Anda di halaman 1dari 7

IBUPROFEN

Ibuprofen merupakan obat anti radang non steroid, turunan asam propionat
yang mempunyai aktivitas antiradang dan analgesik yang tinggi, terutama
digunakan untuk mengurangi rasa nyeri akibat peradangan pada berbagai kondisi
rematik dan arthritis. Ibuprofen seperti juga naproxen dan diclofenac merupakan
turunan asam propionat dengan efek analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi
yang menonjol, mencerminkan suatu penghambatan dari sintesis prostaglandin.
Turunan asam propionat sama bergunanya dengan salisilat dalam mengobati
berbagai bentuk dari arthritis termasuk osteoarthritis, rheumatoid arthritis, arthritis
gout akut. Ibuprofen sering diresepkan dalam dosis rendah yang bersifat analgesik
tetapi mempunyai efek anti-inflamasi rendah. Perubahan struktur minor pada
nukleus ibuprofen menghasilkan fenoprofen, ketoprofen, dan flurbiprofen.
Ibuprofen atau asam 2-(-4-Isobutilfenil) propionat dengan rumus molekul
C13H18O2 dan bobot molekul 206.28, rumus bangun dari ibuprofen adalah
sebagai berikut:

Gambar 1. Struktur kimia Ibuprofen

Indikasi dan Kontra Indikasi


Ibuprofen adalah salah satu jenis anti-inflamasi non-steroid (AINS) yang
diindikasikan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang, nyeri setelah operasi,
nyeri pada penyakit sendi (seperti pengapuran sendi atau rematik), nyeri otot,
nyeri haid, serta menurunkan demam. Ibuprofen juga memiliki efek anti-radang
dan anti-pembekuan darah yang lemah.
Kontraindikasi absolut atau orang yang tidak dapat menggunakan
ibuprofen adalah orang yang alergi terhadap obat anti-inflamasi nonsteroid
(AINS) seperti aspirin. Kontraindikasi relatif antara lain gangguan perdarahan,
luka pada lambung/usus 12 jari, sariawan, penyakit lupus, kolitis ulseratif, dan
wanita hamil trimester 3 (karena dapat menyebabkan penutupan prematur
pembuluh darah jantung). Orang yang mengalami asma, radang mukosa hidung,
atau biduran jika menggunakan aspirin atau obat AINS lain sebaiknya tidak
menggunakan ibuprofen. Hindari penggunaan pada penderita gangguan hati berat
dan gangguan ginjal.
Penggunaan Klinis
Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga
sedang, khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis
dan gout. Beberapa pasien dengan rheumatoid arthritis dapat ditangani dengan
baik menggunakan ibuprofen, namun secara umum ibuprofen lebih berguna untuk
pasien dengan peradangan yang ringan dan arthritis degeneratif. Flurbiprofen
lebih potensial sebagai anti-inflamasi dibandingkan dengan ibuprofen dan

biasanya dapat ditoleransi dengan baik. Ketoprofen dan fenoprofen sering


digunakan sebagai terapi pengganti naproxen.
Farmakokinetik
Secara umum ibuprofen beserta turunannya sangat cepat dan sangat efektif
diserap setelah pemberian peroral, dengan bioavailabilitas lebih besar dari 85%.
Puncak konsentrasi plasma terjadi antara 0,5 dan 3 jam tergantung jenis obat yang
dipilih. Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral, dan konsentrasi
puncak dalam plasma teramati setelah 15 sampai 30 menit. Waktu paruh dalam
plasma sekitar 2 jam. Seluruh jenis obat tersebut mengalir ke dalam cairan
sinovial secara perlahan dan masih terdapat dalam konsentrasi yang cukup tinggi
di sinovial walaupun konsentrasinya dalam plasma telah menurun. Distribusi
flurbiprofen relatif cepat ke dalam cairan sinovial dan konsentrasinya sebanding
dengan konsentrasi plasma setelah 6 jam pemberian peroral. Ibuprofen banyak
(99%) terikat pada protein plasma, tetapi obat ini hanya menduduki sebagian dari
seluruh tempat ikatan obat pada konsentrasi biasa. Ibuprofen melintas dengan
lambat ke dalam ruang synovial dan mungkin tetap berada pada konsentrasi yang
lebih tinggi jika konsentrasi dalam plasma menurun. Pada hewan percobaan,
ibuprofen dan metaboliknya dengan mudah melintasi plasma.
Ekskresi ibuprofen cepat dan sempurna. Lebih dari 90% dosis yang
teringesti diekskresi dalam urin sebagai metabolit atau konjugatnya.metabolit
utamanya adalah suatu senyawa terhidroksilasi dan senyawa terkarboksilasi.
Ibuprofen dieliminasi terutama melalui metabolisme secara luas di hati menjadi
hidroksil atau konjugasi karboksil dengan kurang dari 1% obat ditemukan dalam

urin dalam keadaan tidak dimetabolisme. Ibuprofen memiliki volume distribusi


yang relatif rendah (0,1 sampai 0,12 L/kg). Waktu paruh eliminasinya berkisar
antara 2 hingga 4 jam.
Farmakodinamik
Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesis prostaglandin dengan
menghambat Cyclooxygenase I (COX I) dan Cyclooxygenase II (COX II).
Namun tidak seperti aspirin, hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat
reversibel. Dalam pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan
mediator dari granulosit, basofil, dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan
terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit
T, melawan vasodilatasi, dan menghambat agregasi platelet.
Aktivitas analgesik (penahan rasa sakit) Ibuprofen bekerja dengan cara
menghentikan Enzim Sikloosigenase yang berimbas pada terhambatnya pula
sintesis Prostaglandin yaitu suatu zat yang bekerja pada ujung-ujung syaraf yang
sakit. Sedangkan untuk aktivitas antipiretik (penurun panas) Ibuprofen bekerja di
hipotalamus dengan meningkatkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) dan
aliran darah piretik.
Dosis
Untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang dosis dewasa penggunaan
ibuprofen peroral adalah 400 mg untuk nyeri haid 400 mg peroral kalau perlu.
Untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg. Untuk demam pada anak-anak 5mg/kgbb,

untuk

nyeri

pada

anak-anak

10mg/kgbb,

untuk

arthritis

juvenil

30-

40mg/kgbb/hari.
Efek ibuprofen timbul 30 60 menit setelah dikonsumsi dan bertahan
selama 4 8 jam. Dosis maksimal ibuprofen adalah 1200 mg/hari. Dosis
maksimal pada anak dengan berat badan < 30 kg adalah 500 mg/hari. Ibuprofen
lebih baik diminum segera setelah makan.
Efek Samping
Secara umum semua turunan asam propionat memiliki efek iritasi
gastrointestinal dan ulserasi yang lebih kecil dibandingkan dengan pemberian
salisilat. Fungsi platelet mungkin dipengaruhi dan bervariasi dari masing-masing
turunannya. Inhibisi dari sintesis prostaglandin dapat memperburuk disfungsi
ginjal pada pasien dengan kelainan ginjal yang mana prostaglandin diperlukan
untuk mempertahankan aliran darah ginjal. Dapat juga menimbulkan suatu reaksi
alergi pada pasien yang hipersensitif. Efek terhadap ginjal dapat berupa gagal
ginjal akut, nefritis interstisialis, dan sindrom nefrotik1
Efek samping dari ibuprofen dapat berupa kemerahan, pruritus, tinitus,
pusing, nyeri kepala, cemas, meningitis aseptik, dan retensi cairan di samping efek
gastrointestinal (dapat diubah dengan penelanan bersama makanan). Pemberian
ibuprofen dalam jangka waktu yang lama berhubungan dengan agranulositosis
dan aplasia sumsum tulang granulositik2
Ibuprofen telah digunakan pada pasien dengan riwayat intoleransi saluran
cerna terhadap NSAID lain. Namun, terapi biasanya harus dihentikan pada 10%
sampai 15% pasien karena intoleransi obat tersebut.

Efek samping saluran cerna dialami oleh 5% sampai 15% pasien yang
menggunakan ibuprofen; nyeri epigastrik, mual, nyeri ulu hati, dan rasa penuh di
saluran cerna merupakan gangguan yang umum. Namun, insidensi efek samping
ibuprofen ini lebih sedikit daripada dengan aspirin atau indometasin
Efek samping lain ibuprofen yang lebih jarang yang telah dilaporkan, yaitu
trombosipenia, ruam kulit, sakit kepala, pusing, dan penglihatan kabur, dan pada
beberapa kasus, ambliopia toksik, retensi cairan, dan edema. Pasien yang
mengalami gangguan mata harus menghentikan penggunaan ibuprofen. Ibuprofen
tidak dianjurkan untuk digunakan oleh wanita hamil, atau oleh ibu yang sedang
menyusui bayi
Interaksi Obat
Pemberian dengan aspirin meningkatkan pembersihan obat bebas (free
drug clearance). Dapat juga terjadi interaksi dengan koagulan namun jarang
terjadi.
Perbandingan Dengan NSAID Lainnya
Efek anti-inflamasi dari ibuprofen lebih besar daripada aspirin. Pada dosis
sekitar 2400mg per hari, efek anti inflamasi ibuprofen setara dengan 4g aspirin.

Daftar Pustaka
1. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology & Physiology in Anesthetic
Practice. 4th ed. USA: Lipincott Williams & Wilkins; 2006. p 276-90.
2. Katzung BG. Agoes HA (ed). Farmakologi Dasar dan Klinik. 6th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p 558-67.

3. Trevor AJ, Katzung BG, Masters SB. Katzung & Trevors Pharmacology
Examination & Board Review. USA: McGraw Hill; 2005. p 307-13.
4. Anderson PO, Knoben JE, Troutman WG. Handbook of Clinical Drug
Data. USA: McGraw Hill; 2002. p 20-21.

Anda mungkin juga menyukai