Anda di halaman 1dari 3

Keadilan organisasional sudah diteliti secara intensif dalam bidang studi ilmu

manajemen, psikologi terapan dan perilaku organisasi. Folger dan Cropanzano (1998),
mendefinisikan organizational justice sebagai sebuah kondisi para pekerja yang dimana individu
tersebut percaya apakah mereka diperlakukan secara adil atau tidak oleh organisasi mereka. Studi
literatur lebih lanjut menjelaskan keadilan sebagai motivasi terpenting pada orang yang
bekerja Saat individu merasakan ketidakadilan, moral mereka akan menurun, mereka
cenderung akan berhenti dari pekerjaan mereka, dan mereka mungkin akan membalas terhadap
organisasi.
Meskipun banyak penelitian bidang manajemen dan psikologi yang menjelaskan
pentingnya keadilan organisasional, hanya sedikit studi yang melibatkan keadilan organisasional
dalam literatur akuntansi. Pengecualian terhadap Libby (1999) dan Lindquist (1995) yang
meneliti keadilan organisasional dalam konteks partisipasi penganggaran (participation budget).
Siegel, Reinstein dan Miller (2001) menelusuri hubungan antara keadilan organisasional dan
mentoring di kantor akuntan publik, sedangkan Ehlen dan Welker (1996) memeriksa hubungan
antara keadilan organisasional dan penerimaan terhadap kewajiban review berjenjang dalam
kantor akuntan publik.
Konsep keadilan organisasional kemungkinan menawarkan riset di bidang akuntansi dan
wawasan yang berharga pada beberapa area termasuk tingkat perputaran pada kantor akuntan
publik.
Isu Ketidakadilan yang diteliti dalam makalah ini melibatkan alokasi rewards dari
organisasi seperti upah dan promosi. Studi sebelumnya menyarankan, dalam menentukan siapa
yang mendapat rewards, sebuah isu keadilan menjadi suatu hal yang konsisten pada setiap
keputusan tiap individu. Dalam kata lain, apakah standar yang sama berlaku pada tiap individu?
Apakah pembuat keputusan memperlihatkan hal yan bias? Menurut kerangka teoritis dalam
makalah ini, saat karyawan dalam suatu kantor akuntan merasa bahwa kantornya melakukan
sesuatu yang bias, konsekuensi negatif yang mungkin timbul adalah dapat menurunkan
komitmen dalam organisasi, penurunan kepuasan bekerja, dan perputaran karyawan yang tinggi.
Pengembangan Teoritis
Organizational justice melibatkan persepsi dari anggota sebuah organisasi mengenai
keadilan terkait kondisi suatu karyawan (Folger & Cropanzano, 1998). Dalam konteks ini secara
teori dibagi menjadi dua tipe keadilan yaitu, prosedural dan distributive. Keadilan prosedural

melibatkan keadilan dalam proses dan prosedur dimana alokasi keputusan dibuat. Keadilan
distributif melibatkan keadilan dalam alokasi outcome yang didasarkan pada teori ekuitas
(Adams, 1965).
Menurut keadilan prosedural, menurut studi Leventhal (1980), mengidentifikasi aturan
keadilan yang digunakan oleh individu dalam mengevaluasi kewajaran suatu prosedur alokasi
dalam kelompok sosial. Dengan demikian, prosedur alokasi yang digunakan untuk menentukan
siapa yang mendapatkan rewards sosial harus konsisten di seluruh individu dan dari waktu ke
waktu. Untuk menjamin konsistensi, ''perlu untuk menerapkan prosedur yang sama bagi semua
calon penerima penghargaan, dan tidak memberikan keuntungan khusus ke siapapun.
Salah satu penjelasan mengapa keadilan prosedural penting untuk individu dalam
organisasi adalah kelompok model nilai (value model) yang pertama diusulkan oleh Tyler dan
Lind (Lind & Tyler, 1988; Tyler & Lind, 1992). Dasar model ini adalah keyakinan bahwa
manusia adalah makhluk sosial bawaan; berkelanjutan, keanggotaan dalam kelompok sosial yang
relevan dan menawarkan imbalan psikologis yang penting. Individu dalam kelompok berusaha
untuk dihargai dan diterima oleh kelompok karena ini meningkatkan harga diri individu dan nilai
diri. Penolakan oleh kelompok menunjukkan bahwa orang tersebut mempuyai nilai kurang dari
anggota kelompok lainnya.
Hipotesis
H1

: Diskriminasi yang dirasakan dalam alokasi keputusan berhubungan negatif dengan

H2

kepuasan bekerja
: Diskriminasi yang dirasakan dalam alokasi keputusan berhubungan negatif dengan

H3

komitmen organisasional.
: Diskriminasi yang dirasakan dalam alokasi keputusan berhubungan dengan turnover
intentions.

Metode
Pengumpulan data

: Studi ini menyurvei akuntan di kantor akuntan publik besar. Manajer


sumber daya manusia di tiap kantor Big Five pada kota-kota besar di
Canada dihubungi saat pembagian survei. Tiga dari Lima kantor
akuntan setuju untuk turut berpatisipasi pada studi.

Pengukuran

: Variabel pengukuran pada studi ini termasuk turnover intention,


perceived discrimination, organizational commitment, dan job

satisfaction.
Kesimpulan
Penelitian ini mengusulkan bahwa, dalam alokasi rewards organisasi, konsistensi tiap
individu adalah masalah keadilan yang penting. Hasil sampel dari beberapa kantor akuntan yang
besar mengungkapkan bahwa persepsi bias dalam keputusan alokasi berhubungan dengan
kepuasan rendah kerja, komitmen organisasi yang rendah, dan keinginan berpindah (turnover)
yang tinggi. Hasil ini melibatkan turnover mungkin sangat penting untuk mengelola kantor
akuntan mengingat tingginya biaya perekrutan dan pelatihan staf akuntan.
Inkonsistensi pada tiap individu juga mungkin memiliki konsekuensi negatif lainnya bagi
kantor akuntan seperti kinerja yang lebih rendah. Menurut Konovsky dan Cropanzano (1991),
beberapa studi melaporkan bukti yang menunjukkan bahwa keadilan organisasi terkait dengan
kinerja. Dubinsky dan Levy (1989) berpendapat, dengan menggunakan pendekatan teori harapan
(expectancy theory), bahwa ketimpangan organisasi mengurangi motivasi individu dengan
mengurangi ''instrumentality'', probabilitas bahwa kinerja yang lebih tinggi menyebabkan
rewards yang lebih besar. Memperluas argumen ini, bias dalam alokasi rewards organisasi dapat
melemahkan hubungan kinerja/reward yang dapat mengakibatkan motivasi menjadi rendah dan
kinerja rendah.
.

Anda mungkin juga menyukai