Anda di halaman 1dari 3

Aceh, perang dan simbol

Hari ini genap 38 tahun sejak hasan tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu
sebuah gerakan yang kelak diimpikannya untuk memerdekaan Aceh, atau setidaknya menjadikan
Aceh tidak mudah dipasoe ie lam punggong oleh Indonesia. Akan tetapi, hari ini, bukan waktu yang
pendek juga setelah beliau menhabiskan detik terakhirnya di bumi, untuk kita mengatakan bahwa
kegagalan sungguh telah terjadi untuk ide besar tersebut. Terutama dalam masalah tambal menambal
ulee-ulee boh leupiengnya.
Memasuki tubuh Aceh kali ini, saya ingin mengajak kita bersama untuk menjelajahi rimbunnya
medan tanda, yang dalam sejarah panjang Aceh telah mempunyai peran yang amat penting dan
sentral. Tanda yang saya maksud di sini adalah bahasa komunikasi verbal maupun non verbal yang
dikonstruksi oleh orang-orang tertentu untuk menimbulkan suatu pemaknaan maupun citra atasnya.
Berbagai tanda ini beredar dan seakan-akan di masa kini pun telah menjadi suatu kebutuhan tersendiri
bagi rakyat Aceh.
Dari pintu gerbangnya tanda tersebut, sejenak kita akan melihat orang-orang dengan begitu pasrahnya
menyerahkan dirinya untuk ditandai sebagai mangsa atas tanda-tanda yang tersebut. Seperti suatu
inisiatif yang menurut saya tidak diikuti dengan pembekalan yang cukup mengenai jenis bahasa
tersebut.
Pertarungan tanda di Aceh bahkan lebih dahsyat dari yang pernah kita bayangkan. Berbagai bentuk
tindakan yang telah mengorbankan harta dan nyawa orang-orang Aceh setidaknya terjadi melalui
proses yang bisa disebut sebagai perang tanda. karena setiap perang yang kecil sekalipun, tanda selalu
hadir di sana, baik di awal mapun di akhir.
Kegagalan mengelola simbol.
Hubungan ulama dan umara yang berubah menjadi hubungan yang simbolik.
Komunikasi yang tidak baik cendrung untuk merubah hubungan yang baik menjadi hubungan
simbolik. Contohya gubernur dan wakilnya.
Persoalan aliran dalam agama juga demikian, tampilnya simbol-simbol yang khas sebagai identitas
pada tiap-tiapnya juga telah merubah sebuah hubungan dialogis yang dulunya dipelihara menjadi
hungan simbolis yang lebih banyak dipertentangkan. Pemahaman yang datar tentang berbagai simbol
yang berbeda tersebut sedikitnya telah berdanpak pada pertarungan simbol yang merubah sikap
toleransi menjadi sikap agresif yang bersifat membenci dan melawan. Tidak Cuma dalam kekerasan
simbol, melainkan juga kekerasan fisik dari pengikut simbol.
Dalam sejarah Aceh, simbol telah digunakan dalam berbagai kegunaan. Setidaknya bukan hanya
untuk identitas emata, simbol telah berfungsi untuk menggerakkan rakyat Aceh yang diam.
Contohnya dalam penggunaan saat perang, berbagai simbol telah digunakan untuk membangkitkan
semangat perang. Syair-syair prang sabi tidak serta merta disampaikan melalui bahasa biasa. Begitu
pun dengan orang-orang yang dianggap kuat, cerdas, dan berketurunan baik, orang Aceh telah
memanfaatkannya sebagai simbol dalam melalukan perlawanan. Nama-nama yang keren menurut
fersi orang Aceh terus lahir dari masa ke masa. Semua nama yang hadir tidak hanya mewakili
zamannya, namun juga mewakili karakter dari kebudayaan yang berkembang. Jika dulu kita mengenal
simbol yang menggambarkan seorang ulee balang, teungku, dan lainnya. Di masa sekarang, berbagai
simbol itu terus berubah. Misalnya saja panggilan teungku untuk orang yang memiliki kemampuan
lebih di bidang agama yang tidak bisa lagi di generalkan. Karena terdapat panggilan teungku yang
sama sekali tidak memahami ilmu agama. Panggilan-panggilan itu berubah dan terus berada pada
titik-titik yang tidak kita duga, karena telah menjadi senjata yang bisa dimanfaatkan untuk

menggalang orang-orang tertentu untuk tujukan tertentu. Di sini, sikap fanatik jelas telah menjadi
semacam bumerang bagi kita atas terjadinya kebangkitan simbol yang kemudian menjadikan
ketidakpedulian terhadap esensi itu sendiri. Kondisi yang tidak sehat dari perang memang stelah
menghalalkan berbagai cara. Salah satunya yang terjadi pada kasus di atas.
Berubahnya bendera Aceh menjadi bendera turki telah berhasil membuktikan pada kita bahwa simbol
begitu fleksibel bisa digunakan dalam perang dan dengan begitu, identitas juga bisa tidak begitu
penting dalam hal ini. Bagi orang Aceh, identitas yang telah mengakar sekali pun bisa dibongkar
kembali, hanya untuk tujuan-tujuan yang sesaat. Penghalalan segala cara setidaknya telah terjadi
dalam kondisi-kondisi genting seperti dalam suasana perang. Perang seakan adalah pembumihangusan
bagi identitas itu sendiri. Kesadaran akan identitas seharusnya menjadi suatu hal yang harus
diperhatikan ketika perang telah usai, namun demikian, itu rupanya tidak juga menjadi suasana yang
berubah seperti dalam perang. Terlebih yang terlibat dalam perbaikan Aceh adalah orang-orang yang
terbiasa dan hanya bisa menghancurkan kekayaan tersebut.
Dalam kasus bendera yangs elama ini dipertahankan. Sejmujurnya tidak jauh dari fungsi untuk
mempertahankan simbol yang mengungtungkan bagi suatu golongan. Ketimbang mempertahankan
identitas keacehan.

Penipuan melalui bahasa tanda amat mungkin dilakukan oleh mereka yang sadar bahwa masyarakat
kita begitu tidak cerdas dalam memahami jenis bahasa ini. Bahasa yang mengandung sisi estetis
sangat mungkin telah dimanfaatkan untuk membuai masyarakat agar selalu terlena pada pencecapan
bahasa. Kenyataan seolah-olah tidak penting lagi bagi masyarakat yang membaca tanda.
Mimpi melalui tanda tersebut terus dijual untuk masyarakat Aceh, terutama bagi mereka yang selalu
senang bepergian ke imajinasi tentang masa lalu, begitu lelah dan kecewa dengan realitas di masa
kini, dan dengan sepenuhnya mempercayai ide-ide tentang masa depan yang dijual melalui bahasa
tanda tersebut sebagai sebuah pelarian yang nikmat; dunia imajiner.
Fanatisme simbol
Irasionalitas yang ditawarkan fanatisme telah mendorong sikap atau tindakan yang
agresif terhadap sesuatu yang oleh orang Aceh dianggap bertentangan.
Pengertian Fanatisme sendiri dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang
mempengaruhi seseorang dalam : (a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau
memberi sesuatu, (b) dalam berfikir dan memutuskan, (c) dalam mempersepsi dan
memahami sesuatu, dan (d) dalam merasa secara psikologis, seseorang yang
fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak
faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau
filsafat selain yang mereka yakini.

Jika ingin merujuk pada sikap fanatik orang Aceh terhadap agamanya, ternyata begitu juga terhadap
bahasa tanda. Perhatian masyarakat Aceh pada bahasa tanda bisa kita lihat dari terbiasanya mereka
dalam memakai bahasa metafora dalam berkomunikasi. Tentu keaadaan juga telah mengharuskan
orang Aceh agar menggunakan model komunikasi ini. Dalam konflik misalnya, masyarakat Aceh
pada masa itu telah dipaksa untuk mengamankan bahasanya agar tidak mudah dibaca oleh orangorang tertentu. Penggunaan bahasa tanda bagi orang Aceh adalah juga jalan satu-satunya untuk
penyelamatan diri.
Kepekaan orang Aceh pada tanda kendati telah mengalami masa kejayaan sejak zaman kerajaan,
namun selalu mengalami masa-masa keemasannya justru dalam kondisi-kondisi kacau setelahnya,
suasana itu menjadi semacam lapangan bagi pertarungan tanda. Lihat saja tentang duel Belanda vs
Aceh, Teungku vs Teuku, GAM vs TNI, lalu PA vs PNA, Gubernur vs Wakil Gubernur, Aswaja vs

wahabi, dll. Justru jika kita ingin membuka kotak dari masalah yang melatarbelakangi konflik
tersebut, bahasa tanda adalah yang paling dominan menjadi punca masalah, karena identitas dalam
bentuk tanda adalah wajah atau bendera ketika melakukan sebuah perlawanan.
Sensitivitas pada tanda bisa dikatakan adalah cikal bakal dari adanya fanatisme terhadapnya di
kemudian hari. Sikap sensitif terhadap inilah yang terus dikelola secara sengaja oleh orang-orang
tertentu. Masih ingat di masa kecil ketika meludah ke tanah yang telah ditandai sebagai orangtuanya
yang ingin diejek? Ini adalah sebagian kecil dari praktik tanda di masyarakat Aceh yang bisa sangat
berpengaruh pada kondisi emosional.

Penjajahan tanda

Anda mungkin juga menyukai