Kelompok :
Ari Setyobudi (12644)
Gina Maulida Kardi (12794)
Ratna Wulandari (12855)
Tri Yoga Desi Amanta (12944)
Carissa Paresky Arisagy (12981)
Wampani Sidik (13055)
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya atas selesainya penulisan makalah kami yang berjudul Rehabilitasi
Ekosistem Mangrove di Nusa Lembongan. Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi
tugas ujian tengah semester VI dari mata kuliah Konservasi Sumber Daya Perikanan.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang turut serta membantu dalam penyusunan makalah ini baik secara
langsung maupun tidak langsung. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Dalam penulisan makalah ini, kami merasa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari teknis penulisan maupun materinya,
untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan
makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
ii
iii
ABSTRAK ....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ..........................................................................................
Tujuan ......................................................................................................
...........
11
14
14
16
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan ..............................................................................................
20
Saran .......................................................................................................
20
21
iii
ABSTRAK
Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai
tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang
mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Kerapatan
hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung didominasi dengan
kerapatan sedang, dengan luas 736.000 m 2, dari total luas kawasan mangrove Nusa
Lembongan, yakni 202 hektar. Jenis mangrove di Nusa Lembongan sangat beragam. Pada
zona depan disusun oleh jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba.
Permasalahan utama yang terjadi saat ini adalah banyaknya mangrove yang mengalami
kerusakan atau telah hilang sama sekali karena aktivitas manusia seperti konversi lahan
mangrove, penebangan liar, pembangunan dikawasan pesisir dan polusi yang berasal dari
daratan. Untuk melindungi mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut penting
lainnya di kecamatan Nusa Penida yang bermanfaat bagi masyarakat, maka saat ini dilakukan
pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida. Rehabilitasi mangrove tidak
selalu harus dengan penanaman, sebab setiap pohon mangrove mampu menghasilkan ratusan
ribu benih pertahun. Dengan kondisi hidrologi yang cocok, biji atau buah mangove ini dapat
tumbuh sendiri, sebagaimana mereka tumbuh sebelumnya, sehingga dapat kembali
membentuk koloni secara normal. Adapun strategi rehabilitasi yang dapat dilakukan yakni
memahami autekologi, memahami pola hidrologinya, meneliti faktor yang dapat menghambat
regenerasi alaminya, melakukan kerja sama dengan masyarakat, LSM, dan pemerintah,
membuat desain restorasi hidrologi, pengelolaan limbah padat dan cair, dan penyusunan
rencana tata ruang pemanfaatan.
Kata kunci : ekosistem, mangrove, Nusa Lembongan, rehabilitasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka pengembangan
ekonomi nasional telah menempatkan wilayah ini pada posisi yang sangat strategis.
Kebutuhan sumber daya pesisir dan laut dalam negeri meningkat sejalan dengan
meningkatnya laju pertumbuhan penduduk sehingga mengakibatkan tekanan terhadap ruang
pesisir semakin besar. Berbagai pembangunan sektoral, regional, swasta dan masyarakat yang
memanfaatkan kawasan pesisir seperti sumberdaya perikanan, lokasi resort, wisata,
pertambangan lepas pantai, pelabuhan laut, industri dan reklamasi kota pantai serta pangkalan
militer. Hal ini menimbulkan persoalan salah satu contohnya kerusakan yang mengakibatkan
berkurangnnya hutan mangrove dikawasan pesisir. Hal tersesebut terjadi di beberapa provinsi
di Indonesia, salah satunya termasuk di Provinsi Bali. Padahal hutan mangrove mempunyai
peran dan fungsi yang sangat penting, misalnya sangat menunjang perekonomian masyarakat
pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai
nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga
merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove
dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga
perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi,
pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut.
Dari data statistik disebutkan bahwa luas hutan
diperkirakan 4,25 juta hektar atau 3,98 % dari seluruh luas hutan Indonesia (Ghufran, 2012).
Sementara Luas hutan mangrove di Bali tahun 2012 sekitar 2004.5 ha (Dinas Kehutanan
Provinsi Bali) yang tersebar di beberapa kabupaten. Seluas 753,50 berada di Kabupaten
Badung, 620 ha berada di Denpasar, 217 ha berada di Jembrana, 212 ha berada di kabupaten
buleleng, dan 202 ha berada di Kabupaten Klungkung. Luasan tersebut terus mengalami
penurunan akibat adanya konversi lahan hutan mangrove. Tahun 1969 sampai 1980, sekitar 1
juta hektar hutan mangrove telah dirusak (Berwick, 1989), sedangkan menurut data FAO pada
tahun 1986, menyebutkan hutan mangrove di Indonesia tersisa 3,2 juta hektar atau terjadi
pengurangan luas sebanyak 33,61%. Saat ini luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan
tersisa 1,2 juta hektar (Ghufran, 2012) dan di Bali sendiri berdasarkan hasil inventarisasi
2
DAS Unda Anyar-Hall, kondisi status dari 2004,5 ha hutan mangrove di seluruh Bali adalah
253,4 ha atau 11,44% termasuk dalam kondisi rusak berat, 201,5 ha atau 9,10 % dalam
kategori rusak dan 1.760 0,6 ha atau 79,47% kategori tidak rusak .
Bila kerusakan hutan mangrove tidak diperhatikan maka semakin lama keberadaan
hutan mangrove akan semakin berkurang sehingga akan menimbulkan ketidak seimbangan
ekosistem khususnya diwilayah pantai yang juga akan berdampak pada kehidupan manusia.
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dikaji mengenai hal- hal yang berkaitan dengan
rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasan Bali Timur, sehingga dapat meningkatkan luasan
hutan mangrove yang akan berdampak posif pada ekosistem disekitarnya. Di harapkan pada
masa-masa mendatang data ini dapat di gunakan sebagai reverensi dalam melakukan evaluasi
terhadap vegetasi hutan mangrove di wilayah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
C. Tujuan
1.
2.
3.
4.
D. Studi Area
Kawasan Mangrove di Bali Timur yaitu Di Kabupaten Klungkung. Secara Geografis
Kabupaten Klungkung, terletak diantara 115 27 ' - 37 '' 8 49 ' 00''. Lintang Selatan dengan
batas-batas disebelah utara Kabupaten Bangli. Sebelah Timur Kabupaten Karangasem,
sebelah Barat Kabupaten Gianyar, dan sebelah Selatan Samudra India, dengan luas 315 Km.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Nusa Lembongan
ini, penulis menggunakan metode kepustakaan untuk mendapatkan bahan materi yang
menyeluruh. Kepustakaan yang penulis gunakan tak hanya memakai beberapa buku dan
jurnal untuk menjadi sumber acuan. Akan tetapi, penulis juga mencari bahan dari internet baik
berupa materi maupun gambar yang dapat melengkapi pembahasan materi.
4
Kami membagi laporan ini menjadi beberapa bagian, antara lain pendahuluan, tinjauan
pustaka, materi pembahasan, penutup serta daftar pustaka. Bagian pendahuluan berisi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, studi area dan sistematika penulisan. Kemudian
hasil dan pembahasan berisi materi bahasan terkait kondisi hutan mangrove di Nusa
Lembongan, permasalahan hutan mangrove di Nusa Lembongan, pengelolaan hutan
mangrove Nusa Lembongan, serta strategi rehabilitasi hutan mangrove di Nusa Lembongan.
Bagian penutup berisi kesimpulan dan saran. Sementara bagian terakhir yakni daftar pustaka
berisi referensi yang digunakan dalm penyususnan makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
c) The Rear Mangrove (back mangrove, landward mangrove, areal yang paling dekat
dengan daratan). Zona ini biasanya tergenangi oleh pasang tinggi saja. Seringkali
didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera, Lumnitzera, Xylocarpus dan Pandanus sp.
d) Brackish Stream Mangrove (aliran sungai dekat mangrove yang berair payau). Pada
zona ini sering dijumpai komunitas Nypa frutican dan kadang dijumpai Sonneratia
caseolaris serta Xylocarpus granatum.
b.
c.
d.
e.
f.
Mangrove yang berada pada kawasan yang rawan oleh kejadian bencana di pesisir
(badai, abrasi, banjir).
g.
Mangrove yang masih asli yang dialokasikan sebagai gene biodiversity bank.
h.
i.
Proses
ekologi
internal
yang
bertanggungjawab
terhadap
pemeliharaan
Pasokan yang seimbang dari jumlah air tawar dan air laut,
b.
c.
Apabila salah satu faktor eksternal ini terganggu, maka proses ekologis internal dari
ekosistem mangrove akan terganggu yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan/hilangnya
mangrove tersebut. Oleh karena itu, pihak pengelola ekosistem mangrove harus mengetahui
limit toleransi dari ekosistem tersebut terhadap perubahan dari faktor eksternal tersebut.
Mangrove merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang
menyediakan berbagai jenis produk (produk langsung dan produk tidak langsung) dan
pelayanan lindungan lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut,
mengurangi tiupan angin kencang, mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang, rekreasi
dan pembersih air dari polutan. Kesemua sumberdaya dan jasa lingkungan tersebut disediakan
secara gratis oleh ekosistem mangrove. Dengan perkataan lain mangrove menyediakan
berbagai jenis produk yang berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan
berbagai kegiatan ekonomi, baik skala lokal, regional maupun nasional.
8
Kesemua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut kalau keberadaan ekosistem
mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya berdasarkan pada prinsipprinsip kelestarian. Hal ini berarti mangrove berperan sebagai sumberdaya renewable jika
semua proses ekologi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove dapat berlangsung tanpa
gangguan.
Dalam konteks pengelolaan pesisir, mangrove harus dianggap sebagai bagian integral
dari suatu ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dan merupakan bagian dari ekosistem
estuarin yang komplek di pesisir yang berinteraksi satu sama lain yang keberadaannya
dipelihara oleh pola drainase alamiah dan aliran air tawar dari catchment area di satu pihak
serta dinamika pasang surut dan salinitas di pihak lain.
Semua aktifitas dan landuse di catchment area harus dipertimbangkan dalam
pengelolaan ekosistem pesisir bagian integral dari ekosistem pesisir yang terdiri atas berbagai
habitat padang lamun, terumbu karang dan lain-lain yang saling berinteraksi satu sama lain
yang secara alami terpelihara oleh pola drainase dan pasokan air tawar dari daerah tangkapan
air di daerah hulu di satu pihak dan mekanisme pasang surut dan rejim salinitas di pihak lain.
Oleh karena itu, unit manajemen dalam pengelolaan mangrove adalah Daerah Aliran Sungai
(DAS), sehingga untuk mengembangkan pengelolaan mangrove yang efektif adalah suatu
keharusan mempertimbangkan berbagai proses dinamika alam yang terjadi pada unit DAS
tersebut.
Pengelolaan sumberdaya alam, khususnya mangrove, harus berdasarkan pada basis
ekologis atau filosofi konservasi dimana langkah pertama yang harus ditempuh adalah
menjaga mangrove dari kerusakan. Dalam hal ini yang sangat penting adalah upaya
mengoptimasikan konservasi sumberdaya mangrove yang dapat memenuhi kebutuhan hidup
(barang dan jasa) masyarakat di satu pihak dan menjamin keanekaragaman hayatinya di pihak
lain.
Sebagai renewable resources, mangrove sepatutnya dikelola berdasarkan pada prinsipprinsip kelestarian (sustainable basis). Pada prinsip pengelolaan ini sumberdaya mangrove
harus dapat dipanen secara berkelanjutan, sementara ekosistem mangrove itu sendiri dapat
dipertahankan secara alami seperti semula. Selain itu preservasi sebagian areal mangrove
yang betul-betul tidak terganggu (pristine mangrove forest) sepatutnya dipertimbangkan
dalam praktek pengelolaan mangrove sebagai biodiversity bank atau biological resources
9
10
BAB III
MATERI PEMBAHASAN
terjadi. Adapun akibat yang ditimbulkan terganggunya peranan fungsi kawasan mangrove
sebagai habitat biota laut, perlindungan wilayah pesisir, dan terputusnya mata rantai makanan
bagi biota kehidupan seperti burung, reptil dan berbagai kehidupan lainnya.
Secara umum, luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta
hektar atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia tetapi hanya 2,5 juta dalam keadaan baik
(Nontji, 2005). Sementara untuk hutan mangrove di Bali tersebar di beberapa lokasi pada area
seluas 3067,71 Ha. Tiga lokasi terluas dimana terdapat hutan mangrove adalah Taman Hutan
Raya (Tahura) Ngurah Rai (1373,5 Ha), Nusa Lembongan (202 Ha) di, dan Taman Nasional
Bali Barat (602 Ha) (Mangrove Information Center/MIC, 2004). Permasalahan utama yang
terjadi saat ini adalah banyaknya hutan mangrove yang mengalami kerusakan atau telah
hilang sama sekali karena aktivitas manusia seperti konversi lahan mangrove, penebangan
liar, pembangunan di kawasan pesisir dan polusi yang berasal dari daratan.
Luas kerapatan hutan mangrove di Nusa Lembongan terbagi dalam 5 kriteria
klasifikasi, yakni sangat jarang, jarang, sedang, rapat dan sangat rapat. Berdasarkan
penelitian Setiawan dkk. (2007), kerapatan hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan,
Kabupaten Klungkung didominasi dengan kerapatan sedang, dengan luas 736.000 m 2, dari
total luas kawasan mangrove Nusa Lembongan, yakni 202 hektar. Berikut disajikan peta
tentatif kerapatan hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan dengan menggunakan cita
ALOS.
Berikut jenis-jenis mangrove dan tanaman asosiasi yang terdapat di Nusa Lembongan,
Menurut Welly, dkk. (2010) :
Tabel 2.1. Jenis Mangrove dan Tanaman Asosiasi di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan
Secara umum keanekaragaman mangrove di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan sangat
beranekaragam. Khususnya untuk mangrove ditunjukan dengan adanya komponen utama,
komponen tambahan dan komponen asosiasi mangrove. Di Nusa Lembongan zona depan
disusun oleh jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba.
menghadapi
beberapa
ancaman
seperti
penebangan
mangrove
untuk
dimanfaatkan kayunya guna berbagai keperluan, konversi lahan mangrove untuk membangun
berbagai sarana, dan polusi sampah yang tersangkut dan mengotori akar-akar mangrove.
14
Untuk melindungi mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut penting
lainnya di kecamatan Nusa Penida yang bermanfaat bagi masyarakat, maka saat ini dilakukan
pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida. Taman Wisata Perairan
Nusa Penida seluas 20,057 Ha, saat ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan
berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24/KEPMEN-KP/2014.
Pembentukan KKP ini tengah berjalan hingga saat ini, adapun usaha yang telah dilakukan
hingga saat ini yakni pengumpulan data dan informasi serta identifikasi jenjis-jenis mangrove
yang terdapat di kecamatan Nusa Penida baik di Pulau Nusa Lembongan maupun di Pulau
Nusa Ceningan. Diharapkan dengan adanya KKP ini maka sumberdaya pesisir dan laut
kecamatan Nusa Penida dapat dikelola secara lestari dan berkelanjutan termasuk mangrove.
Upaya pengelolaan efektif yang telah dilakukan pemerintah Kabupaten Klungkung
melalui pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) telah memperoleh penghargaan
Anugerah E-KKP3K kategori percontohan. Tidak hanya melakukan pengelolaan terhadap
mangrove, melalui progrm tersebut juga dilakukan pengelolaan terhadap ekosistem padang
lamun, terumbu karang, bahkan kawasan wisata. Tidak heran jika kecamatan Nusa Penida
menjadi pilot project pengelolaan kawasan yang efektif, berbagai dukungan dan fasilitasi
telah dikembangkan, misalnya untuk mendukung implementasi rencana zonasi dan rencana
pengelolaan, recana bisnis wisata bahari, penguatan kelembagaan pengelola, penanaman
mangrove, rehabilitasi terumbu karang, pembuatan pusat dan papan informasi, percontohan
diving site, percontohan pemanfaatan perikanan, budidaya rumput laut, pemberdayaan
masyarakat serta berbagai upaya pemanfaatan ekonomi berbasis konservasi lainnya. Kawasan
Konservasi Nusa Penida juga menjadi pilot percontohan untuk program blue economy
kementrian kelautan perikanan. Hal ini dikarenakan di wilayah Nusa Penida telah dilakukan
pola pengelolaan yang terpadu yang melibatkan multi dimension melalui akses pendanaan
yang berkelanjutan dari berbagai sumber.
Yang terpenting dalam pengelolaan hutan Mangrove di Nusa Lembongan adalah
kesadaran Masyarakat. Masyarakat Nusa Lembongan sudah semakin menyadari pentingnya
fungsi hutan bakau, antara lain sebagai habitat bertelur dan pembenihan ikan, pelindungi bibir
pantai dari abrasi air laut, pelindung daratan dan perkampungan penduduk di pantai dari
bencana tsunami, karena di beberapa bagian Selatan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan
adalah daerah rawan tsunami, dan sebagai daya tarik wisata. Selanjutnya diperoleh infomasi
pula bahwa pengawasan dan pemeliharaan hutan mangrove sudah tertuang dalam peraturan
15
desa adat. Perilaku yang dianggap dapat merusak hutan mangrove sudah mulai ditinggalkan,
misalnya kayu mangrove untuk patok tanaman rumput laut diganti dengan kayu lamtorogung,
pemanfaatan kayu mangrove untuk bahan bangunan diganti dengan kayu kelapa dan kayu jati.
Kerusakan hutan mangrove di Desa Lembongan sebanyak dua hektar ditengarai karena alih
fungsi lahan, faktor alam dan juga karena ulah manusia (dekat lalu lalang perahu penduduk).
Namun saat ini sudah dilakukan reboisasi di lahan yang rusak tersebut.
16
agar tidak berakhir di tempat pembuangan sampah, maka dilakukan beberapa program
pengolahan limbah padat sebagai berikut, antara lain :
a. Pemisahan sampah sampah organik dan non organik melalui penyediaan dua
tempat sampah khusus untuk sampah organik dan non organik
b. Penyuluhan tentang penanganan sampah, dan
c. Pemanfaatan teknologi tepat guna untuk menangani sampah.
2.
menggunakan sistem STP (Sewage Treatment Plant). Pembuatan STP ini memerlukan biaya
yang sangat besar, sehingga tidak memungkinkan properti kecil sebagaimana yang terdapat di
Nusa Lembongan untuk membuatnya. Oleh karena itu, peluang untuk pembuatan STP ini bisa
dilakukan oleh pihak desa dan Pemerintah Klungkung. Jika STP ini sudah beroperasi, setiap
usaha wisata yang ada diwajibkan untuk memakainya sehingga pada akhirnya menjadi
sumber pendapatan bagi desa ataupun Pemerintah Klungkung dan keadaan lingkungan
menjadi lebih bersih dan terawat.
3.
fisik lebih lanjut seperti penggunaan lahan yang tidak optimal, kerusakan hutan mangrove,
dan penurunan produktifitas hutan mangrove. Terbatasnya lahan di Nusa Lembongan dan
diikuti pesatnya perkembangan pariwisata membutuhkan penataan ruang yang optimal dengan
memperhatikan keserasian, keseimbangan, keterpaduan, ketertiban, dan kelestarian demi
keberlanjutan pariwisata dan kegiatan perekonomian lainnya. Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) Kawasan yang diusulkan haruslah dapat mengadopsi kepentingan masyarakat secara
harmonis. Harmonis dalam hal ini adalah penggunaan lahan oleh masing-masing kepentingan
tidak berbenturan, sehingga pengaturan radius antara kawasan lindung dan kawasan budidaya
sangat diperlukan. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya
17
buatan, misalnya kawasan mangrove perairan. Kawasan budidaya adalah kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama untuk pembudidayaan atas dasar kondisi dan potensi
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, warisan budaya dan sumberdaya buatan. Dalam hal
ini mencakup kawasan untuk pariwisata, permukiman, pertanian rumput laut, tambatan
perahu, fasilitas umum, dan pengolahan limbah. RDTR Kawasan ini sebaiknya segera
diselesaikan mengantisipasi pesatnya perkembangan pariwisata di Nusa Lembongan. Lebih
lanjut, Rencana Teknik Ruang (RTR) dan atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) juga diperlukan dalam penciptaan citra suatu kawasan. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam RTBL ini adalah:
Salah satu hal yang penting yang perlu mendapatkan diperhatikan oleh pemerintah
dalam pelestarian perairan Nusa Lembongan adalah menetapkan zonasi atau pemintakatan
dalam suatu kawasan. Dalam RTDL Kawasan yang diusulkan sebelumnya, sebagai kawasan
lindung, wilayah perairan Nusa Lembongan perlu dibagi dalam beberapa zonasi untuk
memudahkan dalam pemanfaatan, pengawasan dan pelestariannya, misalnya, zona
penangkapan ikan, zona pariwisata, zona konservasi, dan zona penyangga. Zona konservasi
diperuntukkan khusus bagi wilayah perairan yang terumbu karang maupun hutan bakaunya
mengalami kerusakan, dimana pada zona ini tidak boleh diganggu oleh aktivitas masyarakat
maupun wisatawan. Dalam proses pembuatan RTDL Kawasan dan RTBL hendaknya
melibatkan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pariwisata, yang terdiri dari
pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
4.
terjaga kelestariannya karena merupakan daya tarik wisata yang utama di Nusa Lembongan,
di samping sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat Nusa Lembongan yang sebagian
besar adalah nelayan. Pelestarian wilayah perairan ini mencakup pelestarian pasir pantai,
terumbu karang, dan hutan mangrove. Meskipun kesadaran masyarakat sudah tinggi untuk
menjaga wilayah perairannya dan juga ditunjang dengan peraturan adat yang ada, tetapi tetap
membutuhkan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal yang khusus bertanggung
jawab untuk pengawasan, pengaturan dan pelestarian di kawasan perairan. Beberapa bentuk
pengawasan yang diusulkan kepada lembaga ini, antara lain:
a. Pengawasan terhadap wisatawan yang melakukan aktivitas wisata di kawasan
mangrove Nusa Lembongan.
18
19
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kerapatan hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung
didominasi dengan kerapatan sedang, dengan luas 736.000 m 2, dari total luas kawasan
mangrove Nusa Lembongan, yakni 202 hektar. Jenis mangrove di Nusa Lembongan sangat
beragam. Pada zona depan disusun oleh jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata dan
Sonneratia alba. Permasalahan utama yang terjadi saat ini adalah banyaknya mangrove yang
mengalami kerusakan atau telah hilang sama sekali karena aktivitas manusia seperti konversi
lahan mangrove, penebangan liar, pembangunan dikawasan pesisir dan polusi yang berasal
dari daratan. Untuk melindungi mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut
penting lainnya di kecamatan Nusa Penida yang bermanfaat bagi masyarakat, maka saat ini
dilakukan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida. Rehabilitasi
mangrove tidak selalu harus dengan penanaman, sebab setiap pohon mangrove mampu
menghasilkan ratusan ribu benih pertahun. Dengan kondisi hidrologi yang cocok, biji atau
buah mangove ini dapat tumbuh sendiri, sebagaimana mereka tumbuh sebelumnya, sehingga
dapat kembali membentuk koloni secara normal. Adapun strategi rehabilitasi yang dapat
dilakukan yakni memahami autekologi, memahami pola hidrologinya, meneliti faktor yang
dapat menghambat regenerasi alaminya, melakukan kerja sama dengan masyarakat, LSM, dan
pemerintah, membuat desain restorasi hidrologi, pengelolaan limbah padat dan cair, dan
penyusunan rencana tata ruang pemanfaatan.
B. Saran
Rehabilitasi Kawasan Hutan Mangrove di Nusa Lembongan harus dilaksanakan secara
berkelanjutan dengan pendekatan yang mengutamakan keseimbangan ekologi, ekonomi,
sosial dan budaya.
20
DAFTAR PUSTAKA
centenary seminar
December 1983.
FAO. 2007. The Worlds Mangroves 19802005. Forest Resources Assessment Working
Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Ghufran, Muhammad, 2012. Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. Jakarta :
Kusuma, Cecep.2009.Pengelolaan Hutan Mangrove secara Terpadu.Departemen Silvikultur.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Macnae, W. 1968. A General Account of The Fauna and Flora of Mangrove Swamps and
Forests in The Indowest-Pacific Region. Adv. Mar. Biol. 6: 73 - 270.
Nontji, Anugerah, 2005. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta.
PT. Rineka cipta
Setiawan, F. dkk. 2007. Pemetaan Luas Kerapatan Hutan Mangrove sebagai Kawasan
Konservasi Laut di Nusa Lembongan, Bali Menggunakan Citra Satelit ALOS.
Universitas Padjajaran. Bandung.
Snedaker, S.C. 1978. Mangroves: Their Value and Perpetuation. Nature and Resources. 14 :
6-13.
Suradnya, W. 2005. Studi Potensi Dan Upaya Pelestarian Kawasan Hutan Mangrove Di Nusa
Lembongan. Tesis S2 Program Studi Ilmu Lingkungan. Universitas Udayana. Bali.
Triyanto, P.A. dan Brown B. 2008. Restorasi Mangrove Berwawasan Lingkungan. Mangrove
Action Project. Yogyakarta.
Welly, M. dkk. 2010. Identifikasi Flora dan Fauna Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan.
Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah 1. Bali.
www.dishut.baliprov.go.id. diakses tanggal 16 Maret 2015
www.klungkungkab.go.id. diakses tanggal 16 Maret 2015
21
Pembagian Tugas
1. Carissa Paresky Arisagy
Job
3. Ari Setyobudi
Job
4. Wampani Sidik
Job
6. Ratna Wulandari
Job
22