Anda di halaman 1dari 2

Bunyi terompet, drum music, pianika, serta beberapa alat music lainnya melebur bersama

kebahagiaan masyarakat di suatu kecamatan tak terurus di kabupaten Bogor. Rumpin, mereka
menyebutnya demikian. Walau saat itu tak terdaftar di peta tapi kehidupan masih ada disana.
Kebahagiaan adalah suatu tanda adanya kehidupan . Bukan hanya oleh satu dua orang tapi ini
juga dirasakan banyak orang. 17 Agustus 2007, semua orang berbahagia. Setidaknya itulah yang
aku lihat saat itu. Semua melebur di jalan raya. Suara bising kendaraan, obrolan bapak-bapak dan
ibu-ibu tak menyurutkan antusias masyarakat waktu itu. Semuanya memperhatikan jalan raya di
kecamatan itu. Yaa. Bagiku jalan itu lah yang pantas disebut jalan raya karena jalan yang
disebut jalan raya yang lain hancur lebur tak terawat. Bagaimana tidak, truk-truk besar
pengangkut pasir melewati jalan-jalan di kecamatan kami. Seolah tak peduli dengan anak-anak
sekolah yang mesti berbagi debu dan lumpur akibat jalan berlubang besar dimana-mana. Di
sepanjang jalan, apalagi musim penghujan, beuh mengerikan !
Tapi untungnya Agustus adalah musim panas di Indonesia. Setidaknya kami hanya bermandikan
debu di bulan ini haha. Tak peduli debu yang menempel di sekujur tubuh kami, keramaian hari
itu memang menjadi daya tarik sendiri di kecamatan kami. Dari ujung jalan sebelah utara sampai
selatan sudah disterilkan dari kendaraan yang lewat. Terasa sangat special menurutku. Bukankah
hal seperti ini hanya untuk sesuatu yang special ? Mungkin lebih special dari mie rebus masakan
abang-abang berambut lebat di kantin belakang sekolahku. Yang terpenting hari ini ramai dan
nyaris semua anak tanpa diperintah berbaris di sepanjang pagar sekolahku. Hal yang menarik
perhatian seperti ini tentu menyedot perhatianku.
Ada apa sih ? tanyaku pada salah satu anak kelas.
Ada paskibra mau lewat !
Tanpa balik bertanya mataku langsung menelusuri keadaan sekitar. Ada paskibra mau lewat ?
Dimana ?. Prak prak prak. Langkah suara kaki mereka rterdengar. Aku tentu makin penasaran
untuk melihat mereka lebih jelas. Kusibak kerumuman untuk mendapatkan sudut pandang
terbaikku. Ah akhirnya, jelas sekali aku melihat mereka. Pria wanita berbaju putih melangkah
mantap tanpa ragu. Peci hitam sepatu hitam serta beebrapa atribut yang aku tidak tahu apa
namanya. Apapaun namanya yang kulihat mereka semua gagah dengan segala pernak-pernik
ditubuh mereka. Beberapa diantara mereka terlihat tersenyum, beberapa tidak. Ada yang terlihat
tegang, ada yang terlihat santai dan menikmnati. Dari semua itu, yang paling kusuka adalah
langkah pasti dan mantap mereka. Wah.. keren seksli ! Semuanya kompak dalam satu irama.
Derap langkah mereka seolah satu padahal yang kulihat ada belasan anak yang masuk paskibra.
Aku beberapa kali melihat paskibra lewat tv rumahku. Anggun ! Satu kata yang mewakili semua
yang kulihat di tv. Kakak sering berkomentar seperti ini saat menonton acara agustusan lewat tv
bersama aku dan ibuku. Itu yang bawa bendera pasti pegel banget, latihannya bener-bener deh.
Aku sering melakukan itu saat SD dulu. Sekarang bisa melihat secara langsung kerennya
mereka. Derap langkah mereka menjauh, megarah ke selatan. Kami yang dari tadi terpesona

dengan pemandangan tadi bergerak mendekati suara derap itu. Momen seperti ini begitu menyita
perhatian bocah smp sepertiku itu. Paskibra bergerak menuju lapangan diikuti ratusan mata yang
terpesona olehnya. Aku bersama teman-teman yang lain ikut menuju lapangan. Lapangan yang
terletak di pusat kecamatan itu tak kalah megahnya dengan lapangan yang kulhat di tv. Aku
bersama teman-temanku yang lain melebur bersama ratusan anak berseragam putih biru yang
lain. Kami dibariskan menghadap bendera. Aku berada dibaris paling belakang. Ingin rasanya
kuterobos barisan depan. Aku ingin melihat paskibra lebih dekat tapi aku takut terhadap kakakkakak kelasku yang sudah berdiri di depan. Kulihat paskibra masuk ke daerah dibalik sebuah
gerbang besar. Mungkin mereka sedang bersiap-siap.
Hari itu panas. Beberapa anak terluhat kelehahan bahkan beberapa diantaranya pingsan.
Beberapa anak yang lain pura-pura kelelahan demi mendapat tempat yang lebih teduh. Memang,
aku sendiir bisa merasakannya. Topi tut wuri handayani yang kupoakai tak mampu menghalau
teriknya panas bola gas besar yang menggantung dilangit sana. Tapi aku tetap tak suka dengan
sikap manja beberapa orang itu. Apakah mereka tak bisa sedikit lebih serius dengan upacara ini.
Cukup sudah gelagat tak sopan mereka kulihat saat upacara bendera setiap hari senin di lapangan
upacara sekolah walau aku bisa maklum dengan keadaan waktu itu.
Beberapa saat kemudian aku lihat mereka, orang-orang berbaju putih itu, masuk kelapangan
dengan langkah pastinya yang sangat aku suka. Brak.. ! Bendera terbentang. Momen sekian detik
itu mampu menyihir kami. Lagu Indonesia Raya dikumandangkan mengiringi naiknya bendera
sampai ke ujung tiang. Mataku mengikuti naiknya bendera dengan posisi hormatku yang di
kemudian hari kuketahui ternyata salah. Setelah selesai bendera menyentuh ujung tiang, paskibra
bergerak kembali ke daerah semula. Tempat dimana mereka masuk.
Setelah rangkain upacara selesai, aku kembali ke sekolah dengan perasaan takjubku yang masih
berasap. Mungkin suatu saat aku bisa jadi seperti mereka. Mungkin
Akan keren rasanya jika aku bisa seperti mereka..

Anda mungkin juga menyukai