Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM

PERTANIAN ORGANIK
KOMPOS

Oleh :
Nama

: Ni Wayan Priskara S.P

NIM

: 135040201111402

Kelas

:D

Kelompok : 3

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
MALANG
2016

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanian organik adalah sistem pertanian yang sedang dikembangkan dengan pesat
pada era sekarang. Hal ini dilatarbelakangi dengan masalah dimana semakin jenuhnya
pemberian pupuk yang berasal dari industri atau yang lebih dikenal dengan pupuk kimia.
Pemberian pupuk kimia yang berlebihan akan menyebabkan tanah semakin kering,
semakin miskin kandungan hara organik yang pada akhirnya merugikan petani dan
pertanian saat ini. Atas dasar itulah diperlukan upaya dalam peningkatan kebutuhan bahan
organik bagi tanaman. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan sisa-sisa bahan
organik unuk diolah menjadi kompos.
Kompos merupakan hasil dari pelapukan bahan-bahan berupa dedaunan, jerami,
kotoran hewan, sampah kota dan sebagainya. Proses pelapukan bahan-bahan tersebut
dapat dipercepat melalui bantuan manusia. Secara garis besar membuat kompos berarti
merangsang pertumbuhan bakteri (mikroorganisme) untuk menghancurkan atau
menguraikan bahan-bahan yang dikomposkan sehingga terurai menjadi senyawa lain.
Proses yang terjadi adalah dekomposisi, yaitu menghancurkan ikatan organik molekul
besar menjadi molekul yang lebih kecil, mengeluarkan ikatan CO 2 dan H2O serta
penguraian lanjutan yaitu transformasi ke dalam mineral atau dari ikatan organik menjadi
anorganik. Proses penguraian tersebut mengubah unsur hara yang terikat dalam senyawa
organik yang sukar larut menjadi senyawa organik yang larut sehingga dapat
dimanfaatkan oleh tanaman. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses
alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat
campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan
penambahan aktivator pengomposan.
Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain: mengandung unsur hara
dalam jenis dan jumlah yang bervariasi tergantung bahan asal, menyediakan unsur secara
lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas dan mempunyai fungsi utama
memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah. Kehadiran kompos pada tanah menjadi
daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah dan, meningkatkan
meningkatkan kapasitas tukar kation. Hal yang terpenting adalah kompos justru
memperbaiki sifat tanah dan lingkungan.

2.1 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana proses pembuatan
kompos secara anaerobik dan komponen apa saja yang dibutuhkan dalam pembuatan
kompos secara anaerobik.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pupuk Organik

Pupuk organik merupakan hasil akhir dan atau hasil antara dari perubahan atau
peruraian bagian dan sisa-sisa tanaman dan hewan. Misalnya bungkil, guano, tepung
tulang dan sebagainya. Karena pupuk organik berasal dari bahan organik yang
mengandung segala macam unsur maka pupuk ini pun mengandung hampir semua unsur
(baik makro maupun mikro). Hanya saja, ketersediaan unsur tersebut biasanya dalam
jumlah yang sedikit. Pupuk organik diantaranya ditandai dengan ciri-ciri:
- Nitrogen terdapat dalam bentuk persenyawaan organik sehingga mudah dihisap
tanaman.
-Tidak meninggalkan sisa asam anorganik didalam tanah.
- Mempunyai kadar persenyawaan C organik yang tinggi, misalnya hidrat arang
(Murbandono, 2000).
Pupuk organik (kompos) merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia
dengan hasil akhir berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Bahan yang
ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang
dihasilkan memiliki nisbah C/N < 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh
lebih tinggi di atas 30 akan terombak dalam waktu yang lama, sebaliknya jika nisbah
tersebut terlalu rendah akan terjadi kehilangan N karena menguap selama proses
perombakan berlangsung. Kompos yang dihasilkan dengan fermentasi menggunakan
teknologi mikrobia efektif dikenal dengan nama bokashi. Dengan cara ini proses
pembuatan kompos dapat berlangsung lebih singkat dibandingkan cara konvensional.
Penggunaan pupuk organik yang dipadukan dengan penggunaan pupuk kimia dapat
meningkatkan produktivitas tanaman dan pengurangan penggunakan pupuk kimia, baik
pada lahan sawah maupun lahan kering. Telah banyak dilaporkan bahwa terdapat
interaksi positif pada penggunaan pupuk organik dan pupuk kimia secara terpadu.
Penggunaan pupuk kimia secara bijaksana diharapkan memberikan dampak yang lebih
baik dimasa depan. Tidak hanya pada kondisi lahan dan hasil panen yang lebih baik,
tetapi juga pada kelestarian lingkungan (Musnamar, 2005).
2.2 Macam-macam Pupuk Organik
Terdapat beberapa macam pupuk organik yaitu:
1. Pupuk hijau
Pupuk hijau adalah pupuk yang terdiri dari daun-daunan yang mudah membusuk
dalam tanah. Daun-daunan dapat langsung dimasukkan ke dalam tanah sebagai pupuk
hijau. Unsur hara yang terdapat pupuk hijau misalnya: N, P, K, dan unsur lainnya. Contoh
pupuk hijau yang mudah didapat adalah sisa hasil pertanian. Sisa hasil pertanian banyak
mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman. Pengembalian sisa tanaman

diperlukan

untuk

mengembalikan

unsur-unsur

yang

diambil

tanaman

unutk

pertumbuhannya kembali lagi ke lahan pertanian. Upaya ini untuk menjaga kesuburan
tanah. Pengembalian sisa tanaman perlu memperhatikan agar proses peruraian bahan
organik tidak mengganggu tanaman musim tanam berikutnya. Penanaman tanaman
sebaiknya menunggu proses peruraian sempurna. Pada saat proses peruraian bahan
organik jika terdapat tanaman bisa menyebabkan tanaman sakit. Perlu diperhatikan agar
proses peruraian bahan organik tidak mengganggu kesehatan tanaman. Proses peruraian
bahan organik tergantung jenis bahan/sisa tanaman (Sutanto, 2002).
2. Pupuk Kompos
Kompos adalah peruraian bahan organik oleh jasad renik (mikrobia). Pemberian
kompos tidak hanya memperkaya unsur hara bagi tanaman, namun juga berperanan
dalam memperbaiki struktur tanah, tata udara dan air dalam tanah, mengikat unsur hara
dan memberikan makanan bagi jasad renik yang ada dalam tanah sehingga meningkatkan
peran mikrobia dalam menjaga kesuburan tanah (Sutanto, 2002).
3. Pupuk kandang
Pupuk kandang merupakan pilihan pupuk organik yang bisa dimanfaatkan.
Kandungan unsur hara dalam pupuk kandang tersebut tergantung dari jenis ternak dan
makanan ternak yang diberikan, air yang diminum, umur ternak, dan lain-lain. Pemakaian
pupuk kandang yang masih baru perlu dihindari, sebab pupuk kandang yang masih baru
belum masak benar, dan suhunya masih tinggi.
4. Pupuk cair
Banyaknya kandungan unsur hara yang ada di dalam lahan pertanian yang ada di
lahan saudara dapat dilihat secara sederhana dari penampakan warna tanaman di lahan.
Misalnya ada tanaman yang kelihatan hijau sementara yang lainnya terlihat kekuningan.
Tanaman hijau menggambarkan bahwa tanah tersebut mempunyai cukup unsur hara.
Sedangkan tanaman yang berwarna kuning biasanya menunjukkan bahwa tanah tersebut
tidak cukup mempunyai unsur hara. Untuk memudahkan unsur hara dapat diserap tanah
dan tanaman bahan organik dapat dibuat menjadi pupuk cair terlebih dahulu. Pupuk cair
menyediakan nitrogen dan unsur mineral lainnya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
tanaman, seperti halnya pupuk nitrogen kimia. Kehidupan binatang di dalam tanah juga
terpacu dengan penggunaan pupuk cair. Pupuk cair tersebut dapat dibuat dari kotoran
hewan yang masih baru. Kotoran hewan yang dapat digunakan misalnya kotoran
kambing, domba, kelinci atau ternak lainnya (Sutanto, 2002).
5. Pupuk daun

Pupuk daun akan menjadikan tanaman lebih baik dan sehat. Pemberian pupuk
daun diberikan melalui pencampuran pupuk dengan tanah agar diserap melalui akar.
Banyak petani menanam tanaman yang lebih sehat dengan pemakaian pupuk. Pupuk
memberi makan pada tanaman dalam bentuk hara untuk membuat tanaman lebih kuat.
Biasanya pupuk dicampur dengan tanah dan di serap tanaman melalui perakaran. Pupuk
daun masuk ke dalam tanaman melalui lubang-lubang kecil pada daun yang disebut mulut
daun (stomata). Lubang-lubang ini membuka dan menutup dan begitu kecil, sehingga
tidak dapat dilihat secara langsung. Tanaman bernapas melalui lubang-lubang kecil
tersebut. Lubang-lubang kecil tersebut juga digunakan tanaman untuk mengambil unsur
hara dari udara. Mulut daun ini biasanya terbuka sepanjang malam sampai pagi hari, dan
tertutup pada tengah hari untuk menjaga kelembaban. Pupuk daun biasanya dibuat dari
bahan yang mengandung hara yang diperlukan tanaman seperti besi, belerang, nitrogen
dan kalium. Pemberian hara tambahan ini pada tanaman akan membantunya tumbuh lebih
kuat dan lebih sehat. Pupuk daun dapat dibuat dari tanaman-tanaman lokal yang ada di
sekitar yang mengandung unsur-unsur besi, belerang, nitrogen dan kalium. Tanaman
tersebut misalnya sejenis Solanum nigrum / terung leuca (Sutanto, 2002).
6. Bokashi
Bokashi adalah salah satu cara untuk membuat pupuk organik yang juga mudah
dilakukan, beberapa jenis bokashi antara lain :

Bokashi Jerami dan Bokashi Pupuk Kandang


Bokashi Pupuk Kandang Ditambah Arang
Bokashi Pupuk Kandang Ditambah Tanah (Sutanto, 2002).
7. Pupuk KCl.
Pupuk KCL sebenarnya dapat dibuat sendiri dari rendaman sabut kelapa meski

kandungan KCl-nya tidak sebesar kandungan pupuk KCL dari pabrik (Sutanto, 2002).
2.3 Proses Dekomposisi
Selama proses dekomposisi bahan organik mentah (sampah) menjadi kompos akan
terjadi berbagai perubahan hayati yang dilakukan oleh mikroorgaisme sebagai aktivator.
Adapun perubahannya sebagai berikut :
a. Penguraian karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan H2O
(air).
b. Protein menjadi ammonia, CO2 dan air.
c. Pembebasan unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi senyawa yang dapat
diserap oleh tanaman.

d. Terjadi pengikatan beberapa jenis unsur hara didalam sel mikroorganisme, terutama
nitrogen, fosfor, dan kalium.
Dengan perubahan tersebut maka kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan
senyawa nitrogen yang larut (amonia) akan meningkat. Dengan demikian, C/N semakin
rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Sudradjat, 2007). Menurut Djuarnani
(2005) selama hidupnya, mikroorganisme mengambil air dan oksigen dari udara.
Makanan yang diperoleh dari bahan organik yang akan diubah menjadi produk
metabolisme berupa karbondioksida (CO2), air (H2O), humus dan energi. Sebagian dari
energi yang dihasilkan digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan dan
reproduksi.
Dalam proses pengomposan peranan mikroba selulolitik dan lignolitik sangat
penting, karena kedua mikroba tersebut memperoleh energi dan karbon dari proses
perombakan bahan yang mengandung karbon. Proses pengomposan secara aerob, lebih
cepat dibanding anaerob dan waktu yang diperlukan tergantung beberapa faktor, antara
lain: ukuran partikel bahan kompos, C/N rasio bahan kompos, keberadaan udara (keadaan
aerobik), dan kelembaban. Kompos yang sudah matang diindikasikan oleh suhu yang
konstan, pH alkalis, C/N rasio <20, kapasitas tukar kation > 60 me/100 g abu, dan laju
respirasi < 10 mg/g kompos. Sedangkan indikator yang dapat diamati secara langsung
adalah jika berwarna coklat tua dan tidak berbau busuk (berbau tanah) (Deptan, 2006).
Pengomposan

aerobik

terjadi

dalam

keadaan

ada

O 2.

melalui

aktivitas

mikroorganisme yang terkontrol, bahan-bahan organik tersebut didekomposisi menjadi


kompos. Jamur mendekomposisi senyawa polimer dari tanaman seperti selulosa dan
lignin. Jamur juga mendekomposisi residu-residu organik yang terlalu kering, asam atau
rendah kadar nitrogennya bagi bakteri (Sudradjat, 2007). Pengomposan aerobik berjalan
dengan kondisi terbuka. Dalam hal ini, udara bebas bersentuhan langsung dengan bahan
kompos. Pengontrolan terhadap kadar air, suhu, pH, kelembapan, ukuran bahan, volume
tumpukan bahan, dan pemilihan bahan perlu dilakukan secara intensif unutk
mempertahankan

proses

pengomposan

agar

stabil

sehingga

diperoleh

proses

pengomposan yang optimal, kualitas maupun kecepatannya.


Selain itu, juga untuk memperlancar udara masuk kedalam bahan kompos.
Pengontrolan secara intensif ini merupakan ciri khas proses aerobik. Oleh karena itu,
kegiatan operasional pengomposan aerobic relative sibuk dari pada anaerobic.
Pengomposan anaerobik adalah dekomposisi bahan organik tanpa oksigen. Hasil
metabolisme dari proses ini metan, CO2, dan berbagai produk intermediet (metabilites).
Metabolistes menyebabkan bau yang lebih keras dibandingkan kompos aerob sehingga

cara ini agak kurang diminati. Pada proses anaerobik, energi tersebut dikeluarkan dalam
bentuk gas metan yang sangat bermanfaat (Sudradjat, 2007).
2.4 Karakteristik Bahan Kompos
Menurut Djuarnani, dkk. (2005) pada dasarnya semua bahan-bahan organik padat
dapat dikomposkan, misalnya: limbah organik rumah tangga, sampah-sampah organik
pasar atau kota, kertas, kotoran atau limbah peternakan, limbah-limbah pertanian, limbahlimbah agroindustri, limbah pabrik kertas, limbah pabrik gula, limbah pabrik kelapa
sawit, dan lain-lain. Berdasarkan komponen yang dikandungnya:

Bahan organik lunak


Bahan organik dikatakan lunak jika bahan tersebut sebagian besr terdiri dari air.
Bahan yang termasuk dalam kategori ini adalah buah-buahan, sayur-sayuran,

limbah kebun termasuk potongan rumput dan dedaunan, serta limbah dapur
Bahan organik keras
Bahan organik keras memiliki kadar air relative rendah dibandingkan dengan
jumlah total berat bahan tersebut. Contoh bahan organik keras adalah dedaunan

segar, bunga, dan hasil pemotongan pagar hidup


Bahan selulosa
Bahan selulosa merupakan bahan yang struktur selulornya sebagian besar terdiri
dari selulosa dan lignin dengan kadar air yang relative rendah. Bahan ini akan
didekomposisikan dengan sangat lambat, bahkan tidak sama sekali. Contohnya

adalah sisipan kayu, jerami padi, daun kering, kulit pohon, dan kertas.
Limbah protein
Limbah protein merupakan limbah yang mengandung banyak protein, seperti
kotoran hewan, limbah dari pemotongan hewan, dan limbah makanan.Limbah
yang mengandung banyak protein ini merupakan bahan pembuat kompos yang

sangat bagus karena kandungan nutrisinya baik untuk pertumbuhan anaman.


Limbah manusia
Limbah manusia dan hewan yang dimaksud adalah kotoran (feses). Kotoran ini
sangat disenangi mikroorganisme.

Berdasarkan asal bahannya:

Limbah Pertanian
Limbah dan residu tanaman, contohnya jerami padi, sekam padi,gulma,
batang dan tongkol jagung, serta potongan pagar tanaman.
Semua bagian vegetative tanaman, contohnya batang pisang, serabut
kelapa, dan dedaunan.
Limbah dan residu ternak, contohnya kotoran, limbah cair,dan limbah
pakan.

Pupuk hijau, contohnya lamtoro, orok-orok, lupin, turi, dan rumput


gajah.
Tanaman air, contohnya azolla, eceng gondok, gulma air, dan ganggang

biru.
Penambat nitrogen, contohnya mikoriza, rizobium, dan biogas.
Limbah Industri
Limbah padat, contohnya kayu, kertas, serbuk gergaji, ampas tebu,
limbah kelapa sawit, limbah pengalengan makanan, dan limbah dari
pemotongan hewan.
Limbah cair, contohnya alkohol, limbah dari pengolahan kertas, dan

limbah dari pengolahan minyak kelapa.


Limbah Rumah Tangga
Sampah, contohnya tinja, urin, sampah rumah tangga, sampah kota, dan
limbah dapur.
Garbage diartikan sebagai limbah yang berasal dari tumbuhan hasil
pemeliharaan dan budi daya. Dapur rumah tangga, pusat perbelanjaaj
pasar, dan restoran atau tempat yang menjual masakan olahan.
Rabbish mengandung berbagai limbah padat yang mudah terbakar yang
berasal dari rumah, pusat perbelanjaaj dan kantor.
Sebaiknya dalam pembuatan pupuk kompos perbandingan penggunaan Sampah

Coklat : Sampah Hijau yaitu (2:1). Karena apabila hanya menggunakan sampah coklat
saja maka akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk proses pengomposannya.
Bahan yang sebaiknya dihindari untuk pembuatan pupuk kompos adalah:
Daging , ikan, kulit udang, tulang, susu, keju, lemak/minyak, karena dapat
mengundang serangga seperti lalat sehingga proses pengomposan akan

menimbulkan belatung.
Feses anjing, feses kucing ini dapat membawa penyakit.
Tanaman gulma / yang berhama karena hama akan masih terkandung dalam
kompos.

BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Pembuatan kompos ini dilakukan pada hari Minggu tanggal 20 Maret 2016 pukul
06.00 di Lahan Praktikum Jatimulyo Kota Malang.
3.2 Alat dan Bahan
A Alat :
1 Timbangan : Untuk menimbang bahan yang diperlukan
2 Ember
: Untuk menaruh hasil kompos
3 Termometer: Untuk mengukur suhu kompos
B Bahan :
1 Daun Paitan
: Sebagai bahan untuk kompos sebanyak 4 kg
2 Kotoran sapi
: Sebagai bahan untuk kompos sebanyak 4 kg
3 EM4
: Sebagai starter mikroorganisme pada proses
dekomposer
3.3 Cara Kerja

A Permbuatan Kompos Aerob


Siapkan alat dan bahan

Hancurkan daun paitan hingga halus


sebanyak 3kg
Campurkan daun paitan yang sudah
halus dengan kotoran sapi sebanyak
4 kg
Tambahkan EM4 pada campuran
daun paitan dan kotoran sapi lalu
aduk hingga rata
Masukkan semua bahan yang telah
tercampur menjadi satu kedalam
ember
Biarkan ember tersebut terbuka
tanpa ditutup lalu lakukan
pengamatan tiap minggunya
B Pembuatan Kompos Anaerob
Siapkan alat dan bahan

Hancurkan daun paitan hingga halus


sebanyak 3kg

Campurkan daun paitan yang sudah


halus dengan kotoran sapi sebanyak
4 kg
Tambahkan EM4 pada campuran
daun paitan dan kotoran sapi lalu
aduk hingga rata
Masukkan semua bahan yang telah
tercampur menjadi satu kedalam
ember

Tutup ember tersebut secara rapat


lalu lakukan pengamatan tiap
minggunya

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Pengamatan Kompos Aerob
KOMPOS
KELOMPOK
1

REKAP DATA PENGAMATAN KOMPOS AEROB PRAKTIKUM PERTANIAN ORGANIK


PENGAMATAN KEPERLAKUA
I
II
III
N KOMPOS
SUHU WARNA SUHU
WARNA
SUHU
WARNA
SUHU
Hijau
Hijau
AEROB
23
Hijau
24
kekuningan
25
gelap
25

IV
WARNA
Hijau kehitaman

4.1.2 Pengamatan Kompos Anaerob


KOMPOS
KELOMPOK
2
3

REKAP DATA PENGAMATAN KOMPOS ANAEROB PRAKTIKUM PERTANIAN ORGANIK


PENGAMATAN KEPERLAKUA
I
II
III
N KOMPOS
SUHU WARNA SUHU
WARNA
SUHU
WARNA
SUHU
Hijau
Hijau
ANAEROB
23
Hijau
24
kekuningan
25
gelap
25
Hijau
Hijau
ANAEROB
23
Hijau
25.5
kekuningan
25
gelap
26

4.1.3 Grafik Perbandingan antara Kompos Aerob dan Anaerob


a. Grafik Suhu Kompos Aerob

IV
WARNA
Hijau kehitaman
Hijau kehitaman

GRAFIK SUHU KOMPOS AEROB


12
10
8
Suhu (dalam Celcius) 6
4
2
0

PENGAMATAN Ke-

Keterangan:

AEROB
SUHU
1
2
3
4

23
24
25
25

b. Grafik Suhu Kompos Anaerob

GRAFIK SUHU KOMPOS26 ANAEROB


25.5
25
24
23

Suhu (dalam Celcius

5
0

Pengamatan Ke-

Keterangan:

ANAEROB
SUH
U
1
23
2
24
3
25
4
25
4.1.4 Dokumentasi
a. Proses pembuatan kompos

23
25.5
25
26

10

12

b. Hasil kompos anaerob minggu ke-4

4.2 Pembahasan
Pada pelaksanaan praktikum kali ini telah dilakukan praktik pembuatan kompos
secara aerob dan anaerob, yang menggunakan bahan-bahan diantaranya adalah paitan dan
kotoran sapi. Kegiatan pengamatan dilakukan selama 4 minggu dengan waktu

pengamatan 1 minggu sekali. Terdapat 2 indikator yang diamati yaitu suhu dan warna
kompos. Sampai pada pengamatan minggu ke 4, didapatkan hasil kompos dengan warna
hijau kehitaman yang sudah menunjukan hasil yang baik karena sudah berubah dari
warna asalnya, namun suhu kompos pada kedua kompos belum stabil sehingga dapat
diasumsikan pupuk kompos aerob dan anaerob tersebut kurang/tidak matang dan tidak
dapat diaplikasikan ke tanaman. Dilihat dari struktur dan bentuk kompos juga belum
menunjukan perubahan karena masih terlihat basah dan agak cair. Ciri-ciri kompos yang
baik sendiri adalah:
a. Berwarna coklat
b. Berstruktur remah
c. Berkonsistensi gembur
d. Berbau daun yang lapuk (Indriani, 2000)
Dan terdapat beberapa cara untuk mengetahui kematangan kompos menurut (Jaerony,
2008 ) yaitu:
1. Dicium: kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum. Apabila
kompos tercium bau yang tidak sedap, berarti terjadi fermentasi anaerobik dan
menghasilkan senyawa-senyawa berbau yang mungkin berbahaya bagi tanaman.
Apabila kompos masih berbau seperti bahan mentahnya berarti kompos masih
belum matang. Pada kompos yang diamati bau yang dihasilkan masih berbau
seperti bahan dasar yang digunakan yaitu kotoran sapi, hal ini menunjukan kedua
kompos tersebut belum matang.
2. Kekerasan bahan: kompos yang telah matang akan terasa lunak ketika
dihancurkan. Bentuk kompos mungkin masih menyerupai bahan asalnya, tetapi
ketika diremasremas akan mudah hancur. Pada kompos yang diamati masih
berbentuk agak cair dan basah sehingga menunjukan kedua kompos tersebut
belum matang.
3. Warna kompos : kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam hitaman.
Apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan
mentahnya berarti kompos tersebut belum matang. Selama proses pengomposan
pada permukaan kompos seringkali juga terlihat miselium jamur yang berwarna
putih. Pada kompos yang diamati kompos tersebut mulai menunjukan perubahan
warna namun belum sempurna karena masih berwarna hijau kehitaman.

4. Penyusutan:

terjadi

penyusutan

volume/bobot

kompos

seiring

dengan

kematangan kompos. Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan


mentah dan tingkat kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 2040 %.
Apabila penyusutannya masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan
belum selesai dan kompos belum matang.
5. Suhu: suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal
pengomposan. Suhu kompos yang masih tinggi, atau di atas 50 oC, berarti proses
pengomposan masih berlangsung aktif dan kompos belum cukup matang. Suhu
kompos yang diamati masih belum stabil dan belum mendekati suhu awal, suhu
masih mengalami peningkatan dan menghasilkan suhu sebesar 25-26 oC pada
pengamatan minggu ke-4.
Dalam pembuatan kompos terdapat 3 proses yang dilalui yaitu tahap dekomposisi
dan sanitasi, tahap konversi dan tahap sintesis. Pada tahap awal, pra matang terjadi
dekomposisi sensitif dengan suhu yang tinggi dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Proses dekomposisi yang kurang baik umumnya disebabkan oleh kelembaban relatif tidak
sesuai atau pencampuran bahan dasar yan tidak tepat (Murbandono, 2000). Hal ini juga
dapat menjadi salah satu faktor tidak matangnya kedua pupuk kompos yang diujicoba.
Namun sebenarnya kesalahan seperti ini masih dapat ditanggulangi dimana hal yang
penting adalah dengan dilakukan pemantauan secara berkala. Lama periode dekomposisi
awal dipengaruhi oleh halhal sebagai berikut yaitu: komposisi bahan terkait
keseragaman, ukuran partikel dan jenis, kandungan air bahan dasar, kondisi sirkulasi
udara, kondisi iklim setempat.
Selama dekomposisi berlangsung tahap awal, pra pematangan timbunan terbagi
dalam 3 mintakat yaitu pada bagian atas mintakat dihuni oleh jenis fungi, di bagian
tengah minakat kering dan panas, sedangkan pada bagian bawah timbunan minakat
potensial basah. Jika bagian dasar mengandung air dalam jumlah yang berlebih maka
akan menyebabkan kompos menjadi berbau busuk dan menyengat. Ketika mengalami
kondisi seperti ini selain disebabkan oleh persentase penyusunan bahan yang tidak sesuai
diakibatkan juga oleh kurang oksigen (kurang aerasi), kurangnya bahan voluminous,
persen N terlalu tinggi dan bahan terpadatkan. Maka penyelsaiannya adalah dengan
dibalik dan ditambahkan bahan voluminous. Pembalikan ini bertujuan untuk menghindari
penyebaran bau busuk dan meningkatkan pasokan oksigen (proses aerasi). Pasokan
oksigen ini dibutuhkan oleh mikroba dalam menghancurkan struktur dan partikel bahan
kasar (Murbandono, 2000).

Pada saat pengamatan kompos tidak dilakukan kegiatan pembalikan dan hanya
melakukan pengamatn saja, padahal kegiatan pembalikan ini harus dilakukan secara
teratur minimal seminggu sekali dimana pembalikan akan memindahkan bahan di bagian
luar yang kurang panas ke bagian dalam/tengah yang lebih panas. Namun proses
pembalikan ini jangan terlalu sering digunakan karena akan menyebabkan timbunan
kompos menjadi lebih cepat dingin. Frekuensi pembalikan harus disesuaikan dengan
spesifikasi proses dekomposisi yang digunakan (Indriani, 2000).
Pada kegiatan pengamatan kompos tidak dilakukan perhitungan C/N rasio, namun
C/N rasio yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1.
Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis
protein. Pada rasio C/N di antara 30 sampai dengan 40 mikroba mendapatkan cukup C
untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan
kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Umumnya,
masalah utama pengomposan adalah pada rasio C/N yang tinggi, terutama jika bahan
utamanya adalah bahan yang mengandung kadar kayu tinggi (sisa gergajian kayu, ranting,
ampas tebu, dans sebagainya). Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan perlakuan
khusus, misalnya menambahkan mikroorganisme selulotik (Murbandono, 200) atau
dengan menambahkan kotoran hewan karena kotoran hewan mengandung banyak
senyawa nitrogen.

BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada hasil pelaksanaan praktikum pembuatan kompos, didapatkan hasil untuk kedua
kompos (aerob dan anaerob) tidak mengalami kematangan. Kedua kompos tersebut tidak
menghasilkan hasil yang baik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu dari proses
pembuatannya dalam pencampuran bahan dan dalam proses perawatannya dimana pada
kompos tersebut jarang dilakukan proses pembalikan yang menyebabkan suhu di bawah

dalam wadah tinggi (kompos menjadi panas) dan tidak seimbang dengan suhu di
permukaan wadah. Hasil pengamatan kedua kompos masih menunjukan suhu yang belum
stabil sebesar 25-26oC yang belum kembali ke suhu awal sebesar 23 oC, bentuk kompos
belum mendekati matang karena masih berstruktur lunak, agak cair, dan basah, kompos
masih berbau bahan dasar yaitu kotoran sapi yang menyengat, dan warna kompos belum
sempurna walaupun sudah mengalami perubahan warna yaitu dari hijau menjadi hijau
kehitaman. Pada akhir kegiatan pengamatan kompos tidak dilakukan proses perhitungan
C/N rasio, namun C/N rasio yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1
hingga 40:1.

DAFTAR PUSTAKA
Deptan, 2006. Teknik Pembuatan Kompos. http://www.deptan.go.id. Diakses pada: 24
April 2016.
Djuarnani. N., Kritian., BS Setiawan., 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia
Pustaka.
Indriani, Y.H., 2000. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Jaerony,

2008.

Pengetahuan

Tentang

Kompos

http://www.mail

archive.com/porsenipar@opja.or.id/msg00187 .html. Diakses pada: 24 April 2016.


Murbandono, L.H.S., 2000. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta.
Musnamar,E.I., 2005. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasi, Penerbit Swadaya,
Jakarta.
Sudradjat, H.R., 2007. Mengelola Sampah Kota. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sutanto,

Rachman.

2002.

Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan

Pengembangannya). Kanisius Yogyakarta.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai