krikoid yang non-expandable adalah bagian tersempit jalan nafas anak. Edema juga
mungkin terjadi pada uvula, supraglottik, retroaritenoid, atau pada tingkat pita suara,
dan dimanifestasikan oleh stridor inspirasi. Stridor yang berkurang atau menghilang
merupakan tanda sumbatan jalan napas total dan pergerakan udara harus berulang kali
dikonfirmasi. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap edema laring termasuk terlalu
besar tabung, trauma dari laringoskopi dan / atau intubasi, manipulasi leher berlebihan
selama intubasi dan operasi, batuk berlebihan atau bucking pada tabung, dan infeksi
saluran pernapasan atas. Penggunaan profilaksis steroid sebelum ekstubasi untuk
mengurangi edema adalah pengobatan yang belum terbukti tapi sering digunakan jika
terdapat kecurigaan stridor post-operatif. Pengobatan termasuk menghangatkan,
oksigen dilembabkan, epinefrin rasemik nebulasi (0,25-1 ml), dan IV deksametason
(0,5 mgkg-1 hingga 10 mg). Jika obstruksi parah dan persisten, reintubation harus
dipertimbangkan.
15
16
KESIMPULAN
Intubasi merupakan salah satu cara invasif yang dilakukan untuk mengamankan jalan
napas, menimbulkan ventilasi bertekanan positif, dan mencegah aspirasi. Intubasi
dibutuhkan pada kondisi pasien kritis atau intra-operatif dimana pasien tidak dapat
bernapas sendiri secara adekuat. Karena merupakan tindakan invasif, intubasi juga
memiliki beberapa komplikasi, mulai dari saat pemasangan, saat kondisi sudah
terpasang, dan saat kondisi sudah terlepas dari jalan napas. Tak jarang komplikasikomplikasi ini berpengaruh pada prognosis pasien. Komplikasi-komplikasi yang ada
harus menjadi perhatian dan bahan pertimbangan untuk pemasangan intubasi.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. 7 th ed. Canada:
Brooks/Cole; 2010.
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Airway management. Morgan &
Mikhails clinical anesthesiology. 5h ed. New York: McGrawHill; 2013.
3. Soenarto RF, Chandra S (eds). Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen
Anestesiologi
dan
Intensive
Care
Fakultas
Kedokteran
Universitas
18