Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh :
Nama : Carissa Paresky Arisagy
NIM : 12 / 334991 / PN / 12981
Prodi : Manajemen Sumberdaya Perikanan
Asisten Laporan : Riyan Dwi Putra
Intisari
Perairan terbuka merupakan lingkungan yang seringkali menjadi tempat pembuangan akhir
bahan-bahan pencemar yang dapat berasal dari limbah rumah tangga, industri, pertanian
maupun kegiatan manusia lainnya. Salah satu bahan pencemar yang sering dimanfaatkan
oleh manusia adalah insektisida (pembasmi serangga). Untuk mengantisipasi dampak
negatif dari bahan pencemar tersebut perlu diketahui nilai toksisitas insektisida terhadap
ikan air tawar melalui uji toksisitas. Uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi
konsentrasi bahan-bahan kimia dan lamanya waktu pemaparan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan suatu efek. Praktikum ekotoksikologi yang dilaksanakan pada tanggal 29
September 3 Oktober 2014 di Laboratorium Ekologi Perairan bertujuan untuk
mempelajari salah satu cara mengukur daya racun (toksisitas) suatu bahan pencemar,
mempelajari penentuan toksisitas suatu bahan kimia atau bahan pencemar terhadap hewan
air, dan mempelajari pengaruh suatu bahan kimia atau bahan pencemar terhadap kualitas
air. Praktikum ini dilakukan dengan menggunakan dua perlakuan yaitu aerasi dan non
aerasi dengan bahan toksik berupa transfluthrin dengan hewan uji berupa ikan nila. Selain
itu diukur juga parameter fisik, kimia, dan biologi lingkungan berupa suhu, kandungan
oksigen terlarut, CO2 bebas, alkalinitas, pH, gerak operkulum, escape reflex, dan
mortalitas. Nilai LC50 96 jam pada perlakuan aerasi tidak dapat ditentukan dan pada
perlakuan non aerasi sebesar 29,297 ppm. Nilai LC50-72 jam ikan nila (Oreochromis
niloticus) non aerasi adalah 3,943. Toksisitas transfluthrin pada perlakuan non aerasi lebih
toksik dibandingkan pada perlakuan aerasi.
Kata kunci : ikan nila, kualitas air, mortalitas, toksisitas, transfluthrin
PENDAHULUAN
Perairan terbuka merupakan lingkungan yang seringkali menjadi tempat
pembuangan akhir bahan-bahan pencemar yang dapat berasal dari limbah rumah tangga,
industri, pertanian maupun kegiatan manusia lainnya. Salah satu bahan pencemar yang
sering dimanfaatkan oleh manusia adalah insektisida (pembasmi serangga). Berdasarkan
data dari Depkes (1994), disebutkan bahwa penggunaan insektisida di seluruh Indonesia
saat ini mencapai 55,42 %. Penggunaan insektisida baik di bidang pertanian maupun non
pertanian sebenarnya merupakan upaya untuk mengontrol hama, namun apabila
penggunaannya tidak benar maka hanya sebagian kecil dari insektisida yang dipaparkan ke
lingkungan berpengaruh terhadap organisme sasaran, sementara sisanya hanya akan
mengkontaminasi lingkungan. Insektisida yang disemprotkan dan mengendap dalam tanah
dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air penerima seperti
sungai, danau, dan lain sebagainya. Adanya residu insektisida dalam air tersebut lambat
laun akan terakumulasi dan dapat menimbulkan pengaruh merugikan pada organisme
akuatik, khususnya ikan. Memperhatikan dan menyadari dampak penggunaan insektisida
tersebut terhadap lingkungan perairan, maka dirasa perlu untuk mengetahui dan memahami
lebih lanjut tentang uji toksisitas insektisida terhadap ikan air tawar, khususnya ikan nila
(Oreochromis niloticus) melalui praktikum ekotoksikologi perairan.
Ikan nila merupakan spesies ikan tropis yang lebih suka hidup di air dangkal
(Trewavas, 1983). Secara morfologi ikan nila memiliki bentuk tubuh pipih, sisik besar dan
kasar, kepala relatif kecil, garis linea lateralis terputus dan terbagi dua, yaitu bagian atas
dan bawah memiliki lima buah sirip. Arie (1999) menyatakan bahwa habitat yang ideal
untuk ikan Nila (Oreochromis niloticus), adalah perairan tawar yang memiliki suhu antara
14oC 38oC, atau suhu optimal 25oC 30oC. Ikan ini mampu hidup dengan kisaran
salinitas (kadar garam) 0 - 15. Nila dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada
lingkungan perairan dengan kadar Dissolved Oxygen (DO) antara 2,0 - 2,5 mg/l. Secara
umum nilai pH air pada budidaya ikan nila antara 5 sampai 10 tetapi nilai pH optimum
adalah berkisar 6 9 (Popma, 1999). Ikan nila merupakan ikan omnivora yang sangat
menyenangi pakan alami berupa rotifera, Daphnia sp., benthos, perifiton dan fitoplankton,
disamping itu, bisa juga diberi pakan seperti pellet, dan dedak. Ikan ini dapat melakukan
pemijahan sepanjang tahun dan mulai memijah pada umur 6-8 bulan. Seekor induk betina
ukuran 200-400 gram dapat menghasilkan larva 500-1000 ekor (Rochdianto, 2009).
Berdasar hasil survei, hampir semua insektisida rumah tangga menggunakan bahan
aktif dari golongan piretroid sintetik. Insektisida golongan piretroid menjadi pilihan karena
kerjanya cepat melumpuhkan serangga sasaran selain itu juga bersifat repellent (Sigit dan
Hadi, 2006). Sifat sintetik piretroid tidak mudah menguap (volatilitas rendah) dan potensi
insektisidanya tinggi. Kesuksesan lain piretroid adalah efikasinya tinggi dengan dosis yang
rendah serta daya bunuhnya cepat (Pemba dan Kadangwe, 2012). Piretroid sintetik saat ini
telah banyak diproduksi. Piretroid generasi pertama adalah d-alletrin. Sedangkan termasuk
piretroid generasi kedua adalah d-fenotrin, kemudian generasi ketiga adalah sifenotrin dan
permetrin, dan sisanya (imiprotrin, transflutrin, praletrin, metoflutrin, sipermetrin, siflutrin,
dan deltametrin) adalah piretroid generasi keempat (Sigit dan Hadi, 2006). Hal yang
membedakan tiap bahan aktif insektisida adalah toksisitas terhadap organisme target,
maupun organisme lain. Toksisitas sangat berkaitan dengan dosis, yang biasanya
dinyatakan dengan lethal dose (LD50) atau lethal concentration (LC50), yaitu jumlah
racun per unit berat badan yang akan menyebabkan kematian sebanyak 50% dari total
populasi hewan uji (Matsumura, 1975). Semakin kecil dosis yang diperlukan untuk
membunuh maka semakin toksik insektisida tersebut. Berdasarkan toksisitasnya insektisida
digolongkan menjadi golongan IA (sangat berbahaya sekali), IB (sangat berbahaya), II
(berbahaya), III (cukup berbahaya), dan golongan IIIU (tidak berbahaya jika digunakan
secara normal) (Sigit dan Hadi, 2006).
Golongan Insektisida
Piretroid
Piretroid
Piretroid
Piretroid
Piretroid
Piretroid
Piretroid
Karbamat
Piretroid
Piretroid
Piretroid
Piretroid
Piretroid
Tingkat Toksisitas
IIIU
III
IIIU
III
II
III
II
II
II
IIIU
IIIU
IIIU
II
METODOLOGI
Praktikum ekotoksikologi perairan acara uji toksisitas bahan pencemar terhadap
ikan air tawar ini dilakukan pada hari Senin hingga Jumat, tanggal 29 September sampai
dengan 3 Oktober 2014, tepatnya pada pukul 14.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.
Adapaun tempat pelaksanaan praktikum berada di Laboratorium Ekologi Perairan Jurusan
Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Praktikum ini dilaksanakan
dengan prinsip mengamati hewan uji yang hidup di dalam air yang telah diberi pencemar
selama 96 jam untuk mendapatkan nilai LC50 dengan analisis regresi linier dan pengukuran
parameter lingkungan. Adapun parameter lingkungan yang diamati meliputi parameter
fisik, kimia, dan biologi.
Alat yang digunakan dalam praktikum antara lain akuarium, aerator, ember, selang
air, termometer, pipet tetes, erlenmeyer, pH meter, botol oksigen, kertas label, pipet ukur,
kempot, gelas ukur, hand counter, dan alat tulis. Sementara bahan yang digunakan terdiri
dari ikan uji, bahan pencemar, serta bahan-bahan yang digunakan dalam pengukuran
kualitas air seperti MnSO4, H2SO4 pekat, 1/80 N Na2S2O3, 1/44 N NaOH, 1/50 N H2SO4,
indicator amilum, indikator MO, reagen oksigen, indicator phenolpthelein, dan aqudest.
Adapun ikan uji yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan nila (Oreochromis
niloticus). Sementara bahan pencemar yang digunakan adalah insektisida (pembasmi
nyamuk) yang mengandung senyawa transfluthrin.
Nilai LC50 diperoleh melalui uji pendahuluan yakni dengan melakukan
pemeliharaan ikan selama 96 jam dalam 24 buah akuarium, di mana dua belas buah
diantaranya diberi perlakuan aerasi dan sisanya non aerasi. Pada tiap-tiap akuarium diisi
dengan 10 ekor ikan dengan ukuran fingerling. Kemudian pada masing-masing akuarium
diberi bahan pencemar berupa insektisida yang mengandung senyawa transfluthrin, dengan
konsentrasi 0 ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm, dan 1 ppm. Lalu data yang
diperoleh diolah melalui analisis regresi linier sederhana. Regresi linier sederhana
digunakan untuk mendapatkan hubungan matematis dalam bentuk suatu persamaan antara
variabel tak bebas tunggal dengan variabel bebas tunggal. Regersi linier sederhana hanya
memiliki satu peubah X yang dihubungkan dengan satu peubah tidak bebas Y. Bentuk
umum dari persamaan regresi linier untuk populasi adalah Y = a + bx , dimana Y =
variabel tak bebas, x = variabel bebas, a = parameter intercep, b = kemiringan garis regresi
(Kurniawan, 2008). Pada uji toksisitas insektisida terhadap ikan nila (Oreochromis
niloticus) ini, parameter lingkungan yang diamati meliputi parameter fisika yang
mencakup pengukuran suhu air, parameter kimia yang mencakup pengukuran alkalinitas,
DO, CO2, dan pH, serta parameter biologi yang mencakup pengamatan gerakan
operculum, escape reflex dan mortalitas. Pada parameter fisika, pengukuran suhu air
dilakukan dengan menggunakan termometer. Sementara pada parameter kimia seperti DO
diukur dengan metode Winkler, CO2 bebas dan alkalinitas diukur dengan metode
Alkalimetri, dan pH diukur menggunakan pH meter. Kemudian pada parameter biologi
seperti gerakan operculum, escape reflex dan mortalitas dilakukan pengamatan dan
penghitungan dengan bantuan hand counter. Pengukuran dan pengamatan parameter fisika
dan biologi tersebut dilakukan setiap 24 jam sekali sementara parameter kimia diukur
setiap 48 jam sekali.
Konsentrasi
(ppm)
0
0,2
0,4
Parameter Fisik
0
Suhu ( )
27,75
27,75
27,75
Parameter Biologi
GO
ER
132
111.5
139
4.5
4
5
24
48
72
96
0,6
0,8
1,0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
27,75
27,75
28,25
27
26,25
26,75
26,5
26,5
26,75
26,25
26,5
26
26
26,25
26,75
26,5
26,25
26,5
26,25
26,25
27
26,25
26,5
26
26
26,25
26,5
86
99.5
117
114.5
100
105
92
91
83
91
98.5
88.5
88
104
112.5
101.5
88
96.5
80.5
79
87
92
87
102
100.5
82
97
5
4
4
2
2
2
2
2
2
2.5
2.5
3
1.5
2
2
2.5
3
3.5
2.5
2.5
1.5
1.5
2.5
2.5
3
2.5
1
Suhu air merupakan kodisi keadaan temperatur yang menunjukkan situasi air pada
suatu wilayah atau daerah perairan. Suhu air merupakan faktor penting dalam lingkungan
perairan. Suhu air dapat mempengaruhi besarnya kadar O 2 terlarut dalam suatu perairan,
semakin tinggi suhu periran maka kadar O2 terlarutnya akan rendah, begitu pula
sebaliknya. Hal ini disebabkan pada suhu yang tinggi organisme akan melakukan
metabolisme yang tinggi pula sehingga organisme tersebut membutuhkan Oksigen yang
lebih untuk beraktivitas, sebagai sumber energi. Menurut Effendi (1998), Kenaikan suhu
air dapat menyebabkan kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu .Air memiliki
beberapa sifat termal yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebihlambat
dari pada udara. Selanjutnya Soetjipta (1992) menambahkan bahwa walaupun suhu kurang
mudah berubah di dalam air daripada di udara, namun suhu merupakan faktor pembatas
utama, oleh karena itu mahluk akuatik sering memiliki toleransi yang sempit.
Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik pada akuarium yang diberi perlakuan
aerasi yang teramati baik pada jam ke-0, ke-24, ke-48, ke-72, maupun ke-96 jam tidak
tampak adanya perbedaan yang signifikan. Dengan konsentrasi yang berbeda suhu air yang
terukur relatif konstan dan tidak menunjukan rentang kenaikan maupun penurunan suhu air
yang jauh. Pada pengukuran 0 jam berkisar antara 27,75oC - 28,25oC, pada pengukuran 24
jam berkisar antara 26,25o C 27oC, pada pengukuran 48 jam berkisar antara 26oC
26,75oC, pada 72 jam berkisar antara 26,25oC dan 27oC, serta pada pengukuran 96 jam
berkisar antara 26 dan 26,5oC. Suhu air pada masing-masing konsentrasi dalam kurun
waktu 96 jam selalu dalam kisaran optimal, yakni berkisar antara 26 oC - 27,75 oC, dimana
menurut Arie (1999), suhu optimal ikan Nila (Oreochromis niloticus) berkisar antara 25oC
30oC. Berdasarkan keadaan tersebut, maka dapat diartikan suhu air masih berada dalam
kisaran yang layak untuk ikan hidup. Nilai fluktuasi suhu air ini tidak terlalu besar
dikarenakan praktikum uji toksisitas ini dilakukan di dalam ruang laboratorium sehingga
cenderung mengikuti suhu ruang dan tidak dipengaruhi faktor luar seperti sinar matahari.
Menurut Hynes (1970), semakin tinggi suhu air maka toksisitas insektisida di dalam air
akan semakin meningkat pula. Dengan demikian, semakin tinggi suhu maka akan semakin
berpengaruh negatif terhadap metabolisme ikan, bahkan dapat berakibat pada kematian.
Keberadaan insektisida dalam suatu badan air dapat merusak insang dan organ
pernafasan ikan Kerusakan insang dan organ pernafasan ikan ini menyebabkan toleransi
ikan terhadap badan air yang kandungan oksigen terlarutnya rendah menjadi menurun.
Berkurangnya kemampuan insang dalam mengikat oksigen tampak pada meningkatnya
frekuensi gerakan operkulum pada ikan. Gerakan Operkulum merupakan gerakan
operkulum ikan yang diukur selama 1 menit. Berdasarkan hasil pengamatan dari jam ke-0,
ke-24, ke-48, ke-72, hingga ke-96 jam frekuensi gerakan operkulum ikan uji pada
perlakuan aerasi berkisar 79 hingga 132 kali/menit. Frekuensi gerakan operkulum ikan uji
pada perlakuan aerasi ini terlihat sangat fluktuatif. Pada akuarium kontrol dengan
konsentrasi transfluthrin 0 ppm, saat pengamatan jam ke 0 diperoleh data gerakan
operculum ikan uji mencapai 132 kali/menit dan cenderung menurun hingga jam ke 96
yaitu menjadi 92 kali/menit. Pada konsentrasi 0,2 ppm frekuensi gerakan operculum ikan
nila tercatat 111,5 kali/menit saat jam ke 0 dan semakin menurun hingga jam ke 96
mencapai 87 kali/menit. Pada konsentrasi 0,4 ppm diperoleh gerakan operculum yang
cenderung fluktuatif, dimana pada jam ke-0 mencapai 139 kali/menit dan mengalami
penurunan pada jam ke 72 dimana frekuensi gerakannya hanya 88 kali/menit dan kembali
meningkat sampai pengukuran 96 jam menjadi 102 kali/menit. Keadaan fluktuatif tersebut
juga tampak pada ikan nila dalam air uji dengan konsentrasi tranfluthrin 0,6 ; 0,8 ; dan 1,0
ppm, dimana pada jam ke 0 hingga 72 cenderung mengalami penurunan kemudian
meningkat hingga pengamatan 96 jam.
Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku ikan nila
berupa, kehilangan orientasi lingkungan, fisiologi (pertumbuhan dan reproduksi, dan
biokimia serta terganggunya fungsi jaringan. Ikan nila terlihat hypersensitif dan mengalami
gangguan orientasi terhadap lingkungan dengan berenang kedasar dan permukaan air tidak
teratur, frekuensi gerakan operkulum semakin meningkat dan kadang gerakannya tidak
beraturan. Kondisi ini diduga bahwa ikan berusaha untuk mendapatkan oksigen dengan
memperbanyak volume air yang melewati insang (Zahri, 2008). Mekanisme meningkatnya
frekuensi gerakan operkulum ikan tersebut diawali dengan terhalangnya poses difusi
oksigen ke dalam insang mengakibatkan ikan kekurangan oksigen. Sebagai respon, ikan
akan meningkatkan frekuensi gerakan operkulum untuk memenuhi kekurangan oksigen
tersebut. Peningkatan frekuensi gerakan operkulum pada ikan dalam waktu lama dapat
menyebabkan kerusakan insang yang berdampak pada kematian (Heat, 1995) dan
melemahkan otot yang menggerakkan operkulum.
Parameter biologi lainnya yang diamati dalam uji toksisitas ini adalah escape reflex.
Escape reflex merupakan gerakan yang diamati setelah mengganggu ikan dengan cara
mengetuk bagian luar akuarium guna melihat kecekatan gerakan ikan dalam menanggapi
rangsang. Penilaian dilakukan berdasarkan pengamatan secara visual dengan skala 1-5.
Semakin tinggi nilai escape reflex berarti ikan tersebut berada dalam kondisi yang sehat.
Berdasarkan data pengamatan tersebut tampak bahwa escape reflect ikan nila mengalami
fluktuasi dengan kecenderungan yang semakin menurun seiring dengan bertambahnya
lamanya jangka waktu paparan bahan pencemar. Adapun nilainya berkisar antara 4 5 saat
pengamatan 0 jam menjadi 1 3 saat pengamatan 96 jam. Penurunan tanggapan ikan nila
terhadap rangsangan tersebut dapat terjadi karena lamanya waktu paparan bahan toksik
(transfluthrin) terhadap ikan uji, yakni ikan nila (Oreochromis niloticus).
48
96
Konsentrasi
(ppm)
pH
7,1
0,2
7,05
7,05
7,1
7,05
7,05
7,1
7
7,1
7,1
7,05
7,05
7,15
7,05
7,1
7,1
7,1
7,1
0,4
0,6
0,8
1,0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Parameter Kimia
DO
CO2
Alkalinitas
(ppm)
(ppm)
(ppm)
6,8
4,5
162,4
6,3
6,4
6,515
6,5
6,67
6,5
4,5
6,4
6,2
5,48
5,78
5,96
6,1
6,54
6,48
6,3
5,825
4
3
2,5
1,5
3,5
4
6,5
4
4
5
5
7
10
7
6
7
6
170,5
164
173
185
167
175,5
172
173
168,8
173,7
171,4
190
184
183
177
184
189
Parameter kimia yang diamati pada praktikum uji toksisitas insektisida terhadap
ikan nila (Oreochromis niloticus) ini meliputi pH, kandungan O2 terlarut, CO2 bebas, serta
alkalinitas. Menurut Purba (2006), pH merupakan parameter keasaman dari suatu larutan.
Derajat keasaman atau pH merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam
perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau
kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan
kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa
(Effendi, 1998). Berdasarkan hasil pengamatan pH selama 96 jam baik pada konsentrasi 0
ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm hingga 1 ppm menunjukan nilai pH yang relatif
stabil, yakni berkisar antara 7 hingga 7,15. Merujuk pada pernyataan Popma (1999), bahwa
pH air optimum untuk pemeliharaan ikan nila adalah berkisar antara 6-9, dengan demikian
kondisi air akuarium uji dapat dinyatakan layak dan baik.
Oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen dalam mg yang terdapat dalam satu
liter air (ppt). Oksigen terlarut juga dapat diartikan sebagai kandungan gas Oksigen yang
terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai
pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber
Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi Oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau
aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton
(Novotny and Olem, 1994). Akan tetapi, dalam praktikum ini kandungan DO air hanya
bersumber dari difusi oksigen atmosfer serta aerator. Nilai DO dalam jangka waktu 96 jam,
pada konsentrasi 0 ppm (kontrol) cenderung mengalami penurunan dari 6,8 ppm hingga
5,96 ppm. sementara pada konsentrasi bahan toksik (transfluthrin) 0,2 ppm, 0,6 ppm, 0,8
ppm dan 1 ppm cenderung fluktuatif dimana terjadi penurunan kandungan DO pada
pengamatan 48 jam. Meskipun demikian fluktuasi kandungan DO tersebut tidak begitu
besar, hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh aerasi pada akuarium uji. Menurut
Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan kandungan oksigen
minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya. Dengan demikian kondisi air akuarium uji
dengan perlakuan aerasi ini masih dapat dikatakan stabil, meskipun telah dicemari oleh
senyawa transfluthrin, sebab kandungan DO airnya masih stabil yakni berkisar antara 4,5
ppm 6,8 ppm, dimana nilai tersebut lebih dari 3 ppm.
Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang terlarut di
dalam air. Menurut Boyd (1982), CO2 bebas di perairan berasal dari hasil proses difusi
karbondioksida dari udara dan proses respirasi organisme akuatik. Konsentrasi CO2 bebas
12 mg/l dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan
pertukaran gas. Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l,
sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua organisme
akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1989). Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa
nilai CO2 bebas pada pengamatan 0 jam berkisar antara 1,5 4,5 ppm dan cenderung
mengalami peningkatan sampai pengamatan waktu 96 jam mencapai 6 10 ppm.
Peningkatan CO2 bebas tersebut dapat terjadi karena adanya akumulasi sisa hasil respirasi
ikan uji. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa akuarium uji dengan
perlakuan aerasi masih layak dan baik untuk perkembangan ikan sebab nilainya masih
dalam batas aman dan optimal. Di mana menurut Odum (1993), kandungan CO2 bebas
yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20 ppm.
Alkalinitas merupakan suatu parameter kimia perairan yang menunjukkan jumlah
ion karbonat dan bikarbonat yang mengikat logam golongan alkali tanah pada perairan
tawar. Alkalinitas juga didefinisikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) yang
menetralkan perubahan pH perairan yang sering terjadi (Effendi,2003). Pembentuk
alkalnitas yang utama adalah bikarbonat, karbonat dan hidroksida (Irianto, 2005). Pada
pengukuran alkalinitas diperoleh nilai 162,4 185 ppm dan cenderung mengalami
kenaikan selama 96 jam menjadi 183 190 ppm. Menurut Odum (1993), ketinggian
alkalinitas sebaiknya tidak lebih dari 500 sehingga kisaran optimum bagi biota perairan
adalah 50-200 ppm. Dengan demikian kisaran alkalinitas pada uji toksisitas ini berada
dalam kondisi optimal. Pengamatan parameter kimia dilakukan untuk memastikan bahwa
mortalitas yang terjadi disebabkan oleh bahan kimia toksik yang diberikan, bukan akibat
dari kualitas kimia air. Dengan demikian terbukti bahwa kualitas air tidak mempengaruhi
mortalitas ikan, sebab pada parameter-parameter kualitas air menunjukan nilai yang masih
dalam batas optimal untuk hidup ikan nila.
Kematian (Ekor)
Aerasi
0 jam
0
24 jam
0
48 jam
0
72 jam
0
96 jam
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Aerasi
Berdasarkan hasil pengamatan mortalitas ikan uji selama 96 jam, pada perlakuan
aerasi, baik pada konsentrasi transfluthrin 0 ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm
maupun 1 ppm tidak ada ikan yang mengalami kematian. Hal ini dikarenakan adanya
perlakuan aerasi, dimana dengan adanya perlakuan tersebut dapat menambah suplai
oksigen terlarut, sehingga kualitas air tetap terjaga. Seperti yang dijelaskan oleh Effendi
(2003), yakni fungsi utama aerasi adalah melarutkan oksigen ke dalam air untuk
meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air dan melepaskan kandungan gas-gas yang
terlarut dalam air, serta membantu pengadukan air. Dengan demikian adanya aerasi selain
dapat menjaga kestabilan pasokan oksigen dalam air juga dapat mengurangi zat-zat racun
selama proses difusi. Sehingga bahan kimia toksik berkurang dan dalam batas yang masih
bisa ditoleransi oleh ikan uji.
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0 jam
48 jam
96 jam
DO
6,8
6,5
5,96
CO2
4,5
162,4
175,5
190
7,1
7,1
7,15
Alkalinitas
pH
Mortalitas
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0 jam
48 jam
96 jam
DO
6,3
4,5
6,1
CO2
6,5
10
Alkalinitas
170,5
172
184
pH
7,05
7,05
Mortalitas
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0 jam
48 jam
96 jam
DO
6,4
6,4
6,54
CO2
Alkalinitas
164
173
183
pH
7,05
7,1
7,1
Mortalitas
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0 jam
48 jam
96 jam
DO
6,515
6,2
6,48
CO2
2,5
Alkalinitas
173
168,8
177
pH
7,1
7,1
7,1
Mortalitas
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0 jam
48 jam
96 jam
DO
6,5
5,48
6,3
CO2
1,5
Alkalinitas
185
173,7
184
pH
7,05
7,05
7,1
Mortalitas
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0 jam
48 jam
96 jam
DO
6,67
5,78
5,825
CO2
3,5
Alkalinitas
167
171,4
189
pH
7,05
7,05
7,1
Mortalitas
(transfluthrin), 0 jam, 48 jam dan 96 jam dengan perlakuan aerasi. Berdasarkan grafik 1.
yakni pada konsentrasi transfluthrin 0 ppm, tampak bahwa nilai kandungan oksigen terlarut
dari hari ke hari mengalami penurunan dari yang semula 6,8 ppm menjadi 5,96 ppm pada
hari keempat (96 jam). Penurunan tersebut dapat disebabkan oleh adanya konsumsi
oksigen dari ikan uji. Dalam hal ini, penurunan kadar O 2 dalam air tersebut dapat
diminimalisir dengan perlakuan aerasi yang dapat menyuplai oksigen ke dalam air melalui
proses difusi sehingga dapat menjaga kestabilan kandungan oksigen terlarut dari awal
perlakuan. Berbeda dengan kandungan CO2 bebasnya yang cenderung fluktuatif, di mana
pada jangka waktu pemaparan 96 jam mengalami kenaikan yang cukup signifikan yakni
dari 4 ppm menjadi 7 ppm. Meskipun demikian, kandunagn CO2 bebas dalam akuarium
uji tersebut masih dalam kisaran normal, seperti yang diungkapkan oleh Odum (1993)
bahwa kandungan CO2 bebas yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20
ppm. Pada akuarium kontrol ini tampak nilai alkalinitasnya semakin meningkat dari jangka
paparan 0-96 jam. Nilai pH pada konsentrasi 0 ppm selama pemaparan senyawa toksik,
transfluthrin relatif konstan dan stabil, yakni sebesar 7,1-7,15. Sesuai dengan pernyataan
Lin (1995) yaitu kisaran pH yang optimal bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan
nila adalah 6.5 8. Dengan demikian, pada akuarium dengan konsentrasi transfluthrin 0
ppm dapat dikatakan dalam kondisi yang baik sebagai tempat hidup ikan. Sehingga tidak
heran bila tidak ada ikan uji yang mengalami kematian pada akuarium kontrol ini.
Berdasarkan grafik 2. yakni pada konsentrasi insektisida 0,2 ppm mengalami
penurunan kandungan DO pada pengamatan 48 jam, yakni dari 6,3 ppm menjadi 4,5 ppm
kemudian meningkat kembali pada pengamatan 96 jam menjadi 6,1 ppm. Mengacu pada
pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan kandungan
oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya, dengan demikian dapat diartikan
bahwa pada konsentrasi bahan toksik sebesar 0,2 ppm, kandungan DO nya masih berada
pada rentang optimal. Kandungan CO2 bebas pada konsentrasi transfluthrin 0,2 ppm ini
mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada kadar alkalinitas. Dimana,
nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan. Nilai pH
pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,2 ppm ini juga tampak stabil dan
konstan, dengan nilai yang berkisar antara 7-7,05. Pada konsentrasi ini, baik dalam jangka
waktu pemaparan 48 jam maupun 96 tidak menunjukkan adanya kematian pada ikan. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh adanya aerasi yang membantu menstabilkan lingkungan
melalui difusi maupun penguapan bahan toksik dari lingkungan perairan ke atmosfer.
melalui difusi maupun penguapan bahan toksik dari lingkungan perairan ke atmosfer.
Berdasarkan hasil pengukuran parameter kimia yang diperoleh menunjukkan bahwa
kualitas air dalam kondisi yang baik untuk hidup ikan dengan kandungan bahan toksik
yang relatif kecil dan masih bisa ditolerir oleh ikan uji, sehingga tidak ada mortalitas yang
terjadi.
Berdasarkan grafik 5. yakni pada konsentrasi insektisida 0,8 ppm mengalami
penurunan kandungan DO pada pengamatan 48 jam, yakni dari 6,5 ppm menjadi 5,48 ppm
kemudian meningkat kembali pada pengamatan 96 jam menjadi 6,3 ppm. Pada akuarium
dengan konsentrasi bahan toksik sebesar 0,8 ppm ini, sesuai dengan pustaka kandungan
DO nya masih berada pada rentang optimal. Kandungan CO 2 bebas pada konsentrasi
transfluthrin 0,8 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada
kadar alkalinitas. Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk
pertumbuhan ikan. Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,8 ppm ini
juga tampak stabil dan konstan, dengan nilai berkisar antara 7,05 - 7,1. Pada konsentrasi
ini, baik dalam jangka waktu pemaparan 48 jam maupun 96 tidak menunjukkan adanya
kematian pada ikan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya aerasi yang membantu
menstabilkan lingkungan melalui difusi maupun penguapan bahan toksik dari lingkungan
perairan ke atmosfer. Berdasarkan hasil pengukuran parameter kimia yang diperoleh
menunjukkan bahwa kualitas air dalam kondisi yang baik untuk hidup ikan dengan
kandungan bahan toksik yang relatif kecil dan masih bisa ditolerir oleh ikan uji, sehingga
tidak ada mortalitas yang terjadi.
Berdasarkan grafik 6. yakni pada konsentrasi insektisida 1 ppm mengalami
penurunan kandungan DO pada pengamatan 48 jam, yakni dari 6,67 ppm menjadi 5,78
ppm kemudian meningkat kembali pada pengamatan 96 jam menjadi 5,825 ppm. Pada
akuarium dengan konsentrasi bahan toksik sebesar 1 ppm ini, sesuai dengan pustaka
kandungan DO nya masih berada pada rentang optimal. Kandungan CO2 bebas pada
konsentrasi transfluthrin 1 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula
pada kadar alkalinitas. Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk
pertumbuhan ikan. Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 1 ppm ini
juga tampak stabil dan konstan, dengan nilai berkisar antara 7,05 - 7,1. Pada konsentrasi
ini, baik dalam jangka waktu pemaparan 48 jam maupun 96 tidak menunjukkan adanya
kematian pada ikan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya aerasi yang membantu
menstabilkan lingkungan melalui difusi maupun penguapan bahan toksik dari lingkungan
Axis Title
0,2
0,4
0,6
0,8
0 jam
24 jam
48 jam
72 jam
96 jam
MORTALITAS
y=0
R = #N/A
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
MORTALITAS
Linear
(MORTALITAS)
0
24
48
72
96
Grafik 8. Mortalitas
Berdasarkan hasil grafik mortalitas tersebut diperoleh persamaan regresi y=0.
Nilai y pada persamaan tersebut merupakan variabel terikat yang menunjukkan angka
kematian hewan uji dalam jangka waktu 96 jam. variabel y bernilai 0 (nol) sebab pada
percobaan tersebut tidak terdapat ikan uji yang mengalami kematian. Pada uji toksisitas
insektisida dengan perlakuan aerasi ini tidak diperoleh nilai LC 50-96 jam transfluthrin
terhadap ikan nila (Oreochromis niloticus). Hal itu disebabkan dalam kurun waktu 96 jam
pemaparan senyawa transfluthrin, tidak terdapat ikan nila yang mati. R2 merupakan
koefisien determinasi yang menunjukkan seberapa besar variable x mempengaruhi variable
y. Dengan kondisi demikian, dapat diartikan bahwa variable x tidak mempengaruhi
variable y.
Sigit dan Hadi (2006) menjelaskan bahwa, berdasarkan toksisitasnya insektisida
dapat digolongkan menjadi golongan IA (sangat berbahaya sekali), IB (sangat berbahaya),
II (berbahaya), III (cukup berbahaya), dan golongan IIIU (tidak berbahaya jika digunakan
secara normal). Kemudian Becker et al. (2010) menambahkan, transfluthrin termasuk
insektisida golongan pyrethroids yang memiliki tingkat toksisitas IIIU. Denagan demikian
dapat diartikan bahwa senyawa trasfluthrin tergolong sebagai senyawa yang tidak
berbahaya selama penggunaannya dilakukan secara normal atau dengan kata lain tidak
berlebihan. Oleh karena itulah, pada uji toksisitas insektisida (transfluthrin) selama 96 jam
tidak terdapat ikan uji yang mati dan tidak diperoleh nilai LC 50-96 jam.
B. Non Aerasi
Tabel 5. Hasil pengamatan parameter fisik dan biologi (non aerasi).
Jam
24
48
72
96
Konsentrasi
(ppm)
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Parameter Fisik
0
Suhu ( )
27,5
27,5
27,5
27,5
27,5
27,5
27
26,25
26
26,5
27
26,75
26,5
26,5
26,5
26,5
26,5
26,5
26,5
26
13
13
13,5
13
13
13
0
0
0
0
Parameter Biologi
GO
117
110,5
119,5
134,5
100,5
137,5
147
164,5
168
183,5
189,5
207
158
166,5
165
172
168
175
156,5
88
0
0
0
0
151,5
71,5
0
0
0
0
ER
5
5
5
5
4,5
4,5
5
5
4,5
4
3,5
3,5
4,5
4,5
4
4
3,5
3,5
3,5
2
0
0
0
0
4
2,5
0
0
0
0
pernyataan Arie (1999) bahwa, suhu optimal ikan Nila (Oreochromis niloticus) berkisar
antara 25oC 30oC. Pada pengamatan 72 jam, kondisi lingkungan perairan mulai buruk,
dimana dalam jangka waktu paparan 72 jam - 96 jam tersebut nilai suhunya pada masingmasing konsentrasi mengalami penurunan yang signifikan, dimana nilai suhunya mencapai
13oC. Pada suhu di bawah 14oC atau lebih dari 38oC dapat menyebabkan pertumbuhan
ikan nila terganggu. Sedangkan suhu mematikan berada pada 6oC dan 42oC. Berdasarkan
tabel tampak bahwa nilai suhu air tersebut semakin menurun seiring dengan meningkatnya
konsentrasi senyawa toksik.
Keberadaan insektisida dalam suatu badan air dapat merusak insang dan organ
pernafasan ikan Kerusakan insang dan organ pernafasan ikan ini menyebabkan toleransi
ikan terhadap badan air yang kandungan oksigen terlarutnya rendah menjadi menurun.
Berkurangnya kemampuan insang dalam mengikat oksigen tampak pada meningkatnya
frekuensi gerakan operkulum pada ikan. Gerakan Operkulum merupakan gerakan
operkulum ikan yang diukur selama 1 menit. Berdasarkan hasil pengamatan dari jam ke-0,
ke-24, ke-48, ke-72, hingga ke-96 jam frekuensi gerakan operkulum ikan uji pada
perlakuan tanpa aerasi berkisar 71,5 hingga 189,5 kali/menit. Frekuensi gerakan
operkulum ikan uji pada perlakuan tanpa
berusaha untuk mendapatkan oksigen dengan memperbanyak volume air yang melewati
insang (Zahri, 2008). Mekanisme meningkatnya frekuensi gerakan operkulum ikan
tersebut diawali dengan terhalangnya poses difusi oksigen ke dalam insang mengakibatkan
ikan kekurangan oksigen. Sebagai respon, ikan akan meningkatkan frekuensi gerakan
operkulum untuk memenuhi kekurangan oksigen tersebut. Peningkatan frekuensi gerakan
operkulum pada ikan dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan insang yang
berdampak pada kematian (Heat, 1995) dan melemahkan otot yang menggerakkan
operkulum.
Parameter biologi lainnya yang diamati dalam uji toksisitas ini adalah escape
reflex. Escape reflex merupakan gerakan yang diamati setelah mengganggu ikan dengan
cara mengetuk bagian luar akuarium guna melihat kecekatan gerakan ikan dalam
menanggapi rangsang. Penilaian dilakukan berdasarkan pengamatan secara visual dengan
skala 1-5. Semakin tinggi nilai escape reflex berarti ikan tersebut berada dalam kondisi
yang sehat. Berdasarkan data pengamatan tersebut tampak bahwa escape reflect ikan nila
mengalami fluktuasi dengan kecenderungan yang semakin menurun seiring dengan
bertambah lamanya jangka waktu paparan bahan pencemar. Dari tabel diatas dapat
diketahui escape reflect ikan nila pada masing-masing konsentrasi mengalami penurunan
seiring dengan bertambahnya waktu. Penurunan tanggapan ikan nila terhadap rangsangan
tersebut dapat terjadi karena lamanya waktu paparan bahan toksik (transfluthrin) terhadap
ikan uji, yakni ikan nila (Oreochromis niloticus).
48
Konsentrasi
(ppm)
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
0
0,2
0,4
0,6
0,8
pH
7,05
7,05
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
7,1
Parameter Kimia
DO
CO2
Alkalinitas
(ppm)
(ppm)
(ppm)
7,7
11,8
166
7,7
10,3
172
8
7,8
170
8,6
8
172
7,7
8,5
176
7,4
8,9
177
2
13,6
164
2
11
173
2,8
11,7
173
1,85
13,4
176
2,1
12,1
179
96
1
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
7,1
7,05
3,5
0
0
0
0
1,7
1,95
1,75
0
0
0
0
10,5
11
0
0
0
0
0
181
77
0
0
0
0
0
Parameter kimia yang diamati pada praktikum uji toksisitas insektisida terhadap
ikan nila (Oreochromis niloticus) ini meliputi pH, kandungan O2 terlarut, CO2 bebas, serta
alkalinitas. Menurut Purba (2006), pH merupakan parameter keasaman dari suatu larutan.
Derajat keasaman atau pH merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam
perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau
kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan
kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa
(Effendi, 1998). Berdasarkan hasil pengamatan pH selama 96 jam baik pada konsentrasi 0
ppm, 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm hingga 1 ppm menunjukan nilai pH yang kurang
stabil, dimana pada pengamatan 96 jam nilai pH mulai menyimpang, dimana nilainya
menunjukkan tingkat keasaman yang tinggi, yakni 3,5. Akan tetapi, pada pengamatan 0
jam hingga 48 jam kondisi pH relatif stabil, yakni berada dalam kisaran 7,05 7,1.
Merujuk pada pernyataan Popma (1999), bahwa pH air optimum untuk pemeliharaan ikan
nila adalah berkisar antara 6-9. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kondisi akuarium
berada dalam kondisi yang kurang baik atau normal
Oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen dalam mg yang terdapat dalam satu
liter air (ppt). Oksigen terlarut juga dapat diartikan sebagai kandungan gas Oksigen yang
terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai
pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber
Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi Oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau
aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton
(Novotny and Olem, 1994). Akan tetapi, dalam praktikum ini kandungan DO air hanya
bersumber dari difusi oksigen atmosfer serta aerator. Nilai DO dalam jangka waktu 96 jam,
pada konsentrasi 0 ppm mengalami penurunan yang sangat signifikan dari 7,7 ppm, 2 ppm
hingga menjadi 1,95 ppm. Pada konsentrasi bahan toksik (transfluthrin) 0,2 ppm, 0,4 ppm,
0,6 ppm, 0,8 ppm dan 1 ppm juga mengalami penurunan yang sangat signifikan dengan
rentang perubahan yang sangat jauh yakni dengan nilai tertinggi 8,6 ppm menjadi 1,7 ppm.
Perubahan kandungan DO tersebut sangat besar dikarenakan pada akuarium uji tidak
diberikan pelakuan aerasi. Menurut Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan
dengan kandungan oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya. Dengan
demikian kondisi air akuarium uji dengan perlakuan aerasi ini cukup baik pada
pengamatan 0 jam, namun pada jangka waktu pemaparan bahan toksik 48 jam tidak dapat
dikatakan baik, sebab kandungan DO airnya sangat rendah yakni berkisar antara 2,8 ppm
1,7 ppm, dimana nilai tersebut masih kurang dari 3 ppm. Rendahnya nilai kandungan DO
tersebut diakibatkan adanya konsumsi oksigen oleh ikan uji, dimana adanya konsumsi
oksigen menurunkan kandungan DO sementara suplai O2 terlarut dalam akuarium uji tanpa
aerasi, yang memungkinkan hanya bersumber dari difusi O2 atmosfer ke badan air. Akan
tetapi pasokan O2 yang berasal dari atmosfer cenderung sedikit, sehingga dalam hal ini tak
mampu mencukupi kebutuhan O2 pada ikan.
Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang terlarut di
dalam air. Menurut Boyd (1982), CO2 bebas di perairan berasal dari hasil proses difusi
karbondioksida dari udara dan proses respirasi organisme akuatik. Konsentrasi CO2 bebas
12 ppm dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan
pertukaran gas. Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l,
sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua organisme
akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1989). Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa
nilai CO2 bebas pada pengamatan 0 jam berkisar antara 7,8 11,8 ppm dan pada uji
toksisitas insektisida terhadap ikan nila tanpa aerasi ini, kandungan CO 2 mengalami
fluktuasi dengan kecenderungan semakin menigkat. Peningkatan CO2 bebas tersebut dapat
terjadi karena adanya akumulasi sisa hasil respirasi ikan uji, terlebih lagi dalam uji ini
dilakukan tanpa perlakuan aerasi. Berdasarkan nilai kandungan CO2 yang diperoleh pada
akuarium uji dengan perlakuan non aerasi ini masih dapat dikategorikan layak dan baik
untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan. Di mana menurut Odum (1993), kandungan
CO2 bebas yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20 ppm.
Alkalinitas merupakan suatu parameter kimia perairan yang menunjukkan jumlah
ion karbonat dan bikarbonat yang mengikat logam golongan alkali tanah pada perairan
tawar. Alkalinitas juga didefinisikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) yang
menetralkan perubahan pH perairan yang sering terjadi (Effendi,2003). Pembentuk
alkalnitas yang utama adalah bikarbonat, karbonat dan hidroksida (Irianto, 2005). Pada
pengukuran alkalinitas diperoleh nilai yang cenderung mengalami kenaikan dalam jangka
waktu pemaparan bahan toksik 48 jam, namun pada pengamatan 96 jam menurun drastis
mencapai angka 77 ppm dari sebelumnya yang nilainya mencapai >150 ppm. Akan tetapi
kisaran alkalinitas pada uji toksisitas tanpa aerasi ini masih berada dalam kondisi optimal,
sebab menurut Odum (1993), kisaran optimum alkalinitas bagi biota perairan adalah 50200 ppm. Pengamatan parameter kimia dilakukan untuk memastikan bahwa mortalitas
yang terjadi disebabkan oleh bahan kimia toksik yang diberikan, bukan akibat dari kualitas
kimia air. Alkalinitas tidak berhubungan langsung dengan CO2, tetapi dengan muatan yang
ada dalam molekul CO2 tersebut. Semakin tinggi CO2 nya, maka alkalinitasnya semakin
tinggi (Mulyanto, 2011).
Tabel 7. Hasil pengamatan parameter mortalitas (non aerasi)
Konsentrasi
Aerasi
(ppm)
0
0,2
0,4
Non-Aerasi
0,6
0,8
1
0 jam
0
0
0
0
0
0
Kematian (Ekor)
24 jam 48 jam 72 jam
0
1
0
0
5
0
0
10
0
0
10
0
0,5
9,5
0
0
10
0
96 jam
0,5
0
0
0
0
0
Tabel tersebut menunjukkan rata-rata angka mortalitas (kematian) ikan uji dari
dua kali pengulangan setiap konsentrasi bahan toksikan dengan perlakuan non aerasi.
Terlihat bahwa saat pengamatan 0 24 jam pada masing-masing konsentrasi bahan toksik,
ikan uji belum ada yang mengalami kematian. Hal ini menunjukkan bahwa pada selang
waktu tersebut senyawa transfluthrin belum bersifat toksik, artinya belum memberikan
efek merugikan. Hal ini disebabkan ikan uji baru saja dimasukan pada air uji sehingga
jumlah bahan toksik yang mengalami kontak langsung dengan ikan uji belum banyak
terakumulasi dalam tubuh ikan uji. Namum, pada pengamatan 48 jam terjadi kematian ikan
uji sebanyak 1 ekor yakni pada konsentrasi bahan toksik 0,8 ppm dari dua kali
pengulangan untuk perlakuan yang sama. Ikan uji mulai menunjukkan angka mortalitas
yang besar saat pengamatan 72 jam. Pada konsentrasi bahan toksik 0 ppm ada 1 ekor ikan
uji yang mati, hal ini bukan disebabkan oleh faktor bahan toksik melainkan karena
buruknya kualitas air uji. Pada konsentrasi senyawa toksik transfluthrin 0,2 ppm ada 5 ekor
ikan yang mati, sedangkan pada konsentrasi bahan toksik 0,4 ppm, 0,6 ppm dan 1 ppm ada
10 ekor ikan yang terkena efek letal. Kemudian pada konsentrasi bahan toksik 0,8 ppm
terlihat angka mortalitas senilai 9,5. Berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat bahwa efek
toksisitas akut bahan kimia toksik transfluthrin terhadap ikan uji yaitu nila terjadi pada
selang waktu 72 jam. Tingginya mortalitas pada jangka waktu pemaparan 72 jam dengan
perlakuan tanpa aerasi ini juga dipengaruhi oleh buruknya kualitas air. Berdasarkan tabel
tersebut terlihat pula bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan toksikan angka mortalitas
cenderung meningkat.
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
48
96
DO
7,7
1,95
CO2
11,8
13,6
11
Alkalinitas
166
164
77
pH
7,05
7,1
7,05
0,5
Mortalitas
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
48
96
DO
7,7
1,75
CO2
10,3
11
Alkalinitas
172
173
pH
7,05
7,1
3,5
Mortalitas
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
48
96
DO
2,8
CO2
7,8
11,7
Alkalinitas
170
173
pH
7,1
7,1
Mortalitas
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
48
96
DO
8,6
1,85
CO2
13,4
Alkalinitas
172
176
pH
7,1
7,1
Mortalitas
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
48
96
DO
7,7
2,1
CO2
8,5
12,1
Alkalinitas
176
179
pH
7,1
7,1
0,5
Mortalitas
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
48
96
DO
7,4
1,7
CO2
8,9
10,5
Alkalinitas
177
181
pH
7,1
7,1
Mortalitas
toksik (transfluthrin), 0 jam, 48 jam dan 96 jam dengan perlakuan non aerasi. Berdasarkan
grafik 9. yakni pada konsentrasi transfluthrin 0 ppm, tampak bahwa nilai kandungan
oksigen terlarut dari hari ke hari mengalami penurunan yang sangat signifikan dari yang
semula 7,7 ppm menjadi 1,95 ppm pada hari keempat (96 jam). Penurunan tersebut dapat
disebabkan oleh adanya konsumsi oksigen dari ikan uji. Penurunan yang terjadi sangat
signifikan sebab pada uji toksisitas ini dilakukan tanpa aerasi, sehingga dalam akuarium uji
tidak terdapat suplai oksigen tetap, dimana oksigen terlarut hanya bersumber dari difusi
oksigen di atmosfer ke dalam badan air. Kandungan CO2 bebas pada konsentrasi 0 ppm
yang cenderung fluktuatif, di mana pada pengamatan 48 jam meningkat dari 11,8 ppm
menjadi 13,6 ppm, kemudian mengalami penurunan menjadi 11 ppm pada pengamatan 96
jam. Meskipun demikian, kandunagn CO2 bebas dalam akuarium uji tersebut masih dalam
kisaran normal, seperti yang diungkapkan oleh Odum (1993) bahwa kandungan CO2 bebas
yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20 ppm. Pada akuarium kontrol ini
tampak nilai alkalinitasnya semakin menurun dari jangka paparan 0-96 jam, namun masih
dalam batas yang aman bagi ikan uji. Nilai pH pada konsentrasi 0 ppm selama pemaparan
senyawa toksik, transfluthrin relatif konstan dan stabil, yakni sebesar 7,05 - 7,1. Sesuai
dengan pernyataan Lin (1995) yaitu kisaran pH yang optimal bagi kelangsungan hidup dan
pertumbuhan ikan nila adalah 6.5 8. Dengan demikian, pada akuarium dengan
konsentrasi transfluthrin 0 ppm dapat dikatakan dalam kondisi yang kurang baik sebagai
tempat hidup ikan sebab kandungan DO pada akuarium kontrol ini sangat sedikit sehingga
kurang mampu menunjang metabolisme ikan uji. Hal tersebut tampak dari adanya
kematian pada ikan uji pada pengamatan 96 jam.
Berdasarkan grafik 10. yakni pada konsentrasi insektisida 0,2 ppm mengalami
penurunan kandungan DO yang sangat signifikan pada pengamatan 48 jam, yakni dari 7,7
ppm menjadi 2 ppm dan semakin menurun pada pengamatan 96 jam menjadi 1,75 ppm.
Mengacu pada pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan
kandungan oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya, dengan demikian
akuarium uji pada konsentrasi bahan toksik sebesar 0,2 ppm, tidak layak sebagai habitat
ikan nila khususnya mulai pada jangka waktu paparan bahan toksik 48 jam. Kandungan
CO2 bebas pada konsentrasi trasfluthrin 0,2 ppm ini cenderung meningkat, dari 10,3 ppm
menjadi 11 ppm. Meskipun demikian, kandunagn CO2 bebas dalam akuarium uji tersebut
masih dalam kisaran normal, seperti yang diungkapkan oleh Odum (1993) bahwa
kandungan CO2 bebas yang optimal bagi biota perairan yaitu berkisar antara 6-20 ppm.
Kandungan alkalinitasnya pun cenderung stabil yakni bekisar antara 172-173 ppm. Namun
nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,2 ppm ini tampak kurang stabil,
dimana nilainya mengalami penurunan yang signifikan pada waktu pemaparan bahan
toksik 96 jam, yakni mencapai 3,5.
Berdasarkan grafik 11. yakni pada konsentrasi insektisida 0,4 ppm mengalami
penurunan kandungan DO pada dari 8 ppm menjadi 2,8 ppm. Mengacu pada pernyataan
Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan kandungan oksigen
minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya, dengan demikian akuarium uji pada
konsentrasi bahan toksik sebesar 0,4 ppm dapat dikatakan tidak layak berdasarkan
kandungan DOnya khususnya mulai pada jangka waktu paparan bahan toksik 48 jam.
Kemudian kandungan CO2 bebas pada konsentrasi transfluthrin 0,4 ppm ini mengalami
peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada kadar alkalinitas. Dimana, nilai
keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan, yakni 8 ppm, 13,4
ppm untuk CO2 dan 170 ppm dan 173 ppm untuk kandungan alkalinitas. Sementara itu,
nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,4 ppm ini juga tampak stabil
dan konstan, dengan nilai 7,1.
Berdasarkan grafik 12. yakni pada konsentrasi insektisida 0,6 ppm mengalami
penurunan kandungan DO pada pengamatan 48 jam, yakni dari 8,6 ppm menjadi 1,85 ppm.
Mengacu pada pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan perairan dengan
kandungan oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya, dengan demikian
dapat diartikan bahwa pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik sebesar 0,6 ppm,
kandungan DO nya tidak berada pada rentang optimal khususnya dimulai dari
pengamatan 48 jam hingga 96 jam. Kandungan CO2 bebas pada konsentrasi transfluthrin
0,6 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada kadar alkalinitas.
Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan ikan.
Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,6 ppm ini juga tampak stabil
dan konstan, dengan nilai 7,1.
Berdasarkan grafik 13. yakni pada konsentrasi insektisida 0,8 ppm mengalami
penurunan kandungan DO yang signifikan pada pengamatan 48 jam, yakni dari 7,4 ppm
menjadi 1,7 ppm. Mengacu pada pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila membutuhkan
perairan dengan kandungan oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan optimalnya,
dengan demikian dapat diartikan bahwa pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik
sebesar 0,8 ppm, kandungan DO nya tidak berada pada rentang optimal khususnya
dimulai dari pengamatan 48 jam hingga 96 jam. Kandungan CO2 bebas pada konsentrasi
transfluthrin 0,8 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula pada
kadar alkalinitas. Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk
pertumbuhan ikan. Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 0,8 ppm ini
juga tampak stabil dan konstan, dengan nilai 7,1.
Berdasarkan grafik 6. yakni pada konsentrasi insektisida 1 ppm mengalami
penurunan kandungan DO yang sangat drastis pada pengamatan 48 jam, yakni dari 7,4
ppm menjadi 1,7 ppm. Mengacu pada pernyataan Kordi dan Ghufran (2010), nila
membutuhkan perairan dengan kandungan oksigen minimal 3 ppm untuk pertumbuhan
optimalnya, dengan demikian dapat diartikan bahwa pada akuarium dengan konsentrasi
bahan toksik sebesar 1 ppm, kandungan DOnya tidak berada pada rentang optimal
khususnya dimulai dari pengamatan 48 jam hingga 96 jam. Kandungan CO2 bebas pada
konsentrasi transfluthrin 1 ppm ini mengalami peningkatan dari hari ke hari, demikian pula
pada kadar alkalinitas. Dimana, nilai keduanya masih berada pada kisaran optimum untuk
pertumbuhan ikan. Nilai pH pada akuarium dengan konsentrasi bahan toksik 1 ppm ini
juga tampak stabil dan konstan, dengan nilai 7,1.
Axis Title
0,2
0,4
0,6
0,8
0 jam
24 jam
48 jam
0,5
72 jam
10
10
9,5
10
96 jam
0,5
y = 2,066x - 3,416
R = 0,619
6
5
Mortalitas Non
Aerasi 72 Jam
4
3
Linear (Mortalitas
Non Aerasi 72 Jam)
2
1
0
-1
24
48
72
-2
y = 0,716x - 0,716
R = 0,140
6
5
Mortalitas Non
Aerasi
Linear (Mortalitas
Non Aerasi)
2
1
0
0
24
48
72
96
mempengaruhi mortalitas sebesar 14% dan lainnya dipengaruhi oleh faktor lain, seperti
misalnya kualitas air dan lain sebagainya.
Pada praktikum ini menggunakan senyawa toksik yaitu transfluthrin. Transfluthrin
merupakan jenis toksik yang berasal dari turunan phyrothroid. Transfluthrin dianggap
sebagai salah satu jenis insektisida pirethroid yang cepat bertindak dengan persistensi
rendah. Sigit dan Hadi (2006) menjelaskan bahwa, berdasarkan toksisitasnya insektisida
dapat digolongkan menjadi golongan IA (sangat berbahaya sekali), IB (sangat berbahaya),
II (berbahaya), III (cukup berbahaya), dan golongan IIIU (tidak berbahaya jika digunakan
secara normal). Kemudian Becker et al. (2010) menambahkan, transfluthrin termasuk
insektisida golongan pyrethroids yang memiliki tingkat toksisitas IIIU. Dengan demikian
dapat diartikan bahwa senyawa trasfluthrin tergolong sebagai senyawa yang tidak
berbahaya selama penggunaannya dilakukan secara normal atau dengan kata lain tidak
berlebihan. Oleh karena itulah, pada uji toksisitas insektisida (transfluthrin) dengan
perlakuan aerasi selama 96 jam tidak terdapat ikan uji yang mati dan tidak diperoleh nilai
LC50-96 jam. Sementara pada perlakuan non aerasi terdapat banyak individu yang
mengalami kematian. Hal tersebut menunjukan bahwa tidak sepenuhnya kematian atau
mortalitas hewan uji dipengaruhi oleh adanya bahan pencemar, transfluthrin.
KESIMPULAN
Daya racun (toksisitas) dapat diukur dengan menggunakan uji toksisitas terhadap bahan
pencemar. Penentuan toksisitas suatu bahan kimia dapat dilakukan dengan penghitungan
LC50 senyawa toksin tersebut terhadap organisme akuatik. Pemberian transfluthrin dengan
konsentrasi tertentu ke dalam air dapat menyebabkan efek merugikan bagi ikan nila yang
terpapar langsung dengan senyawa tersebut. Pada perlakuan aerasi tidak menimbulkan
mortalitas sementara dengan perlakuan non aerasi menyebabkan mortalitas yang tinggi
pada jangka waktu paparan 72 jam. Dari hasil pengamatan, diketahui nilai LC 50-72 jam ikan
nila (Oreochromis niloticus) non aerasi adalah 3,943 , kemudian LC50-96 jam pada non
aerasi sebesar 29,297 sedangkan LC50-96 jam pada perlakuan aerasi tidak dapat ditentukan.
SARAN
1.
Pada grafik parameter kimia tidak menggambarkan mortalitas dengan jelas, sebab data
yang tercantum hanya setengah, sehingga tidak dapat di bahas dengan baik hubungan
Alangkah baiknya apabila jenis bahan pencemar yang digunakan pada praktikum
selanjutnya diganti, sebab bahan pencemar yang berasal dari senyawa yang
terkandung pada pembasmi nyamuk tersebut menurut saya efeknya sangat kecil sekali
terhadap lingkungan perairan karena penggunaannya yang tidak bersinggungan
langsung dengan lingkungan perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Arie, U.1999. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Penebar Swadaya. Jakarta. 56 hlm.
Becker, N. et al. 2010. Mosquitoes and Their Control. Springer. Heidelberg.
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham Publishing Co.
Birmingham.
Depkes. 1994. Pedoman Pengendalian Pencemaran Udara Ambien yang Berhubungan
Dengan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Effendi, H. 1998. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Institut Pertaninan Bogor Press. Bogor
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Cetakan Kelima. Kanisius. Yogjakarta.
Hadi, U.K. dan Sigit. 2006. Hama Pemukiman Indonesia. Fakultas Kedokteran Hewan
IPB. Bogor.
Heat, A.G. 1987. Water Pollution and Fish Physiology. Department of Biology, Virginia
Politechnic Institute and State University. C&C Press, Inc. Florida. USA.
Hindarti, D. 1997. Metode uji toksisitas Dalam : Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan
Biota. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi:160-168.
Hynes, H. B. N. 1970. The Ecology of Running Water. Univ. Toronto Press. Canada.
Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Kordi dan K. M. Ghufran. 2010. Budidaya Ikan Nila di Kolam Terpal. ANDI. Yogyakarta.
Kurniawan, D. 2008. Hand Book Regresi Linier. Forum Statistika. Jakarta.
Matsumura, F. 1975. Toxicology of Insecticides. Plenum Press. New York.
LAMPIRAN