PENDAHULUAN
I. Pendahuluan
Tenggelam merupakan kasus gawat darurat, termasuk penyebab kematian utama
kecelakaan pada anak, dan memerlukan pertolongan cepat di tempat kejadian, kemudian
dilanjutkan dengan perawatan secara intensif. Secara umum, di dunia, sekitar 500.000
orang
tenggelam
setiap
tahunnya.
kejadian
tenggelam
pada
anak
sekitar
4,6/100.000/tahun.
Kematian terjadi 32,8/100 korban tenggelam, 5-12% korban yang berhasil
bertahan hidup mengalami kerusakan neurologis berat yang permanen. Awalnya, kasus
tenggelam (immersion/drowning) dan hampir tenggelam (submersion/near drowning)
dianggap sama dengan keadaan tenggelam (drowning). Akibat terpenting peristiwa
tenggelam/hampir tenggelam adalah hipoksia, sehingga oksigenisasi, ventilasi, dan
perfusi harus dipulihkan secepat mungkin. Hal ini memerlukan tindakan resusitasi
jantung paru dan layanan kegawatdaruratan medis. Terapi resusitasi inisiasi di tempat
kejadian sebelum sampai di rumah sakit dilanjutkan respons cepat dan tatalaksana agresif
tim ruang gawat darurat dan ruang intesif rumah sakit mereduksi mortalitas karena
gangguan kardiorespiratori akibat tenggelam. Kerusakan neurologis karena hipoksemia
dan iskemia menjadi penyebab mortalitas dan morbiditas jangka panjang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Tenggelam (drowning) adalah kematian akibat asfiksia yang terjadi dalam 24 jam
setelah peristiwa tenggelam di air, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah
korban masih dalam keadaan hidup lebih dari 24 jam setelah peristiwa tenggelam di air.
Jadi, tenggelam (drowning) merupakan suatu keadaan fatal, sedangkan hampir tenggelam
(near drowning)mungkin dapat berakibat fatal.
Tenggelam (drawning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi cairan ke
dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke dalam cairan,
sedangkan Hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi tubuh
akibat tenggelam tetapi tidak terjadi kematian (Onyekwelu, 2008).
Near Drowning adalah suatu keadaan tenggelam di dalam air atau media cair
lainnya, dimana korban dapat bertahan hidup dalam 24 jam pertama. Drowning adalah
korban tidak dapat bertahan dalam 24 jam Golden et all ( 1977 ).
2.2 PENYEBAB
Near drowning terjadi ketika korban tidak dapat bernafas dalam air dalam periode
waktu tertentu. Selama tenggelam, intake oksigen akan mengalami penurunan dan sistem
utama tubuh dapat berhenti akibat kekurangan oksigen. Dalam beberapa kasus terutama
yang terjadi pada anak, hal ini dapat terjadi dalam hitungan detik sedangkan pada dewasa
terjadi lebih lama. Sangat penting untuk diingat bahwa selalu ada kemungkinan untuk
menyelamatkan seseorang yang tenggelam walaupun dalam waktu cukup lama.
Tenggelam bisa disebabkan oleh :
a. Terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obat-obatan
b. Ketidakmampuan akibat hipotermia, syok, cedera, atau kelelahan
c. Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang
d. Perahu atau kapal tenggelam
e. Terperangkap atau terjerat di dalam air
f. Bunuh diri atau ditenggelamkan dengan paksa oleh orang lain dengan tujuan
membunuh, kekerasan atau permainan di luar batas
g. Kurangnya pengawasan pada anak
2.3 MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinik korban tenggelam sangat bervariasi berhubungan dengan
lamanya tenggelam. Conn dan Barker mengembangkan suatu klasifikasi (dikutip oleh
Aoky By) yang dianggap bermanfaat untuk pedoman penilaian dan pengobatan pasien
tenggelam. Klasifikasi ini berdasarkan status neurologis dan sangat berguna bila
digunakan dalam 10 menit pertama.
KATEGORI A
KATEGORI B
KATEGORI C
(Awake)
(Blunted)
(Comatase)
Sadar
(GCS
sianosis,
15)
apnoe
tetapi
setelah
Stupor
Respons
kembali
dapat
bernapas
Distress pernapasan,
sianosis
spontan
Koma
Respons
rangsangan
dilakukan
pertolongan
terhadap
Hipotermi ringan
Perubahan
radiologis pada dada
terhadap
nyeri
Apnoe
Hipotermi
Laboratorium
asidosis metabolik,
Perubahan
radiologis
ringan
pada dada
Laboratorium
AGD
asidosis
Laboratorium
hiperkarbia,
AGD
hipoksemia,
asidosis
metabolik,
gangguan
hipoksemia,
ginjal
hiperkarbia
gangguan elektrolit
fungsi
akut,
metabolik,
hipoksemi
2) Air laut
2.5 PATOFISIOLOGI
Anak yang terbenam dengan spontan akan berusaha menyelamatkan diri secara
panik disertai berhentinya pernapasan (breath holding). 10 sampai 12% korban tenggelam
dapat langsung meninggal, dikenal sebagai dry drowing karena tidak dijumpai aspirasi air
di dalam paru. Mereka meninggal akibat asfiksia waktu tenggelam yang disebabkan
spasme laring. Spasme laring tersebut akan diikuti asfiksia and penurunan kesadaran serta
secara pasif air masuk ke jalan napas dan paru. Akibatnya, terjadilah henti jantung dan
kematian yang disertai aspirasi cairan dan dikenal sebagai wet drowning. Kasus seperti
ini lebih banyak terjadi, yakni 80 sampai 90%. Perubahan patofisiologi yang diakibatkan
oleh tenggelam, tergantung pada jumlah dan sifat cairan yang terhisap serta lamanya
hipoksemia terjadi. Setiap jaringan pada tubuh mempunyai respons yang berbeda-beda
terhadap hipoksemia dan kepekaan jaringan otak merupakan organ yang dominan
mengalami disfungsi sistem organ pada tubuh terhadap hipoksia.
Terhadap air laut atau air tawar akan mengurangi perkembangan paru, karena air
laut bersifat hipertonik sehingga cairan akan bergeser dari plasma ke alveoli. Tetapi,
alveoli yang dipenuhi cairan masih bisa menjalankan fungsi perfusinya sehingga
menyebabkan shunt intra pulmonary yang luas. Sedangkan air tawar bersifat hipotonik
sehingga dengan cepat diserap ke dalam sirkulasi dan segera didistribusikan. Air tawar
juga bisa mengubah tekanan permukaan surfaktan paru sehingga ventilasi alveoli menjadi
buruk sementara perfusi tetap berjalan. Ini menyebabkan shunt intrapulmonary dan
meningkatkan hipoksia. Di samping itu, aspirasi air tawar atau air laut juga menyebabkan
oedem paru yang berpengaruh terhadap atelektasis, bronchospasme, dan infeksi paru..
Perubahan kardiovaskuler yang terjadi pada korban hampir tenggelam terutama
akibat dari perubahan tekanan parsial (PaO2) dan keseimbangan asam basa. Sedangkan
faktor lain yang juga berpengaruh adalah perubahan volume darah dan konsentrasi
elektrolit serum. Korban hampir tenggelam kadang-kadang telah mengalami bradikardi
dan vasokonstriksi perifer yang intensif sebelumnya. Oleh sebab itu, sulit memastikan
pada waktu kejadian apakah aktivitas mekanik jantung terjadi. Bradikardi bisa timbul
akibat refleks diving fisiologis pada air dingin, sedangkan vasokonstriksi perifer bisa juga
terjadi akibat hipotermi atau peninggian kadar katekolamin. Aspirasi air yang masuk ke
paru dapat menyebabkan vagotonia, vasokonstriksi paru dan hipertensi. Air segar dapat
menembus membran alveolus dengan menghambat kerja surfaktan.
Hipoksia dan iskemia selama tenggelam akan terus berlanjut sampai ventilasi,
oksigenasi, dan perfusi diperbaiki. Sedangkan iskemia yang berlangsung lama bisa
menimbulkan trauma sekunder meskipun telah dilakukan resusitasi jantung paru yang
adekuat. Dedem cerebri yang difus sering terjadi akibat trauma sitotoksik yang
disebabkan oleh anoksia dan iskemia susunan syaraf pusat yang menyeluruh. Kesadaran
yang hilang bervariasi waktunya, biasanya setelah 2 sampai 3 menit terjadi apnoe dan
hipoksia. Kerusakan otak yang irreversible mulai terjadi setelah 4 sampai 10 menit
anoksia. Ini memberikan gambaran bahwa hipoksia mulai terjadi dalam beberapa detik
setelah orang tenggelam, diikuti oleh berhentinya perfusi dalam 2 sampai 6 menit. Otak
dalam suhu normal tidak akan kembali berfungsi setelah 8 sampai 10 menit anoksia
walaupun telah dilakukan tindakan resusitasi. Anoksia dan iskemia serebri yang berat
akan mengurangi aktivitas metabolik akibat peninggian tekanan intrakranial serta perfusi
serebri yang memburuk. Ini dipercayai menjadi trauma susunan saraf pusat sekunder.
Hampir sebagian besar korban tenggelam memiliki konsentrasi elektrolit serum
normal atau mendekati normal ketika masuk rumah sakit. Hiperkalemia bisa terjadi
karena kerusakan jaringan akibat hipoksemia yang menyeluruh. Pasien hampir tenggelam
setelah dilakukan resusitasi biasanya fungsi ginjal seperti albuminuria, Hb uria, oliguria,
dan anuria kemudian bisa menjadi nekrosis tubular akut.
AIR TAWAR
AIR LAUT
Hipotonik
Hipertonik
Hipervolemik
Hipovolemik
Hemodilusi
Hemokonsentrasi
Tabel 2. Perbedaan antara sifat air tawar dan air laut
alveolus paru-paru
hipervolemi
hemolisis
perubahan biokimiawi
fibrilasi ventrikel
anoksia cerebri
MENINGGAL
anoksia myocardium
Air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar sehingga terjadi
hemodilusi yang hebat sampai 72 persen yang berakibat terjadinya hemolysis, oleh
karena terjadi perubahan biokimiawi yang serius, dimana Kalium dalam plasma
meningkat dan Natrium berkurang, juga terjadi anoksia yang hebat pada myocardium.
Hemodilusi menyebabkan cairan dalam pembuluh darah atau sirkulasi menjadi
berlebihan, terjadi penurunan tekanan systole, dan dalam waktu beberapa menit terjadi
fibrilasi ventrike. Jantung untuk beberapa saat masih berdenyut dengan lemah, terjadi
anoksia cerebri yang hebat, hal ini yang menerangkan mengapa kematian terjadi cepat.
Tenggelam dalam Air Asin
inhalasi air asin
alveolus paru-paru
hemokonsentrasi
payah jantung
MENINGGAL
Terjadi hemokonsentrasi, cairan dari sirkulasi dapat tertarik keluar sampai sekitar
42 persen, dan masuk ke dalam jaringan paru-paru sehingga terjadi edema pulmonum
yang hebat dalam waktu relatif singkat. Pertukaran elekrolit dari air asin ke dalam darah
mengakibatkan meningkatnya hematokrit dan peningkatan kadar Natrium plasma.
Fibrilasi ventrikel tidak terjadi, namun terjadi anoksia pada myocardium dan disertai
peningkatan viskositas darah, akan menyebabkan terjadinya payah jantung. Tidak terjadi
anoksia dan fungsi normotermik otak tidak akan kembali setelah 8 10 menit
anoksia. Penderita yang tetap koma selama selang waktu tertentu tapi kemudian
bangun dalam
d. Perubahan Pada Ginjal
Fungsi ginjal penderita tenggelam yang telah mendapat resusitasi biasanya
tidak menunjukkan kelainan, tetapi dapat terjadi albuminuria, hemoglobonuria,
oliguria dan anuria. Kerusakan ginjal progresif akan mengakibatkan tubular
nekrosis akut akibat terjadinya hipoksia berat, asidosis laktat dan perubahan aliran
darah ke ginjal.
e. Perubahan Cairan dan Elektrolit
Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan tetapi
selalu menelan banyak cairan. Air yang tertelan, aspirasi paru, cairan intravena
yang diberikan selama resusitasi dapat menimbulkan perubahan keadaan cairan
dan elektrolit. Aspirasi air laut dapat menimbulkan perubahan elektrolit dan
perubahancairan karena tingginya kadar Na dan Osmolaritasnya. Hipernatremia
dan hipovolemia dapat terjadi setelah aspirasi air laut yang banyak. Sedangkan
aspirasi air tawar yang banyak dapat mengakibatkan hipervolemia dan
hipernatremia. Hiperkalemia dapat terjadi karena kerusakan jaringan akibat
hipoksia yang luas
2.7 TATALAKSANA
Banyak usaha yang dilakukan dalam mengembangkan protokol yang dapat
memperbaharui hasil penatalaksanaan pasien-pasien tenggelam. Namun, belum ada
pengobatan klinis yang lebih unggul dari penanganan supportif yang konvensional.
Belum ada pengobatan klinis yang unggul pada keadaan hipoksia selain tindakan
pencegahan dan resusitasi segera.
Resusitasi awal di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit korban tenggelam
harus difokuskan kepada menjamin oksigenasi, ventilasi, sirkulasi yang adekuat, tekanan
gasa darah arteri, keadaan asam basa, serta saluran napas harus bebas dari bahan muntah
dan benda asing yang dapat mengakibatkan abstruksi dan aspirasi. Penekanan perut tidak
9
boleh dilakukan secara rutin untuk mengeluarkan cairan di paru apabila tidak terbukti
efektif karena bisa meningkatkan risiko regurgitasi, aspirasi, dan kehilangan kontrol akan
memperberat trauma spinal. Kecepatan dan efektivitas dalam melaksanakan resusitasi ini
sangat menentukan kelangsungan hidup neuron-neuron korteks, khususnya pada pasienpasien yang sangat kritis. Transfer oksigen yang tidak efektif akibat fungsi paru yang
memburuk bisa mengakibatkan hipoksia yang lebih berat dan berlanjut karena kerusakan
organ yang multipel.
Otak adalah organ yang dituju dalam pengobatan. Pencegahan trauma otak pada
korban dilakukan dengan mengangkat korban dari air secepatnya dan resusitasi jantung
paru dasar harus dilakukan. Ini perlu segera dilakukan karena hipoksia dengan cepat
berkembang dalam beberapa detik ke keadaan apnoe. Oleh karena itu, apabila tidak
mungkin mengangkat korban dari air, secepatnya ventilasi mulut ke mulut harus
dilakukan segera setelah penolong menarik korban. Kemudian harus segera diberikan
oksigen inspirsi yang tinggi. Dukungan oksigen harus diberikan tanpa memandang
keadaan pasien. Apabila korban dicurigai mengalami trauma leher maka harus dibuat
posisi netral dan melindunginya dengan gips cervical (cervical colar).
Prinsip pertolongan di air :
a. Raih ( dengan atau tanpa alat ).
b. Lempar ( alat apung ).
c. Dayung ( atau menggunakan perahu mendekati penderita ).
d. Renang ( upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung ).
Penanganan Korban :
a. Pindahkan penderita secepat mungkin dari air dengan cara teraman.
b. Bila ada kecurigaan cedera spinal satu penolong mempertahankan posisi
kepala, leher dan tulang punggung dalam satu garis lurus. Pertimbangkan untuk
menggunakan papan spinal dalam air, atau bila tidak memungkinkan pasanglah
sebelum menaikan penderita ke darat.
c. Buka jalan nafas penderita, periksa nafas. Bila tidak ada maka upayakan untuk
memberikan nafas awal secepat mungkin dan berikan bantuan nafas sepanjang
perjalanan.
10
11
3. Jika memang ditempat kejadian ada peralatan atau sesuatu yang bisa
menarik korban ketepian dengan korban yang dalam keadaan sadar,
maka segera berikan kepada korban, seperti kayu atau tali, dan
usahakan menarik korban secepat mungkin sebelum terjadi hal yang
lebih tidak diinginkan. Setelah korban sampai ditepian segeralah
lakukan pemeriksaan fisik dengan terus memperhatikan ABC untuk
memeriksa apakah ada cedera atau hal lain yang dapat mengancam
keselamatan jiwa korban dan segera lakukan pertolongan pertama
kemudian kirim ke pusat kesehatan guna mendapat pertolongan lebih
lanjut.
4. Jika tidak ada peralatan atau sesuatu yang bisa menarik korban, maka
penolong bisa segera terjun ke air untuk menghampiri korban. Tapi
harus diingat, penolong memiliki kemampuan berenang yang baik dan
menghampiri korban dari posisi belakang korban.
5. Jika korban masih dalam keadaan sadar dan bisa ditenangkan, maka
segera tarik (evakuasi) korban dengan cara melingkarkan salah satu
tangan penolong pada tubuh korban melewati kedua ketiak korban
atau bisa juga dengan menarik krah baju korban (tapi ingat, hal ini
harus dilakukan hati-hati karena bisa membuat korban tercekik atau
mengalami gangguan pernafasan) dan segera berenang mencapai
tepian. Barulah lakukan Pertolongan Pertama seperti pada no. 3 di
atas.
6. Jika Korban dalam keadaan tidak tenang dan terus berusaha
menggapai atau memegang penolong, maka segera lumpuhkan korban.
Hal ini dilakukan untuk mempermudah evakuasi, kemudian lakukan
tindakan seperti no 5 dan kemudian no. 3 di atas.
12
untuk
melakukan evakuasi korban dari dalam air agar baik penolong maupun
korban dapat selamat.
Adapun tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Segera hampiri korban, namun tetap perhatikan keadaan sekitar untuk
menghindari hal yang tidak diingin terhadap diri penolong. Lakukan
evakuasi dengan melingkarkan tangan penolong ditubuh korban seperti
yang dilakukan pada no. 3 untuk korban sadar.
2. Untuk korban yang dijumpai dengan kondisi wajah berada di bawah
permukaan air (tertelungkup), maka segera balikkan badan korban dan
tahan tubuh korban dengan salah satu tangan penolong. Jika penolong
telah terlatih dan bisa melakukan pemeriksaan nadi dan nafas saat
menemukan korban, maka segera periksa nafas dan nadi korban. Kalau
nafas tidak ada maka segera buka jalan nafas dengan cara menggerakkan
rahang korban dengan tetap menopang tubuh korban dan berikan nafas
buatan dengan cara ini. Dan jika sudah ada nafas maka segera evakuasi
korban ke darat dengan tetap memperhatikan nafas korban.
3. Ketika penolong dan korban telah sampai ditempat yang aman (di darat),
maka segera lakukan penilaian dan pemeriksaan fisik yang selalu
berpedoman
pada
ABC.
Berikan
respon
kepada
korban
untuk
menyadarkannya.
4. Ketika respon ada dan korban mulai sadar, maka segera lakukan
pemeriksaan fisik lainnya untuk mengetahui apakah ada cedera lain yang
dapat membahayakan nyawa korban. Jika tidak ada cedera dan korban
kemudian sadar, berikan pertolongan sesuai dengan yang diperlukan
13
14
Sedangkan yang terjadi pada air tawar adalah sebaliknya yaitu hemodilusi,
sehingga harus diberi cairan yang bersifat hipotonis seperti NaCl 0,45%
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi
ventrikel dan monitoring
F (Fibrillation Treatment) : berupa DC Shock untuk menghilangkan
fibrilasi
erat
hubungannya
dengan
lama
hipoksia
yang
terjadi
dan
usaha
kita
menanggulanginya. Di samping itu, faktor lain yang dapat memperberat prognosa adalah
usia 3 tahun, lama tenggelam diperkirakan maksimal 10 menit, tidak ada restitusi
jantung paru dalam 10 menit setelah ditolong, koma ketika masuk ke ruang gawat
15
darurat. Untuk mencegah terjadinya gejala sisa pada korban hampir tenggelam maka
peranan pertolongan resusitasi jantung paru pada saat kejadian memegang peranan yang
sangat penting.
2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi adalah akibat dari keadaan hipoksia, aspirasi air ke dalam
paru dan infeksi yang terjadi setelahnya.
a. Ensefalopati Hipoksik : suatu keadaan di mana bagian otak tertentu yang
mengalami hipoksia saat tenggelam tidak dapat kembali ke fungsi normal atau
telah terjadi kerusakan yang permanen
b. Pneumonia aspirasi : merupakan kompliasi yang paling sering terjadi akibat
masuknya air ke dalam paru atau terhirupnya air saat pasien berusaha untuk
meyelamatkan diri. Bakteri maupun mikrorganisme lain yang ada di air akan
berkembang biak di dalam paru dan menyebabkan terjadinya infeksi
c. Gagal Ginjal : Fungsi ginjal penderita tenggelam yang telah mendapat resusitasi
biasanya tidak menunjukkan kelainan, tetapi dapat terjadi albuminuria,
hemoglobonuria, oliguria dan anuria. Kerusakan ginjal progresif akan
mengakibatkan tubular nekrosis akut akibat terjadinya hipoksia berat, asidosis
laktat dan perubahan aliran darah ke ginjal.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Onyekwelu E. (2008). Drowning and Near Drowning. Internet Journal of
Health 8(2).
2. John M. Field, Part 1 : executive summary: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. Circulation 2010;122;S640-S656.
3. Latief S.A. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI.
Jakarta. 2007
4. Hassan R. tenggelam dan hampir tenggelam. Dalam: Rusepno H, Arjatmo T,
Ed. Pengobatan Intensiva pada anak. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI, 1982; 7281.
5. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2007. Hal. 173-177.
6. Dzulfikar Dlh. Hampir Tenggelam (Near Drowning). Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit
Dr Hasan Sadikin. Bandung. 2011
17