Anda di halaman 1dari 6

MUATAN PORNOGRAFI DALAM BUKU PELAJARAN SEKOLAH DASAR

Orang tua siswa beberapa SD di Kota Bogor diresahkan dengan beredarnya buku pelajaran
Bahasa Indonesia kelas VI yang mengandung unsur pornografi. Buku yang berjudul 'Aku Senang
Bahasa Indonesia' tersebut merupakan terbitan CV. Graphia Buana yang disusun oleh Ade Khusnul
dan M. Nur Arifin edisi cetakan pertama Maret 2013. Permasalahannya adalah di dalam buku
pendamping pelajaran Bahasa Indonesia tersebut terdapat sebuah cerpen berjudul "Anak Gembala
dan Induk Serigala", tetapi muatan yang ditampilkan adalah cerita dewasa yang tidak layak untuk
dibaca siswa SD. Sehingga pada tanggal 10 Juli 2013, sejumlah orang tua siswa melaporkan
penemuan buku tersebut ke Dinas Pendidikan Kota Bogor. Buku pelajaran tersebut ditemukan di
antaranya di SDN Polisi IV dan Gunung Gede, Kota Bogor, Jawa Barat. Cerita Anak Gembala dan
Induk Serigala dimuat dari halaman 55 hingga 60 di dalam buku pelajaran tersebut. Tetapi, pada
halaman 57 hingga 60 terdapat kalimat-kalimat yang mengandung pornografi seperti yang dikutip
dari Tempo.co berikut:
Dari tempat hina di dunia ini, warung remang-remang tempat dia menjajakan badan ...
Jakunnya bergerak turun naik melihat kemolekan perempuan itu... Akhirnya terjadilah
peristiwa yang merenggut kegadisannya, sekaligus menimbulkan tumbuhnya janin di
perutnya...
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor, Fetty Qondrasyah
mengambil kebijakan untuk secepatnya menarik buku tersebut. Setelah menerima laporan dari
orang tua siswa, Disdik Kota Bogor berinisiatif untuk mengumpulkan seluruh kepala sekolah dan
memberikan surat edaran agar sekolah tidak menggunakan buku tersebut sebagai buku tambahan
pelajaran. Pada dasarnya, pihak Disdik juga telah melarang sekolah melakukan jual-beli buku
pelajaran, karena buku pelajaran pokok sudah diberikan secara gratis melalui sekolah. Namun ada
kelonggaran yang diberikan oleh Disdik Kota Bogor, yaitu jika pihak sekolah ingin menggunakan
buku tambahan diperbolehkan, namun harus sepengetahuan dan seleksi dari Disdik Kota Bogor.
Dalam kasus ini, sekolah-sekolah yang terkait dengan buku bermasalah tersebut tidak berkonsultasi
terlebih dahulu dengan Disdik ketika akan menggunakan buku tambahan, hingga pada akhirnya
menimbulkan keresahan di masyarakat.
Kasus buku bermasalah ini kemudian disampaikan kepada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud). Hari Kamis, tanggal 11 Juli 2013, Inspektur Jenderal Kemdikbud
Haryono Umar memberikan pernyataan bahwa Kemdikbud sudah membentuk tim pencari fakta
terkait buku teks Sekolah Dasar di Kota Bogor yang mengandung muatan pornografi. Haryono
menegaskan bahwa tanggung jawab peredaran buku teks Sekolah Dasar sebenarnya ada di

pemerintah daerah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M. Nuh bahkan menyatakan
bahwa buku yang beredar di pasaran semacam itu tidak ada yang bertanggung jawab, sehingga
pihaknya memerintahkan Disdik Kota Bogor untuk meminta penerbit terkait menarik buku tersebut
dari peredaran. Mendikbud juga meminta Disdik setempat untuk menjatuhkan sanksi kepada
penerbit dan sekolah setempat akibat kelalaiannya, karena penarikan dari peredaran dan penjatuhan
sanksi tersebut ada di tingkat dinas setempat.
Tanggapan lainnya berasal dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang meminta
Disdik Kota Bogor menyelidiki motif di balik pemuatan cerita tersebut. Jika terbukti ada unsur
kesengajaan, Disdik bisa memberi sanksi kepada penerbit untuk tidak boleh lagi mencetak bukubuku pelajaran sekolah. Sekretaris KPAI, Maria Advianti, menegaskan bahwa sanksi ini diperlukan
karena kasus buku pelajaran yang bermuatan pornografi bukan hanya sekali ini terjadi. Kasus
serupa pernah ditemukan di beberapa daerah seperti Solo, Kudus, Mojokerto, Kebumen,
Majalengka, dan Kolaka. KPAI berharap Kemdikbud mengambil langkah tegas sesuai Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 atau kebijakan lain terkait pengawasan
penerbitan dan peredaran buku pelajaran sekolah. Selain itu, KPAI juga meminta sekolah aktif
menyeleksi buku-buku pelajaran yang akan dibaca siswanya.
CV. Graphia Buana adalah perusahaan yang bergerak di industri percetakan buku yang
beralamat di Jalan Tumegung Wiradireja, Cimahpar, Kota Bogor. Penerbit ini sudah mencetak
10.000 buku Bahasa Indonesia yang 8.000 eksemplar di antaranya telah disebar dan 2000 eksemplar
sisanya tersimpan di gudang. Pihak sekolah kemudian menginstruksikan kepada wali murid kelas
VI untuk mengembalikan buku paket Bahasa Indonesia yang telah dibeli setelah diketahui buku
tersebut mengandung unsur porno atau vulgar. Menurut perwakilan dari SDN Polisi IV, Sutisna,
dari 170-an siswa kelas VI di sekolahnya, baru 26 orang tua siswa yang membeli buku pelajaran
tersebut dari agen. Salah satu staf CV. Graphia Buana, Andi, menyatakan bahwa pihak penerbit
sudah menarik buku-buku tersebut dan akan mengganti uang orang tua siswa yang telah membeli
buku tersebut. Sebanyak 4.200 dari 8.000 eksemplar buku pelajaran Bahasa Indonesia kelas VI SD
dan MI yang bermasalah itu telah ditarik.
Juru bicara CV. Graphia Buana, Dede Syamsul Anwar, menjelaskan bahwa meski pihaknya
mengakui bahwa isi buku pelajaran tersebut bermasalah, kesalahan tidak dapat dialamatkan pada
mereka. Menurutnya, kesalahan sepenuhnya ada pada penulis, seperti dikutip dari pernyataannya
pada tanggal 11 Juli 2013:
Buku ini kejar tayang, kami menerima bahan dari penulis empat bulan sebelum tahun
ajaran baru. Idealnya, proses penerbitan buku itu penulis harus menyerahkan satu tahun
sebelumnya.

Kami tidak punya kewenangan untuk mendalami, mengedit, dan mengubah isi buku.
Semua isi buku merupakan kewajiban dan kewenangan penulis. Mereka juga sebagai
editor.
Dilihat dari pernyataan di atas, pihak penulis terburu-buru dalam membuat buku pelajaran
yang diminta oleh penerbit. Karena keterbatasan waktu tersebut, penulis mengambil jalan pintas
dengan mencatut sebuah cerita pendek dari blog pribadi milik Dedy Tri Riyadi yang juga berjudul
Anak Gembala dan Induk Serigala. Namun cerita pendek milik Dedy tersebut berisi tentang kisah
korban pemerkosaan yang kemudian hamil dan berjuang menghidupi anaknya. Cerita tersebut jelas
tidak sesuai untuk dimuat di dalam buku pelajaran tingkat dasar.
Berdasarkan pernyataan Dede, Penerbit CV. Graphia dan penulis sudah dua tahun bekerja
sama dalam penerbitan buku. Buku "Aku Senang Belajar Bahasa Indonesia" yang ditulis Ade
Khusnul dan M Nur Arifin tersebut memang tidak ada rekomendasi dari pemerintah atau dinas
terkait. Selanjutnya, pihak penulis menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan dalam penyajian
materi yang tidak sesuai dengan etika pembelajaran siswa SD tersebut. Penulis juga meminta CV
Graphia Buana untuk menarik buku dari peredaran dan akan merevisi materi tersebut sehingga
menjadi layak untuk digunakan sebagai bahan ajar di sekolah. Buku yang sudah terbit tersebut
selanjutnya akan dimusnahkan.
Tanggal 15 Juli 2013, Harian Radar Bogor memasang iklan permintaan maaf dari CV.
Graphia Buana. Namun sejumlah orang tua siswa berpendapat dengan memasang permintaan maaf
di media cetak, tidak berarti permasalahan CV Graphia Buana atas buku tersebut telah selesai.
Menurut mereka, polisi dan Kemdikbud harus turun tangan memeriksa kasus ini. Karena apabila
tidak ada tindakan, kasus serupa akan terjadi lagi tanpa adanya kekhawatiran dari pihak penerbit
untuk mendapatkan sanksi.
Celah peraturan pengadaan buku di sekolah membuat para penerbit saling bersaing
mendekati pihak sekolah dan guru. Tujuannya agar sekolah-sekolah menggunakan buku dari
penerbit tertentu. Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk), Ramon Mohandas
menyatakan:
Dari informasi yang saya dapat, penerbit atau agen datang ke sekolah-sekolah mengimingimingi sekolah dengan berbagai macam bentuk. Ada keuntungan 30-50 persen dari harga
jual buku, hadiah macam-macam, jalan-jalan ke Bali, bahkan hingga luar negeri, seperti
Thailand atau Singapura.
Praktek-praktek ini terjadi karena memang ada ruang yang memungkinkannya. Aturan mengenai
penggunaan buku di sekolah diatur dalam Peraturan Mendiknas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku.
Peraturan tersebut menyebutkan bahwa buku pelajaran yang digunakan di sekolah harus melalui
penilaian terlebih dahulu oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan/atau tim ahli yang

dibentuk Menteri. Namun, ada klausul di Pasal 5 ayat (2) yang menyebutkan dalam hal buku yang
ingin diadakan sekolah belum dinilai BSNP, maka sekolah boleh menentukan buku sendiri. Hal ini
terkait juga dengan kewenangan sekolah dalam kurikulum 2006 yang menyebutkan bahwa tugas
guru di antaranya adalah menyusun silabus. Karena guru diberi hak menyusun silabus, guru pun
diberi kewenangan untuk menentukan buku pelajaran yang ingin digunakan. Kewenangan inilah
yang membuat penerbit dapat langsung datang ke sekolah, dan sekolah tidak lagi mengawasi isi
buku, seperti dalam kasus buku terbitan CV Graphia Buana. Hal ini juga mendapat tanggapan dari
pengamat pendidikan, Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd, yaitu:
Sebelum buku tersebut digunakan sebagai buku pelajaran, biasanya dibaca dahulu oleh
lembaga perbukuan nasional yang ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun masalahnya, terkadang guru tersebut ada yang berinisiatif menggunakan buku
pelajaran sendiri. Guru harus menjadi benteng terakhir dalam proses belajar-mengajar.
Sebelum mengajar, guru harus terlebih dahulu membaca buku tersebut. Jika ada materi
yang tidak cocok, seharusnya guru mencoretnya dan tidak diajarkan.
Kurang tegasnya peraturan tentang perbukuan di Indonesia menyebabkan keraguan pihakpihak yang seharusnya dapat mengambil tindakan atas kasus buku tersebut. Baik Kemdikbud dan
Disdik Kota Bogor sama-sama merasa tidak mempunyai kewenangan untuk menerapkan sanksi
yang tegas kepada sekolah maupun penerbitnya. Namun permasalahan kewenangan ini diharapkan
akan segera berakhir dengan disetujuinya Rancangan Undang-undang (RUU) Usul Inisiatif Komisi
X DPR RI tentang Sistem Perbukuan menjadi RUU Inisiatif DPR RI pada Sidang Paripurna DPR
tanggal 3 Juli 2014. RUU Sistem Perbukuan memuat 94 pasal yang mengatur seluruh tahapan
dalam sistem perbukuan. Mulai dari penulisan naskah dan pencetakan hingga penerbitan, distribusi,
penggunaan dan pengadaan. Jika RUU ini telah menjadi peraturan yang resmi digunakan untuk
menertibkan peredaran buku, diharapkan tidak ada lagi bisnis buku pelajaran yang bermasalah
antara penerbit dan sekolah.

Albert Stefianus Hartoto (373327)


Business Ethics
Case 1 : Muatan Pornografi Dalam Buku Pelajaran Sekolah Dasar
Case 2 : Dilema Penelitian IPB Terhadap Susu Formula Terkontaminasi Enterobacter Sakazakii
Pertanyaan
1. Apakah permasalahan systemic, corporate, dan individual yang terjadi di dalam kasus ini?
2. Apakah CV. Graphia Buana bertanggung jawab secara moral terhadap penerbitan buku Aku
Senang Bahasa Indonesia, meskipun menurut CV. Graphia Buana, kesalahan terletak pada
penulis buku tersebut?
3. Evaluasi cara kerja CV. Graphia Buana dalam menerbitkan buku pelajaran Bahasa
Indonesia tersebut. Apakah tindakan CV. Graphia Buana dan penulisnya etis dalam
pandangan utilitarianism, rights, justice, dan caring? Apakah praktek penjualan
buku oleh penerbit seperti yang disebutkan oleh Ramon Mohandas termasuk
penyuapan (bribery)? Jelaskan!
1. Systemic : Kurangnya undang-undang tentang sistem perbukuan sehingga terdapat
celah untuk berbuat kecurangan dalam memproduksi buku.
Corporate : pihak CV. Graphia Buana yang tidak mengkoreksi lagi apakah terdapat
hal-hal yang tidak cocok dengan isi buku yang akan di produksi.
Individual : penulis tidak mengkoreksi hasil tulisannya sehingga berdampak buruk
terhadap pembaca nya dengan menampilkan bacaan yang tidak sesuai umur dari isi
bacaan.

2. Ya, karena seharusnya pihak penerbit juga melakukan koreksi terlebih dahulu
sebelum buku diterbitkan dan ini merupakan kelalaian dari pihak penerbit maka
dapat dikatakan CV. Graphian Buana juga turut bertanggung jawab moral, jika
dilakukan tidak akan terjadi hal-hal seperti itu.

3. Utilitarian : tidak etis karena merupakan tindakan lalai yang menyebabkan tidak
efisien dalam produksi buku, buku yang seharusnya tersalur dan bermanfaat dengan
baik, ditarik kembali dan menyebabkan kerugian bagi perusahaan karena lalai dalam
koreksi tentang isi buku yang melenceng dari pokok bahasan.
Rights : tidak etis karena melanggar hak konsumen dalam memperoleh barang yang
dibeli, konsumen mengeluarkan biaya dan tidak mendapatkan barang tepat atau yang

diinginkan oleh konsumen tersebut.


Justice : tidak etis karena perusahaan mendapat keuntungan dari penjualan
sedangkan masyarakat mendapat kerugian dari akibat kelalaian penulis dan penerbit
dalam menerbitkan buku pelajaran yang berisi pornografi yang tidak layak dibaca
oleh anak SD.
Care : perusahaan hanya mementingkan keuntungan dengan mengejar deadline
untuk tahun ajaran baru dan tidak memikirkan dampak yang diterima oleh
masyarakat akibat kelalaian mereka dalam menerbitkan buku pelajaran tersebut.
Dari informasi yang ada saya berpendapat bahwa mungkin terjadi bribery dalam
penjualan buku tersebut karena buku tersebut tidak pernah direkomendasikan oleh
pemerintah setempat untuk digunakan dalam kurikulum pembelajaran yang
seharusnya sama diseluruh daerah. Dan jika yang terjadi demikian maka pihak
sekolah juga harus bertanggung jawab secara moral terhadap tindakannya yang
membiarkan buku tersebut terjual dan dibaca oleh anak SD yang belum layak
mendapatkan bacaan seperti itu.

Anda mungkin juga menyukai