Anda di halaman 1dari 7

PENILAIAN KINERJA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA

DENGAN MODEL EKSPERIMEN UNTUK MENGOPTIMALKAN


KOMPETENSI PSIKOMOTORIK SISWA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Uji Kompetensi IV Mata Kuliah Assesmen
Pembelajaran Fisika
Dosen Pengampu Dra. Rini Budiarti M. Pd.

ANAFI NUR AINI


NIM K2312006
KELAS A

PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2015

PENILAIAN KINERJA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN


MODEL EKSPERIMEN UNTUK MENGOPTIMALKAN KOMPETENSI
PSIKOMOTORIK SISWA
Anafi Nur Aini
Pendidikan Fisika Universitas Sebelas Maret
anafi@sim.uns.ac.id
Abstrak
Dalam proses pembelajaran, tidaklah bisa dipisahkan dari proses penilaian. Proses
penilaian tersebut harus beragam, mencakup tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif,
dan psikomotor. Namun, saat ini banyak guru yang masih terfokus pada penilaian
kognitif dan afektif saja, belum sampai pada ranah psikomotor. Padahal, aspek
psikomotor juga perlu dilakukan penilaian sehingga dapay diketahui pencapaian hasil
belajar siswa yang diperoleh melalui keterampilan yang melibatkan otot dan kekuatan
fisik. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menilai aspek psikomotor yaitu
penilaian kerja. Tulisan ini akan mendeskripsikan pelaksanaan penilaian proses pada
pembelajaran fisika melalui eksperimen untuk mengoptimalkan kompetensi
psikomotor siswa. Guru melakukan observasi saat kegiatan eksperimen berlangsung
dengan instrument penilaian. Beberapa instrument yang dapa digunakan yaitu daftar
cek, bagan partisipasi, serta numerical scale. Melalui kegiatan tersebut siswa dilatih
untuk terampil bekerja dan kreatif dalam memanfaatkan potensi diri dan lingkungan
sekitarnya.
Kata kunci: penilaian kerja, eksperimen, psikomotor.
Pendahuluan
Keberhasilan peserta didik sangat dipengaruhi oleh guru, dimulai dari proses
penyampaian materi hingga proses penilaian. Guru harus benar-benar mengetahui
perkembangan setiap peserta didik mulai dari proses dia belajar sampai hasil yang ia
dapat dari proses belajarnya. Perkembangan peserta didik dapat terus di update
melalui proses penilaian ini.
Pasal 25 (4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa kompetensi lulusan mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan [1]. Ini berarti bahwa pembelajaran dan
penilaianharus mengembangkan kompetensi peserta didik yang berhubungan dengan
ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotor (keterampilan). Ranah
psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari,

melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Pada pembelajaran fisika,


kemampuan psikomotor siswa dapat diasah melalui aktivitas eksperimen. Akan tetapi
ketika melakukan eksperimen, guru masih fokus pada sisi kognitif yang dapat
diketahui melalui tes tertulis, laporan, serta aspek afektif yang dilakukan melalui
penilaian sikap. Sehingga, kemampuan psikomotor siswa pun kurang optimal.
Penilaian psikomotor dapat dilakukan melalui proses penilaian kinerja yang
berlangsung saat pembelajaran. Pada proses penilaian kerja, guru mengobservasi
peserta didik saat kegiatan eksperimen. Melalui kegiatan eksperimen, guru dapat
mengamati gerak-gerik siswa dalam memainkan alat-alat praktikum serta mengamati
prosesnya dalam mendapatkan pengetahuannya.
Pengukuran ranah psikomotor
Perkembangan peserta didik tidak hanya terbatas pada ranah kognitif dan
afektif saja, tetapi juga ranah psikomotor. Psikomotor berhubungan dengan kata
motor, sensory motor atau perceptual motor. Ranah psikomotor merupakan
pengetahuan yang lebih banyak didasarkan dari pengembangan proses mental melalui
aspek-aspek otot dan membentuk keterampilan siswa. [2]
Perubahan yang dilakukan terhadap kurikulum dari tahun ke tahun, tidak
hanya mengubah silabus, sequence ataupun scope materi, tetapi juga model
evaluasi.Akan tetapi, dari ragam instrumen pengukuran yang disusun para guru
cenderungmengabaikan ranah psikomotor sebagai salah satu target pencapaian
belajar. Pertama, disadari bahwa kegiatan yang melibatkan psikomotor membutuhkan
alokasi waktu yang relatif lama, sehingga bila suatu saat guru hendak melakukan
pengukuran ranah psikomotor, maka dia harus mengikuti proses kegiatan dari siswa
dari persiapan, proses, hingga diperoleh hasil. Hal ini diperkuat dengan proses
pembelajaran di sekolah yang dibatasi oleh satuan waktu tertentu. Alasan ini
menjadikan guru lebih suka untuk mengukur siswa dari segi kognitif saja.
Kedua, dilihat dari instrumennya, ranah kognitif memiliki beberapa instrumen
penilaian, antara lain dengan daftar cek, rating scale dan bagan partisipasi. Pada
daftar cek dan rating scale, aspek yang dinilai spesifik, dapat menggambarkan

kemampuan siswa yang dapat diamati atau karakteristik produk yang dihasilkan, serta
kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur harus jelas sehingga mudah
diinterpretasikan oleh observer. Dengan demikian, memang terasa sulit untuk
melakukan pengukuran ranah psikomotor, terlebih lagi bagi mereka yang belum
terbiasa.
Meskipun ada beberapa kesulitan, bukan berarti penilaian psikomotor tidak
diadakan. Apalagi pada mata pelajaran fisika yang banyak menerapkan proses IPA,
justru lebih banyak mengarah pada pengukuran psikomotor. Apalagi jika guru
mengacu pada kurikulum yang berlaku saat ini maka aspek psikomotor juga harus
dinilai.
Kenyataan yang terjadi, pengukuran hasil belajar fisika yang dilakukan guru
di sekolah banyak yang diarahkan ke ranah kognitif. Memang, pengukuran ranah
kognitif perlu dilakukan, akan tetapi hendaknya jangan mengukur psikomotor dengan
model kognitif. Untuk mengukur penguasaan ranah psikomotor, guru memberikan
pertanyaan yang sebenarnya mengarah pada sisi kognitif. Misalnya, guru hendak
menilai tentang keterampilan siswa dalam merangkai komponen secara seri dan
paralel, akan tetapi pertanyaan yang muncul adalah, apa yang dimaksud dengan
rangkaian seri dan paralel? Jika ditelaah dengan saksama, maka sebenarnya
pertanyaan tersebut lebih condong menanyakan tentang bagaimana teori rangkaian
seri dan paralel, dan bukan respon psikomotor ataupun nilai sebagaimana diharapkan
dalam model psikomotor. Dengan begitu meski anak yang tidak terbiasa merangkai
komponenpun dapat dengan mudah menjawabnya.
Untuk dapat mengoptimalkan kemampuan psikomotor siswa, maka kondisi
tersebut haruslah diubah. Selain dapat merugikan siswa, dapat dinyatakan pula guru
tidak menggunakan alat ukur yang valid. Selain itu, siswa juga hanya pandai dari segi
kognitif saja, tapi kemampuan keterampilannya tergolong kurang.
Penilaian Kinerja Melalui Eksperimen
Menurut Ebel (1972), ada kaitan erat antara tujuan yang akan dicapai, metode
pembelajaran, dan evaluasi yang akan dilaksanakan [x]. Penilaian kinerja sangatlah

cocok untuk diterapkan di mata pelajaran yang memang membutuhkan banyak gerak,
misalnya olah raga, seni, ataupun sains seperti kimia, fisika, dan biologi yang banyak
melakukan eksperimen di laboratorium. Selain itu, melalui kegiatan eksperimen guru
dapat mengoptimalkan kemampuan psikomotor siswa.
Model eksperimen dipandang sebgai salah satu model yang terbaik dalam
mendukung proses belajar siswa. Dengan metode ini, siswa dituntut untuk melakukan
percobaan sebagai pembuktian, pengecekan, bahwa teori yang sudah dibicarakan itu
memang benar [3]. Metode eksperimen juga dikatakan sebagai cara penyajian
pelajaran,

di

mana

siswa

melakukan percobaan

dengan

mengalami

dan

membuktikan sendiri suatu yang dipelajari [4].


Pada saat proses eksperimen, ada aspek-aspek yang dapat diukur dengan
penilaian kinerja, antara lain persiapan, proses kerja, sikap kerja, produk kerja, dan
waktu. Masing-masing aspek dapat dijabarkan kembali kedalam kriteria yang lebih
spesifik. Disamping itu, siswa menggunakan hampir seluruh indera dan tubuhnya
untuk melakukan suatu gerakan untuk mengoperasikan alat, mengerjakan tugas,
membaca ataupun mensketsa gambar, dan menganalisis suatu pekerjaan beserta
urutannya.
Jika melihat proses tersebut, maka nampaknya untuk mengukur ranah
psikomotor memang memerlukan waktu yang relatif lebih lama karena guru ataupun
observer harus mengikuti proses peserta didik secara individual.
Penilaian Kinerja untuk Optimalisasi Psikomotor
Menurut Sarwiji Suwandi, penilaian kinerja (performance assessment)
merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan siswa dalam
melakukan sesuatu [5]. Cara penilaian ini dianggap lebih otentik daripada tes tertulis,
karena tidak hanya mengukur hasil belajar, tetapi secara lebih lengkap memberi
informasi yang lebih jelas tentang proses pembelajaran sehingga lebih mencerminkan
kemampuan siswa yang sebenarnya.
Menurut Bambang Subali penilaian kinerja adalah penilaian yang
memfokuskan aspek keterampilan yang berkait dengan ranah psikomotor yang dapat
didemonstrasikan oleh siswa [6]. Performance assessment mengacu pada sebuah

penilaian yang memperbolehkan siswa untuk tampil, yaitu untuk menghasilkan


atau melakukan sesuatu.
Dari uraian diatas, penilaian kinerja sangat cocok diterapakan untuk
mengoptimalkan aspek psikomotor. Dalam hal ini, ada beberapa langkah yang harus
ditempuh, yaitu membuat kisi-kisi beserta instrumen penilaian dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Menuliskan perilaku kemampuan-kemampuan spesifik yang penting dan
diperlukan untuk menyelesaikan tugas ataupun menghasilkan produk
terbaik.
2. Membuat kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur dengan jelas
sesuai dengan karakteristik produk yang dihasilkan.
3. Urutkan kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan urutan
proses kejadian yang akan diamati.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, instrument penilaian yang digunakan
antara lain bagan partisipasi, checklist, dan rating scale. Masing-masing memiliki
karakteristik yang berbeda. Bagan partisipasi berfungsi untuk melihat keikutsertaan
siswa dalam setiap langkah atau tahap pembelajaran. Checklist berfungsi untuk
mengetahui ada tidaknya suatu hal yang sedang diamati. Kemudian rating scale
berfungsi menggambarkan suatu nilai dalam bentuk angka yang disusun berjenjang
dari paling rendah ke paling tinggi. Dalam penilaian ini, observer haruslah obyektif,
tidak subyektif. Kemudian observer juga harus cermat dalam membaca instruksi
ataupun memahami pernyataan tertera di lembar penilaian sehingga meminimalisir
terjadinya eror.
Penutup
Salah satu tujuan perubahan kurikulum yaitu mengoptimalkan kemampuan
siswa. Dalam hal ini, aktivitas evaluasi merupakan salah satu cara terbaik untuk
melihat kemampuan peserta didik. Secara otomatis, seluruh domain yang memang
telah dijabarkan dalam desain kurikulum tersebut harus diukur, baik dari segi
kognitif, afekti, maupun psikomotor, sehingga informasi yang diperoleh lebih

komprehensif. Akan tetapi, ranah kognitif kerap kali kurang diperhatikan ataupun
yang ada justru psikomotor dengan kemasan kognitif.
Untuk melihat aspek psikomotor, diperlukan pendekatan khusus yaitu dengan
menggunakan penilaian kinerja pada pembelajaran model eksperimen. Cara ini dapat
diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah sehingga kemampuan psikomotor
siswa dapat berkembang secara optimal. Meskipun demikian, perlu pemahaman dari
guru bahwa kemajuan kemampuan psikomotor seseorang relatif berbeda dengan
orang lain.
Daftar Pustaka
[1] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005. (2005).
Diunduh 14 Juni 2015, dari http://kemenag.go.id/file/dokumen/PP1905.pdf
[2] Suharsimi Arikunto. (2002). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumu
Aksara
[3] Suparno, Paul. (2007). Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik dan
Menyenangkan. Yogyakarta : Sanata Dharma
[4] Djamarah, Syaiful B. (1995). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta
[5] Suwandi , Sarwiji. (2011). Model-model Asesmen dalam Pembelajaran.
Surakarta: Yuma Pustaka.
[6] Subali, Bambang. (2010). Buku Evaluasi Remidiasi. Yogyakarta : FMIPA UNY

Anda mungkin juga menyukai