Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

SEJARAH KEPERAWATAN NASIONAL DAN INTERNASIONAL


Ditujukan untuk memenuhi tugas Ilmu Keperawatan Dasar

Disusun Oleh :
Mutmainah Amd. Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PEMKAB JOMBANG
2016
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I

PENDAHULUAN ...........................................................................
A. Latar Belakang ..........................................................................
B. Tujuan Penulisan .......................................................................

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................


A.
B.
C.
D.
E.

Sejarah Keperawatan di luar Indonesia .....................................


Sejarah Keperawatan di Indonesia ............................................
Pendidikan Keperawatan............................................................
Perkembangan Teori Keperawatan.............................................
Perjalanan Keperawatan.............................................................

BAB III PENUTUP .......................................................................................


A. Kesimpulan ...............................................................................
B. Saran...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah Keperawatan merupakan suatu bentuk layanan kesehatan professional yang
merupakan bagian integral dari layanan kesehatan yang berdasarkan pada ilmu dan etika
keperawatan.Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan,ikut menentukan
mutu dari pelayanan kesehatan.Tenaga keperawatan secara keseluruhan jumlahnya
mendominasi tenaga kesehatan yang ada,dimana keperawatan memberikan kontribusi yang
unik

terhadap

bentuk

pelayanan

relative,berkelanjutan,koordinatif

dan

kesehatan

sebagai

advokatif.Keperawatan

satu
sebagai

kesatuan
suatu

yang
profesi

menekankan kepada bentuk pelayanan professional yang sesuai dengan standar dengan
memperhatikan kaidah etik dan moral sehingga pelayanan yang diberikan dapat diterima oleh
masyarakat dengan baik dan berkelanjutan.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan pembuatan makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui
bagaimana ilmu keperawatan dapat berkembang dengan peralatan yang sangat terbatas
pada zaman dahulu hingga dengan peralatan yang sangat lengkap pada zaman sekarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mengetahui, memahami, dan menjelaskan tentang sejarah keperawatan
nasional dan internasional.
b. Mahasiswa mampu menjabarkan perkembangan ilmu keperawatan, mulai dari zaman
dahulu hingga zaman sekarang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

SEJARAH KEPERAWATAN NASIONAL DAN INTERNASIONAL


Keperawatan sebagai suatu profesi yang sudah ada sejak manusia ada di bumi
ini.Keperawatan terus berkembang sesuai dengan kemajuan peradaban teknologi dan
kebudayaan.Konsep keperawatan dari

abad keabad

terus

berkembang,berikut adalah

perkembangan keperawatan di dunia.


A. Sejarah Keperawatan di Luar Indonesia
1. Zaman Purba
Pada zaman ini orang percaya bahwa sesuatu yang ada di bumi mempunyai suatu
kekuatan mistik yang dapat memengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan ini biasa
disebut animisme. Mereka meyakini bahwa sakitnya seseorang disebabkan oleh kekuatan
alam atau pengaruh kekuatan gaib seperti batu besar, gunung tinggi, pohon besar, sungai
besar. Jiwa yang baik membawa kesehatan, jika yang jahat membawa kesakitan dan
kematian (Calor, taylor, Lilis & Lemone,1997). Peran tabib dan perawat jelas berbeda,
tabib adalah medicineman yang mengobati penyakit dengan jalan melantunkan nyanyian,
memberi semangat dari ketakutan atau membuka otak untuk menghilangkan jiwa yang
jahat (Dolan, Fitzpatrick & Herman, 1983). Perawat biasanya berperan sebagai ibu yang
merawat familinya sewaktu sakit dengan memberikan perawatan fisik dan memberikan
obat dari tumbuh-tumbuhan. Peran ini diteruskan sampai saat ini.
2. Zaman Keagamaan
Pada zaman ini, kuil menjadi pusat perawatan medis sebab orang percaya bahwa
penyakit disebabkan oleh dosa dan kutukan Tuhan. Pemimpin agama dijunjung tinggi
sebagai tabib, perawat dianggap sebagai budak dan mendapat penghargaan yang rendah
karena pekerjaannya didasarkan perintah dari pempimpin agama yang berperan sebagai
tabib.

3. Permulaan Masehi
Pada permulaan masehi, agama Kristen mulai berkembang. Pada masa ini
keperawatan mengalami kemajuan yang berarti seiring dengan kepesatan perkembangan
agama Kristen. Organisasi wanita pertama yang dibentuk pada saat itu dinamakan
Deaconesses, mengunjungi orang-orang sakit dan anggota keagamaan laki-laki

memberikan perawatan serta mengubur orang mati. Pada perang salib perawat laki-laki
dan perempuan bertugas merawat orang-orang yang luka dalam peperangan tersebut.
Kemajuan profesi keperawatan pada masa ini juga terlihat jelas dengan berdirinya
rumah sakit terkenal di Roma yang bernama Monastik hospital. Rumah sakit ini
dilengkapi dengan fasilitas bangsal-bangsal perawatan untuk merawat orang sakit serta
bangsal-bangsal lain sebagai tempat merawat orang cacat, miskin dan yatim piatu.
Seperti halnya di Eropa, pada pertengahan abad VI masehi keperawatan juga
berkembang di benua Asia. Tepatnya di timur tengah seiring dengan perkembangan
agama Islam. Tokoh keperawatan yang terkenal di dunia Arab pada masa ini adalah
Rafidah.
4. Permulaan Abad XVI
Struktur dan orientasi masyarakat berubah dari orientasi keagamaan menjadi
orientasi pada kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan alam, serta perkembangan
pengetahuan. Akibatnya banyak gereja dan tempat ibadah ditutup, padahal tempat ini
digunakan oleh ordo-ordo keagamaan untuk merawat orang sakit. Kondisi ini sangat
berpengaruh terhadap perkembangan keperawatan. Untuk memenuhi kebutuhan perawat,
wanita yang pernah melakukan kejahatan dan telah berobat dapat diterima bekerja
sebagai perawat. Akibat reputasi yang jelek ini, perawat menerima gaji yang rendah
dengan jam kerja lama pada kondisi yang buruk (Taylor C.,dkk, 1989)
5. Masa Sebelum Perang Dunia II
Florence Nightingale (1820-1910) merupakan tokoh pembaharu perawatan pada
saat itu dan bahkan sering disebut Ibu Perawatan. Pada waktu itu, Florence Nightingale
sudah menyadari pentingnya suatu sekolah untuk mendidik para calon perawat, agar
dapat diberikan pengetahuan, keterampilan dan pembinaan mental sehingga dihasilkan
tenaga perawatan yang berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil dalam
melaksanakan perawatan. Beliau menetapkan struktur dasar sebagai prasyarat dalam
pendidikan perawat :
a. Mendirikan sekolah perawat
b. Menentukan tujuan pendidikan perawat
c. Menetapkan pengetahuan yang harus dimiliki para calon sebagai dasar perawatan
Di samping itu, Florence Nightingale telah berpendapat bahwa.
a. Perlu persiapan pendidikan yang berlainan bagi perawat pelaksana dan perawat
administrator atau supervisor.
b. Perlu diperhatikan bahwa harus ada perubahan tentang jam kerja perawat yang waktu
itu berlangsung 12 jam/hari dan 7 hari/minggu.

c. Perlu diperhatikan peningkatan pendapatan perawat setiap 6 bulan, mengingat beban


dan tanggung jawab mereka.
Namun, secara menyeluruh perkembangan perawat dari zaman Florence
Nightingale sampai pecah perang dunia II dinilai sangat kecil atau hampir tidak ada
perubahan. Oleh Karena itu, masa ini sering disebut sebagai masa pemeliharaan.
6. Masa Selama Perang Dunia II
Selama perang, banyak kejadian yang merupakan tekanan bagi setiap bangsa di
dunia. Tekanan perang ini mendorong manusia mengadakan perubahan-perubahan.
Kemajuan teknologi dimaksudkan untuk berlomba menaklukan dunia. Penerapan
teknologi modern dalam bidang pelayanan orang sakit telah mulai diperkenalkan waktu
itu sebagai jawaban atas kebutuhan pelayanan kesehatan akibat penderitaan sakit selama
perang. Timbulnya penyakit akibat perang, menyebabkan dibutuhkannya peningkatan
pengetahuan dan keterampilan tenaga medis maupun perawat. Kemampuan satu bidang
profesi tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan waktu itu. Inipun merupakan tantangan baru bagi perawat dalam memberikan
pelayanan kesehatan bersama dengan profesi lain.
7. Masa Pasca Perang Dunia II
Akibat Perang dunia II yang mengakibatkan banyaknya penderitaan bagi
penduduk dunia telah menggugah semua pihak untuk memperbaiki keadaan dunia. Dasar
pemikiran semula, the nurse must give total patient care dalam arti sempit telah
berkembang, dalam arti luas perawat lebih menyadari atas makna totality of the
individual client dari sebelumnya. Oleh karena itu terjadi perubahan dari perawat bekerja
sendiri menjadi bekerja team.
Dalam dekade ini telah dilancarkan perjuangan untuk pengakuan keperawatan
sebagai profesi. Lucille Brown (1948) menulis sebuah laporan tentang pengakuan
perawat sebagai profesi merupakan titik tolak yang besar untuk kehidupan perawat dan
profesi perawat. Ia memperhatikan penghargaan pada perawat dalam kaitannya dengan
tanggung jawab sebagai penyelenggara pelayanan perawatan yang bermutu. Untuk itu
disadari perlunya suatu pengelolaan pelayanan keperwatan yang baik untuk menjamin
mutu dan sekaligus tersedia alat evaluasi keperawatan tersebut.
8. Sejak Tahun 1950
Dalam mengacu proses profesionalisme, perlu pengembangan pendidikan
keperawatan. Sebenarnya pendidikan keperawatan di tingkat universitas sudah ada sejak
tahun 1909 di Universitas Minesota Amerika. Namun, pengakuan perawat sebagai

profesi, baru terjadi tahun 1950, inipun baru pengakuan saja, belum memnuhi
karakteristik profesi.
Pendidikan perawat pada tingkat Bachelor dimulai tahun 1919. Pada tahun
1977 telah terdapat 3830 orang lulusan master di bidang keperawatan dan pada tahun
1972 terdapat 9 institusi yang melaksanakan program Doktor di bidang keperawatan. Di
Thailand pendidikan keperawatan pada tingkat Bachelor dimulai tahun 1966, dan pada
tingkat Master dimulai tahun 1986.
Proses keperawatan yang dimulai tahun 1950 dianggap sebagai stadium embrio.
Pada saat itu proses keperawatan belum dipahami dan juga belum bisa diterima, tetapi
sudah dilakukan sehari-hari. Baru pada tahun 1955 Lydia Hall memberikan presentasinya
tentang Perawatan adalah suatu proses. Pada hakikatnya keperawatan menyangkut
empat hal pokok yaitu :
a. Nursing at the patient
b. Nursing to the patient
c. Nursing for the patient
d. Nursing with the patient
Fase dalam proses keperawatn diidentifikasi oleh para dosen keperawatan
Universitas Katolik Amerika pada tahun 1967 meliputi : pengkajian, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi.
Pengertian keperawatan menurut International Council of Nurses (ICN) pada
tahun 1973 adalah, Fungsi yang unik dari perawat adalah menolong sesorang yang sakit
atau sehat dalam usaha-usaha menjaga kesehatan atau penyembuhan atau untuk
menghadapi sakaratul maut dengan tenang, yaitu usaha yang dapat dilakukan oleh pasien
sendiri apabila dia cukup kuat, berkemampuan atau sadar dan melakukannya sedemikian
rupa sehingga si pasien dalam waktu singkat dapat mandiri.
Untuk memperoleh pengakuan sebagai suatu profesi, menurut Taylor C, et al. (1997)
keperawatan harus memiliki:
a. Perumusan body of knowledge yang baik
b. Berorientasi pada pelayanan yang kuat
c. Pengakuan keahlian oleh sebuah kelompok profesional
d. Kode etik
e. Organisasi profesi yang menetapkan standar
f. Pengembangan diri secara terus menerus
g. Otonomi
B. Sejarah Keperawatan di Indonesia
1. Masa Sebelum Kemerdekaan

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk


pribumi yang disebut Verpleger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga orang
sakit. Mereka bekerja pada rumah sakit Binnen Hospital di Jakarta yang didirikan pada
tahun 1799 untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah
Belanda pada masa itu antara lain membentuk Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas
Kesehatan Rakyat. Pendirian rumah sakit ini termasuk usaha Deandels mendirikan rumah
sakit di Semarang dan Surabaya. Karena tujuannya hanya untuk kepentingan tentara
belanda, maka tidak diikuti perkembangan keperawatan.
Sebaliknya, Gubernur Jenderal Inggris, Raffless, sangat memperhatikan kesehatan
rakyat. Semboyannya adalah kesehatan adalah milik manusia, ia melakukan berbagai
upaya untuk memperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi antara lain mengadakan
pencacaran

umum,

membenahi

cara

perawatan

pasien

gangguan

jiwa

serta

memperhatikan kesehatan dan perawatan para tahanan.


Setelah pemerintah kolonial kembali ke tangan Belanda, usaha-usaha peningkatan
kesehatan penduduk mengalami kemajuan. Pada tahun 1819 di Jakarta didirikan beberapa
rumah sakit, salah satu diantaranya adalah Rumah Sakit Stadverband berlokasi di Glodok
Salemba yang sekarang bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Saat ini
RSCM menjadi rumah sakit pusat rujukan nasional dan pendidikan nasional. Pada kurun
waktu 1816-1942 berdiri bebrapa rumah sakit swasta milik Misionaris Katolik dan
Zending Protestan antara lain Rumah sakit PGI Cikini, Rumah Sakit St. Carolus Salemba,
Rumah Sakit St. Boromeus Bandung dan Rumah Sakit Elisabeth Semarang. Bersamaan
dengan berdirinya rumah sakit diatas, didirikan sekolah perawat. RS PGI Cikini tahun
1906

menyelenggarakan

pendidikan

juru

rawat,

RSCM

tahun

1912

ikut

menyelenggarakan pendidikan juru rawat. Itulah sekolah perawat pertama yang berdiri di
Indonesia meskipun baru pendidikan okupasional.
Kekalahan tentara sekutu dan kedatangan tentara Jepang tahun 1942-1945
menyebabkan perkembangan keperawatan mengalami kemunduran karena pekerja
perawat pada masa Belanda dan Inggris sudah dikerjakan oleh perawat yang telah
dididik, maka pada masa Jepang tugas perawat dilakukan oleh mereka yang tidak dididik
untuk menjadi perawat.
2. Masa Setelah Kemerdekaan
a. Periode tahun 1945-1962

Tahun 1945-1950 merupakan periode awal kemerdekaan dan merupakan masa


transisi Pemerintah Republik Indonesia sehingga dapat dimaklumi jika masa ini boleh
dikatakan tidak ada perkembangan. Demikian pula tenaga perawat yang digunakan
diunit-unit pelayanan keperawatan adalah tenaga yang ada, pendidikan tenaga
keperawatan masih meneruskan sistem pendidikan yang telah ada (lulusan pendidikan
Perawat Pemerintah Belanda).
Pendidikan keperawatan dari awal kemerdekaan sampai tahun 1953 masih
berpola pada pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai
contoh, sampai dengan tahun 1950 pendidikan tenaga keperawatan yang ada adalah
pendidikan tenaga keperawatan dengan dasar pendidikan umum Mulo +3 tahun untuk
mendapatkan ijazah A (perawat umum) dan ijazah B untuk perawat jiwa. Ada juga
pendidikan perawat dengan dasar sekolah rakyat +4 tahun pendidikan yang
lulusannya disebut mantri juru rawat. Baru pada tahun 1953 dibuka sekolah pengatur
rawat dengan tujuan untuk menghasilkan tenaga keperawatan yang lebih berkualitas.
Namun, pendidikan dasar umum tetap SMP yang setara dengan Mulo dengan lama
pendidikan tiga tahun. Pendidikan ini dibuka di tiga tempat (yaitu di Jakarta, di
Bandung dan di Surabaya), kecuali pendidikan perawat di Bandung, keduanya berada
dalam institusi rumah sakit.
Tahun 1955 di buka Sekolah Djuru Kesehatan (SDK) dengan pendidikan
dasar umum sekolah rakyat ditambah pendidikan satu tahun dan Sekolah Pengamat
Kesehatan yaitu sebagai pengembangan SDK ditambah pendidikan satu tahun.
Ditinjau dari aspek pengembangannya sampai dengan tahun 1955 ini tampak
pengembangan keperawatan tidak berpola, baik tatanan pendidikannya maupun pola
ketenagaan yang diharapkan.
Tahun 1962 dibuka Akademi Perawatan, yaitu pendidikan tenaga keperawatan
dengan dasar pendidikan umum SMA di Jakarta, di RSUP Cipto Mangunkusumo
yang sekarang kita kenal sebagai Poltekkes Jurusan Keperawatan Jakarta yang berada
di Jalan Kimia No. 17 Jakarta Pusat. Sekalipun sudah ada keinginan bahwa
pendidikan tenaga perawat berada pada pendidikan tinggi, namun konsep-konsep
pendidikan tinggi belum tampak. Hal ini dapat ditinjau dari kelembagaannya yang
berada dalam organisasi rumah sakit, kegiatan institusi yang belum mencerminkan
konsep pendidikan tinggi yaitu kemandirian dan pelaksanaan fungsi perguruan tinggi

yang disebut Tri Dharma Perguruan Tinggi, di samping itu Akademi Keperawatan
tidak berada dalam sistem pendidikan tinggi nasional namun, berada dalam struktur
organisasi institusi pelayanan kesehatan yaitu rumah sakit. Demikian juga penerapan
kurikulumnya yang masih berorientasi pada keterampilan tindakan dan belum
dikenalkannya konsep-konsep keperawatan.

b. Periode tahun 1963-1982


Pada masa tahun 1963 hingga 1982 tidak terlalu banyak perkembangan di
bidang keperawatan, sekalipun sudah banyak perubahan dalam pelayanan, tempat
tenaga lulusan Akademi Keperawatan banyak diminati oleh rumah sakit-rumah sakit,
khususnya rumah sakit besar.
c. Periode tahun 1983-sekarang
Sejak adanya kesepakatan pada lokakarya nasional (Januari 1983) tentang
pengakuan dan diterimanya keperawatan sebagai suatu profesi, dan pendidikannya
berada pada pendidikan tinggi, terjadi perubahan mendasar dalam pandangan tentang
pendidikan keperawatan. Pendidikan keperawatan bukan lagi menekankan pada
penguasaan keterampilan, tetapi lebih pada penumbuhan, pembinaan sikap dan
keterampilan profesional keperawatan, disertai dengan landasan ilmu pengetahuan
khususnya ilmu keperawatan.
Tahun 1983 merupakan tahun kebangkitan profesi keperawatan di Indonesia,
sebagai perwujudan lokakarya tersebut di atas pada tahun 1984 diberlakukan
kurikulum nasional untuk Diploma III Keperawatan.
Dari sinilah awal pengembangan profesi keperawatan Indonesia, yang sampai
saat ini masih perlu perjuangan, karena keperawatan di Indonesia sudah diakui
sebagai suatu profesi maka pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan harus
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Hal ini sejalan dengan tuntutan UU No.
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, terutama pada pasal 32 yang berbunyi :
Ayat 3: Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran
atau ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ayat 4: Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran
atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

Tahun 1985 dibuka Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia dan kurikulum pendidikan tenaga keperawatan jenjang S1 juga
disahkan.
Tahun 1992 merupakan tahun penting bagi profesi keperawatan karena pada
tahun ini secara hukum keberadaan tenaga keperawatan sebagai profesi diakui dalam
undang-undang yaitu yang dikenal dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan sebagai penjabarannya.
Tahun 1995 dibuka lagi Program Studi Keperawatan di Indonesia, yaitu di
Universitas Padjajaran Bandung dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
berubah menjadi Fakultas Keperawatan.
Tahun 1998 dibuka kembali program Keperawatan yang ketiga yaitu Program
Studi Ilmu Keperawatan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kurikulum Ners
disahkan, digunakannya kurikulum ini merupakan hasil pembaharuan kurikulum S1
Keperawatan tahun 1985.
Tahun 1999 Program S1 kembali dibuka, yaitu Program Studi Ilmu
Keperawatan (PSIK) di Universitas Airlangga Surabaya, PSIK di Universitas
Brawijaya Malang, PSIK di Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, PSIK di
Universitas Sumatera Utara, PSIK di Universitas Diponegoro Jawa Tengah, PSIK di
Universitas Andalas, dan dengan SK Mendikbud No. 129/D/0/1999 dibuka juga
Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan (STIK) di St. Carolus Jakarta. Pada tahun ini juga
(1999) kurikulum DIII Keperwatan selesai diperbaharui dan mulai didesiminasikan
serta diberlakukan secara nasional.
Tahun 2000 diterbitkan SK Menkes No. 647 tentang Registrasi dan Praktik
Perawat sebagai regulasi praktik keperawatan sekaligus kekuatan hukum bagi tenaga
perawat dalam menjalankan praktik keperawatan secara professional.
C. PENDIDIKAN KEPERAWATAN
Selaras dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pendidikan keperawatan tahap demi
tahap

mengalami peningkatan baik jenjang maupun mutu pendidikan. Pendidikan

keperawatan yang dahulu hanya merupakan pendidikan dasar atau menengah, kini telah
ditingkatkan pada jenjang pendidikan tinggi. Variasi jenjang pendidikan keperawatan yang
ada saat ini seringkali membingungkan masyarakat, perawat, maupun para pejabat. Jenjang
utama pendidikan keperawatan di Indonesia saat ini adalah Sekolah Perawat Kesehatan,

Akademi atau Pendidikan Ahli Madya Keperawatan/Politeknik Kesehatan dengan tiga tahun
program diploma keperawatan, dan Program strata satu keperawatan dan program S2 yang
terkait dengan keperawatan.
Pendidikan tenaga keperawatan di Indonesia secara umum bertujuan untuk menyediakan
tenaga kesehatan dalam jumlah dan jenis yang sesuai, yang memiliki cirri-ciri berbudi luhur,
tangguh, serdas, terampil, mandiri, memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif,
kreatif, inovatif, disiplin, serta berorientasi ke masa depan sesuai dengan asas
profesionalismenya masing-masing (Pusdiknakes, 2001).
Walaupun jumlah perawat dari pendidikan tinggi telah meningkat, namun kita perlu
mencatat bahwa sebagian besar perawat berlatar belakang pendidikan menengah. Jumlah
perawat di Indonesia menurut data dari Depkes RI (Republika, 2004) adalah sekitar 180 ribu
orang dengan latar belakang pendidikan: 76,65 persen lulusan Sekolah Perawat Kesehatan
(SPK), 22 persen perawat lulusan D3 Keperawatan, dan 2,35 persen lulusan S-1. Jumlah
bidan adalah sekitar 70.600 orang dan 98 persen di antaranya adalah lulusan Program
Pendidikan Bidan.
Perkembangan pendidikan keperawatan pada saat ini dipengaruhi berbagai faktor nasional
maupun internasional. Dari kaca mata nasional, situasi politik di tanah air dan kesadaran
masyarakat terhadap hak-haknya telah memicu reformasi di berbagai bidang termasuk
pendidikan. Maraknya ide desentralisasi/otonomi daerah juga telah memengaruhi bagaimana
pengelolaan pendidikan keperawatan dan penempatan kerja lulusan harus diselenggarakan.
Sementara tantangan dari kaca mat internasional telah mendorong kesadaran kita dalam
upaya menyiapkan tenaga keperawatan yang handal dengan kompetisi global. Untuk ini
undang-undang harus disesuaikan di antaranya undang-undang tentang registrasi dan praktik
keperawatan dan penyesuaian pendidikan sesuai dengan sistem pendidikan nasional yang
baru (Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003).
Bagian berikut akan membahas jenis pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia, yaitu:
Sekolah Perawat Kesehatan, Pendidikan Ahli Madya Keperawatan (Politeknik Kesehatan),
Program Sarjana, dan Pasca- Sarjana Keperawatan.
1. Sekolah Perawat Kesehatan

Dari beberapa jenis jenjang pendidikan keperawatan, Sekolah Perawat Kesehatan (SPK)
merupakan institusi yang telah menyumbang tenaga keperawatan dalam jumlah paling
besar. Ini karena mayoritas pendidikan keperawatan di Indonesia pada saat didirikan
adalah SPK. SPK sebelumnya bernama SPR (Sekolah Pengatur Rawat) yang mulai
dirintis pada tahun 1960. Pada tahun yang sama juga mulai didirikan pendidikan dengan
jenjang lebih tinggi, yaitu akademi perawatan yang saat ini menawarkan program
diploma tiga keperawatan.
Dasar pendidikan keperawatan pada awal kemerdekaan adalah sekolah dasar ditambah
keperawatan yang lamanya bervariasi. Kemudian pada tahun 1960 mulai dikembangkan
Sekolah Perawat Kesehatan (SPR) dengan latar belakang pendidikan SMP yang
sekarang ini bernama SPK (Jahmono, 1993). Tujuan pendidikan SPK adalah meluluskan
perawat kesehatan yng mampu sebagai pelaksana maupun pengelola keperawatan. Lama
pendidikan dirancang tiga tahun. Pada masa tersebut pendirian SPK merupakan jawaban
tepat bagi pemerintah untuk mencukupi kebutuhan jumlah tenaga keperawatan. Karena
kebutuhan tenaga keperawatan masih sangat dibutuhkan, lulusan SPK rata-rata tidak
mengalami kesulitan untuk mendapat pekerjaan. Hal ini yang menyebabkan salah satu
animo untuk mendaftarkan diri ke SPK cukup besar pada masa itu.
Permasalahan kesehatan lain kemudian muncul, tidak saja upaya untuk memenuhi
tenaga keperawatan, tetapi juga penyediaan tenaga bidan. Untuk mencukupi tenaga
bidan, pemerintah menyelenggarakan program pendidikan bidan satu tahun yang
pesertanya diambil dari lulusan SPK. Penyelenggaraan ini diharapkan dapat
menghasilkan tenaga bidan untuk ditempatkan di desa-desa (bidan desa).
Sistem Kesehatan Nasional (2004) menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan
vokasi, sarjana, dan profesi tingkat pertama adalah institusi pendidikan tenaga kesehatan
yang telah diakreditasi oleh asosiasi institusi pendidikan kesehatan yang bersangkutan.
Penyelenggaraan pendidikan profesi tingkat lanjutan adalah institusi pendidikan
(university based) dan institusi pelayanan kesehatan (hospital based) yang diakreditasi
oleh kolegium profesi yang bersangkutan.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003)
dijelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan akademik, profesi dan vokasi yang
semuanya diselenggarakan melalui pendidikan tinggi. Bila dilihat dari pernyataan dalam

Sistem Pendidikan Nasional, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan SPK sudah


tidak sesuai lagi.
Adanya tuntutan bahwa perawat harus dipersiapkan melalui pendidikan tinggi seperti
tercantum dalam SKN yang lama dan yang baru (diatas) telah lama ditanggapi antara
lain dengan mengonversikan SPK menjadi jenjang pendidikan diploma tiga dan
menunjuk AKPER yang melaksanakan program ini (Nugroho Imam Santosa, 1992) dan
dengan memberi kesempatan kepada perawat lulusan SPK untuk melanjutkan
pendidikannya tanpa harus meninggalkan pekerjaannya. Namun, seperti diakui oleh
beberapa pengelola dari Pusdiknakes bahwa daya serap upaya ini masih mengalami
kendala.
2. Program Diploma Tiga Keperawatan
Penyelenggaraan program diploma tiga keperawatan merupakan salah satu upaya
antisipasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan. Program ini pertama-tama
diselenggarakan pada tahun 1960-an, yaitu dengan berdirinya Akper Bandung.
Persyaratan peserta adalah lulusan SMU atau lulusan SPR/SPK yang sudah bekerja.
Tahun demi tahun pendirian Akper semakin berkembang dan untuk saat ini institusi
pendidikan ini dapat ditemukan di setiap provinsi.
Seperti halnya SPK, secara administrative program diploma tiga dibawah koordinasi
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Departemen Kesehatan. Pada beberapa tahun lalu,
kurikulum program diploma tiga adalah kurikulum inti yang disusun oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, kurikulum yang disusun telah dikembangkan dengan
Community Oriented Nursing Education atau pendidikan keperawatan yang berorientasi
kepada masyarakat.
Tujuan dari program diploma tiga keperawatan adalah menghasilkan tenaga perawat
professional pemula yang mendapat sebutan ahli madya keperawatan yang merupakan
manajer menengah dalam keperawatan yang diharapkan mampu sebagai pelaksana,
pengelola, pendidik, dan partisipasi aktif dalam penelitian ilmiah. Peserta yang
mengikuti program diploma terdiri dari peserta umum (lulusan SMU) dan peserta
lulusan SPK. Untuk meningkatkan karier, para lulusan diploma setelah memenuhi
persyaratan tertentu dapat melanjutkan ke program sarjana keperawatan.
Adanya berbagai pendidikan kesehatan yang menawarkan berbagai program di
lingkungan Depkes telah dinilai tidak efisien sehingga pada pertengahan tahun 1990-an.
Departemen Kesehatan mulai mengembangkan system Multy-stream academy dengan

berbagai institusi pendidikan dalam dalam lingkungan atau lokasi yang sama dipadukan
menjadi pendidikan satu atap. Untuk mengadakan pengkajian/pendataan secara lebih
mendalam, Departemen Kesehatan bekerja sama dengan P4D Departemen Pendidikan
Nasional pada tahun 1999-2000. Hasil dari pendataan ini dijadikan landasan untuk
mengembangkan sistem pengelolaan akademi-akademi kesehatan menjadi politeknik
kesehatan. Pembentukan politeknik kesehatan dikukuhkan dengan diterbitkannya
Keputusan dari Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Nomor 298/MenkesKesos/SK/IV/2001 (Pusdiknakes, 2004).
Dalam keputusan Menkes Dan Kesejahteraan Sosial RI di atas dijelaskan bahwa
pelaksanaan teknis institusi pendidikan ini tetap di bawah Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial dan pimpinan institusi adalah direktur yang secara administratif
bertanggung jawab kepada Kepala Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial. Program yang dapat diselenggarakan adalah program diploma I, II,
III dan IV.
3. Program S1 dan Pendidikan Keperawatan Lebih Tinggi
Pendidikan pada tahap ini bersifat pendidikan akademik profesional (pendidikan
keprofesian), menekankan pada penguasaan landasan keilmuan, yaitu ilmu keperawatan
dan ilmu-ilmu penunjang, penumbuhan serta pembinaan sikap dan keterampilan
profesional dalam keperawatan. Pada jenjang pendidikan ini, menghasilkan perawat
generalis, terdapat dua tahap program, yaitu tahap program akademik yang pada akhir
pendidikan mendapat gelar akademik Sarjana Keperawatan (S.Kp.) dan tahap program
keprofesian yang pada akhir pendidikan mendapat sebutan profesi Ners (Ns).
Penyelenggaraan program sarjana keperawatan pada awalnya merupakan perwujudan
dari Peraturan Pemerintah No. 27/1991, SK Mendikbud No. 0211/V/1982 dan
0212/U/1982 serta Direktorat Pendidikan Tinggi No. 048/DJ/Kep/1982, yang menyatakan
tentang Pendidikan Tinggi. Penyelenggaraan ini juga sesuai dengan hasil salah satu
lokakarya nasional, yaitu di bulan Januari 1983 yang menghasilkan consensus nasional
tentang perawat sebagai profesi, sehingga tenaga keperawatan harus disiapkan melalui
pendidikan tinggi.
Program Strata 1 atau Sarjana Keperawatan mulai diselenggarakan pada tahun 1985 oleh
Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang
sejak tahun 1995 menjadi Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK UI) berdasarkan SK
Mendikbud RI No. 0332/0/1995 (FIK-UI, 2005). Karena kebutuhan tenaga keperawatan

dari lulusan pendidikan tinggi yang mendesak, kemudian program S1 Keperawatan juga
diselenggarakan oleh berbagai universitas yang lain, misalnya Universitas Gadjah Mada
pada tahun 1998 mendirikan Program Studi Ilmu keperawatan. Salah satu kelebihan dari
PSIK UGM adalah digunakannya

Problem Based Learning sebagai metode

pembelajaran. Tidak lama kemudian diselenggarakan program serupa di Universitas


Airlangga yang pendiriannya berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 122/Dikti/Kep/1999
tanggal 7 April 1999. Untuk saat ini beberapa universitas dan juga Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan telah menawarkan program S1 Keperawatan.
Beberapa hal yang penting untuk kita perhatikan dari penyelenggaraan pendidikan tingkat
sarjana keperawatan adalah bagaimana kita secara tepat mampu mengelola sumber daya
tenaga tingkat sarjana ini setelah mereka menyelesaikan pendidikannya dan hal yang lain
adalah bagaimana kita meningkatkan dan mempertahankan mutu pendidikan dan
penelitian.
Untuk mencetak perawat dengan kemampuan kepemimpinan, manajerial dan penelitian
yang andal,, Universitas Indonesia melalui Program Studi Magister Ilmu keperawatan
juga telah menawarkan Program S2 dengan kekhususan kepemimpinan dan manajemen
keperawatan. Lama program ini adalah dua tahun (empat semester). Di masa mendatang
kita berharap bahwa universitas di tanah air juga mampu menyelenggarakan program S2
keperawatan ini dengan berbagai peminatan termasuk peminatan klinis guna menyiapkan
perawat dengan kompetensi klinis tingkat tinggi (advanced nursing practice) dan perawat
peneliti melalui program S3 keperawatan.
4. Pendidikan Spesialis Bidang Keperawatan
Dalam memenuhi atau menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat dan pembangunan
kesehatan di masa depan, dan bertolak pada pandangan bahwa setiap saat dan tahap
pengembangan perlu diupayakan untuk meningkatkan relevasi dan mutu asuhan
keperawatan kepada masyarakat, maka dikembangkan pendidikan keperawatan pada
jenjang spesialis. Pendidikan jenjang ini lebih merupakan pendidikan yang memperdalam
pengetahuan dan keterampilan keprofesian. Sifat memperdalam ilmu pengetahuan
keperawatan, walaupun lebih mengutamakan ilmu keperawatan klinik, namun tidak dapat
dipisahkan sepenuhnya dengan perkembangan kelompok-kelompok ilmu dasar dan
penunjang, termasuk ilmu dasar keperawatan.
Jenis pendidikan pada jenjang pendidikan ini didasarkan pada tuntutan kebutuhan
pelayanan keperawatan, dan perkembangan ilmu keperawatan, khususnya keperawatan

klinis. Dalam pengembangan jenjang pendidikan ini dicegah terjadinya fragmentasi yang
berlebihan yang dapat merugikan masyarakat dan perkembangan profesi keperawatan.
Penetapan jenis spesialisasi seyogyanya dilakukan secara bersama-sama oleh pihak yang
bertanggung jawab terhadap pengembangan pendidikan tinggi keperawatan, pelayanan
keperawatan dan kesehatan, serta organisasi profesi keperawatan.
Program Pendidikan Spesialis bidang keperawatan yang ada saat ini adalah program
pendidikan spesialis maternitas dan kedepan akan dikembangkan program spesialis lain
sesuai dengan kebutuhan.
5. Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan
Perawat diwajibkan mempertahankan kemampuannya dalam menjalankan asuhan
keperawatan yang bermutu tinggi sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan
terbaru, menyesuaikan dengan perubahan peran dan fungsi sesuai dengan kewenangan
keperawatan, mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru dan memodifikasi
perilaku dan pemahaman profesionalismenya. Untuk itu, setiap perawat yang masih aktif
menjalankan

tugasnya

harus

senantiasa

mempertahankan

dan

meningkatkan

kemampuannya antara lain dengan mengikuti pendidikan keperawatan berkelanjutan.


Pendidikan keperawatan berkelanjutan pada prinsipnya tidak selalu harus ditempuh
dengan pendidikan formal, tetapi dapat pula ditempuh dengan mengikuti kursus jangka
pendek atau pelatihan yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan tinggi atau belajar
mandiri/informal dengan mengikuti berbagai kesempatan yang diberikan oleh organisasi
profesi atau badan lain yang berwenang.
Dalam SK Menkes No. 674/Menkes/SK/IV/2000 tanggal 14 April 2000 tentang registrasi
dan praktik keperawatan, dinyatakan dengan jelas bahwa setiap perawat diwajibkan
selalu meningkatkan kemampuan keilmuwan dan/keterampilan bidang keperawatan
melalui pendidikan dan/atau pelatihan; baik diselenggarakan oleh pemerintah maupun
organisai profesi.
Di masa mendatang kita berharap bahwa pendidikan keperawatan berkelanjutan/pelatihan
bagi perawat akan dapat ditata secara lebih terkendali dan terencana dan tidak dijalankan
hanya secara sporadik dan secara kebetulan. Tidak berlebihan bila untuk sekedar
gambaran, penatalaksanaan pendidikan keperawatan berkelanjutan di Inggris sudah
banyak ditawarkan sebagian besar oleh universitas/college bagi yang ingin mengikuti
jalur formal baik berupa study days ataupun mengikuti modul-modul tertentu. Mereka
tidak dapat menghindar dari kegiatan ini, karena seperti yang dipersyaratkan oleh NMC

(the Nursing and Midwifery Council), perawat tidak dapat memperpanjang surat izin
praktiknya bila tidak ada bukti bahwa mereka telah cukup mengikuti pendidikan
keperawatan berkelanjutan. Perawat juga dapat mengikuti pendidikan berkelanjutan
dengan cara belajar mandiri dari paket-paket yang terakreditasi yang ditawarkan oleh
RCN (The Royal College of Nurses). Banyak perawat yang mengambil modul ini dalam
rangka untuk mendapatkan ijazah S1-nya melalui degree pathways tetapi banyak juga
yang hanya mengambil modul tanpa ingin memperoleh ijazah S1. Tentu saja hal-hal
seperti ini membutuhkan kebijakan dan perangkat yang memadai. Barangkali gagasan
seperti ini dapat kita terapkan di Indonesia, sehingga perawat kita dapat meningkatkan
ilmunya sementara mereka masih tetap dapat bekerja, sehingga institusi pelayanan tidak
dirugikan dan kesejahteraan keluarga bagi perawat juga dapat dipertahankan karena
mereka tidak perlu meninggalkan keluarga mereka.
Terlepas dari jenjang pendidikan yang ditawarkan, sepertinya ada beberapa hal umum
yang dihadapi oleh semua pendidikan keperawatan baik menengah atau tinggi. Hal ini
antara lain disebabkan oleh berbagai perubahan sosial dan politik yang sama di tanah air
kita. Berbagai persoalan yang kiranya dapat kita pakai sebagai bahan kajian kita bersama
adalah:
a. Upaya dalam mempertahankan mutu pendidikan keperawatan. Dalam 15 tahun
terakhir, jumlah institusi pendidikan keperawatan di Indonesia meningkat dengan
cepat dan sering kali hal ini menyulitkan kita untuk mengendalikan dan
mempertahankan mutu pendidikan. Walaupun sudah ada sistem akreditasi bagi
institusi pendidikan kesehatan, namun upaya ini dirasa masih jauh dari yang kita
harapkan.
b. Arah dan kurikulum pendidikan keperawatan. Dalam situasi global saat ini, kita
berharap dapat mencetak tenaga keperawatan yang berkompetensi tinggi. Namun
dampaknya, arah pendidikan sering kali menjadi kabur dan muatan kurikulum
menjadi tidak jelas. Kurikulum seharusnya disusun dengan mendasarkan isi program
pendidikan secara seimbang untuk memenuhi kebutuhan setempat (provinsi/daerah),
nasional dan nternasional.
c. Kesempatan untuk mengikuti pelatihan/pendidikan semakin meningkat secara umum,
namun tidak semua perawat dapat mengakses kesempatan ini karena berbagai faktor
antara lain persyaratan administratif, cara pengusulan, batasan usia dan pembatasan

jumlah peserta yang dapat diterima serta keterbatasan dana dan komitmen dengan
keluarga.
d. Keterbatasan tenaga pengajar dan fasilitas klinik. Jumlah doktor dan master
keperawatan masih sangat terbatas untuk kebutuhan pengajaran program sarjana
keperawatan. Di pengajaran jenjang diploma, penyediaan jumlah tenaga pengajar
dengan kualifikasi master (S2) dan sarjana keperawatan belum memadai. Hal ini juga
terjadi di jenjang pendidikan SPK. Selain keterbatasan tenaga pengajar, sumber
fasilitas pendidikan belum juga memadai

seperti lahan praktik, peralatan

laboratorium, dan buku-buku keperawatan dan akses mahasiswa dalam menggunakan


sarana elektronik (mis., jurnal-jurnal keperawatan).
e. Siswa/mahasiswa keperawatan semakin dilibatkan dalam pengembangan kurikulum,
membuat aturan/kebijakan dan evaluasi program. Upaya ini walau nampaknya
berjalan lambat tetapi tetap mendapat perhatian. Perubahan sosial dan kedewasaan
mahasiswa, dengan tuntutan mereka untuk mempunyai bagian dalam program
pendidikan menyebabkan beberapa mahasiswa ikut aktif dalam pengendalian
pengajaran maupun administratif.

D. PERKEMBANGAN TEORI KEPERAWATAN


Perkembangan sistematik dari keperawatan menuju kepada keperawatan sebagai profesi,
bermula dari pandangan dan pernyataan dari Florence Nightingale yang mempunyai visi
yang sangat maju tentang keperawatan. Dalam perkembangan teori keperawatan
selanjutnya, muncul nama-nama besar ilmuwan keperawatan yang memberikan sumbangan
yang sangat bermakna dalam perkembangan keperawatan.
1. Hildegard E. Peplau (1952)
Teori yang dikembangkannya, yaitu keperawatan psikodinamik (psychodynamic
nursing), sangat dipengaruhi oleh model hubungan interpersonal, khususnya model
psikoanalitik. Ia melihat bahwa keperawatan adalah suatu proses interpersonal yang
bersifat terapeutik (significant therapeutic interpersonal process).
Menurut Peplau, keperawatan adalah therapeutic yang mempunyai seni penyembuhan
dalam membantu orang yang sakit atau orang yang membutuhkan perawatan kesehatan.
Keperawatan dapat dianggap sebagai proses interpersonal sebab melibatkan interaksi
antara 2 atau lebih individu dengan tujuan tertentu.
Peplau mengenali 4 fase dalam hubungan interpersonal perawat-klien yang meliputi :
a. Fase orientasi
Fokusnya adalah fase menentukan atau menemukan masalah. Pertama kali perawat
dan pasien bertemu masih sebagai orang yang asing satu sama lain, pasien dan
keluarganya memiliki perasaan butuh bantuan profesional walaupun kebutuhan ini
kadang-kadang tidak dapat dikenali atau dimengerti oleh mereka. Pada fase ini
paling penting adalah perawat bekerja sama secara kolaborasi dengan pasien dan
keluarganya dalam menganalisis situasi yang kemudian bersama-sama mengenali,
memperjelas dan menentukan masalah yang ada. Setelah masalahnya diketahui,
diambil keputusan bersama untuk menentukan tipe/jenis bantuan apa yang
diperlukan. Perawat sebagai fasilitator dapat merujuk klien ke ahli lain sesuai dengan
kebutuhan.
b. Fase identifikasi
Fase ini fokusnya memilih bantuan profesional yang sesuai. Pada fase ini pasien
merespon secara selektif ke orang-orang yang dapat memenuhi kebutuhannya, setiap
pasien mempunyai respons berbeda-beda pada fase ini. Respons pasien terhadap
keperawatan adalah :
1) Berpartisipasi dan interdependen dengan perawat,
2) Otonomi dan independen dari perawat,

3) Pasif dan dependen pada perawat.


c. Fase ekploitasi
Fase ini fokusnya adalah menggunakan bantuan profesional untuk alternatif
pemecahan masalah. Pelayanan yang diberikan berdasarkan minat dan kebutuhan
dari pasien, pasien mulai merasa sebagai bagian integral dari lingkungan pelayanan.
Pada fase ini pasien mulai menerima informasi-informasi yang diberikan padanya
tentang penyembuhannya, mungkin berdiskusi atau mengajukan pertanyaanpertanyaan pada perawat, mendengarkan penjelasan-penjelasan dari perawat,
mendengarkan penjelasan-penjelasan dari perawat dan sebagainya.
d. Fase resolusi
Fokusnya adalah mengakhiri hubungan profesional. Pasien dan perawat dalam fase
ini perlu untuk mengakhiri hubungan therapeutik mereka.
2. Florence Nightingale (1959)
Nightingale sebagai pioner era modern dalam pengembangan

keperawatan,

mengembangkan teori keperawatan yang sangat dipengaruhi oleh pandangan filosofinya


tentang interaksi manusia/klien dengan lingkungannya. Ia melihat penyakit sebagai
proses pergantian atau perbaikan (reparative process). Upaya membantu proses
perbaikan atau pergantian tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan manipulasi
lingkungan eksternal. Manusia mempunyai kemampuan alamiah terhadap proses
penyembuhan.
3. Faye G. Abdellah (1960)
Abdella mendefinisikan keperawatan (nursing) sebagai pelayanan kepada individu dan
keluarga serta masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang
membentuk/menciptakan sikap dan kemampuan intelektual serta keterampilan teknik
dari individu sehingga mempunyai keinginan yang dalam dan kemampuan untuk
menolong manusia, baik sakit maupun sehat agar mampu menangani kebutuhan
kesehatan.
4. Ida Jean Orlando (1961)
Ia menggunakan hubungan interpersonal sebagai landasan teorinya. Perhatian utamanya
adalah sifat unik dari setiap individu/klien, yaitu ekpresi klien, baik verbal maupun
nonverbal,

menunjukkan/mengisyaratkan

kebutuhan.

Kegiatan

atau

tindakan

keperawatan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien. Teori keperawatan dari

Orlando yang dikenal sebagai disciplined professional respons theory, menekankan


pada hubungan timbal balik (reciprocal relationship) antara perawat dan pasien.
5. Ernestine Wiedenbach (1964)
Perhatian utamanya adalah aspek kiat atau aspek praktik dari keperawatan. Menurut
Wiedenbach keperawatan klinik (clinical nursing) mempunyai empat komponen, yaitu
filsafat (philosophy), kemanfaatan/kegunaan (purpose), praktik, dan kiat (art).
Pandangan ini yang melandasi pendapatnya bahwa pada praktik keperawatan terdapat
tiga komponen, yaitu:
a. Mengidentifikasi kebutuhan klien/pasien;
b. Melaksnakan bantuan yang diperlukan; dan
c. Mengevaluasi dan menyatakan (mensahkan) bahwa bantuan yang diberikan memang
bermanfaat.
Teori keperawatan dari Wiedenbach ini kemudian dikenal sebagai the helping art of
clinical nursing.
6. Virginia Henderson (1966)
Teori Henderson berfokus pada individu yang berdasarkan pandangannya, yaitu bahwa
jasmani (body) dan rohani (mind) tidak dapat dipisahkan. Menurut pendapat Henderson,
manusia adalah unik dan tidak ada dua manusia yang sama. Kebutuhan dasar individu
tercermin dalam 14 komponen dari asuhan keperawatan dasar (basic nursing care).
Virginia Henderson (1966) mengidentifikasi 14 komponen dalam asuhan keperawatan
dasar (basic nursing care) pada tingkat asuhan individual, mengacu kepada aktivitas
dalam kehidupan sehari-hari dari seseorang; perawat membantunya dengan fungsifungsi ini, atau membuat kondisi sehingga memungkinkan ia melakukan hal-hal berikut
ini :
a. Bernafas normal
b. Minum dan makan secukupnya/adekuat
c. Eliminasi melalui berbagai cara eliminasi
d. Bergerak dan menjaga sikap/memelihara postur tubuh yang menyenangkan
(berjalan, duduk, berbaring, dan bertukar dari suatu posisi ke posisi lain)
e. Tidur dan istirahat
f. Memilih pakaian yang sesuai, berpakaian dan tidak berpakaian
g. Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal melalui penyesuaian pakaian dan
memodifikasi lingkungan
h. Menjaga tubuh bersih, terawat baik, dan melindungi kulit
i. Menghindari bahaya di lingkungan dan menghindari membahayakan orang lain
j. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengekspresikan emosi, kebutuhan,
kecemasan, dan lain sebagainya.

k. Mengerjakan sesuatu yang memberikan perasaan menyelesaikan sesuatu (sense of


accopmlishment)
l. Melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya
m. Bermain atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk rekreasi
n. Belajar menemukan atau memenuhi rasa ingin tahu yang menuju kepada
pertumbuhan normal dan sehat.
7. Mira Estrin Levine (1967)
Levine melihat individu sebagai makhluk utuh (holistic beings) yang memiliki
kemampuan merespons secara organismik sebagai upaya mengadaptasi diri terhadap
lingkungan. Menurut pandangannya, intervensi keperawatan adalah bantuan terhadap
klien secara holistik dan merupakan pusat kegiatan keperawatan, mempercepat proses
adaptasi yang turut berperan dalam proses penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Pada
tahun 1973 ia mengemukakan 4 prinsip konservasi (conservation principles), yaitu:
a. Conservation of energy,
b. Conservation of structural integrity,
c. Conservation of personal integrity, dan
d. Conservation of social integrity.
8. Martha E. Roger (1970)
Dasar teori Roger adalah ilmu tentang asal usul manusia dan alam semesta seperti
antropologi, sosiologi, agama, filosofi, perkembangan sejarah dan mitologi. Teori Roger
berfokus pada proses kehidupan manusia secara utuh. Ilmu keperawatan adalah ilmu
yang mempelajari manusia, alam dan perkembangan manusia secara langsung.
Lima asumsi yang mendasari teori Roger, adalah sebagai berikut :
a. Manusia adalah kesatuan yang utuh, masing-masing mempunyai sifat dan karakter
yang berbeda serta mempunyai proses hidup yang dinamis.
b. Manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan; manusia adalah sistem terbuka, ia
akan memengaruhi dan dipengaruhi lingkungan sekitarnya.
c. Proses kehidupan manusia berjalan lambat, tidak dapat diubah dan tidak terarah,
jalan hidup tiap individu berbeda.
d. Identitas individu merupakan gambaran dari seluruh proses kehidupannya sehingga
perkembangan manusia dapat dilihat dari tingkah lakunya.
e. Manusia diciptakan dengan karakteristik dan keunikan tersendiri.
9. Dorothea E. Orem (1971)
Orem melihat individu suatu kesatuan utuh yang terdiri atas suatu yang bersifat fisik,
psikologik dan sosial, dengan derajat kemampuan mengasuh diri sendiri (self care
ability) yang berbeda-beda. Berdasarkan pandangan ini, ia berpendapat bahwa kegiatan
atau tindakan keperawatan ditujukan kepada upaya memacu kemampuan mengasuh diri

sendiri. Ia menyatakan bahwa teorinya, yaitu self-care deficit theory of nursing,


merupakan teori umum (general theory).
Pada teori, ia menggambarkan kapan keperawatan diperlukan, keperawatan diberikan
jika :
a. Kemampuan kurang dibandingkan dengan kebutuhan,
b. Kemampuan sebanding dengan kebutuhan, tetapi diprediksi untuk masa yang akan
datang kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan kebutuhan.
Lima metode bantuan menurut Orem :
a. Bertindak untuk orang lain
b. Membimbing
c. Memberikan dukungan fisik maupun psikis
d. Menciptakan lingkungan yang dapat meningkatkan perkembangan personal dalam
memenuhi kebutuhan saat ini dan yang akan datang
e. Mengajarkan
10. Imogene F. King (1971)
King memandang bahwa klien/pasien sebagai sistem perorangan (personal system) di
dalam lingkungan, sebagai makhluk yang mempunyai daya bereaksi (reacting beings),
makhluk yang berorientasi pada waktu (time-oriented beings), dan makhluk sosial
(social beings) yang mempunyai kemampuan untuk mempersepsikan berpikir, memilih,
menetapkan tujuan, dan memiliki kegiatan untuk mencapai tujuan, serta membuat
keputusan. Keperawatan dilihat sebagai aksi, reaksi, interaksi dan transaksi dari proses
interpersonal. King mendefinisikan keperawatan sebagai proses interaksi manusia
(process of human interactions) antara perawat dan klien yang berkomunikasi untuk
menentukan tujuan, mengeksplorasi sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan,
mengeksplorasi sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan, serta menyepakati
sumber-sumber yang digunakan dalam mencapai tujuan. Teori King dikenal sebagai
theory of goal attainment.
11. Betty Newman (1972)
Newman mengemukakan model sistem (system model) dalam pendidikan dan praktik
keperawatan. Newman menggunakan pendekatan manusia utuh (total person approach),
dengan memasukkan konsep holistik, pendekatan sistem terbuka (open system), dan
konsep stressor.
Model ini menganalisis interaksi empat variabel penunjang komunitas yang meliputi
fisik, psikologi, sosial kultural dan spiritual. Adapun tujuan keperawatan adalah
stabilitas klien dan keluarga dalam lingkungan yang dinamis.

Empat konsep mayor dari teori newman :


a. Manusia. Manusia merupakan suatu sistem terbuka yang selalu mencari
keseimbangan yang harmoni dan merupakan satu kesatuan dari variable-variabel
fisiologis, psikologis, sosiokultural, perkembangan, dan spiritual.
b. Lingkungan. Lingkungan adalah semua kekuatan, baik internal dan eksternal yang
dapat memengaruhi hidup dan perkembangan klien atau sistem klien.
c. Keperawatan. Secara umum, keperawatan merupakan profesi yang unik, mencakup
tentang respons manusia terhadap stresor yang merupakan konsep yang utama untuk
mencapai stabilitas pasien. Newman mendefinisikan parameter dari keperawatan
adalah individu, keluarga dan kelompok dalam mempertahankan tingkat yang
maksimal dari sehat dengan intervensi untuk menghilangkan stres dan menciptakan
kondisi yang optimal bagi pasien intervensi keperawatan bertujuan untuk
menurunkan stresor melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
d. Kesehatan. Kesehatan adalah keadaan yang adekuat dalam suatu sistem stabilitas
yang merupakan keadaan yang baik. Sehat adalah kondisi terbebasnya dari gangguan
pemenuhan kebutuhan dan sehat merupakan keseimbangan yang dinamis sebagai
dampak dari keberhasilan menghindari atau mengatasi stresor.
12. Faye G. Abdellah (1973)
Kontribusi Abdellah dalam teori keperawatan adalah pemanfaatan secara sistematik dari
data riset dalam merumuskan dan memfasilitasi 21 masalah keperawatan. Model
keperawatannya berdasarkan metode pemecahan masalah.
13. Sister Callista Roy (1976)
Roy memandang individu sebagai makhluk bio-psiko-sosial yang harus dilihat sebagai
suatu kesatuan utuh yang secara terus menerus berinteraksi dengan lingkungan,
berespons terhadap lingkungan, dan beradaptasi dengan lingkungan. Keperawatan
dilihat sebagai kegiatan atau tindakan yang ditujukan pada upaya menghilangkan stimuli
dan memacu kemampuan adaptasi dari individu. Model keperawatan yang
dikembangkannya selanjutnya dikenal sebagai adaptation model.
14. Madeleine Leiniger (1981)
Leiniger menekankan bahwa mengasuh (caring) adalah tema sentral dari asuhan
keperawatan, serta pengetahuan dan praktik keperawatan. Teorinya tentang keperawatan
berdasarkan antropologi, adalah teori keperawatan lintas-budaya (Transcultural care
theory) yang menekankan bahwa perilaku, nilai dan keyakinan individual dan kelompok

berdasarkan kebutuhan kulturalnya harus diperhatikan, agar asuhan keperawatan yang


diberikan kepadanya efektif dan memuaskan.
Dari uraian sepintas di atas digambarkan teori dalam keperawatan yang terjadi dengan
pesat. Dan hal ini akan terus berlangsung, bahkan mungkin dalam kecepatan yang lebih
tinggi, mengingat bahwa perkembangan ilmu-ilmu yang menopang ilmu keperawatan
juga berkembang dengan pesat.
E. PERJALANAN KEPERAWATAN
Dalam perjalanan keprofesionalismeannya, ternyata keprofesionalismean keperawatan
sulit tercapai bila pendidikan vocational lebih banyak dari pada pendidikan yang bersifat
profesionalisme, dalam hal ini pendidikan tinggi keperawatan. Oleh karena itu, diperlukan
adanya standarisasi kebijakan tentang pendidikan keperawatan yang minimal berbasis S1
Keperawatan.
Terkait hal tersebut, Direktorat Pendidikan Tinggi mengeluarkan SK No 427/ dikti/ kep/
1999, tentang landasan dibentuknya pendidikan keperawatan di Indonesia berbasis S1
Keperawatan. SK ini didasarkan karena keperawatan yang memiliki body of knowladge
yang jelas, dapat dikembangkan setinggi-tingginya karena memilki dasar pendidikan yang
kuat. Selain itu, jika ditelaah lagi, penerbitan SK itu sendiri tentu ada pihak-pihak yang
terkait yang merekomendasikannya, dalam hal ini yakni Departemen Kesehatan ( DepKes)
dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Jika dilihat dari hal ini, maka dapat
disimpulkan adanya kolaborasi yang baik antara Depkes dan PPNI dalam rangka
memajukan dunia keperawatan di Indonesia.
Namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Banyak sekali kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh Depkes yang sangat merugikan dunia keperawatan, termasuk kebijakan
mengenai dibentuknya pendidikan keperawatan DIV di Politeknik-politeknik kesehatan
(Poltekes), yang disetarakan dengan S1 Keperawatan, dan bisa langsung melanjutkan ke
pendidikan strata dua (S2) dan juga. Padahal beberapa tahun lalu telah ada beberapa
Program Studi Ilmu Keperawatan di negeri ini seperti PSIK Univesitas Sumatera Utara dan
PSIK Universitas Diponegoro yang telah membubarkan dan menutup pendidikan DIV
Keperawatan karena sangat jelas menghambat perkembangan profesi keperawatan.

Selain itu masih beraktivitasnya poltekes-poltekes yang ada di Indonesia sekarang ini
yang sebetulnya melanggar hukum Sistem Pendidikan Nasional yang ada tentang pendirian
Poltekes, yakni Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Kedinasan, di mana
pendirian Poltekes yang langsung berada dalam wewenang Depkes bertujuan dalam rangka
mendidik pegawai negeri atau calon pegawai negeri di bidang kesehatan, sehingga setelah
lulus, lulusan-lulusan Poltekes tersebut akan langsung diangkat menjadi pegawai negeri.
Sedangkan saat ini, Poltekes bukan lagi merupakan Lembaga Pendidikan Kedinasan,
sehingga para lulusannya tidak lagi mendapat ikatan dinas menjadi pegawai negeri. Oleh
karena itu seharusnya Poltekes-poltekes yang sekarang ada ini tidak dapat lagi melakukan
aktivitasnya memberikan pendidikan keperawatan.
Selain itu akhir-akhir ini Depkes telah membuat kebijakan yang mengghentikan utilisasi
S1 Keperawatan, dan walaupun masih ada, mereka dijadikan perawat-perawat S1 yang siap
dikirim ke luar negeri. Hal ini bertujuan untuk menggoalkan DIV Keperawatan. Profesi
Keperawatan secara sedikit demi sedikit melalui cara-cara yang sistematis dibawa pada
jurang kehancuran. Tentunya kita sebagai calon-calon perawat profesional di masa depan
tidak akan membiarkan profesi kita tidak dihargai di masa depan dan pelayanan kesehatan
yang diterapkan sangat jauh dari pelayanan kesehatan standar yang seharusnya didapat oleh
bangsa ini.
Kini bangsa Indonesia diantara derasnya Reformasi, profesi perawat masih harus segera
membeli seperangkat alat material untuk membenahi tatanan kehidupan baru dengan
suara yang satu semangat solidaritas. Profesi kita sedang diuji dari zaman kezaman terus
saja menimpa profesi kita, kini puncak akumulasi permasalahan telah tiba mari kita rubah,
tengoklah beberapa fakta yang terjadi dulu hingga kini :

Pertama, Perawat masih dijadikan warga kelas dua dinegeri sendiri dengan bukti masih
banyaknya tenaga perawat yang menjalani tenaga Honorer atau tenaga kontrak
(PKWT).cobalah anda Check sendiri fakta ini di rumah-rumah sakit, poliklinik, tambangtambang, pengeboran minyak, puskesmas dan sarana-sarana Agency penyedia jasa tenaga
kerja ( outsourching ) yang nota bene penyalur perawat di berbagai kota besar di

Indonesia.masih saja menjalani praktek praktek tak senonoh berbentuk perbudakan moden
( modern slavery ) ini jelas melanggar konstitusi kita, amanat UU No.13 tahun 2003 dan
KepMenakerTrans No.100 tahun 2004 melarang untuk melakukan tindakan kontrak/honor
atau bahkan PHL ( Pekerja Harian Lepas ). Tenaga kontrak sesungguhnya hanya
diperuntukkan bagi buruh yang melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan itu
pun hanya berlaku 2 tahun plus satu tahun sedangkan tenaga harian lepas untuk pekerjaan
tertentu yang berubah-ubah dalam waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada
kehadiran. Praktek-praktek ini masih banyak menimpa para perawat Indonesia karena
lemahnya posisi tawar (bargaining position ) perlu diketahui bahwa perawat haram
hukumnya untuk dikontrak terlebih menggunakan pihak ketiga, perawat secara tupoksi
mengerjakan pekerjaan tetap dengan frekwensi terus-menerus dan bukan mengerjakan
barang yang sedang diuji cobakan.perawat adalah seorang yang telah menempuh serta lulus
pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikannya telah disyahkan
oleh pemerintah. (AD/ART PPNI/INNA Munas VII manado) ia adalah tenaga professional
dibidang perawatan kesehatan, ia bertanggung jawab atas perawatan, perlindungan dan
pemulihan, ia berperan dalam pemeliharaan pasien gawat darurat yang mengancam nyawa,
dan ia terlibat dalam riset medis dan perawatan sementara keperawatan adalah bentuk
pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan
berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan. Ini adalah bentuk bantuan karena adanya kelemahan
fisik dan atau mental dan bantuan atas ketidakmampuan melakukan kegiatan sehari-hari.

Kedua, Harga diri perawat kian hari kian diinjak-injak tanpa pengakuan sama sekali,
perawat bekerja secara terus-menerus 24 Jam dengan 2-3 Shift dengan segala resiko yang
mengancam, norma-norma kesehatan dan keselamatan kerja ( UU 13/2003 pasal 85/86 )
tidak dijalankan oleh pemerintah melalui instansi-instansi yang mempekerjakan perawat hal
ini diperparah lagi dengan sistem jaminan sosial yang tidak pernah merata, antara resiko dan
pendapatan tidak berimbang, penghasilan/financial perawat dari dahulu hingga kini tak
banyak mengalami suatu perubahan yang signifikan. Ini artinya professi perawat Indonesia
lagi-lagi termarginalkan. Jika kita ingat kembali memori lama kita tentang peristiwa

bencana alam / korban masal yang silih berganti menimpa bangsa kita justru tenaga
Perawatlah yang dijadikan ujung tombak dalam garda medis bencana alam, berapa juta
kasus yang sudah perawat tangani hinggi kini tak pernah dilihat oleh pemerintah namun
mereka rasakan, mereka merasakan ketika keluarga mereka sedang dirawat, mereka rasakan
ketika suatu beban pekerjaan mereka dapat terselesaikan oleh perawat sehingga tak jarang
karir dan jabatan mereka meroket karena jasa perawat. Berapa banyak pula kasus-kasus
yang diangkat dipermukaan menyangkut kesejahteraan perawat di Rumah-rumah sakit, di
Jakarta sudah terjadi Di RSU UKI, RS HAJI, RS Mata, AGD 118, RS DUREN SAWIT dan
masih banyak lagi ibarat fenomena gunung es, yang menyoalkan masalah kesejahteraan,
kejadian ini akan terus berlanjut sampai kapanpun sebelum nasib perawat dan keluarganya
diperhatikan dan dibuatkan suatu aturan secara definitive untuk kesejahteraan para
perawat.suatu perbandingan perawat Indonesia dengan perawat Kuwait yang mendapat gaji
berkisar antara Rp.10 juta s/d 14 juta perbulan, sedangkan rekan sejawat yang bekerja di
Indonesia maksimum hanya Rp.800.000 s/d 1,5 jt perbulan ( data ketua PPNI yang bekerja
dikuwait ),sekarang marilah kita tengok perbandingan gaji DPR disenayan, mereka sudah
seringkali meneriakkan persetaraan gaji / study dengan DPR di jepang dan korea padahal
gaji mereka sudah melebihi dari kebutuhan hidup, mengapa kita para perawat Indonesia
tidak meneriakkan hal yang serupa?? Mungkin ini salah satu penyebab mengapa profesi lain
memandang sebelah mata profesi perawat, selayaknya sesama tenaga kesehatan dengan
standart pendidikan yang setara harus bersanding berdiri sejajar dengan profesi lain, kalau
mereka bisa kenapa perawat tidak? ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut harus ada upaya
kuat dan sama-sama kita perjuangkan dengan beberapa cara diantaranya dengan
menggulirkan Upah Minimum sector Provinsi ( UMSP ) dibidang keperawatan, UU
Ketenangakerjaan nomor 13 tahun 2003 telah mengamanatkan bahwa upah minimum harus
didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Justru pemerintah telah melanggar
ketentuan ini. Melalui Peraturan Menteri Nomor 17, tahun 2005 PER-17/MEN/VIII/2005,
komponen KHL hampir tidak pernah diterapkan di keperawatan,bahkan masih banyak
perawat dengan gaji dibawah rata-rata UMP/R/S Akhirnya Kepmen 17/2005 menjadikan
UPAH LAYAK bagi perawat, hanyalah omong kosong belaka. Perawat Indonesia harus
mendapatkan kesejahteraan yang sama Seperti halnya upah PNS, TNI dan Polri, Upah
Layak ini berlaku secara nasional. Pengabdian perawat sama dengan mereka bahkan lebih

berat dari mereka. Upah Layak perawat selain memenuhi kebutuhan sandang dan pangan,
Apakah tuntutan ini berlebihan? TIDAK!!. Kemudian segera bentuk unit-unit organisasi
yang efektif untuk melakukan perlawanan yang serius.selain dari pada itu standart
kompetensi melalui pengesahan UU praktik keperawatan.kemudian dibuka pintu eksodus
selebar-lebarnya keluar negeri bagi perawat, dengan eksodus maka profesi perawat akan
dipandang unggul dan dibutuhkan Negara , sebagaimana yang telah terjadi di Philipine
dimana seorang dokter spesialis, pengacara, arsitek, profesi lainya berbondong-bondong
kuliah keperawatan karena profesi ini pandang unggul dan terhormat (data PPNI) maka dari
itu ayo bangkit dan lawan ketidak adilan ini.
Ketiga, Lemahnya perlindungan Hukum dan persamaan pengakuan profesi dimata Publik.
UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan menegaskan bahwa ada pengakuan profesi
keperawatan, ada suatu perbedaan kewenangan profesi antara dokter dan perawat. Hal ini
seyogyanya menjadi acuan dalam penguatan Legal aspek profesi perawat dimata publik,
namun rasanya UU dan keputusan menteri kesehatan tersebut belum lah cukup menjawab
semua tantangan global yang saat ini mengancam sendi kehidupan segenap anak bangsa,
perawat memberikan kontribusi yang begitu besar terhadap bangsa ini,tokoh keperawatan
Dunia Florence nightingle dan Siti Rufaidah telah merubah dunia dengan konsep kasih
sayangnya secara holistic ditengah-tengah kecamuk perang dunia ke II waktu itu. Lemahnya
perlindungan Hukum terhadap perawat Indonesia sangat jelas terlihat ketika para tenaga
peawat yang sedang mengalami gugatan Hukum tak terbela, misalnya perawat AGD Dinkes
DKI Jakarta yang sedang menjalankan tugas kemanusiaan dini hari ( 1-6-08 ) di tabrak oleh
oknum artis ibukota dan hingga kini kasusnya gantung di Pengadilan tinggi negeri jaksel
tanpa ada advokasi dari pemerintah, itu adalah contoh kecil yang terjadi dan barangkali
masih banyak kasus baik di dalam maupun diluar negri yang tak terungkap akibat sikap
kelalaian pemerintah.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keperawatan merupakan sebuah ilmu dan profesi yang memberikan pelayanan
kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat.Keperawatan ternyata sudah ada sejak
manusia ada dan hingga saat ini profesi keperawatan berkembang dengan pesat.Sejarah
perkembangan keperawatan di Indonesia tidak hanya berlangsung di tatanan praktik,dalam
hal ini layanan keperawatan,tetapi juga di dunia pendidikan keperawatan.Tidak asing lagi
pendidikan keperawatan memberi pengaruh yang besar terhadap kualitas layanan
keperawatan.Karenanya,perawat harus terus meningkatkan kompetensi dirinya,salah satunya
melalui pendidikan keperawatan yang berkelanjutan.
B. Saran
Dari kesimpulan yang ada maka kita sebagai calon perawat atau perawat harus terus
meningkatkan kompetensi dirinya.Salah satunya melalui pendidikan keperawatan yang
berkelanjutan,sehingga kita tidak mengalami ketertinggalan dari keperawatan internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Kusnanto,S.Kp, M.Kes. 2003.Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta :


EGC
Priharjo, Robert. 2008. Konsep dan Perspektif Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC
http://klinis.wordpress.com/2007/12/28/kualitas-pelayanan-keperawatan/
http://oknurse.wordpress.com/2009/09/02/praktik-mandiri-perawat/
http://te-in.facebook.com/topic.php?uid=52607945966&topic=12634

Anda mungkin juga menyukai