Anda di halaman 1dari 31

PENGARUH TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN

TERHADAP MANAJEMEN LABA DENGAN KUALITAS AUDIT


SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI

Oleh: NOVI KURNIAWATI 0920203026

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI PASCASARJANA FAKULTAS


EKONOMI & BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

ABSTRAK
Novi Kurniawati (Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya) Sutrisno (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya) Grahita
Chandrarin (Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka)
Novi Kurniawati: Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, 04
November 1979. Pengaruh Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan Terhadap Manajemen Laba
Dengan Kualitas Audit Sebagai Variabel Pemoderasi. Ketua Pembimbing: Sutrisno, Komisi
Pembimbing: Grahita Chandrarin.
Penelitian ini menguji pengaruh tingkat pengungkapan laporan keuangan terhadap
manajemen laba dengan kualitas audit sebagai variabel pemoderasi. Manajemen laba dalam
penelitian ini diukur dengan akrual diskresioner. Pengujian dilakukan pada 72 perusahaan
manufaktur yang go public di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2008-2009. Teknik analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi moderasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan laporan keuangan
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Namun, penelitian ini tidak dapat memberikan
bukti bahwa kualitas audit bisa memoderasi hubungan antara tingkat pengungkapan laporan
keuangan dan manajemen laba. Ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol berpengaruh positif
terhadap manajemen laba. Temuan penelitian mengindikasikan bahwa perusahaan yang semakin
tinggi tingkat pengungkapan laporan keuangannya akan semakin menekan terjadinya perilaku
oportunistik manajemen.
Kata Kunci: Tingkat pengungkapan laporan keuangan, manajemen laba, kualitas audit

ABSTRACT
Novi Kurniawati (Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya) Sutrisno (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya) Grahita
Chandrarin (Fakultas Ekonomi Universitas Merdeka)
Novi Kurniawati, Postgraduate Economics and Business Faculty of Brawijaya University,
November 4th, 1979. The Effect of Disclosure to Earnings Management by Audit Quality as
Moderating Variable. Supervisor: Sutrisno, co-supervisor: Grahita Chandrarin.
This research examines the effect of disclosure to earnings management by audit quality as
a moderating variable. Earnings management in this research were measured by discretionary
accruals. The examination was held in 72 manufacturing companies that go public in Indonesia
Stock Exchange during 2008-2009. Data analysis technique used in this research is moderated
regression analysis (MRA).
The results of this research indicate that disclosure negatively affect earnings management.
However, this research can not provide evidence that audit quality may moderate the relationship
between disclosure and earnings management. The size of the company as a control variable has
positive influence on earnings management. The research findings indicate that companies with
higher disclosure level will further suppress the occurrence of opportunistic behavior of
management.

Keywords: Disclosure, earnings management, audit quality

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
pengaruh tingkat pengungkapan laporan
keuangan
terhadap
manajemen
laba.
Manajemen laba merupakan salah satu topik
yang sangat menarik perhatian peneliti. Deteksi
atas kemungkinan dilakukannya manajemen
laba dalam laporan keuangan diteliti melalui
penggunaan akrual. Peran akrual sebagai
ukuran ringkas kinerja perusahaan menjadi
pertanyaan penting dalam riset akuntansi. Laba
akrual dipandang sebagai ukuran kinerja
perusahaan yang lebih superior daripada aliran
kas karena akrual mengurangi masalah waktu
dan ketidakcocokan (mismatching) yang melekat
dalam pengukuran aliran kas (Dechow, 1994).
Walaupun demikian, karena adanya fleksibilitas
GAAP, akuntansi akrual menjadi subjek
kebijakan manajerial. Adanya ketidaksepakatan
(misalignment) antara manajer dan pemegang
saham
mendorong
manajer
untuk
menggunakan fleksibilitas yang diberikan oleh
GAAP untuk mengatur laba secara oportunistik
yang menyebabkan distorsi atas laba yang
dilaporkan (Watts dan Zimmerman, 1986: 165181).
Banyak
variabel
yang
dapat
mempengaruhi manajemen laba antara lain;
asimetri informasi (Richardson, 2000) yang
menunjukkan bahwa ketika asimetri informasi
tinggi, stakeholders tidak memiliki sumber daya
yang cukup, insentif, atau akses atas informasi
yang relevan untuk memonitor tindakan
manajer,
dimana
hal
ini
memberikan
kesempatan atas praktek manajemen laba.
Selain itu asimetri informasi juga merupakan
suatu kondisi yang diperlukan dalam
manajemen laba (Dye, 1988; Trueman dan
Titman, 1988); leverage (Lobo dan Zhou, 2001)
yang menunjukkan bahwa total utang
perusahaan (leverage ) yang diukur melalui debt
to equity ratio juga berpengaruh pada
manajemen laba; ukuran perusahaan (Lobo dan
Zhou, 2001; DeFond dan Park, 1997) yang
menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dapat
mempengaruhi manajemen laba dimana
perusahaan
besar
memiliki
aktivitas
operasional yang lebih kompleks sehingga
pada tingkat pengungkapan laporan keuangan.
Hal ini dikarenakan laporan keuangan yang
merupakan bentuk pertangungjawaban pihak
manajemen adalah salah satu sumber informasi

yang dapat digunakan untuk menilai posisi


keuangan
dan
kinerja
perusahaan.
Manajemen
dapat
meningkatkan
nilai
perusahaan melalui pengungkapan informasi
tambahan
dalam
laporan
keuangan,
peningkatan pengungkapan laporan keuangan
akan mengurangi asimetri informasi sehingga
peluang
manajemen
untuk
melakukan
manajemen laba semakin kecil. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan
laporan keuangan dan manajemen laba
memiliki hubungan yang negatif sejalan
dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Lobo
dan Zhou (2001); Siregar dan Bachtiar (2003)
serta (Halim et al., 2005). Perusahaan yang
melakukan
manajemen
laba
akan
mengungkapkan lebih sedikit informasi dalam
laporan keuangan agar tindakannya tidak
mudah terdeteksi Beberapa skandal keuangan
yang terjadi di perusahaan publik berkaitan
dengan manipulasi laporan keuangan antara
lain oleh PT Lippo Tbk dan PT Kimia Farma
Tbk pada tahun 2001 (Boediono, 2005).
Pengauditan merupakan sarana bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dengan
perusahaan (stakeholders) untuk memverifikasi
validitas laporan keuangan yang dibuat
manajemen. Laporan keuangan auditan
tersebut dapat dipercaya kualitasnya apabila
audit atas laporan keuangan tersebut
dilakukan oleh auditor yang berkualitas tinggi.
Auditor yang berkualitas tinggi diyakini
mempunyai kemampuan untuk mencegah
praktek perekayasaan laba yang mungkin
dilakukan manajemen dan ketika hal itu
terdeteksi maka auditor akan mengeluarkan
pendapat selain pendapat wajar tanpa
perkecualian (unqualified opinion) dalam
laporan audit mereka (Isnugrahadi, 2009).

Penelitian yang menguji faktor kualitas


auditor dengan manajemen laba telah cukup
banyak dilakukan. Becker et al., (1998)
membuktikan bahwa pada perusahaan dengan
kualitas auditor yang tinggi (Big 6) manajemen
laba lebih kecil dibandingkan dengan
perusahaan dengan kualitas auditor yang
rendah (non Big 6). Penelitian ini didukung
dengan hasil penelitian Meutia (2004) yang
menyatakan bahwa auditor berkualitas tinggi
dapat mengurangi kecenderungan manajemen
untuk melakukan manajemen laba. Namun
penelitian ini tidak sejalan dengan hasil
penelitian Piot dan Janin (2005) yang
menyatakan bahwa perusahaan yang diaudit
Big 5 tidak terbukti bisa mengurangi
manajemen laba.
Selain itu kualitas auditor yang tinggi
juga akan mempengaruhi perusahaan untuk
lebih mengungkapkan laporan keuangannya
secara luas hal ini dibuktikan dari hasil
penelitian Lee et al., (1999) yang menyatakan
bahwa auditor yang berkualitas lebih tinggi
akan
mempengaruhi
perusahaan
untuk
semakin meningkatkan tingkat pengungkapan
laporan keuangan. Begitu pula penelitianpenelitian lainnya seperti yang dilakukan oleh
Subroto (2003) dan Bernardi (2009) yang
menemukan bahwa variabel kualitas kantor
akuntan publik berpengaruh positif terhadap
variasi luas pengungkapan laporan tahunan
yang dilakukan oleh perusahaan.
Berbeda
dengan
penelitianpenelitian
sebelumnya yang menempatkan variabel
kualitas auditor sebagai variabel independen,

pada penelitian ini variabel kualitas auditor


ditempatkan sebagai variabel pemoderasi
dalam
hubungan
antara
tingkat
pengungkapan
laporan
keuangan
dan
manajemen laba. Berkembangnya tuntutan
bagi
perusahaan
untuk
lebih
luas
mengungkapkan
informasi
perusahaan
sehingga bisa memudahkan bagi para pemakai
laporan keuangan untuk menilai kinerja
perusahaan serta untuk menghindari adanya
perilaku oportunistik yang dilakukan oleh
manajemen inilah yang kemudian memotivasi
peneliti untuk meneliti tentang tingkat
pengungkapan
laporan
keuangan
dan
manajemen laba. Selain itu, hasil penelitian
yang beragam tentang pengaruh kualitas audit
dengan manajemen laba serta adanya
penelitian yang mengungkapkan bahwa
kualitas
audit
mempengaruhi
tingkat
pengungkapan laporan keuangan yang
mendorong peneliti untuk menguji apakah
kualitas audit bisa memoderasi pengaruh
tingkat pengungkapan laporan keuangan
dengan manajemen laba.
1.2 Rumusan Masalah
1
Apakah tingkat pengungkapan
laporan keuangan berpengaruh terhadap
manajemen laba?
2
Apakah kualitas audit dapat
memoderasi pengaruh tingkat pengungkapan
laporan keuangan terhadap manajemen laba?
1.3 Tujuan Penelitian
1.
Menguji
pengaruh
pengungkapan
laporan
terhadap manajemen laba,

tingkat
keuangan

2. Menguji pengaruh tingkat pengungkapan laporan keuangan terhadap manajemen laba dengan
dimoderasi oleh kualitas audit.
1.4 Kontribusi Penelitian
1.4.1 Kontribusi Teoritis
1. Bagi peneliti berikutnya, penelitian ini diharapkan bisa dijadikan referensi untuk riset yang
akan datang.
2. Bagi civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan memberikan
sumbangan konseptual dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan untuk
perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan.
3. Bagi pengembangan ilmu akuntansi, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya materi
pembelajaran terkait dengan tingkat pengungkapan laporan keuangan, manajemen laba serta
kualitas audit.
1.4.2 Kontribusi Praktis
1
Bagi akademisi, sebagai materi proses pembelajaran dibidang akuntansi keuangan dan
pasar modal berkaitan dengan tingkat pengungkapan laporan keuangan, manajemen laba dan
kualitas audit.
2
Bagi peneliti, sebagai salah satu acuan dalam pengembangan penelitian selanjutnya.
3
Bagi investor, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu masukan
dalam pengambilan keputusan investasi saham, terutama dalam menilai kualitas laba yang
dilaporkan dalam laporan keuangan.
4
Bagi pengelola pasar modal, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan tambahan dalam
pengambilan keputusan mengenai sejauh mana pengungkapan yang diharuskan bagi para emiten
dengan mempertimbangkan asas biaya dan manfaat yang ditimbulkan.
5. Bagi manajemen perusahaan, sebagai bahan pertimbangan bagi pihak manajemen mengenai
pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengungkapan laporan keuangan.
1.4.3 Kontribusi Kebijakan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris yang bisa dijadikan sebagai masukan
bagi pembuat kebijakan atau regulasi (Bapepam dan IAI) untuk menilai apakah perlu menambah,
mengembangkan atau mengubah kebijakan tentang pengungkapan yang
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Manajemen Laba
Manajemen laba merupakan tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu
standard tertentu dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan dan atau nilai pasar perusahaan
(Scott, 1997: 368).
Manajemen laba dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu good side earnings
management dan bad side earnings management. Berdasarkan sudut pandang good side earnings
management, manajemen laba dapat dilihat dari dua perspektif yaitu perspektif kontraktual dan
perspektif pelaporan keuangan. Sementara bad side earnings management terjadi saat manajer
menggunakan GAAP untuk melakukan manajemen laba yang terlalu jauh dengan berperilaku
oportunistik terhadap kontrak yang ada, sehingga dapat merugikan perusahaan dalam jangka
panjang (Handajani et al., 2009). Peneliti dalam penelitian ini lebih memandang manajemen laba
dari sudut pandang bad side earning management. Pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian
dalam perusahaan bersamaan dengan asimetri informasi di dalam perusahaan semakin
memperluas kemungkinan tindakan oportunistik oleh manajer yang mempunyai tujuan berbeda
dengan stakeholders, dan setiap pihak ingin memaksimalkan kepentingannya sendiri. Manajemen
laba akan meningkatkan biaya agensi, karena manajer menjaga kepentingannya dengan
menerbitkan laporan keuangan yang tidak menunjukkan gambaran ekonomi perusahaan secara
akurat, sehingga shareholders atau stakeholders lainnya tidak dapat membuat keputusan investasi
yang optimal.

Teori keagenan (agency theory) mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer
sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham). Jensen dan Meckling (1976)
menggambarkan hubungan agensi dimana terdapat kontrak yang menjadi landasan satu pihak
(principal/pemilik) mempekerjakan pihak lain (agent) untuk mengelola perusahaan atas nama
perusahaan. Menurut Scott (2009: 7-8) terdapat dua jenis asimetri informasi, yaitu; adverse selection
dan moral hazard.
Penelitian ini memfokuskan pada akrual diskresioner karena akrual diskresioner
memungkinkan manajer memberikan informasi privat dan meningkatkan kemampuan laba untuk
mencerminkan nilai ekonomis perusahaan. Pada saat yang sama, akrual diskresioner sendiri
memungkinkan manajer untuk terlibat dalam pelaporan yang oportunistik untuk memaksimalkan
kemakmuran manajer sendiri. Auditor meningkatkan kredibilitas pelaporan akrual diskresioner
dengan meminimalkan noise dalam akrual diskresioner yang dilaporkan dan oleh karena itu
meningkatkan nilai informasi akrual diskresioner.
2.1.2 Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan
Wolk et al., (2008: 281-282) mendefiniskan tingkat pengungkapan sebagai berikut Disclosure is
concerned with information in both the financial statements and supplementary communications including
footnote, poststatement events, managements discussion and analysis of operations for the forth coming year,
financial and operating forecasts, the summary of significant accounting policies and additional financial
statements covering segmental disclosure and extensions beyond historical costs. Atas dasar definisi
tersebut dapat dijelaskan bahwa tingkat pengungkapan laporan keuangan merupakan informasi
yang ada di dalam laporan keuangan maupun komunikasi pelengkap yang mencakup catatan
kaki, peristiwa setelah pelaporan, analisis manajemen tentang operasi yang akan datang,
peramalan keuangan dan operasi, serta laporan keuangan tambahan.
Jenis pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang ditetapkan standar ada
dua, yaitu: pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary
disclosure). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi yang diharuskan oleh
peraturan yang berlaku, dalam hal ini adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas
Pasar Modal (Bapepam). Pengungkapan sukarela merupakan pilihan bebas manajemen
perusahaan untuk memberikan informasi akuntansi dan informasi lainnya yang dipandang
relevan sebagai dasar untuk membuat keputusan oleh para pemakai laporan tahunan (Suripto dan
Baridwan, 1999). Melalui pengungkapan sukarela diharapkan para pemakai laporan akan semakin
lengkap informasinya dalam memahami kegiatan operasional perusahaan publik, serta dengan
adanya pengungkapan sukarela semakin menunjukkan ketransparan keadaan perusahaan
(Prayogi, 2003).

Menurut Sunarto (2003), kualitas pengungkapan laporan keuangan dihitung berdasarkan


indeks pengungkapan laporan keuangan. Tingkat pengungkapan laporan keuangan dalam
penelitian ini didasarkan atas indeks pengungkapan yang dideskripsikan oleh Benardi (2009).
Indeks pengungkapan yang digunakan didasarkan atas informasi yang tersedia dalam laporan
tahunan (annual report). Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan keuangan baik yang bersifat
wajib maupun sukarela telah diatur dalam PSAK No.1. Selain itu, pemerintah melalui Bapepam
juga mengatur mengenai pengungkapan informasi dalam laporan tahunan perusahaanperusahaan di Indonesia. Tuanakota (1983: 221) menyebutkan tiga macam pengungkapan
(disclosure), yaitu: pengungkapan cukup (adequate disclosure), pengungkapan wajar (fair disclosure),
pengungkapan penuh (full disclosure).
Pengungkapan yang tepat mengenai informasi yang penting bagi para investor dan pihak
lainnya hendaknya bersifat; cukup, wajar dan penuh. Penelitian-penelitian empiris berkaitan
dengan pengungkapan telah banyak dilakukan di Indonesia antara lain Suripto dan Baridwan
(1999),
mengembangkan dua dimensional definisi kualitas audit. Pertama, harus bisa mendeteksi salah
saji material, dan kedua salah saji material harus dilaporkan. DeAngelo (1981) menteorikan bahwa
KAP (Kantor Akuntan Publik) yang lebih besar melakukan audit lebih baik karena

mereka mempunyai reputasi yang lebih baik. KAP yang lebih besar mempunyai sumber daya
manusia lebih banyak, dan mereka bisa memperoleh karyawan yang lebih terampil. Auditor Big 5
seringkali dihubungkan dengan audit berkualitas tinggi daripada auditor non Big 5.
Auditing merupakan bentuk monitoring yang digunakan oleh perusahaan untuk menurunkan
biaya keagenan (agency cost) perusahaan dengan pemegang hutang (bondholder) dan pemegang
saham (Jensen dan Meckling, 1976; Watts dan Zimmerman, 1986: 312). Nilai auditing timbul karena
auditing menurunkan pelaporan yang salah (misreporting) atas informasi akuntansi. Proksi yang
paling sering digunakan untuk kualitas audit adalah variabel dummy untuk anggota KAP Big 5 dan
non Big 5, beberapa penelitian telah mendukung surogasi ini (Palmrose, 1988; Francis dan Wilson,
1988; DeFond, 1992; DeFond dan Jiambalvo, 1991, 1993; Davidson dan Neu, 1993).
2.1.4 Ukuran Perusahaan
Ukuran yang menunjukkan besar kecilnya suatu perusahaan, antara lain total penjualan, rata-rata
tingkat penjualan, dan total aktiva. Pada umumnya perusahaan besar memiliki total aktiva yang
besar pula sehingga dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan
tersebut dan akhirnya saham tersebut mampu bertahan pada harga yang tinggi (Wijaya, 2009).
Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif antara ukuran
perusahaan dengan manajemen laba (Lobo dan Zhou, 2001; DeFond dan Park, 1997) dimana
perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks sehingga memungkinkan
dilakukannya manajemen laba. Field et al., (2001) menemukan bahwa ukuran perusahaan dan
leverage secara signifikan mempengaruhi perubahan metode akuntansi. Dengan kata lain ukuran
perusahaan dan leverage mempengaruhi perilaku manajemen laba.

Pengaruh ukuran perusahaan terhadap pengungkapan juga banyak ditemukan dibeberapa


penelitian. Penelitian-penelitian yang menunjukkan pengaruh ukuran perusahaan terhadap
pengungkapan diantaranya adalah hasil penelitian Wallace dan Naser (1995), Ahmed dan Courtis
(1999), dan Fitriany (2001).
2.2 Pengembangan Hipotesis
2.2.1 Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan dan Manajemen Laba
Asimetri informasi yang terjadi antara manajer dengan pemegang saham sebagai
pengguna laporan keuangan menyebabkan pemegang saham tidak dapat mengamati seluruh
kinerja dan prospek perusahaan secara sempurna. Pada saat situasi dimana pemegang saham
memiliki informasi yang lebih sedikit dari manajer, manajer dapat memanfaatkan fleksibilitas yang
dimilikinya untuk melakukan manajemen laba. Tingkat pengungkapan yang semakin mendekati
pengungkapan penuh (full disclosure) akan mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara
manajer dan pengguna laporan keuangan. Sementara asimetri informasi merupakan kondisi yang
dibutuhkan (necessary condition) untuk dilakukannya manajemen laba (Trueman dan Titman, 1988).
Glosten dan Milgrom (1985) mengatakan bahwa peningkatan informasi dalam
pengungkapan laporan keuangan akan menurunkan asimetri informasi. Dengan demikian,
peningkatan pengungkapan menyebabkan fleksibilitas manajer untuk melakukan manajemen laba
akan berkurang karena berkurangnya asimetri informasi antara manajemen dengan pemegang
saham dan pengguna laporan keuangan lainnya.
Beberapa penelitian pernah dilakukan tentang hubungan tingkat pengungkapan dan manajemen
laba yaitu antara lain; Lobo dan Zhou (2001) yang menemukan bukti bahwa tingkat pengungkapan
berkorelasi negatif dengan manajemen laba. Perusahaan yang tingkat pengungkapannya rendah
cenderung lebih banyak melakukan pengelolaan laba dan perusahaan yang melakukan manajemen
laba cenderung memiliki kualitas pengungkapan yang rendah.
Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Bachtiar (2003) yang
menemukan bukti bahwa manajemen laba dan tingkat pengungkapan memiliki hubungan yang
negatif. Halim et al., (2005) menemukan bahwa manajemen laba berpengaruh signifikan positif
pada tingkat pengungkapan laporan keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak
manajer melakukan manajemen laba, maka kemungkinan manajer mengungkapkan lebih banyak
informasi dalam laporan keuangan semakin tinggi sejalan dengan perspektif efficient earnings
management, dan tingkat pengungkapan berpengaruh signifikan negatif pada manajemen laba
sejalan dengan perspektif opportunistic earnings management. Pembahasan ini menghasilkan
hipotesis penelitian pertama yaitu: H1: Tingkat pengungkapan laporan
keuangan berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba.
2.2.2 Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan, Manajemen Laba dan Kualitas Audit
Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada pemegang
saham khususnya dan calon investor pada umumnya. Laporan keuangan memberikan informasi
yang berguna kepada para pengguna laporan keuangan pada umumnya untuk pembuatan
keputusan.

Auditing mengurangi asimetri informasi yang ada antara manajemen dan stakeholders
perusahaan dengan memungkinkan pihak di luar perusahaan untuk memverifikasi validitas
laporan keuangan. Efektifitas auditing dan kemampuannya untuk mencegah manajemen laba
diharapkan akan bervariasi dengan kualitas auditor.
Kualitas audit biasanya dikaitkan dengan ukuran auditor yaitu Big dan non Big. Auditor
Big dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor non Big. Auditor
yang diklasifikasikan sebagai Big juga dianggap akan lebih mampu membatasi praktek manajemen
laba dibandingkan dengan auditor non Big. Hal ini dibuktikan oleh penelitiannya DeAngelo (1981)
yang menganalisis hubungan antara kualitas audit dan ukuran auditor. Hasil penelitian
menyatakan bahwa auditor besar (Bigaudit) lebih berkualitas dibanding dengan auditor ukuran
kecil (non-Big audit). Kecakapan profesional auditor ukuran besar lebih memiliki kemampuan
teknikal untuk menemukan pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya dibandingkan dengan
auditor ukuran kecil.
Beberapa penelitian dilakukan untuk menguji apakah ada pengaruh antara kualitas
auditor dengan luas pengungkapan yaitu antara lain; Lee et al., (1999) dan Hughes (1986) yang
menemukan bahwa semakin tinggi kualitas auditor maka akan meningkatkan tingkat
pengungkapan laporan keuangan. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Subroto (2003)
dan Benardi (2009) yang menyatakan bahwa ukuran KAP (auditor) berpengaruh positif terhadap
variasi luas pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan.
Becker et al., (1998) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kualitas audit dan manajemen
laba. Auditor diharapkan dapat membatasi dan mengurangkan praktik manajemen laba serta
membantu untuk meningkatkan kepercayaan pemegang saham dan pengguna laporan keuangan.
Penelitian yang menguji hubungan kualitas audit dengan manajemen laba banyak dilakukan,
antara lain; Krishnan (2002) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara stock return dan
discretionary accrual yang lebih besar untuk perusahaan yang diaudit Big 6 dari perusahaan yang
diaudit non Big 6. Ebrahim (2001) menyatakan bahwa kualitas audit mempunyai hubungan negatif
dengan manajemen laba. Hal ini sejalan dengan penelitian Meutia (2004) yang menemukan bahwa
terdapat hubungan negatif antara kualitas audit dengan absolute discretionary accrual, dimana KAP
Big 5 lebih berkualitas dalam mendeteksi berlakunya manajemen laba di dalam suatu perusahaan.
Pembahasan ini menghasilkan hipotesis kedua yaitu: H 2: Semakin tinggi tingkat
pengungkapan laporan
keuangan akan semakin
menurunkan manajemen laba,
khususnya jika diaudit oleh
auditor yang memiliki kualitas
yang tinggi.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian penjelasan (explanatory). Pendekatan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang merupakan
penelitian dengan penekanan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel-variabel
penelitian secara angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik (Indriantoro dan
Supomo, 2002: 12).

3.2

Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan


Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh perusahaan Manufaktur yang terdaftar
dalam Bursa Efek Indonesia selama periode
2008 sampai 2009. Perusahaan Manufaktur
yang tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun
2008 sampai 2009 sebanyak 135 perusahaan.
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara
purposive sampling method, dengan tujuan untuk
mendapatkan sampel yang representatif sesuai
dengan kriteria yang ditentukan.
Jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 72 perusahaan yang
terdiri dari 31 perusahaan yang diaudit oleh
KAP Big 4 dan 41 perusahaan yang diaudit
oleh KAP non Big 4. Jadi jumlah data
terobservasi diperoleh sebanyak 144 observasi.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang
berasal dari Indonesia Stock Exchange (IDX),
Fact Book tahun 2010, situs resmi BEI
(www.idx.co.id) dan Indonesian Capital Market
Directory (ICMD). Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah teknik dokumentasi
dimana metode dokumentasi memuat kejadian
masa lalu (Indriantoro dan Supomo, 2002: 147)
dan studi literatur.
3.4 Definisi Konseptual dan Operasional Variabel
Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah manajemen laba. Variabel independen
penelitian adalah tingkat pengungkapan
laporan
keuangan,
variabel
moderasi
penelitian adalah kualitas audit, dan variabel
kontrolnya adalah ukuran perusahaan. Berikut
ini adalah uraian dari variabelvariabel tersebut
di atas.
3.4.1 Manajemen Laba
Manajemen laba merupakan tindakan
manajemen untuk menggunakan judgment
dalam pelaporan keuangan dan dalam
prosedur transaksi dengan tujuan untuk
mempengaruhi kontraktual atau menyesatkan
pihak stakeholders dalam pengambilan
keputusan mengenai kinerja ekonomi
perusahaan (Healy dan Wahlen, 1999).
Manajemen laba dapat diukur melalui
discretionary accruals (DACC) yang dihitung
dengan cara menselisihkan total accruals
(TACC) dan nondiscretionary accruals (NDACC).
Discretionary accruals dihitung dengan
menggunakan model Modified Jones. Model
Modified Jones yang merupakan perkembangan
dari model Jones dapat mendeteksi manajemen

laba lebih baik dibandingkan dengan modelmodel lainnya sejalan dengan hasil penelitian
Dechow et al., (1995). Model perhitungan
sebagai berikut: TACCit = EBXTit
OCFit ...............(1) TACCit/Ai,t-1 = 1(1/A i,t1)+2((REVit-RECit)/A i,t-1)+3(PPEit/ A i,t-1) +
it............(2)
Berdasarkan persamaan regresi
(2) di atas, NDACC dapat dihitung dengan
memasukkan kembali koefisienkoefisien hasil
regres ke dalam persamaan (3). NDACCit =
1(1/A i,t-1)+2 ((REVitRECit)/A i,t-1)+3
(PPEit/ A i,t-1) ..............(3) DACCit = (TACCit/Ai,t-1)
NDACCit.(4) Keterangan :
OCFit
:Operating
Cash
Flow
perusahaan i pada periode t
NDACCit :Nondiscretionary accruals
perusahaan i pada periode t
DACCit
:Discretionary
accruals
perusahaan i pada periode t
A i,t-1 : Total assets perusahaan i pada
periode t-1
REVit : Revenue perusahaan i pada
periode t

RECit : Receivable perusahaan i pada

periode t PPEit : Property, plant and


equipment
perusahaan i pada periode t :
Error term
3.4.2 Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan
Tingkat
pengungkapan
laporan
keuangan merupakan pengungkapan laporan
tahunan
yang terdiri atas pengungkapan
keuangan dan bukan keuangan (Benardi, 2009).
Untuk mengukur tingkat pengungkapan
laporan keuangan dapat diproksikan dengan
indeks
pengungkapan.
Daftar
item
pengungkapan
yang
digunakan
dalam
penelitian ini secara umum merujuk pada
penelitian Wallace et al., (1994), Meek et al.,
(1995), Fitriany (2001) dan Subiyantoro (1997)
seperti yang digunakan oleh Benardi (2009),
dimana
peraturan
skoring
indeks
pengungkapan adalah sebagai berikut.
1
Pemberian skor untuk setiap item
pengungkapan dilakukan secara dikotomi,
dimana item yang diungkapkan diberi nilai
satu sementara jika item tersebut tidak
diungkapkan diberi nilai nol. Dalam
pemberian skor ini tidak ada pembobotan atas
item pengungkapan.
2
Skor yang diperoleh tiap perusahaan
dijumlahkan untuk mendapatkan skor total.
3
Penghitungan indeks pengungkapan
(IP) tiap perusahaan dilakukan dengan cara
membagi skor total tiap perusahaan dengan
skor total yang diharapkan.
3.4.3 Kualitas Audit
Kualitas audit didefinisikan sebagai
kemungkinan
bahwa
auditor
akan
menemukan dan melaporkan pelanggaran
dalam sistem akuntansi klien (DeAngelo,
1981). Kualitas audit diproksikan dengan
ukuran KAP, yaitu KAP besar (Big 4) dan KAP
kecil (non Big 4). KAP yang berafiliasi dengan
Big 4 yang sebelumnya disebut dengan Big 8,

kemudian

berubah

menjadi

Big

dan

selanjutnya berubah lagi menjadi Big 5


mempunyai auditor yang berpengalaman dan
berkualitas sehingga memungkinkan mereka
bekerja lebih baik. Kualitas audit diukur
dengan menggunakan variabel dummy dengan
nilai 1 untuk auditor yang berkualitas tinggi
(Big 4) dan nilai 0 untuk auditor yang
berkualitas rendah (non Big 4).
3.4.4 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan ukuran yang
menggambarkan skala perusahaan pada periode
tertentu. Besaran perusahaan atau skala
perusahaan adalah ukuran perusahaan yang
ditentukan dari jumlah total aset yang dimiliki
perusahaan (Mpaata dan Sartono, 1997).

Ukuran perusahaan dalam penelitian ini


diproksikan dengan log natural total aktiva.
Total aktiva digunakan karena menunjukkan
besarnya sumber daya yang dimiliki oleh
perusahaan, kemampuan memasuki pasar
modal dan memperoleh penilaian kredit yang
besar (Benardi, 2009).
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah moderated regression
analysis
(MRA).
MRA
menggunakan
pendekatan analitik yang mempertahankan
integritas sampel dan memberikan dasar untuk
mengontrol pengaruh variabel moderator
(Ghozali, 2009: 203). Teknik ini dipilih karena
penelitian ini dirancang untuk menguji
pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen dengan dimoderasi oleh
variabel pemoderasi.
Model
teknik
analisis
tersebut
dapat
digambarkan pada skema sebagai berikut.
Berdasarkan kerangka model analisis
maka persamaan regresi penelitian adalah
sebagai berikut.
MLt = 0 + 1 IP + AUDIT t + 3 SIZE + 4
IP*AUDIT t +
Keterangan:

MLt : Manajemen laba pada tahun t yang


diukur dengan diskresioner akrual
IPt : Indeks pengungkapan pada tahun t.
AUDIT t : Auditor, dengan nilai 1 jika KAP Big 4
dan 0 jika KAP non Big 4
SIZEt : Log natural total aset

keuangan dengan kualitas audit, NDAC dan


DAAC ditentukan dengan menggunakan crosssectional modified Jones (1991) Model.

: Error term
3.5.1 Statistik Deskriptif
Statistik
deskriptif
memberikan
gambaran atau deskripsi suatu data yang
dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar
deviasi, nilai maksimum dan nilai minimum.
3.5.2 Uji Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik digunakan
untuk menguji apakah persamaan regresi yang
telah ditentukan merupakan persamaan yang
dapat menghasilkan estimasi yang tidak bias.
Uji asumsi klasik ini terdiri dari:
1. Uji Normalitas
Uji normalitas data digunakan dengan tujuan
untuk mengetahui bahwa penaksir yang
digunakan dalam model analisis tidak bias dan
konsisten dimana dengan meningkatnya
ukuran sampel secara tidak terbatas, penaksir
mengarah ke (converage) nilai populasi yang
sebenarnya. Model regresi yang baik adalah
distribusi datanya normal atau mendekati
normal. Uji normalitas data menggunakan
analisis grafik dan uji statistik Kolmogorov
Smirnov.
2. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas
adalah
suatu .......................................... (5)
kondisi yang menunjukkan satu atau lebih
variabel independen terdapat korelasi dengan
variabel independen lainnya. Dengan demikian
dalam multikolinearitas terdapat korelasi yang
sempurna atau pasti diantara beberapa variabel
independen di dalam model regresi. Adanya
multikolinearitas dapat dilihat dari tolerance
value atau nilai variance, Variance Inflation Factor
(VIF). Batas dari nilai tolerance adalah 0,01 dan
batas VIF adalah 10. Apabila nilai tolerance
dibawah 0,01 atau nilai VIF diatas 10 maka
terjadi multikolinearitas.
3. Uji Autokorelasi Uji autokoreIasi bertujuan
menguji apakah dalam suatu model regresi
linear ada korelasi antar kesalahan penganggu

(residual) pada periode t dengan kesalahan


pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi
korelasi maka dinamakan ada problem
autokorelasi. Autokorelasi muncul karena
observasi yang berurutan sepanjang waktu
berkaitan satu sama lain. Masalah ini timbul
karena residual (kesalahan penganggu) tidak
bebas dari satu observasi ke observasi lainnya.
Gangguan autokorelasi dapat dilihat dengan
menggunakan uji Durbin Watson (Ghozali,
2009: 79). Apabila nilai DW lebih besar dari
batas atas (du) dan kurang dari 4 du, maka
dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi.

4. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan suatu
varian pengganggu yang tidak mempunyai
varian yang sama untuk setiap observasi,
sehingga mengakibatkan penaksiran regresi
yang tidak efisien. Salah satu cara untuk
menguji adanya heteroskedatesitas dapat
dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola
tertentu pada grafik plot Scatterplot antara
variabel terikat dengan residualnya. Apabila
pola pada grafik yang ditunjukkan dengan
titik-titik membentuk suatu pola tertentu maka
telah terjadi heteroskedatesitas dan sebaliknya
apabila titik-titik grafik tidak membentuk suatu
pola
tertentu
maka
tidak
terjadi
heteroskedatisitas.
3.5.3 Pengujian Hipotesis
Ketepatan fungsi regresi sampel dalam
menafsir nilai aktual dapat diukur dari
goodness of fit. Secara statistik, goodness of fit
setidaknya dapat diukur dari nilai koefisien
determinasi, nilai statistik F dan nilai statistik t
(Ghozali, 2002: 83).
1. Koefisien Determinasi (R )
Koefisien determinasi (R ) bertujuan
mengukur seberapa jauh kemampuan model
dalam menjelaskan variasi variabel dependen.
Nilai koefisien determinasi antara satu dan nol.
2. Uji Keberartian Model (Uji statistik F)
Uji statistik F menunjukkan apakah
semua variabel independen atau bebas yang
dimasukkan
dalam
model
mempunyai
pengaruh terhadap variabel dependen. Untuk
menguji apakah semua parameter dalam
model merupakan penjelas yang signifikan
terhadap variabel dependen digunakan
hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (Ha).
H0 : 1 = 2 = = k = 0 (artinya semua
variabel independen bukan merupakan
penjelas terhadap variabel dependen).
Ha : 1 2 k 0 (artinya semua
variabel independen merupakan penjelas
yang signifikan terhadap variabel
dependen).
Kriteria pengambilan keputusan dilakukan
dengan membandingkan nilai statistik F
dengan tingkat signifikansi p (nilai p), dengan
tingkat signifikansi yang ditetapkan sebesar
5%. Jika nilai statistik F mempunyai nilai
probabilitas
(p) lebih kecil dari tingkat signifikansi = 5%,
maka H0 ditolak dan Ha diterima; dalam hal ini
menyatakan bahwa semua variabel
independen merupakan penjelas yang
signifikan terhadap variabel dependen.
2

3. Uji Koefisien Regresi (Uji statistik t)


Uji statistik t digunakan untuk menguji
signifikansi konstanta setiap variabel
independen. Apabila tingkat signifikansi yang
diperoleh (p-value) lebih kecil dari 0,05 maka Ho
dapat ditolak atau dengan = 5% variabel
independen tersebut berhubungan secara
statistis terhadap variabel dependennya.
Pengujian koefisien regresi masing
masing variabel:
Ho : i = 0 (suatu variabel independen
bukan merupakan penjelas yang signifikan
terhadap variabel dependen).
Ha : i 0 (suatu variabel independen
merupakan penjelas yang signifikan
terhadap variabel dependen).
Kriteria pengambilan keputusan
dilakukan dengan membandingkan nilai
probabilitas statistik t (nilai p) dengan tingkat
signifikansi yang ditetapkan sebesar 5%. Jika
nilai probabilitas statistik t lebih kecil dari
tingkat signifikansi 5%, maka H0 ditolak dan Ha
diterima, dan hal ini menyatakan bahwa suatu
variabel independen secara individual
mempengaruhi variabel dependen.

3.5.4 Pengujian terhadap Problem Endogeneity


Pengujian
terhadap
problem
endogeneity
ini
dilakukan
karena
dikhawatirkan variabel independen bisa
berubah posisi menjadi variabel dependen dan
sebaliknya karena adanya hubungan sebab
akibat.
Untuk memastikan bahwa dalam
penelitian
ini
tidak
terjadi
problem
endogeneity yaitu tingkat pengungkapan
laporan keuangan yang merupakan variabel
independen bisa berada diposisi sebagai
variabel dependen maka peneliti akan melag-kan 1 tahun indeks pengungkapan
laporan keuangan dari tahun observasi,
sehingga dapat diketahui bahwa tingkat
pengungkapan laporan keuangan memang
benar dan konsisten sebagai variabel
independen
pada
tahun
pengamatan
tersebut.
IV.
HASIL
PENELITIAN
DAN
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian
Obyek
penelitian
ini
adalah
perusahaan Manufaktur yang terdaftar di
BEI dari tahun 2008 sampai dengan tahun
2009. Jumlah perusahaan Manufaktur yang
secara berturut-turut terdaftar di BEI tahun
2008-2009 adalah sebanyak 135 perusahaan.
Berdasarkan hasil dari purposive sampling
method yang dilakukan maka diperoleh
jumlah sampel sebanyak 72 perusahaan,
dimana 31 perusahaan diaudit oleh KAP Big
4 dan 41 perusahaan diaudit KAP non Big 4,
sehingga data terobservasi yang diperoleh
selama 2 tahun pengamatan sebanyak 144
observasi. Adapun rincian nama-nama
perusahaan yang dijadikan sampel dapat di
lihat pada lampiran 2.
4.2 Statistik Deskriptif
Data penelitian menggunakan empat
variabel, yang terdiri dari 3 variabel numerik
dan 1 variabel kategori yaitu kualitas audit.
Pengukuran statistik deskriptif dalam
penelitian ini untuk variabel numerik berupa
nilai minimum dan maksimum, nilai ratarata
serta deviasi standar. Tabel 4.1a menyajikan
statistik deskriptif untuk variabel numerik
yaitu
manajemen
laba,
tingkat
pengungkapan laporan keuangan dan
ukuran perusahaan yang berupa nilai
minimum dan maksimum, nilai rata-rata
serta deviasi standar.
Tabel 4.1a Hasil Uji Statistik Deskriptif

Sumber: Lampiran 3

Pada tabel 4.1a di atas menjelaskan bahwa


variabel manajemen laba (ML), memiliki nilai
minimum sebesar -0,2729 dan nilai maksimum
sebesar 0,2298, sedangkan nilai rata-rata
sebesar -0,0021 yang berart bahwai nilai ratarata dari seluruh sampel penelitian adalah
sebesar -0,0021 dengan deviasi standar

sebesar 0,09126. Adapun deskripsi sepuluh


perusahaan yang
Variabel
tingkat
pengungkapan
laporan
keuangan (IP), memiliki nilai minimum sebesar
0,29 dan nilai maksimum 0,66. Hal ini berarti
nilai indeks pengungkapan terendah dari
sampel penelitian adalah sebesar 0,29 dan
nilai indeks pengungkapan tertinggi sebesar

0,66. Nilai rata-rata secara keseluruhan


sebesar 0,4360, hal ini berarti rata-rata indeks
pengungkapan sampel penelitian sebesar
0,4360 dengan deviasi standar sebesar
0,08232.
Tabel 4.1b menyajikan statistik deskriptif untuk
variabel kategori yaitu kualitas audit untuk
mengetahui distribusi frekuensinya.

Tabel 4.1b Gambar 4.4 Hasil Uji Statistik Deskriptif P-P Plot Untuk Memeriksa Variabel Kategori
Frekue Persenta Distribusi Normal Data Residual nsi se Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Kualitas Non Big 4 82
56,9 Audit Big 4 62 43,1 Dependent Variable: ML (AUDIT) Sumber: Lampiran 3

1.0

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0


Tabel 4.1b di atas menjelaskan
bahwa variabel kualitas audit (AUDIT),
dari 144 pengamatan, terdapat 82 atau
56,9% dari auditor non Big 4, dan Expected Cum
0.8

Prob 0.6 0.4

sisanya 62 pengamatan atau 43,1% dari


auditor Big 4. Hasil ini mengindikasikan
bahwa sebagian besar perusahaan sampel
(56,9%) tidak menggunakan auditor dengan
kualitas yang tinggi untuk mengaudit
laporan keuangannya.

baik memiliki nilai residual yang berdistribusi


normal atau mendekati normal. Apabila ada data
yang terletak jauh dari sebaran datanya maka data
tersebut dikatakan tidak normal (tidak berdistribusi
normal), dasar pengambilan keputusan adalah
sebagai berikut.
a. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan
mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi
memenuhi asumsi normalitas.
b. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan
atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka
model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
0.2 0.0

Observed Cum Prob

Dari Gambar 4.4 di atas dapat dilihat bahwa asumsi


normalitas telah terpenuhi, sebaran data memiliki
pola berbentuk garis lurus di sekitar garis diagonal.

4.3.2 Uji Multikolinearitas


Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji
apakah dalam model regresi ditemukan adanya
korelasi antar variabel bebas (independen) dalam
persamaan regresi. Model regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel
independen. Dengan melihat Variance Inflation
Factor, apabila nilai VIF > 10 maka menunjukkan
adanya multikolinearitas dan apabila nilai VIF <10
maka tidak terjadi multikolinearitas.
Tabel 4.2 Hasil Uji Multikolinearitas

menguji apakah dalam sebuah model


regresi, nilai residual mempunyai distribusi
data normal atau tidak. Model regresi yang

Sumber: Lampiran 4

4.3.3 Uji Autokorelasi


Autokorelasi didefinisikan sebagai
terjadinya
korelasi
diantara
data
pengamatan. Berdasarkan hasil analisis
diperoleh nilai uji Durbin Watson sebesar
1,850. Suatu persamaan regresi dikatakan
telah memenuhi asumsi tidak terjadi
autokorelasi bila nilai Uji Durbin-Watson
(DW) mendekati dua atau berada diantara
dU dan (4 - dU). Nilai statistik DurbinWatson dU dengan n = 144 dan k = 4 adalah
sebesar 1,785 sehingga nilai (4-dU) adalah
2,215. Nilai dL adalah 1,710 sehingga nilai
(4-dL) adalah 2,29. Hasil DW = 1,850 berada
pada kisaran dU hingga (4-dU) jadi dapat
disimpulkan tidak terdapat autokorelasi
pada data pengamatan.

4.3.4 Uji Heteroskedastisitas


Uji heteroskedastisitas berguna
untuk
mengetahui
ada
tidaknya
heteroskedastisitas nilai prediksi variabel
dependen dengan nilai residualnya. Jika
ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada
membentuk pola tertentu yang teratur
(bergelombang,
melebar
kemudian
menyempit), maka mengindikasikan telah
terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada
pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di
atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y
secara
acak,
maka
tidak
terjadi
heteroskedastisitas
atau
model
homoskedastisitas.
Gambar 4.5 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Scatterplot

Dependent Variable: ML
Regression Standardized Residual
3

-1

-2

-3
-3-2-101 2

4.4

Berdasarkan
grafik
scatterplot
gambar 4.5 nampak bahwa titik-titik
tersebar di atas dan di bawah nol pada
sumbu Y, sehingga dapat disimpulkan
bahwa
tidak
terjadi
masalah
heteroskedastisitas pada model.
Uji Ketepatan Model dan Koefisien
Determinasi

digunakan untuk memprediksi manajemen laba.


2. Pengujian Koefisien Determinasi
Pengujian koefisien determinasi (R ) bertujuan
untuk mengukur seberapa jauh kemampuan
model dalam menjelaskan variasi variabel
dependen. Berdasarkan hasil pengujian statistik
seperti yang terlihat pada lampiran 4 dapat
diketahui bahwa nilai R Square adalah sebesar
0,173 atau 17,3%, sementara nilai Adjusted R
Square adalah 0,149 atau 14,9%. Hal ini
menunjukkan bahwa manajemen laba dipengaruhi
oleh ketiga variabel bebas yaitu; tingkat
pengungkapan laporan keuangan, kualitas audit
dan ukuran perusahaan sebesar 14,9% sedangkan
sisanya yaitu 85,1% dipengaruhi oleh variabel lain
di luar model.
4.5 Hasil Pengujian dan Pembahasan Hipotesis
4.5.1 Pengaruh Tingkat Pengungkapan
Laporan Keuangan Terhadap Manajemen
Laba
Hipotesis pertama menyatakan bahwa
tingkat
pengungkapan
laporan
keuangan
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
Berdasarkan hasil uji regresi pada tabel 4.3 di atas
menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan
laporan keuangan memiliki nilai p sebesar 0,007
(signifikan secara statistik pada =5%), nilai t
sebesar -2,755 ,dan nilai koefisien regresi sebesar
-0,413 (negatif). Koefisien IP sebesar -0,413
menyatakan
bahwa
setiap
penambahan
pengungkapan laporan keuangan sebesar 1%
2

Regression
Standardized Predicted Value

1. Pengujian Ketepatan Model


Uji model dilakukan dengan
menggunakan uji statistik F. Hasil uji F
seperti yang terlihat pada lampiran 4
menunjukkan bahwa, nilai F statistik
sebesar 7,277 adalah signifikan dengan nilai
p sebesar 0,000 (signifikan pada =5%). Hal
ini
berarti
bahwa
semua
variabel
independen
yang
meliputi
tingkat
pengungkapan laporan keuangan (IP),
kualitas audit (AUDIT) dan ukuran
perusahaan (SIZE) merupakan penjelas
yang
signifikan
terhadap
variabel
manajemen laba. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa model regresi dapat

(0,01) akan menurunkan manajemen laba sebesar


(0,01x-0,413=-0,0413). Koefisien yang negatif
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
pengungkapan
laporan
keuangan
maka
manajemen laba semakin rendah. Oleh karena itu
dapat dinyatakan, bahwa pengaruh tingkat

Hasil ini mengindikasikan bahwa


pada saat perusahaan menambah informasi
yang diungkapkan dalam laporan keuangan
secara sukarela maka asimetri informasi
antara pembuat dan pemakai laporan
keuangan berkurang sehingga dapat
menekan terjadinya manajemen laba.
Perusahaan dengan tingkat pengungkapan

yang rendah cenderung akan melakukan


manajemen laba. Jadi hipotesis pertama
diterima.
Hasil

penelitian

ini

mendukung

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lobo


dan Zhou (2001) dimana tingkat pengungkapan
laporan

keuangan

itu

berpengaruh

negatif

terhadap manajemen laba. Di Indonesia hasil


penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian
yang dilakukan Siregar dan Bachtiar (2003) dan
Halim et al., (2005) yang menyatakan bahwa
tingkat

pengungkapan

laporan

keuangan

berpengaruh negatif terhadap manajemen laba


sejalan dengan perspektif opportunistic earnings
management.

4.5.2 Pengaruh Tingkat Pengungkapan


Laporan
Keuangan
Terhadap
Manajemen Laba dengan Kualitas
Audit Sebagai Variabel Pemoderasi
Hipotesis kedua menyatakan bahwa
semakin tinggi tingkat pengungkapan
laporan
keuangan
akan
semakin
menurunkan manajemen laba, khususnya
jika diaudit oleh auditor yang memiliki
kualitas yang tinggi.
Tabel 4.3 menunjukkan hasil regresi untuk
melihat pengaruh tingkat pengungkapan
laporan keuangan terhadap manajemen
laba dengan kualitas audit sebagai variabel
pemoderasi. Hasil regresi menunjukkan
bahwa kualitas audit berpengaruh negatif
terhadap manajemen laba. Hal ini terlihat
dari besarnya nilai t untuk variabel kualitas
audit sebesar -2,545 dan nilai koefisien
regresi sebesar -0,046 (negatif) dengan

signifikansi 0,012 (signifikan secara statistik pada


=5%).
Variabel
interaksi
antara tingkat
pengungkapan laporan keuangan dengan kualitas
audit secara statistik tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap manajemen laba. Hal ini
terlihat dari hasil uji regresi yang menunjukkan
bahwa
variabel
interaksi
antara
tingkat
pengungkapan laporan keuangan dengan kualitas
audit memiliki nilai t sebesar 0,753, nilai koefisien
regresi 0,013 dan nilai p sebesar 0,453 (tidak
signifikan secara statistik pada =5%). Jadi
hipotesis kedua ditolak.
Variabel
interaksi
antara
tingkat
pengungkapan laporan keuangan dengan kualitas
audit tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap manajemen laba. Hasil ini menarik
karena meskipun secara parsial kualitas audit itu
mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap
manajemen laba sejalan dengan hasil penelitian
Becker
et
al.,
(1998),
Ebrahim
(2001),
Krishnan(2003)
dan
Meutia
(2004)
yang
menyatakan bahwa KAP Big 4 lebih berkualitas
dalam mendeteksi berlakunya manajemen laba di
dalam suatu perusahaan namun hasil interaksi
antara tingkat pengungkapan laporan keuangan
dengan kualitas audit ternyata tidak signifikan
berpengaruh terhadap hubungan antara tingkat
pengungkapan
laporan
keuangan
dengan
manajemen laba. Tingkat pengungkapan laporan
keuangan antara perusahaan yang diaudit oleh
auditor yang berkualitas tinggi dengan yang tidak
diaudit dengan auditor berkualitas tinggi ternyata
tidak ada perbedaan yang signifikan sehingga
dapat mempengaruhi manajemen untuk tidak
melakukan manajemen laba. Hasil ini dapat dilihat
secara lebih detail melalui grafik yang terdapat
pada lampiran 4, dimana dalam grafik tersebut
dapat terlihat bahwasanya kualitas audit tidak
terbukti
dapat
memperkuat
ataupun
memperlemah pengaruh tingkat pengungkapan
laporan keuangan terhadap manajemen laba.

Hal ini dapat disebabkan oleh


beberapa faktor yaitu antara lain jika dilihat
dari kegunaan pengauditan itu sendiri yang
salah satunya adalah untuk mengurangi
asimetri informasi yang ada ternyata tidak
dapat mempengaruhi manajemen untuk
tidak melakukan manajemen laba, hal ini
disebabkan karena pengauditan itu sendiri
memang tidak ditujukan untuk mendeteksi
manajemen laba akan tetapi untuk
meningkatkan
kredibilitas
laporan
keuangan. Selain itu, adanya faktor lain
yang cukup berperan adalah rendahnya
tuntutan litigasi yang dihadapi oleh KAP
membuat pengawasan yang dilakukan oleh
KAP menjadi semakin tidak maksimal.
Hasil penelitian Piot dan Janin (2005)
mengungkapkan bahwa perusahaan yang
diaudit big 4 tidak mengalami penurunan
manajemen laba karena rendahnya tuntutan
litigasi yang dihadapi oleh KAP, hal ini
mengindikasikan bahwa apabila risiko
tuntutan litigasi tinggi maka auditor akan
meningkatkan
kewaspadaan
terkait
kemungkinan adanya perekayasaan laba
pada laporan keuangan yang disusun
manajemen. Faktor lain yang juga cukup
berperan adalah adanya hubungan saling
ketergantungan antara manajemen dan
KAP (Isnugrahadi, 2009). Manajemen
membutuhkan KAP untuk meningkatkan

kredibilitas laporan keuangan yang disusunnya,


sedangkan KAP yang biasanya dipilih oleh
manajemen atas persetujuan komite audit
membutuhkan perusahaan sebagai sumber
pendapatan atas jasa pengauditan laporan
keuangan perusahaan. Kondisi ini membuat
pengawasan yang dilakukan auditor terhadap
perusahaan (manajemen) menjadi tidak maksimal.
4.5.3 Hasil Pengujian dan Pembahasan Variabel
Kontrol
Penelitian ini menggunakan variabel kontrol
ukuran perusahaan (SIZE). Berdasarkan hasil
pengujian terhadap variabel kontrol dihasilkan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan positif
secara statistik antara ukuran perusahaan dan
manajemen laba. Hal ini terbukti dari hasil uji
regresi seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.3
yang menunjukkan bahwa nilai p ukuran
perusahaan sebesar 0,043 (signifikan pada =5%),
nilai t sebesar 2,038 serta nilai koefisien regresi
sebesar 0,030 (positif). Hasil ini mengindikasikan
bahwa semakin besar perusahaan, semakin
kompleks operasionalnya dan semakin banyak
kesempatan bagi manajer untuk melakukan
manajemen laba melalui dasar akrual.
Penelitian ini mendukung hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Moses (1987),
Michelson et al., (1995), Lobo dan Zhou (2001) serta
Defond dan Park (1997), yang menemukan bahwa
perusahaanperusahaan besar memiliki insentif
yang lebih besar untuk merubah pendapatan
dibandingkan dengan perusahaanperusahaan
kecil, dimana perusahaan besar memiliki aktivitas
operasional yang lebih kompleks sehingga
memungkinkan dilakukannya manajemen laba.

problem endogeneity ini dilakukan untuk


menyakinkan peneliti bahwa hasil penelitian ini
tidak bias, dimana posisi variabel independen
dan juga variabel dependen dalam penelitian ini
benar-benar
konsisten
menjadi
variabel
independen dan dependen dalam tahun
pengamatan. Hal ini terbukti dari hasil pengujian
yang dilakukan terhadap problem endogeneity
dengan
me-lagkan
1
tahun
variabel
independennya yaitu tingkat pengungkapan
laporan keuangan. Berdasarkan hasil uji
statistik pada lampiran 5 di dapatkan hasil
bahwa tingkat pengungkapan laporan keuangan
konsisten berpengaruh signifikan negatif
terhadap manajemen laba sehingga dapat
disimpulkan tidak terjadi problem endogeneity.
4.7 Implikasi Hasil Penelitian
Berdasarkan analisis dan pembahasan
hasil penelitan, penelitian ini secara umum

mendukung teori keagenan (agency theory).


Tingginya
tuntutan
terhadap
tingkat
pengungkapan laporan keuangan yang
diungkapkan oleh pihak manajer terhadap
pihak-pihak yang membutuhkan informasi
perusahaan ini adalah untuk mencegah
terjadinya tindakan-tindakan yang dapat
merugikan perusahaan dan juga pengguna
laporan keuangan, misalnya saja dengan
melakukan manajemen laba yang dilandasi
oleh sifat oportunistik dari pihak manajer.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ketika manajer menggungkapkan
informasi yang relatif tinggi maka tindakan
manajemen laba akan cenderung semakin
kecil, hal ini juga berarti bahwa jika
perusahaan itu mengungkapkan sedikit
informasi maka manajemen labanya akan
semakin
tinggi.
Hal
inilah
yang

mengindikasikan
betapa
pentingnya
pengungkapan yang mendekati full disclosure
yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang
membutuhkan informasi perusahaan untuk
mencegah terjadinya asimetri informasi yang
kemudian
akan
memancing
terjadinya
manajemen laba.
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa
keterlibatan profesi akuntan juga mempunyai
peran yang penting. Kualitas audit yang
biasanya diklasifikasikan terhadap Big 4 dan
non Big 4 merupakan satu ukuran yang cukup
penting dalam menilai validitas informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan.
Implikasi lain dari penelitian ini bagi pengatur
ataupun pembuat standar akuntansi adalah
semakin minimum pengungkapan yang
diwajibkan
untuk
perusahaan
dapat
memainkan
peran
yang
penting
atas
kemampuan perusahaan untuk melakukan
manajemen laba. Oleh karena itu, hasil
penelitian ini mendukung upaya Bapepam
untuk
memberikan
prasyarat
tingkat
pengungkapan yang lebih ketat pada
perusahaan yang menjual sahamnya di bursa.
Bapepam memberikan prasyaratan yang lebih
banyak bagi perusahaan yang ingin menjual
sahamnya di bursa saham. Semakin lengkap
dan luas tingkat pengungkapan akan
memberikan efek berkurangnya fleksibilitas
manajer untuk melakukan manajemen laba.
Selain itu dengan membatasi diskresi pada
standar
akuntansi
keuangan
akan
meningkatkan tingkat keinformatifan dari laba,
karena hal ini dapat membatasi manajemen laba
sehingga
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini menguji pengaruh
tingkat pengungkapan laporan keuangan
terhadap manajemen laba dengan kualitas
audit sebagai variabel pemoderasi. Studi ini
dilakukan pada perusahaan-perusahaan
Manufaktur yang go public di Indonesia selama
periode 2008-2009. Berdasarkan analisis dan
pembahasan
hasil
penelitian
diperoleh
kesimpulan bahwa tingkat pengungkapan
laporan
keuangan
berpengaruh
negatif
terhadap manajemen laba. Semakin tinggi
tingkat pengungkapan laporan keuangan maka
semakin menekan tindakan manajemen laba.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian
yang dilakukan oleh Lobo dan Zhou (2001),

Siregar dan Bachtiar (2003) serta Halim et al.,


(2005), yang menyatakan bahwa tingkat
pengungkapan
laporan
keuangan
berpengaruh negatif terhadap manajemen laba
sejalan dengan perspektif opportunistic earnings
managment.

Hasil
lain
dari
penelitian
ini
mengungkapkan bahwa interaksi antara tingkat
pengungkapan laporan keuangan dengan
kualitas audit tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba. Hal ini berarti kualitas audit
tidak dapat berfungsi sebagai variabel yang
memoderasi pengaruh tingkat pengungkapan
laporan keuangan terhadap manajemen laba.
Walaupun secara parsial kualitas audit itu
berpengaruh signifikan negatif terhadap
manajemen laba. Hal ini disebabkan antara lain
karena pengauditan itu sendiri memang tidak
ditujukan untuk mendeteksi manajemen laba
akan tetapi untuk meningkatkan kredibilitas
laporan keuangan. Rendahnya tuntutan litigasi
yang dihadapi oleh KAP membuat pengawasan
yang dilakukan oleh KAP menjadi semakin
tidak maksimal. Selain itu, faktor lain yang juga
cukup berperan adalah adanya hubungan saling
ketergantungan antara manajemen dan KAP
sehingga kondisi ini membuat pengawasan
yang dilakukan auditor terhadap perusahaan
(manajemen) menjadi tidak maksimal.
Ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol
dalam penelitian ini juga berpengaruh positif
terhadap manajemen laba. Penelitian ini
mendukung hasil penelitian Moses (1987),
Michelson et al., (1995), Lobo dan Zhou (2001)
serta Defond dan Park (1997), yang menemukan
bahwa perusahaan-perusahaan besar memiliki
insentif yang lebih besar untuk merubah
pendapatan dibandingkan dengan perusahaanperusahaan kecil, dimana perusahaan besar
memiliki aktivitas operasional yang lebih
kompleks
sehingga
memungkinkan
dilakukannya manajemen laba.
5.2 Saran-saran
1. Pemerintah melalui Bapepam dapat
memperketat peraturan mengenai standar
minimum yang harus diungkapkan oleh
pihak perusahaan untuk meningkatkan
kebermanfaatan informasi sehingga dapat
mencegah perilaku yang dapat merugikan
perusahaan dan pihak lain dalam jangka
panjang.
2. Perusahaan lebih meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas melalui
pengungkapan laporan keuangan yang
semakin tinggi sehingga diharapkan dapat
mencegah perilaku oportunistik yang
dilakukan oleh manajer serta meningkatkan
kepercayaan investor terhadap perusahaan.
3. Kantor akuntan publik dapat
meningkatkan kualitas auditornya untuk
menjadi auditor yang independen dan

dapat menghasilkan audit yang


berkualitas serta dapat mendeteksi dan
melaporkan salah saji material dalam
laporan keuangan perusahaan.
5.3 Keterbatasan Penelitian
Terdapat beberapa keterbatasan dalam
penelitian
ini
yang
nantinya
dapat
memberikan arah bagi penelitian selanjutnya,
yaitu sebagai berikut.

1
Sampel yang diambil dalam penelitian
ini hanya pada perusahaan industri
Manufaktur, sehingga hasil penelitian ini hanya
dapat untuk generalisasi perusahaan pada
sektor Manufaktur saja tidak bisa digeneralisasi
untuk semua perusahaan yang listing di BEI, hal
ini disebabkan adanya perbedaan karakteristik
pelaporan keuangan antara perusahaan sektor
Manufaktur dan non Manufaktur khususnya
perusahaan sektor finansial.
2
Penelitian ini hanya mengukur kualitas
audit dengan proksi ukuran KAP saja tidak
menggunakan ukuran yang lain.
3
Penelitian ini hanya menggunakan
Jones modified model untuk menghitung akrual
diskresioner sebagai proksi dari manajemen
laba.
4
Skor indeks pengungkapan dinilai oleh
peneliti berdasarkan interpretasi terhadap
informasi laporan tahunan perusahaan sampel,
sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan
penilaian antar perusahaan karena penafsiran
peneliti yang subyektif.
5
Implikasi Untuk Penelitian
Selanjutnya
Keterbatasan dalam penelitian ini dapat
memberi arah bagi pengembangan penelitian
selanjutnya.
1
Penelitian selanjutnya disarankan

untuk menambah sampel perusahaan tidak


hanya pada perusahaan Manufaktur saja
namun juga pada perusahaan non-Manufaktur
sehingga dapat lebih mendukung generalisasi.
2
Penelitian selanjutnya dapat
mengembangkan pengukuran kualitas audit
menggunakan proksi variabel yang lain
dengan menggunakan data primer, misalkan
kesesuaian pemeriksaan dengan standar
auditing,
keterlibatan pimpinan audit terhadap
pemeriksaan audit, pelaksanaan pekerjaan
lapangan dengan tepat.
1
Peneliti selanjutnya disarankan untuk
menggunakan proksi manajemen laba yang
berbeda untuk mengetahui sensivitas hasil
pengujian, seperti earnings smoothing, earnings
losses dan decreases avoidance.
2
Peneliti selanjutnya dapat mengurangi
masalah subyektifitas dalam penilaian skor
indeks pengungkapan dengan melibatkan
beberapa peneliti dalam menilai laporan
tahunan suatu perusahaan sampel. Selanjutnya
peneliti dapat menggunakan skor rata-rata
pengungkapan dalam pengukuran tingkat
pengungkapan yang diperoleh dengan cara
melibatkan beberapa peneliti tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, K dan J. K. Courtis. 1999. Associations Between Corporate Characteristics and


Disclosure Levels in Annual Reports: A Meta-Analysis. British Accounting Review, 31: 35-61.
Aitken, M., C. Hooper dan J. Pickering. 1997. Determinants of Voluntary Disclosure of
Segment Information: A Re-examination of The Role of Diversification Strategy. Accounting
and Finance,
37: 89-109.
Albrecth, W. D dan F. M. Richardson. 1990. Income Smoothing by Economy Sector. Journal
of Business Finance and Accounting, 17 (5): 713-730.
Becker, C., M. DeFond, J. Jiambalvo dan
K. Subramanyam. 1998. The Effect of Audit Quality on Earnings Management.

Contemporary Accounting Research, 15 (Spring): 1-24.


Benardi, M. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan dan Implikasinya Terhadap
Asimetri Informasi (Studi Pada Perusahaan-Perusahaan Sektor Manufaktur Yang Go Public Di
Bursa Efek Indonesia). Unpublished Tesis S2, Malang: Universitas Brawijaya.
Beattie, V., S. Brown., D. Erwers., B. John., S. Manson., D. Thomas, dan M. Turner. 1994.
Extraordinary Items and Income Smoothing: A Positive Accounting Approach. Journal
Business & Accounting, 21 (6): 791-811.
Bloomfield, R. J dan J. Wilks. 2000. Disclosure Effects in The Laboratory: Liquidity, Depth and The
Cost of Capital. The Accounting Review, 75 (1):13-41.
Boediono, G. S. B. 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan
Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Solo: Simposium Nasional
Akuntansi 8: 172-194.
Botosan, C. A. 1997. Disclosure Level and The Cost Of Equity Capital. The Accounting Review,72 (3):
323-349.
Cahan, S. F. 1992. The Effect of Antitrust investigations on Discretionary Accruals: A Refined Test of
the Political-Cost Hypothesis. The Accounting Review, 67 (1): 77-95.

22

Cooke, T. E. 1992. The Impact of Size, Stock Market Listing and Industry Type on Disclosure
in The Annual Reports of Japanese Listed Corporations. Accounting and Business Research,
22 (87): 229-237.
Chow, C. W dan A. Wong-Boren. 1987. Voluntary Financial Disclosure by Mexican
Corporation. The Accounting Review, (July): 533
540.
Creswell, A. T., J. R. Francis dan S. L. Taylor. 1995. Auditor Brand Name Reputations and
Industry Specialization. Journal of Accounting and Economic, 20: 297-322.
Davidson, R. A dan D. Neu. 1993. A Note on the Association Between Audit Firm Size and
Audit Quality. Contemporary Accounting Research, 9 (Spring): 479-488.
DeAngelo, L. 1981. Auditor Size and Audit Quality. Journal of Accounting and Economics, 3
(3):183-199.
Dechow, P. M., R .G. Sloan dan A. P. Sweeney. 1995. Detecting Earnings Management. The
Accounting Review, 70: 193-225.
. 1994. Accounting Earnings and Cash Flows as Measures of Firm Performance: The Role of
Accounting Accruals. Journal of Accounting and Economics, 18: 3-42.
DeFond, M dan C. Park. 1997. Smoothing income in Anticipation of Future Earnings.

Journal of Accounting and Economic, 23 (July): 115-139.


dan J. Jiambalvo. 1993. Factors Related to Auditor-Client Disagreements Over
. 1992. The Association Between Changes in Client Firm Agency Costs and Auditor Switching.
Auditing: A Journal of Practice and Theory, 11 (1): 16-31.
dan J. Jiambalvo. 1991. Incidence and Circumstances of Accounting Errors. The Accounting
Review, 66 (July): 643-655.
Departemen Keuangan RI, Bapepam. 2006. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep134/BL/2006 tentang Kewajiban penyampaian Laporan Tahunan Bagi Emiten atau
Perusahaan Publik.
_________. 2002. Surat Edaran Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor No.SE-02/PM/2002 tentang
Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Oleh Emiten atau Perusahaan
Publik Industri Manufaktur.
________. 2000. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-06/PM/2000 tentang
Perubahan Peraturan Nomor
VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan.
Dempsey, S. J., H. G. Hunt III dan N. W. Schroeder. 1993. Earning Management and Corporate
Ownership Structure: An Examination of Extraordinary Item Reporting. Journal of Business
Finance & Accounting,
20 (4): 479-500.
Diomond, W. D dan R. E. Verrecchia. 1991. Disclousure, Liquidity, and The Cost of Capital.
The Journal of Finance, 46 (4):13251359.
Dopuch, N dan D. Simunic. 1982. Competition in Auditing: An Assessment. Paper Presented
at Symposium on Auditing Research IV, University of Illinois at Urbana-Champaign.
Dye, R. 1988. Earnings Management in an Overlapping Generations Model. Journal of
Accounting Research, 26 (Autumn): 195-235.
Ebrahim, A. 2001. Auditing Quality, Auditor Tenure, Client Importance, and Earnings
Management: An additional Evidence. Auditing Conference Paper.
Elliot, R. K dan P. D. Jacobson. 1994. Costs and Benefits of Business Information Disclosure.
Accounting Horizons, 8(4): 80-96
Field, T. D., T. Z. Lys dan L. Vincent. 2001. Empirical Research on Accounting Choice.
Journal of Accountinng and Economics, 31: 255-307.
Fitriany. 2001. Signifikansi Perbedaan Tingkat Kelengkapan Wajib dan Sukarela pada
Laporan Keuangan Perusahaan Publik yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Bandung:
Simposium Nasional Akuntansi IV: 133-153.

Francis, J dan E. Wilson. 1988. Auditor Changes: A Joint Test of Theories Relating to Agency Costs
and Auditor Differentiation. The Accounting Review, 63 (October): 663-682.
Ghozali, I. 2009. Ekonometrika: Teori, Konsep dan Aplikasi dengan SPSS 17. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
. 2002. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Glosten, L dan P. Milgrom. 1985. Bid, Ask and Transaction Prices in a Specialist Market with
Heteogeneouly Informed Traders. Journal of Financial Economics, 26 (March): 71-100.
Gumanti, T. A. 2001. Earning Management dalam Penawaran Saham Perdana di BEJ. Jakarta. Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia, 4 (2): 165-183.
Halim, J., C. Meiden dan R. L. Tobing.
Manufaktur yang Termasuk dalam LQ-45. Solo: Simposium Nasional Akuntansi VIII: 117-135.
Handajani, L., Sutrisno dan G. Chandrarin. 2009. The Effect of Earnings Management and
Corporate Governance Mechanism to Corporate Social Responsibility Disclosure: An
Empirical Study at Public Companies in Indonesia Stock
Exchange. The Indonesian Journal of Accounting Research, 12 (3): 233-248.
Healy, P. M dan K. G. Palepu. 2000. A Review of The Empirical Disclosure Literature.
Working Paper. Prepared for The 2000 JAE Conference.
dan J. Wahlen. 1999. A Review of The Earnings Management Literature and Its
Implications for Standard Setting. Accounting Horizons, 13 (4): 365-383.
. 1985. The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions. Journal of Accounting and
Economics, 7: 85-107.
Hughes, P. 1986. Signaling by Direct Disclosure Under Asymmetric Information. Journal of
Accounting and Economics, 8: 119
142.
Imhoff, E dan J. Thomas. 1994. Accounting Quality, In Asset Valuation. The Center for
Economic and Management Research. The University of Oklahoma: 25-53.
Indriantoro, N dan B. Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan
Manajemen, Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE.
Isnugrahadi, I. 2009. Pengaruh Kecakapan Managerial Terhadap Managemen Laba Dengan
Kualitas Auditor Sebagai Variabel Pemoderasi. Unpublished Tesis S2, Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada

Jensen, M dan W. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behaviour, Agency Costs and
Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 3: 305-360.
Kinney, W dan R. Martin. 1994. Does Auditing Reduce Bias in Financial Reporting? A Review of
Audit-Related Adjustment studies. Auditing: A Journal of Practise and Theory, 13: 149-156.
Krishnan, G. 2002. Audit Quality and The Pricing of Discretionary Accruals. Auditing: A Journal of
Practice and Theory, 22 (1): 109126
Koeswantoyo. 2009. Analisis Variabel-Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Manajemen Laba (Studi Pada
Perusahaan Consumer Goods Yang Go Public Di Bursa Efek Indonesia). Unpublished Tesis S2,
Malang: Universitas Brawijaya.
Lang, M. H dan R. J. Lundholm. 1996. Corporate Disclosure Policy and Analyst Behavior. The
Accounting Review, 71 (4): 467
492.
Lee, B. B dan B. Choi. 2002. Company Size, Auditor Type and Earnings Management. Journal of
Forensic Accounting, 3: 27-50.
Lee, P., D. Stokes dan T. Walter. 1999. The Association between Audit Quality, Accounting
Disclosures and Firm-Specific Risk: Evidence from The Australian IPO Market. Social
Science Research Network Electronic Paper Collection.
Lobo, G. J dan J. Zhou. 2001. Disclosure Quality And Earnings Management. Social Science
Research Network Electronic Paper Collection.
Mardiyah, A. A. 2002. Pengaruh Informasi Asimetri dan Disclosure terhadap Cost of
Capital. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 5 (2): 229-256.

572.

Meek, G. K., B. R. Clare dan S. J. Gray. 1995. Factors Influencing Voluntary Annual Report
Disclosures by U.S., U.K., and Continental European Multinational Corporisons. Journal of
International Business Studies, 26 (Third Quater): 555

Meutia, I. 2004. Pengaruh Independensi Auditor Terhadap Manajemen Laba Untuk KAP
Big 5 dan Non Big 5. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 7 (3): 333-350.
Michelson, S. E., J. J. Wagner dan C. W. Wootton. 1995. A Market Based Analysis of Income
Smoothing. Journal of Business Finance and Accounting, 22 (8): 1179-1193.
Moses, D. O. 1987. Income Smoothing and Incentives: Empirical Using Accounting
Changes. The Accounting Review, 72 (2): 259
377.
Mpaata, K. A dan A. Sartono. 1997. Factor Determining Price-Earning (P/E) Ratio. Kelola,
15 (6): 133-150.
Naim, A dan F. Rakhman. 2000. Analisis Hubungan antara Kelengkapan Pengungkapan Laporan
Keuangan dengan Struktur Modal dan Tipe Kepemilikan Perusahaan. Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Indonesia, 15 (1).

Palmrose, Z. 1988. An Analysis of Auditor Litigation and Audit Service Quality. The Accounting
Review, 63: 55-73.
Piot, C dan R. Janin. 2005. Audit Quality and Earnings Management in France. Social Science
Research Network Electronic Paper Collection.
Prayogi. 2003. Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Luas Pengungkapan Sukarela laporan
Keuangan Tahunan Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Unpublished Tesis S2,
Semarang: Universitas Diponegoro.
Richardson, V. J. 2000. Information Asymmetry And Earnings Management: Some Evidence.
Review of Quantitative Finance and Accounting, 5 (4): 325-347.
Sanjaya, I. P. S. 2008. Auditor Eksternal, Komite Audit, dan Manajemen Laba. Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia, 11 (1): 97-116.
Scott, W. R. 2009. Financial Accounting Theory 5 edition. Canada: Pearson Prentice Hall.
th

. 1997. Financial Accounting


Theory. Canada: Pearson
Prentice Hall.
Siregar, S. V dan Y. Bachtiar. 2003. Hubungan Antara Manajemen Laba Dengan Tingkat
Pengungkapan Laporan Keuangan.Surabaya: Simposium Nasional Akuntansi VI: 328-349.

26

Subiyantoro, E. 1997. Hubungan antara Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan dengan


Karakteristik Perusahaan Publik di Indonesia. Unpublished Tesis S2, Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Subroto, B. 2003. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Kepada Ketentuan Pengungkapan
Wajib oleh Perusahaan Publik dan Implikasinya terhadap Kepercayaan Para Investor di Pasar Modal.
Unpublished Desertasi S3, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sugiyono. 1999. Metode Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sunarto. 2003. Corporate Governance dan Kinerja Saham. Fokus Ekonomi, 2 (3): 240-257.
Suripto, B dan Z. Baridwan. 1999. Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Luas
Pengungkapan Sukarela Dalam Laporan Tahunan. Malang: Simposium Nasional Akuntansi
II.
Teoh, S. dan T. Wong. 1993. Perceived Auditor Quality and Earnings Response Coefficient.
The Accounting Review, 68: 346-367.
Trueman, B dan S. Titman. 1988. An Explanation for Accounting Income Smoothing.
Journal of Accounting Research, 26 (3): 127
139.
Tuanakotta, T. M. 1983. Teori Akuntansi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.

Wallace, R.S.O dan K. Naser. 1995. Firm-Specific Determinants of the Comprehensiveness of


Mandatory Disclosure in the Corporate Annual Reports of Firms Listed on the Stock
Exchange of Hongkong. Journal of Accounting and Public Policy, 11 (2): 311-368.
Watts, R. L. dan J. L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory, USA: Prentice-Hall Inc.
Welker, M. 1995. Disclosure Policy, Information Asymmetry, and Liquidity in Equity Markets.
Contemporary Accounting Research, 11 (Spring): 801-827.
Wijaya, I. 2009. Pengaruh Firm Size dan Capital Structure terhadap Prospek Saham
Perusahaan. Jurnal Organisasi dan Manajemen, 2 (1): 21-30.
Wolk, H. I., J. L. Dodd dan J. J. Rozycki. 2008. Accounting Theory: Conceptual Issues in
Political and Economic Environment, 7 edition. Los Angeles. SAGE Publication Inc.
th

.. .. .. ....
...... ..

Anda mungkin juga menyukai