PENDAHULUAN
Tamiang. Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah berdiam suku bangsa Gayo
yang meliputi kelompok orang Gayo Lut dan orang Gayo Deret, sedangkan
Kabupaten Gayo Lues meliputi suku bangsa orang Gayo Lues. Dalam penelitian
ini akan dikhususkan membahas Tari Saman di Kabupaten Gayo Lues yang sering
disebut dengan Daerah Seribu Bukit, walaupun ada tautannya dengan kelompokkelompok orang Gayo lainnya. Sesuai dengan kesepakatan para tokoh adat Gayo
bahwa asal Tari Saman adalah dari Kabupaten Gayo Lues yang dijuluki Daerah
Seribu Bukit.
Selain itu masih ada masalah lainnya baik dipandang dari sudut internal
maupun eksternalnya. Secara umum masalah internal ada dua, pertama semakin
terkikisnya budaya lokal Tari Saman sendiri, baik dilihat dari antusias masyarakat,
nilai-nilai yang terkandung maupun hilangnya simbol-simbol fisik penunjang
eksistensi kebudayaan Saman. Kedua Pemerintah Kabupaten Gayo Lues sendiri
masih belum menemukan kejelasan asal usul keaslian Tari Saman ini berdasarkan
fakta sejarah.
Sedangkan masalah eksternal sendiri apabila ditinjau secara umum bisa
dibagi menjadi dua permasalahan. Pertama terjadinya dominansi Pemerintah
Provinsi terhadap kebudayaan asli Gayo yaitu Saman. Selama ini orang di luar
Aceh hanya melihat Aceh sebagai entitas tunggal, bukan entitas jamak. Padahal,
di Aceh tidak sebatas dihuni suku Aceh, tetapi ada suku Gayo, Singkil, Tamiang,
Kluet, Aneuk Jameuk, Simelue, dan lain-lain dengan identitas dan simbol etnikhistoris-kultural yang berbeda satu sama lain. Meski secara tidak langsung,
Pemerintah Provinsi jangan lagi melakukan klaim dan pembenaran historis-
kultural, terlebih terhadap suku Gayo. Kalau ini tetap terjadi, kemungkinan
konflik sosial, horizontal, dan komunal akan terjadi di Aceh.
Kedua akibat dari diskriminasi serta pencaplokan budaya di atas,
Pemerintah Kabupaten Gayo Lues semakin sulit untuk membangun kembali nama
baik budaya Saman baik di tingkat nasional maupun internasional. Apalagi seni
Tari Saman (bukan Saman asli Gayo Lues) telah masuk ke dalam Museum Rekor
Indonesia (MURI) sebagai penyelenggaran terbesar dengan 3000 orang penari di
Banda Aceh tahun 2010 silam. Namun ironisnya, dari segi gerak, metode, penari
dan pelaksaaan teknis lainnya sangat jauh dari keaslian Tari Saman yang asli.
Hal ini tentunya akan menimbulkan konflik antar masyarakat Aceh
sendiri. Mungkin di satu pihak kita sedikit bangga dengan mencuatnya nama
Saman kembali sebagai entitas Aceh. Namun klaimisasi budaya oleh Pemerintah
Provinsi di atas telah menyalahi semangat otonomi daerah sebagai salah satu
keunggulan dalam kearifan budaya lokal masyarakat Gayo.
Kemudian dari tinjauan politis juga, kita tidak tahu dengan perkembangan
dalam pemekaran daerah nantinya. Contoh kasus dapat kita lihat Kabupaten Gayo
Lues beserta enam Kabupaten/ Kotamadya telah berupaya memisahkan diri dari
naungan Provinsi Aceh dengan membentuk Provinsi ALA (Aceh Louser Antara)
terdiri dari Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara,
Singkil dan Kotamadya Subulussalam. Walaupun gagal, untuk sementara keenam
Kabupaten/ Kotamadya tersebut terus berjuang agar kesetaraan pembangunan
serta marjinalisasi ekonomi dapat terhapuskan. Timbul sebuah pertanyaan di masa
yang akan datang, kejelasan entitas Saman yang sangat dibanggakan ini menjadi
hak dan milik siapa? Oleh karena itu perlu kejelasan kepemilikan dari saat ini
sehingga akan mempermudah menjawab permasalahan di masa yang akan datang.
Melihat masalah-masalah di atas, Pemerintah dan masyarakat Kabupaten
Gayo Lues semakin gelisah dan takut akan kehilangan simbol kesenian yang dari
dulu dibanggakan ini. Tari Saman adalah salah satu cagar budaya merupakan
kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu
dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan
kepentingan Nasional. Oleh karena itu beberapa tahun ini Pemerintah Kabupaten
Gayo Lues terus berupaya membangun kembali kejayaan kesenian ini dengan
meningkatkan kekuatan internal dan mengekspose ke kancah Internasional serta
berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait.
Hasilnya pada mulai tahun 2010 usaha tersebut telah mendapat antusias
dari organisasi dunia bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Tari Saman yang berasal dari Provinsi
Aceh telah diakui dan dikukuhkan oleh organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan
dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), sebagai warisan
budaya dunia tidak benda (intangible heritage) pada 24 November 2011 yang lalu
di Bali. Untuk mendapatkan pengakuan ini perlu proses verifikasi yang panjang,
dan ke masa depan kita targetkan warisan dunia milik Indonesia yang diakui
UNESCO akan semakin banyak.
Indonesia memiliki beragam budaya dan tempat wisata yang menyebar
keseluruh nusantara dari Sabang sampai Merauke. Beragam budaya tersebut
merupakan salah satu kekayaan alam yang menjadikan Indonesia menjadi salah
satu negara kaya di dunia. Karena parawisata adalah salah satu bidang yang dapat
menyumbangkan devisa untuk negara. Berkaitan dengan hal tersebut dilihat Tari
Saman yang telah diakui dan dikukuhkan oleh organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), sebagai
warisan budaya dunia tidak benda (Intangible Heritage) dapat dijadikan sebagai
ikon budaya Kabupaten Gayo Lues.
tak
benda
(Intangible
Heritage)
terkait
dengan
upaya