Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE DI NUSA LEMBONGAN

Kelompok :
Ari Setyobudi (12644)
Gina Maulida Kardi (12794)
Ratna Wulandari (12855)
Tri Yoga Desi Amanta (12944)
Carissa Paresky Arisagy (12981)
Wampani Sidik (13055)

JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya atas selesainya penulisan makalah kami yang berjudul Rehabilitasi
Ekosistem Mangrove di Nusa Lembongan. Makalah ini kami susun dalam rangka memenuhi
tugas ujian tengah semester VI dari mata kuliah Konservasi Sumber Daya Perikanan.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang turut serta membantu dalam penyusunan makalah ini baik secara
langsung maupun tidak langsung. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Dalam penulisan makalah ini, kami merasa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari teknis penulisan maupun materinya,
untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi penyempurnaan
makalah ini.

Yogyakarta, 6 April 2015

Penulis

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................

KATA PENGANTAR .............................................................................................

ii

DAFTAR ISI ..........................................................................................................

iii

ABSTRAK ....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ..........................................................................................

Rumusan Masalah ......................................................................................

Tujuan ......................................................................................................

Studi Area .....................................................................................................

Sistematika Penulisan ................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Pengertian Hutan Mangrove ..............................................................................

Fungsi Hutan Mangrove ...................................................................................

Pengelolaan Hutan Mangrove ............................................................

...........

BAB III MATERI PEMBAHASAN


Kondisi Hutan Mangrove di Nusa Lembongan ...............................................

11

Permasalahan Hutan Mangrove di Nusa Lembongan ......................................

14

Penglolaan Hutan Mangrove Nusa Lembongan .............................................

14

Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove di Nusa Lembongan ............................

16

BAB IV PENUTUP
Kesimpulan ..............................................................................................

20

Saran .......................................................................................................

20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................

21
iii

ABSTRAK

Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai
tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang
mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Kerapatan
hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung didominasi dengan
kerapatan sedang, dengan luas 736.000 m 2, dari total luas kawasan mangrove Nusa
Lembongan, yakni 202 hektar. Jenis mangrove di Nusa Lembongan sangat beragam. Pada
zona depan disusun oleh jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba.
Permasalahan utama yang terjadi saat ini adalah banyaknya mangrove yang mengalami
kerusakan atau telah hilang sama sekali karena aktivitas manusia seperti konversi lahan
mangrove, penebangan liar, pembangunan dikawasan pesisir dan polusi yang berasal dari
daratan. Untuk melindungi mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut penting
lainnya di kecamatan Nusa Penida yang bermanfaat bagi masyarakat, maka saat ini dilakukan
pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida. Rehabilitasi mangrove tidak
selalu harus dengan penanaman, sebab setiap pohon mangrove mampu menghasilkan ratusan
ribu benih pertahun. Dengan kondisi hidrologi yang cocok, biji atau buah mangove ini dapat
tumbuh sendiri, sebagaimana mereka tumbuh sebelumnya, sehingga dapat kembali
membentuk koloni secara normal. Adapun strategi rehabilitasi yang dapat dilakukan yakni
memahami autekologi, memahami pola hidrologinya, meneliti faktor yang dapat menghambat
regenerasi alaminya, melakukan kerja sama dengan masyarakat, LSM, dan pemerintah,
membuat desain restorasi hidrologi, pengelolaan limbah padat dan cair, dan penyusunan
rencana tata ruang pemanfaatan.
Kata kunci : ekosistem, mangrove, Nusa Lembongan, rehabilitasi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka pengembangan
ekonomi nasional telah menempatkan wilayah ini pada posisi yang sangat strategis.
Kebutuhan sumber daya pesisir dan laut dalam negeri meningkat sejalan dengan
meningkatnya laju pertumbuhan penduduk sehingga mengakibatkan tekanan terhadap ruang
pesisir semakin besar. Berbagai pembangunan sektoral, regional, swasta dan masyarakat yang
memanfaatkan kawasan pesisir seperti sumberdaya perikanan, lokasi resort, wisata,
pertambangan lepas pantai, pelabuhan laut, industri dan reklamasi kota pantai serta pangkalan
militer. Hal ini menimbulkan persoalan salah satu contohnya kerusakan yang mengakibatkan
berkurangnnya hutan mangrove dikawasan pesisir. Hal tersesebut terjadi di beberapa provinsi
di Indonesia, salah satunya termasuk di Provinsi Bali. Padahal hutan mangrove mempunyai
peran dan fungsi yang sangat penting, misalnya sangat menunjang perekonomian masyarakat
pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai
nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga
merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove
dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga
perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi,
pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut.
Dari data statistik disebutkan bahwa luas hutan

mangrove di seluruh Indonesia

diperkirakan 4,25 juta hektar atau 3,98 % dari seluruh luas hutan Indonesia (Ghufran, 2012).
Sementara Luas hutan mangrove di Bali tahun 2012 sekitar 2004.5 ha (Dinas Kehutanan
Provinsi Bali) yang tersebar di beberapa kabupaten. Seluas 753,50 berada di Kabupaten
Badung, 620 ha berada di Denpasar, 217 ha berada di Jembrana, 212 ha berada di kabupaten
buleleng, dan 202 ha berada di Kabupaten Klungkung. Luasan tersebut terus mengalami
penurunan akibat adanya konversi lahan hutan mangrove. Tahun 1969 sampai 1980, sekitar 1
juta hektar hutan mangrove telah dirusak (Berwick, 1989), sedangkan menurut data FAO pada
tahun 1986, menyebutkan hutan mangrove di Indonesia tersisa 3,2 juta hektar atau terjadi
pengurangan luas sebanyak 33,61%. Saat ini luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan
tersisa 1,2 juta hektar (Ghufran, 2012) dan di Bali sendiri berdasarkan hasil inventarisasi
2

DAS Unda Anyar-Hall, kondisi status dari 2004,5 ha hutan mangrove di seluruh Bali adalah
253,4 ha atau 11,44% termasuk dalam kondisi rusak berat, 201,5 ha atau 9,10 % dalam
kategori rusak dan 1.760 0,6 ha atau 79,47% kategori tidak rusak .
Bila kerusakan hutan mangrove tidak diperhatikan maka semakin lama keberadaan
hutan mangrove akan semakin berkurang sehingga akan menimbulkan ketidak seimbangan
ekosistem khususnya diwilayah pantai yang juga akan berdampak pada kehidupan manusia.
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dikaji mengenai hal- hal yang berkaitan dengan
rehabilitasi ekosistem mangrove di kawasan Bali Timur, sehingga dapat meningkatkan luasan
hutan mangrove yang akan berdampak posif pada ekosistem disekitarnya. Di harapkan pada
masa-masa mendatang data ini dapat di gunakan sebagai reverensi dalam melakukan evaluasi
terhadap vegetasi hutan mangrove di wilayah tersebut.

B. Rumusan Masalah
1.

Bagaimana kondisi hutan mangrove di Nusa Lembongan ?

2.

Bagaimana permasalahan hutan mangrove di Nusa Lembongan ?

3.

Bagaimana pengelolaan hutan mangrove Nusa Lembongan ?

4.

Bagaimana strategi rehabilitasi hutan mangrove di Nusa Lembongan ?

C. Tujuan
1.

Mengetahui kondisi hutan mangrove di Nusa Lembongan

2.

Mengetahui permasalahan hutan mangrove di Nusa Lembongan

3.

Mengetahui pengelolaan hutan mangrove Nusa Lembongan

4.

Mengetahui strategi rehabilitasi hutan mangrove di Nusa Lembongan

D. Studi Area
Kawasan Mangrove di Bali Timur yaitu Di Kabupaten Klungkung. Secara Geografis
Kabupaten Klungkung, terletak diantara 115 27 ' - 37 '' 8 49 ' 00''. Lintang Selatan dengan
batas-batas disebelah utara Kabupaten Bangli. Sebelah Timur Kabupaten Karangasem,
sebelah Barat Kabupaten Gianyar, dan sebelah Selatan Samudra India, dengan luas 315 Km.

Gambar 1.1. Pemetaan Kawasan Mangrove di Bali


Wilayah Kabupaten Klungkung sepertiganya (112,16 km) terletak diantara pulau Bali
dan dua pertiganya (202,84 km) merupakan kepulauan yaitu Nusa Penida, Nusa Lembongan
dan Nusa Ceningan. Menurut penggunaan lahan di Kabupaten Klungkung terdiri dari lahan
sawah 4.013 hektar, lahan kering 9.631 hektar, hutan negara 202 hektar, perkebunan 10.060
hektar, dan lain-lain 7.594 hektar.
Panjang pantai di Kabupaten ini sekitar 90 km yang terdapat di Klungkung yaitu 20
km dan Kepulauan Nusa Penida 70 Km. Permukaan tanah pada umumnya tidak rata,
bergelombang, bahkan sebagian besar berupa bukit-bukit terjal yang kering dan tandus.Hanya
sebagian kecil saja merupakan dataran rendah.Tingkat kemiringan tanah diatas 40 % (terjal)
adalah seluas 16,47 km2 atau 5,32 % dari Kabupaten Klungkung (www.klungkungkab.go.id).

E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah Rehabilitasi Ekosistem Mangrove di Nusa Lembongan
ini, penulis menggunakan metode kepustakaan untuk mendapatkan bahan materi yang
menyeluruh. Kepustakaan yang penulis gunakan tak hanya memakai beberapa buku dan
jurnal untuk menjadi sumber acuan. Akan tetapi, penulis juga mencari bahan dari internet baik
berupa materi maupun gambar yang dapat melengkapi pembahasan materi.
4

Kami membagi laporan ini menjadi beberapa bagian, antara lain pendahuluan, tinjauan
pustaka, materi pembahasan, penutup serta daftar pustaka. Bagian pendahuluan berisi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, studi area dan sistematika penulisan. Kemudian
hasil dan pembahasan berisi materi bahasan terkait kondisi hutan mangrove di Nusa
Lembongan, permasalahan hutan mangrove di Nusa Lembongan, pengelolaan hutan
mangrove Nusa Lembongan, serta strategi rehabilitasi hutan mangrove di Nusa Lembongan.
Bagian penutup berisi kesimpulan dan saran. Sementara bagian terakhir yakni daftar pustaka
berisi referensi yang digunakan dalm penyususnan makalah ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hutan Mangrove


Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa
Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individuindividu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa
Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata
mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.
Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang
tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di
suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi
tanah an-aerob. Adapun menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan
halofit2 yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai
daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.
Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu
tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna,
muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang
komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove
merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan).
Secara umum habitat vegetasi mangrove biasanya membentuk zonasi. Mulai dari zona
yang dekat dengan laut sampai zona yang paling dekat dengan daratan. Menurut Bengen, D.G
(2002), zonasi yang paling umum ada empat macam yaitu :
a) The Exposed Mangrove (zona terluar, paling dekat dengan laut). Secara umum zona
ini didominasi oleh Sonneratia alba, Avicennia alba dan Avicennia marina.
b) Central Mangrove (zona pertengahan antara laut dan darat). Secara umum zona ini
didominasi oleh jenis-jenis Rhizopora, kadang juga ditemui jenis Bruguiera.

c) The Rear Mangrove (back mangrove, landward mangrove, areal yang paling dekat
dengan daratan). Zona ini biasanya tergenangi oleh pasang tinggi saja. Seringkali
didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera, Lumnitzera, Xylocarpus dan Pandanus sp.
d) Brackish Stream Mangrove (aliran sungai dekat mangrove yang berair payau). Pada
zona ini sering dijumpai komunitas Nypa frutican dan kadang dijumpai Sonneratia
caseolaris serta Xylocarpus granatum.

B. Fungsi Hutan Mangrove


Mangrove menghasilkan berbagai macam barang/material (baik berupa kayu maupun
hasil hutan bukan kayu) dan jasa lingkungan (oksigen penyerap polutan, pengendali abrasi
dan interusi air laut, dan lain-lain) yang sangat bermanfaat secara ekonomis dan ekologis bagi
kelangsungan kehidupan masyarakat pesisir dan kelestarian hasil beserta kelestarian fungsi
ekosistem pesisir itu sendiri. Hutan Mangrove memiliki fungsi untuk ekosistem yaitu :
1. Proteksi pinggir pantai dari gelombang air laut maupun tiupan angin yang dapat
menyebabkan abrasi.
2. Mengatur sedimentasi material yang terbawa sungai menuju muara.
3. Rentensi nutrient dan memperbiki kualitas air yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup flora maupun fauna di sekitarnya.
4. Mengendalikan intrusi air laut.
5. Menjadi habitat flora dan fauna sebagai tempat spawning groung, nursery groun
maupun feeding ground berbagai spesies.
(Kusuma, 2009)

C. Pengelolaan Hutan Mangrove


Memperhatikan betapa pentingnya fungsi mangrove seperti telah dikemukakan di atas,
semestinya ekosistem mangrove semaksimal mungkin dipertahankan keberadaannya.
Sehubungan dengan itu ada beberpa tipe ekosistem mangrove yang semestinya dikonservasi,
yaitu:
a.

Mangrove yang tumbuh di pulau-pulau kecil.

b.

Ekosistem mangrove yang unik/khas.


7

c.

Ekosistem mangrove yang merupakan habitat satwaliar/biota yang endemik dan


atau dilindungi.

d.

Mangrove yang tumbuh di estuaria dan muara sungai yang berperan


mempertahankan keseimbangan ekologi di ekosistem tersebut.

e.

Mangrove yang berfungsi sebagai habitat perikanan atau dekat kawasan


penangkapan.

f.

Mangrove yang berada pada kawasan yang rawan oleh kejadian bencana di pesisir
(badai, abrasi, banjir).

g.

Mangrove yang masih asli yang dialokasikan sebagai gene biodiversity bank.

h.

Mangrove yang berfungsi sebagai perlindungan abrasi pantai, pemukiman,


industri, pelabuhan, bandara, pengendalian pencemaran dan interusi air laut, serta
lindungan lingkungan pantai lainnya yang spesifik lokal.

i.

Mangrove yang ditentukan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, pariwisata,


dan tujuan khusus lainnya.

Proses

ekologi

internal

yang

bertanggungjawab

terhadap

pemeliharaan

keberlangsungan fungsi ekosistem mangrove secara signifikan dipengaruhi oleh proses


eksternal sebagai berikut:
a.

Pasokan yang seimbang dari jumlah air tawar dan air laut,

b.

Suplai nutrien yang cukup, dan

c.

Kondisi substrat yang stabil.

Apabila salah satu faktor eksternal ini terganggu, maka proses ekologis internal dari
ekosistem mangrove akan terganggu yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan/hilangnya
mangrove tersebut. Oleh karena itu, pihak pengelola ekosistem mangrove harus mengetahui
limit toleransi dari ekosistem tersebut terhadap perubahan dari faktor eksternal tersebut.
Mangrove merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang
menyediakan berbagai jenis produk (produk langsung dan produk tidak langsung) dan
pelayanan lindungan lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut,
mengurangi tiupan angin kencang, mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang, rekreasi
dan pembersih air dari polutan. Kesemua sumberdaya dan jasa lingkungan tersebut disediakan
secara gratis oleh ekosistem mangrove. Dengan perkataan lain mangrove menyediakan
berbagai jenis produk yang berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan
berbagai kegiatan ekonomi, baik skala lokal, regional maupun nasional.
8

Kesemua fungsi mangrove tersebut akan tetap berlanjut kalau keberadaan ekosistem
mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan sumberdayanya berdasarkan pada prinsipprinsip kelestarian. Hal ini berarti mangrove berperan sebagai sumberdaya renewable jika
semua proses ekologi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove dapat berlangsung tanpa
gangguan.
Dalam konteks pengelolaan pesisir, mangrove harus dianggap sebagai bagian integral
dari suatu ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dan merupakan bagian dari ekosistem
estuarin yang komplek di pesisir yang berinteraksi satu sama lain yang keberadaannya
dipelihara oleh pola drainase alamiah dan aliran air tawar dari catchment area di satu pihak
serta dinamika pasang surut dan salinitas di pihak lain.
Semua aktifitas dan landuse di catchment area harus dipertimbangkan dalam
pengelolaan ekosistem pesisir bagian integral dari ekosistem pesisir yang terdiri atas berbagai
habitat padang lamun, terumbu karang dan lain-lain yang saling berinteraksi satu sama lain
yang secara alami terpelihara oleh pola drainase dan pasokan air tawar dari daerah tangkapan
air di daerah hulu di satu pihak dan mekanisme pasang surut dan rejim salinitas di pihak lain.
Oleh karena itu, unit manajemen dalam pengelolaan mangrove adalah Daerah Aliran Sungai
(DAS), sehingga untuk mengembangkan pengelolaan mangrove yang efektif adalah suatu
keharusan mempertimbangkan berbagai proses dinamika alam yang terjadi pada unit DAS
tersebut.
Pengelolaan sumberdaya alam, khususnya mangrove, harus berdasarkan pada basis
ekologis atau filosofi konservasi dimana langkah pertama yang harus ditempuh adalah
menjaga mangrove dari kerusakan. Dalam hal ini yang sangat penting adalah upaya
mengoptimasikan konservasi sumberdaya mangrove yang dapat memenuhi kebutuhan hidup
(barang dan jasa) masyarakat di satu pihak dan menjamin keanekaragaman hayatinya di pihak
lain.
Sebagai renewable resources, mangrove sepatutnya dikelola berdasarkan pada prinsipprinsip kelestarian (sustainable basis). Pada prinsip pengelolaan ini sumberdaya mangrove
harus dapat dipanen secara berkelanjutan, sementara ekosistem mangrove itu sendiri dapat
dipertahankan secara alami seperti semula. Selain itu preservasi sebagian areal mangrove
yang betul-betul tidak terganggu (pristine mangrove forest) sepatutnya dipertimbangkan
dalam praktek pengelolaan mangrove sebagai biodiversity bank atau biological resources
9

apabila pengelolaan mangrove yang dipraktekkan mengalami kegagalan yang menyebabkan


kerusakan bahkan hilangnya mangrove tersebut.
Berdasarkan uraian di atas nampak bahwa ekosistem mangrove harus dikelola
berdasarkan pada paradigma ekologi yang meliputi prinsip-prinsip interdependensi antar
unsur ekosistem, sifat siklus dari proses ekologis, fleksibilitas, diversitas dan koevolusi dari
organisme beserta lingkungannya dalam suatu unit fisik DAS dan merupakan bagian integral
dari program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu (PWPLT) (Kusuma, 2009).

10

BAB III
MATERI PEMBAHASAN

A. Kondisi Hutan Mangrove di Nusa Lembongan


Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas,
terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan
merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai
ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang
bijaksana dalam mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya. Hutan mangrove sangat
menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian
masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping
sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut
bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana
hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai
ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat
biota laut.

Gambar 2.1. Mangrove Nusa Lembongan


Kondisi hutan mangrove pada umumnya memiliki tekanan berat, sebagai akibat dari
tekanan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selain dirambah dan atau dialih fungsikan,
kawasan mangrove di daerah Timur Bali, khususnya di pulau Nusa Lembongan, juga
digunakan untuk kepentingan wisata, seperti pembangunan hotel, resort, restoran kini marak
11

terjadi. Adapun akibat yang ditimbulkan terganggunya peranan fungsi kawasan mangrove
sebagai habitat biota laut, perlindungan wilayah pesisir, dan terputusnya mata rantai makanan
bagi biota kehidupan seperti burung, reptil dan berbagai kehidupan lainnya.
Secara umum, luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta
hektar atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia tetapi hanya 2,5 juta dalam keadaan baik
(Nontji, 2005). Sementara untuk hutan mangrove di Bali tersebar di beberapa lokasi pada area
seluas 3067,71 Ha. Tiga lokasi terluas dimana terdapat hutan mangrove adalah Taman Hutan
Raya (Tahura) Ngurah Rai (1373,5 Ha), Nusa Lembongan (202 Ha) di, dan Taman Nasional
Bali Barat (602 Ha) (Mangrove Information Center/MIC, 2004). Permasalahan utama yang
terjadi saat ini adalah banyaknya hutan mangrove yang mengalami kerusakan atau telah
hilang sama sekali karena aktivitas manusia seperti konversi lahan mangrove, penebangan
liar, pembangunan di kawasan pesisir dan polusi yang berasal dari daratan.
Luas kerapatan hutan mangrove di Nusa Lembongan terbagi dalam 5 kriteria
klasifikasi, yakni sangat jarang, jarang, sedang, rapat dan sangat rapat. Berdasarkan
penelitian Setiawan dkk. (2007), kerapatan hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan,
Kabupaten Klungkung didominasi dengan kerapatan sedang, dengan luas 736.000 m 2, dari
total luas kawasan mangrove Nusa Lembongan, yakni 202 hektar. Berikut disajikan peta
tentatif kerapatan hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan dengan menggunakan cita
ALOS.

Gambar 2.2. Peta Tentatif Kerapatan Hutan Mangrove Nusa Lembongan


12

Berikut jenis-jenis mangrove dan tanaman asosiasi yang terdapat di Nusa Lembongan,
Menurut Welly, dkk. (2010) :
Tabel 2.1. Jenis Mangrove dan Tanaman Asosiasi di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan

Secara umum keanekaragaman mangrove di Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan sangat
beranekaragam. Khususnya untuk mangrove ditunjukan dengan adanya komponen utama,
komponen tambahan dan komponen asosiasi mangrove. Di Nusa Lembongan zona depan
disusun oleh jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba.

Gambar 2.3. Berbagai Jenis Mangrove di Nusa Lembongan


13

B. Permasalahan Hutan Mangrove di Nusa Lembongan


Suradnya (2005), menemukan bahwa data dan informasi tentang potensi hutan
mangrove di Nusa Lembongan dan rencana pemanfaatannya belum optimal. Bermunculannya
hotel dan restoran beserta segenap aktivitasnya di sepanjang pesisir Nusa Lembongan
berpotensi merubah kondisi alami dari hutan mangrove tersebut. Padahal kesinambungan
pembangunan dan produktivitas industri pariwisata di Nusa Lembongan sebagai destinasi
wisata pulau sangat bergantung pada kualitas lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitiannya,
Suradnya menemukan bahwa kawasan hutan mangrove Daerah Nusa Lembongan sangat
potensial untuk dikembangkan dan dilestarikan sebagai wisata alam, hal ini ditunjang oleh
potensi keanekaragaman flora dan fauna serta sosial budaya yang ada di kawasan hutan
mangrove.
Tekanan terhadap hutan mangrove di Nusa Lembongan, sebagai akibat tumbuh
berkembangnya pusat-pusat kegiatan dan aktivitas manusia juga disebabkan oleh beberapa
aspek kegiatan antara lain pengembangan permukimam, pembangunan fasilitas umum dan
rekreasi, serta pemanfaatan lahan pasang surut. Selain terciptanya perubahan dan kerusakan
lingkungan, di bagian wilayah hulu juga ikut andil dalam memperburuk kondisi kawasan
pantai. Berbagai bentuk masukan bahan padatan sedimen (erosi), bahan cemaran baik yang
bersumber dari industri maupun rumah tangga, merupakan salah satu faktor penyebab
pendangkalan pantai dan kerusakan ekosistem mangrove.

C. Pengelolaan Hutan Mangrove Nusa Lembongan


Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali memiliki area
mangrove seluas 230,07 hektar (TNC, 2009). Lokasi kawasan mangrove tersebut terletak di
Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Mangrove di Nusa Penida khususnya di Pulau Nusa
Lembongan membawa banyak manfaat bagi masyarakat seperti menjadi obyek ekowisata
mangrove tour, pelindung pantai, mencegah intrusi air laut ke pantai dan tempat memijah dan
berkembang-biak bagi ikan dan biota laut lainnya. Namun, saat ini mangrove di Nusa
Lembongan

menghadapi

beberapa

ancaman

seperti

penebangan

mangrove

untuk

dimanfaatkan kayunya guna berbagai keperluan, konversi lahan mangrove untuk membangun
berbagai sarana, dan polusi sampah yang tersangkut dan mengotori akar-akar mangrove.

14

Untuk melindungi mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut penting
lainnya di kecamatan Nusa Penida yang bermanfaat bagi masyarakat, maka saat ini dilakukan
pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida. Taman Wisata Perairan
Nusa Penida seluas 20,057 Ha, saat ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan
berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24/KEPMEN-KP/2014.
Pembentukan KKP ini tengah berjalan hingga saat ini, adapun usaha yang telah dilakukan
hingga saat ini yakni pengumpulan data dan informasi serta identifikasi jenjis-jenis mangrove
yang terdapat di kecamatan Nusa Penida baik di Pulau Nusa Lembongan maupun di Pulau
Nusa Ceningan. Diharapkan dengan adanya KKP ini maka sumberdaya pesisir dan laut
kecamatan Nusa Penida dapat dikelola secara lestari dan berkelanjutan termasuk mangrove.
Upaya pengelolaan efektif yang telah dilakukan pemerintah Kabupaten Klungkung
melalui pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) telah memperoleh penghargaan
Anugerah E-KKP3K kategori percontohan. Tidak hanya melakukan pengelolaan terhadap
mangrove, melalui progrm tersebut juga dilakukan pengelolaan terhadap ekosistem padang
lamun, terumbu karang, bahkan kawasan wisata. Tidak heran jika kecamatan Nusa Penida
menjadi pilot project pengelolaan kawasan yang efektif, berbagai dukungan dan fasilitasi
telah dikembangkan, misalnya untuk mendukung implementasi rencana zonasi dan rencana
pengelolaan, recana bisnis wisata bahari, penguatan kelembagaan pengelola, penanaman
mangrove, rehabilitasi terumbu karang, pembuatan pusat dan papan informasi, percontohan
diving site, percontohan pemanfaatan perikanan, budidaya rumput laut, pemberdayaan
masyarakat serta berbagai upaya pemanfaatan ekonomi berbasis konservasi lainnya. Kawasan
Konservasi Nusa Penida juga menjadi pilot percontohan untuk program blue economy
kementrian kelautan perikanan. Hal ini dikarenakan di wilayah Nusa Penida telah dilakukan
pola pengelolaan yang terpadu yang melibatkan multi dimension melalui akses pendanaan
yang berkelanjutan dari berbagai sumber.
Yang terpenting dalam pengelolaan hutan Mangrove di Nusa Lembongan adalah
kesadaran Masyarakat. Masyarakat Nusa Lembongan sudah semakin menyadari pentingnya
fungsi hutan bakau, antara lain sebagai habitat bertelur dan pembenihan ikan, pelindungi bibir
pantai dari abrasi air laut, pelindung daratan dan perkampungan penduduk di pantai dari
bencana tsunami, karena di beberapa bagian Selatan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan
adalah daerah rawan tsunami, dan sebagai daya tarik wisata. Selanjutnya diperoleh infomasi
pula bahwa pengawasan dan pemeliharaan hutan mangrove sudah tertuang dalam peraturan
15

desa adat. Perilaku yang dianggap dapat merusak hutan mangrove sudah mulai ditinggalkan,
misalnya kayu mangrove untuk patok tanaman rumput laut diganti dengan kayu lamtorogung,
pemanfaatan kayu mangrove untuk bahan bangunan diganti dengan kayu kelapa dan kayu jati.
Kerusakan hutan mangrove di Desa Lembongan sebanyak dua hektar ditengarai karena alih
fungsi lahan, faktor alam dan juga karena ulah manusia (dekat lalu lalang perahu penduduk).
Namun saat ini sudah dilakukan reboisasi di lahan yang rusak tersebut.

D. Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove di Nusa Lembongan


Rehabilitasi mangrove tidak selalu harus dengan penanaman, sebab setiap pohon
mangrove mampu menghasilkan ratusan ribu benih pertahun. Dengan kondisi hidrologi yang
cocok, biji atau buah mangove ini dapat tumbuh sendiri, sebagaimana mereka tumbuh
sebelumnya, sehingga dapat kembali membentuk koloni secara normal. Ada berbagai teknik
rehabilitasi mangrove. Masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut
Triyanto dan Brown (2008) ada enam langkah penting dalam prosedur teknis yang menunjang
perencanaan, pelaksanaan, dan kesuksesan rehabilitasi mangrove, yaitu :
1. Memahami autekologi, yakni sifat-sifat ekologi tiap-tiap jenis mangrove di lokasi,
khususnya pola reproduksi, distribusi benih, dan keberhasilan pertumbuhannya,
serta ekologi hutan bakau keseluruhan (community ecology).
2. Memahami pola hidrologi normal yang mengatur distribusi dan pertumbuhan
jenis-jenis mangrove.
3. Meneliti perubahan yang telah terjadi pada ekosistem mangrove yang menghambat
regenerasi alami.
4. Kerjasama masyarakat lokal, LSM, pemerintah dan para akademisi untuk memilih
lokasi restorasi yang layak dari segi teknis, ekologi serta biaya (untuk
implementasi serta monitoring). Tahap ini termasuk pemecahaan konflik
kepemilikan lahan untuk menjamin pelestarian hutan mangrove dalam jangka
panjang.
5. Membuat disain program restorasi hidrologi untuk memungkinkan pertumbuhan
mangrove secara alami.
6. Melakukan pembibitan dan penanaman hanya jika kelima langkah di atas telah
dilakukan namun tidak menghasilkan pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan.

16

Strategi rehabilitasi dalam rangka mengendalikan dampak perkembangan pariwisata di


kawasan mangrove Nusa Lembongan terhadap lingkungan fisik juga akan diuraikan sebagai
berikut:
1.

Penanganan Limbah Padat


Untuk mengoptimalkan manfaat positif dari penanganan limbah padat oleh pihak desa

agar tidak berakhir di tempat pembuangan sampah, maka dilakukan beberapa program
pengolahan limbah padat sebagai berikut, antara lain :
a. Pemisahan sampah sampah organik dan non organik melalui penyediaan dua
tempat sampah khusus untuk sampah organik dan non organik
b. Penyuluhan tentang penanganan sampah, dan
c. Pemanfaatan teknologi tepat guna untuk menangani sampah.
2.

Pengolahan Limbah Cair


Sistem penanganan limbah cair yang sesuai dengan kondisi lahan dan finansial yaitu

menggunakan sistem STP (Sewage Treatment Plant). Pembuatan STP ini memerlukan biaya
yang sangat besar, sehingga tidak memungkinkan properti kecil sebagaimana yang terdapat di
Nusa Lembongan untuk membuatnya. Oleh karena itu, peluang untuk pembuatan STP ini bisa
dilakukan oleh pihak desa dan Pemerintah Klungkung. Jika STP ini sudah beroperasi, setiap
usaha wisata yang ada diwajibkan untuk memakainya sehingga pada akhirnya menjadi
sumber pendapatan bagi desa ataupun Pemerintah Klungkung dan keadaan lingkungan
menjadi lebih bersih dan terawat.
3.

Penyusunan Rencana Tata Ruang


Penyusunan rencana tata ruang ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan

fisik lebih lanjut seperti penggunaan lahan yang tidak optimal, kerusakan hutan mangrove,
dan penurunan produktifitas hutan mangrove. Terbatasnya lahan di Nusa Lembongan dan
diikuti pesatnya perkembangan pariwisata membutuhkan penataan ruang yang optimal dengan
memperhatikan keserasian, keseimbangan, keterpaduan, ketertiban, dan kelestarian demi
keberlanjutan pariwisata dan kegiatan perekonomian lainnya. Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) Kawasan yang diusulkan haruslah dapat mengadopsi kepentingan masyarakat secara
harmonis. Harmonis dalam hal ini adalah penggunaan lahan oleh masing-masing kepentingan
tidak berbenturan, sehingga pengaturan radius antara kawasan lindung dan kawasan budidaya
sangat diperlukan. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya
17

buatan, misalnya kawasan mangrove perairan. Kawasan budidaya adalah kawasan yang
ditetapkan dengan fungsi utama untuk pembudidayaan atas dasar kondisi dan potensi
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, warisan budaya dan sumberdaya buatan. Dalam hal
ini mencakup kawasan untuk pariwisata, permukiman, pertanian rumput laut, tambatan
perahu, fasilitas umum, dan pengolahan limbah. RDTR Kawasan ini sebaiknya segera
diselesaikan mengantisipasi pesatnya perkembangan pariwisata di Nusa Lembongan. Lebih
lanjut, Rencana Teknik Ruang (RTR) dan atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) juga diperlukan dalam penciptaan citra suatu kawasan. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam RTBL ini adalah:
Salah satu hal yang penting yang perlu mendapatkan diperhatikan oleh pemerintah
dalam pelestarian perairan Nusa Lembongan adalah menetapkan zonasi atau pemintakatan
dalam suatu kawasan. Dalam RTDL Kawasan yang diusulkan sebelumnya, sebagai kawasan
lindung, wilayah perairan Nusa Lembongan perlu dibagi dalam beberapa zonasi untuk
memudahkan dalam pemanfaatan, pengawasan dan pelestariannya, misalnya, zona
penangkapan ikan, zona pariwisata, zona konservasi, dan zona penyangga. Zona konservasi
diperuntukkan khusus bagi wilayah perairan yang terumbu karang maupun hutan bakaunya
mengalami kerusakan, dimana pada zona ini tidak boleh diganggu oleh aktivitas masyarakat
maupun wisatawan. Dalam proses pembuatan RTDL Kawasan dan RTBL hendaknya
melibatkan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pariwisata, yang terdiri dari
pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
4.

Pembentukan Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal


Wilayah perairan Nusa Lembongan merupakan salah satu kunci yang harus tetap

terjaga kelestariannya karena merupakan daya tarik wisata yang utama di Nusa Lembongan,
di samping sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat Nusa Lembongan yang sebagian
besar adalah nelayan. Pelestarian wilayah perairan ini mencakup pelestarian pasir pantai,
terumbu karang, dan hutan mangrove. Meskipun kesadaran masyarakat sudah tinggi untuk
menjaga wilayah perairannya dan juga ditunjang dengan peraturan adat yang ada, tetapi tetap
membutuhkan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal yang khusus bertanggung
jawab untuk pengawasan, pengaturan dan pelestarian di kawasan perairan. Beberapa bentuk
pengawasan yang diusulkan kepada lembaga ini, antara lain:
a. Pengawasan terhadap wisatawan yang melakukan aktivitas wisata di kawasan
mangrove Nusa Lembongan.
18

b. Pelaporan pengambilan kayu mangrove terutama untuk kepentingan rumah tangga


ataupun patok rumput laut kecuali atas pertimbangan tertentu, misalnya kayunya
sudah tua dan tumbuhnya tidak bagus.
c. Bekerja sama dengan polisi pamong praja untuk menangkap pelaku tindakan
pelanggaran di wilayah perairan yang bersangkutan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh lembaga ini dalam pengaturan aktivitas dan
pelestarian di perairan Nusa Lembongan adalah:
a. Ikut serta memberikan andil dalam pengembangan kepariwisataan di Nusa
Lembongan, terutama bagi investor yang bidang usahanya memanfaatkan kawasan
hutan bakau di Nusa Lembongan.
b. Membuatkan kode etik bagi wisatawan yang hendak berkunjung dan beraktivitas
di kawasan mangrove, baik melalui para pemandu wisata, pimpinan tour,
penyelenggara wisata bahari, maupun dengan pembuatan papan pengumuman di
masing-masing daya tarik wisata yang ada.
c. Lebih menggalakkan kegiatan-kegiatan yang bertajuk kebersihan lingkungan,
pemeliharaan lingkungan, dan pelestarian lingkungan.
d. Menyadarkan masyarakat dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan ke desadesa atau ke banjar-banjar mengenai peranan penting hutan mangrove bagi
kelangsungan hidup masyarakat pesisir khususnya bagi masyarakat Nusa
Lembongan.
e. Membina masyarakat melalui berbagai pelatihan yang berkaitan dengan kegiatan
pemandu wisata, pengelolaan, dan teknik rehabilitasi mangrove.
f. Mengadakan pertemuan rutin dengan stakesholders terkait permasalahan yang
terjadi di lapangan.
g. Mengadakan inhouse training bagi semua usaha yang ada di Nusa Lembongan.
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, LSM lokal ini sebaiknya dilengkapi
juga dengan orang-orang yang profesional di bidangnya (pariwisata, lingkungan, pertanian,
kelautan dan kehutanan), sarana yang lengkap dan canggih, misalnya perahu yang baik untuk
mengejar para pelaku kejahatan, dan ketrampilan berbahasa asing agar nantinya juga mampu
memberikan informasi yang benar dan akurat kepada wisatawan yang ingin mengetahui lebih
banyak tentang lingkungan di Nusa Lembongan.

19

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerapatan hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung
didominasi dengan kerapatan sedang, dengan luas 736.000 m 2, dari total luas kawasan
mangrove Nusa Lembongan, yakni 202 hektar. Jenis mangrove di Nusa Lembongan sangat
beragam. Pada zona depan disusun oleh jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata dan
Sonneratia alba. Permasalahan utama yang terjadi saat ini adalah banyaknya mangrove yang
mengalami kerusakan atau telah hilang sama sekali karena aktivitas manusia seperti konversi
lahan mangrove, penebangan liar, pembangunan dikawasan pesisir dan polusi yang berasal
dari daratan. Untuk melindungi mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut
penting lainnya di kecamatan Nusa Penida yang bermanfaat bagi masyarakat, maka saat ini
dilakukan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida. Rehabilitasi
mangrove tidak selalu harus dengan penanaman, sebab setiap pohon mangrove mampu
menghasilkan ratusan ribu benih pertahun. Dengan kondisi hidrologi yang cocok, biji atau
buah mangove ini dapat tumbuh sendiri, sebagaimana mereka tumbuh sebelumnya, sehingga
dapat kembali membentuk koloni secara normal. Adapun strategi rehabilitasi yang dapat
dilakukan yakni memahami autekologi, memahami pola hidrologinya, meneliti faktor yang
dapat menghambat regenerasi alaminya, melakukan kerja sama dengan masyarakat, LSM, dan
pemerintah, membuat desain restorasi hidrologi, pengelolaan limbah padat dan cair, dan
penyusunan rencana tata ruang pemanfaatan.

B. Saran
Rehabilitasi Kawasan Hutan Mangrove di Nusa Lembongan harus dilaksanakan secara
berkelanjutan dengan pendekatan yang mengutamakan keseimbangan ekologi, ekonomi,
sosial dan budaya.

20

DAFTAR PUSTAKA

Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN, Bangkok, Thailand.


Bengen, D.G.,. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Berwick, N.L. 1983. Guidelines for Analysis of Biophysical Impact to Tropical Coastal
Marine Resources. The bombay natural history society
conservation in developing countries-problems and

centenary seminar

prospects, Bombay: 6-10

December 1983.
FAO. 2007. The Worlds Mangroves 19802005. Forest Resources Assessment Working
Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Ghufran, Muhammad, 2012. Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. Jakarta :
Kusuma, Cecep.2009.Pengelolaan Hutan Mangrove secara Terpadu.Departemen Silvikultur.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Macnae, W. 1968. A General Account of The Fauna and Flora of Mangrove Swamps and
Forests in The Indowest-Pacific Region. Adv. Mar. Biol. 6: 73 - 270.
Nontji, Anugerah, 2005. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta.
PT. Rineka cipta
Setiawan, F. dkk. 2007. Pemetaan Luas Kerapatan Hutan Mangrove sebagai Kawasan
Konservasi Laut di Nusa Lembongan, Bali Menggunakan Citra Satelit ALOS.
Universitas Padjajaran. Bandung.
Snedaker, S.C. 1978. Mangroves: Their Value and Perpetuation. Nature and Resources. 14 :
6-13.
Suradnya, W. 2005. Studi Potensi Dan Upaya Pelestarian Kawasan Hutan Mangrove Di Nusa
Lembongan. Tesis S2 Program Studi Ilmu Lingkungan. Universitas Udayana. Bali.
Triyanto, P.A. dan Brown B. 2008. Restorasi Mangrove Berwawasan Lingkungan. Mangrove
Action Project. Yogyakarta.
Welly, M. dkk. 2010. Identifikasi Flora dan Fauna Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan.
Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah 1. Bali.
www.dishut.baliprov.go.id. diakses tanggal 16 Maret 2015
www.klungkungkab.go.id. diakses tanggal 16 Maret 2015

21

Pembagian Tugas
1. Carissa Paresky Arisagy
Job

: Cover, Daftar Isi, Kata Pengantar, Abstrak, Pembahasan, Penutup, Finishing

2. Tri Yoga Desi Amanta


Job

: Pendahuluan, Daftar Pustaka

3. Ari Setyobudi
Job

: Tinjauan Pustaka, Daftar Pustaka

4. Wampani Sidik
Job

: Pembahasan, Daftar Pustaka

5. Gina Maulida Kardi\


Job

: Pembahasan, Daftar Pustaka

6. Ratna Wulandari
Job

: Pembahasan, Daftar Pustaka

22

Anda mungkin juga menyukai