PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia termasuk Indonesia. Lebih dari 220
juta orang di dunia menderita diabetes dan diprediksi akan meningkat dua kali
lipatnya pada tahun 2030 (WHO, 2011). Meningkatnya jumlah kasus DM di
Indonesia menempatkan Indonesia di urutan ke- 4 dunia setelah negara India,
China, dan Amerika dengan jumlah Diabetesi sebesar 8,4 juta orang dan
diperkirakan akan terus meningkat sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Wild et
al, 2004). Komplikasi DM dapat menimbulkan kerusakan pada semua organ
tubuh bahkan kematian. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
(2007), DM merupakan penyebab kematian kedua pada kelompok usia 45-54
tahun di daerah perkotaan yaitu 14,7% dan penyebab kematian keenam di daerah
pedesaan yaitu 5,8% (Riskesdas, 2007). Orang dengan DM akan lebih berisiko
terkena penyakit berbahaya lain, yaitu penyakit jantung koroner, stroke,
hipertensi, penyakit ginjal, neuropati, dan retinopati (Centers for Disease Control
and Prevention, 2011).
Kecenderungan semakin meningkatnya prevalensi penyakit dan dampak
yang ditimbulkan terutama oleh penyakit kronis termasuk DM, menuntut
perubahan paradigma kesehatan dari yang mengutamakan upaya kuratif dan
rehabilitatif (Secondary Health Care/SHC) menjadi Primary Health Care (PHC)
yang mengutamakan upaya promotif dan preventif dengan tetap tidak
mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Pelaksanaan PHC di Indonesia saat
ini terwujud dalam gerakan pengembangan dan pembinaan Desa Siaga yang
dicanangkan pemerintah sejak tahun 2006. Program Desa Siaga ini bertujuan
mewujudkan masyarakat yang peduli, tanggap, dan mampu mengenali, mencegah
serta mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi secara mandiri sesuai
dengan visi pembangunan kesehatan yang harus ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis (Kemenkes RI, 2010).
Tujuan program pengendalian DM di Indonesia adalah terselenggaranya
pengendalian faktor risiko untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan
1
yang
sesungguhnya.
Salah
satu
strateginya
adalah
melalui
1
1
dimana tubuh penderita tidak mampu mengendalikan kadar gula (glukosa) dalam
darahnya. Penderita tidak bisa memproduksi insulin dalam jumah yang cukup,
atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif, sehingga terjadi
kelebihan glukosa di dalam darah (Price dan Wilson, 2006; American Diabetes
Association, 2005 dalam Soegondo, 2007; Olefsky, 2001 dalam Falvo, 2005).
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut WHO (2006) adalah sebagai
berikut:
1
Ada beberapa tipe diabetes yang lain seperti defek genetik fungsi sel beta,
defek genetik kerja insulin, penyakit ensokrin pankreas, endokrinopati, karena
obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang dan sindroma genetik
4
Etiologi
Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) atau yang disebut
juga diabetes melitus tipe 2, disebabkan oleh kegagalan relatif sel dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi
glukosa oleh hati. Sel tidak mampu untuk mengimbangi retensi insulin ini
sepenuhnya (desentisasi), sehingga terjadi penurunan sekresi insulin pada
rangsangan glukosa, maupun bahan perangsang sekresi insulin lain yang
mengakibatkan peningkatan kadar glukosa dalam darah (Mansjoer, 1999).
2.2.2
Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat berpengaruh pada timbulnya diabetes antara lain
adalah faktor kegemukan, pola makan yang salah, minum obat-obatan yang dapat
menaikkan kadar glukosa darah, proses menua, stress, kurang gerak/malas,
Kehamilan, Kekurangan produksi hormon insulin, dan penyakit hormon yang
kerjanya berlawanan dengan insulin (Suyono, 2007; Imam Subekti, 2007).
International Diabetes Federation (2006) menambahkan beberapa faktor
yang mungkin berpengaruh terhadap perkembangan diabetes tipe 2, yaitu adanya
pengaruh etnis tertentu, obesitas, diet, dan inaktivitas, resistensi insulin, riwayat
Keluarga, dan juga lingkungan intrauterin.
2.2.3
Patofisiologi
PREDISPOSISI GENETIK
LINGKUNGAN
Kegemukan
RESISTENSI INSULIN
JARINGAN PERIFER
HIPERGLIKEMIA
Kelelahan sel beta
DIABETES TIPE 2
Keluhan Klasik
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah
yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa
akan dikeluarkan melalui air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan
membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang
hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan,
maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri).
Akibatnya, maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak
minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, sehingga
yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.
Gangguan Ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara
kurang dari aturan yang ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga,
sesudah melahirkan, dan sesudah sembuh dari sakit.
2. Hiperglikemia
Kelompok hiperglikemia, secara anamnesis ditemukan adanya masukan
kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului
oleh stres akut. Tanda khas adalah kesadaran menurun disertai dehidrasi berat.
Selain komplikasi-komplikasi akut yang telah disebutkan di atas, terdapat
penyulit-penyulit kronik diabetes melitus yang digolongkan sebagai berikut
(Subekti, 2007):
1. Mikrovaskular (ginjal, retina mata)
Kerusakan mata (retinopati) dialami 1 dari 5 penderita diabetes sedangkan
kerusakan ginjal (nefropati) dialami oleh 1 dari 10 orang dengan diabetes yang
baru memeriksakan kondisinya untuk pertama kali (Bryer-Ash, 2011).
2. Makrovaskular (jantung koroner, pembuluh darah kaki, pembuluh darah otak)
Pasien dengan diabetes berisiko untuk terkena infak miokard. Fakta yang ada
menunjukkan bahwa setiap 1 dari 3 orang yang tervonis mengalami serangan
jantung (sudden heart event) juga ditemukan mengalami diabetes atau
prediabetes (Consitt, Boyle, dan Houmard, 2008; Bryer-Ash, 2011).
3. Neuropati (mikro dan makrovaskular)
Neuropati otonomik (autonomic neuropathy) dapat menurunkan denyut jantung
maksimal (maximal heart rate) dan tekanan darah, dan bahkan dapat
meningkatkan resting heart rate. Neuropati dialami oleh 2 dari 5 pasien dengan
diabetes tipe 2 pada saat diagnosis ditetapkan (Consitt, Boyle, dan Houmard,
2008; Bryer-Ash, 2011).
4. Rentan Infeksi (mikro dan makrovaskular)
Hiperglikemia dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi dan kerusakan luka.
Infeksi ini juga dapat disebabkan oleh adanya komplikasi neuropati
sebagaimana dinyatakan oleh Consitt, Boyle, dan Houmard (2008) bahwa
peripheral neuropathy merupakan kehilangan sensasi distal pada tungkai
bawah dan kaki yang dapat menyebabkan injuri, injuri kutaneus, atau infeksi
2.2.6 Diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis Diabetes Mellitus dipertimbangkan bila ada keluhan khas
Diabetes Mellitus seperti tersebut di atas serta memenuhi poin-poin yang
tercantum di bawah ini :
1 Gejala klasik DM + gula darah sewaktu adalah 200 mg/dl.
Gula darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
2
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO adalah 200 mg/dl. TTGO dilakukan
dengan Standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g
dan
mengatur
metabolisme
lemak
dan
protein
serta
terhadap
fisiknya. Latihan fisik juga dapat meningkatkan risiko trauma pada kaki
oleh karena adanya gangguan pada peripheral vaskular dan adanya
peripheral neuropathy. Autonomic neuropathy dapat meningkatkan risiko
kejadian iskemik yang tidak terduga. Latihan fisik yang tidak disupervisi
dapat menyebabkan risiko kardiovaskular. Angkat beban atau aerobik
dapat meningkatkan risiko terjadinya hemoragik dengan proliferatif
retinopati (Coradio, 2011).
Oleh karena itu, latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani individu. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi diabetes melitus, dapat dikurangi. Menghindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan juga diperlukan
dalam pengelolaan aktivitas jasmani penderita diabetes (Perkeni, 2006).
Latihan fisik atau jasmani dianjurkan secara teratur (3-4 kali
seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai CRIPE
(continuous, rhythmical, interval, progressive, endurance training).
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal,
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai
contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit,
olahraga sedang adalah berjalan cepat selama 20 menit, dan olahraga berat
misalnya jogging (Waspadji, 2007).
Aktivitas sehari-hari yang dianjurkan dalam konsensus Perkeni
(2006) adalah sebagai berikut:
a Menghindari aktivitas sedenter,
misalnya
menonton
televisi,
10
11
12
Pencegahan Sekunder
Pencegahan Tersier
Meninggal
Mudigah
Mulai DM
Penyulit
Cacat
Nutrisi
Kegemukan
Genetik
TGT
Retinopati
Buta
Hiperglikemia
Nefropati
Gagal Ginjal
Hipertensi
Atersklerosis
PJK
Resistensi Insulin
Hiperinsulinemia
13
Pemeriksaan Pemantauan
Pengelolaan Penyulit Kronik DM
Mata:
PJK:
Pemeriksaan
mata/fundus
secara - pengelolaan gagal jantung, infark
- pengelolaan penyempetin koroner
berkala setiap 6-12 bulan
- konservatif dan medikamentosa
- invasif-bedah pintas koroner
- angioplasti
Paru:
PVD:
Pemeriksaan berkala foto dada setiap - pengelolaan konservatif dengan
1-2 tahun atau jika mengeluh batuk
medikamentosa,
debridemen,
kronik
mengatasi infeksi
Jantung:
Retina:
Pemeriksaan berkala EKG/ Uji latih
- fotokoagulasi
- virektomi dengan endolaser
jantung secara berkala setiap tahun
atau jika ada keluhan nyeri dada/cepat
capai
Ginjal:
Gagal Ginjal:
Pemeriksaan berkala urin untuk
- pengelolaan
konservatif
mendeteksi adanya protein dalam urin
dengan diet dan obat
- Pengelolaan dengan tindakan
hemodialisis,
dialisis
peritoneal, dan transplantasi
ginjal
Kaki:
Pemeriksaan kaki secara berkala dan
penyuluhan mengenai cara perawatan
kaki yang sebaik-baiknya untuk
mencegah kemungkinan timbulnya
kaki diabetik dan kecacatan yang
mungkin ditimbulkannya
2.3 Penemuan dan Tatalaksana Dini Penyakit Diabetes Mellitus
2.3.1 Penemuan Dini Penyakit DM
Menurut Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit DM
Kemenkes RI (2008), penemuan dini meliputi pemeriksaan faktor resiko dan
wawancara terarah yang dapat dilakukan di tempat-temapat, seperti:
1
14
2
3
penyakit DM.
2.3.2 Tatalaksana Penyakit DM
Menurut Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit DM
Kemenkes RI (2008), tatalaksana penyakit DM dapat dilakukan secara berjenjang,
meliputi:
1
Masyarakat, dalam hal ini kader yang sudah terlatih dapat melakukan
kegiatan tatalaksana kasus DM ini meliputi:
a Edukasi
Kader yang sudah dilatih dapat melakukan penyuluhan kesehatan,
meliputi, materi dasar yang telah diberikan pada pelatihan penemuan dini
yaitu meliputi pengertian DM dan keluhannya, pengenalan faktor risiko
DM, pengukuran berat badan ideal, pengukuran tekanan darah,
pengukuran aktivitas fisik sederhana, pengetahuan diet sehat, dan aktivitas
b
sekali.
Pengawasan minum obat
Kader bersama keluarga memotivasi dan mengawasi keteraturan diabetisi
15
sehat tinggi serat rendah gula, dan aktivitas fisik rutin kepada diabetisi.
Melakukan rujukan
Puskesmas mampu melakukan pengobatan tingkat dasar dan melakukan
rujukan pasien sesuai dengan tingkat kemampuan Puskesmas. Puskesmas
mampu melakukan perencanaan kebutuhan obatnya guna pemenuhan
komplikasi.
Melakukan pembinaan terhadap diabetisi melalui penyuluhan lanjutan
meliputi pengobatan komplikasi DM dan upaya rehabilitasi yang dapat
dilakukan
Melakukan fasilitasi peningkatan kemandirian masyarakat melalui
pembentukan kelompok-kelompok diabetisi.
16
BAB 3
USULAN DAN SARAN
3.1
17
PHC
(Primary Health Care)
pemerataan upaya kesehatan
penekanan upaya preventif
penggunaan teknologi tepat guna
keterlibatan
serta masyarakat
Diabetes peran
Mellitus
kerjasama
lintas
sektoral
Pola hidup masyarakat
yang tidak se
economic
Ket :
--- : termasuk
: menghambat
pembentukan
kader kesehatan
kerjasama
lintas sektoral
(ekonomi)dan kader meng
pembentukan SHG (kelompok swabantu)
pembiayaan kesehatan mandiri
5-10% dialokasikan untuk dana posyandu DM
Tin
pembiayaan kesehatan mandiri
KENDI
(Kampung Edukasi Anti Diabetes)18
Gambar 3.1 e-PHC dalam KENDI
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Tanggal
Februari 2011
3 Maret 2011
26 April 2011
8.
16 April 2011
9.
10.
19
11.
15 Mei 2011
12.
18 Maret Juni
2011
Warga umum Desa Tawangargo sebagai pendukung pelaksanaan program dan sasaran
edukasi antidiabetes.
belum
memiliki
UKBM
(Upaya
Kesehatan
Bersumberdaya
Pemeri
ksaan
Stat
us
Dia
Teka
kese
bet Posyandu DM oleh kader
Pelaksanaan
nan
hata
isi
10-15% dari tiap penjualan
Pengolahan dan penjualan darah
olahan mengkudu oleh kelompok
kerja
n
Pemeri
Pendidikan
- Gula
terk
ksaan
kesehatan
darah
ontr
Pencacatan
ol
Teka
- denga
hasilkontrol
n
nan
olehkader
Pemeriksaan
Status
Diruju
Wa
subsi
darah
Tekanan darah
kesehatandi
keseh
k ke
di
rga
Gula
Gula
darah
-Posya
atan
tabelkontrol
Pustu
Penimbangan
berat
badan
Peni
- ndu
um
darah
tidak
DM
atau
Alur
Gambar 3.1.1.4.1
Alur
Penemuan Dini dan
Tatalaksana DM
di
mban
tanpa
umPosyandu
Lansia Desa Tawangargo, Kec. Karangploso,
Kab.layana
Malang
terkon
gan
subsi
Posyandu trol
n
berat
di
DM
keseh
Peni
- badan
atan
mban
yang
gan
lebih
berat
tinggi
bada
n
21
3.2
skrining penyakit kronis dan tidak menular yang ada di komunitas. Selama ini
skrining yang sudah ada masih terbatas pada kesehatan ibu dan anak, sanitasi
lingkungan, dan penyakit menular. Berdasarkan pengalaman beberapa pengabdian
masyarakat yang pernah penulis lakukan, angka kejadian penyakit terutama
penyakit kronis pada tingkat komunitas hanya berdasarkan jumlah pasien sakit
yang memeriksakan diri ke Puskesmas di tingkat kelurahan, sementara penderita
yang tidak memeriksakan diri atau kelompok berisiko tidak terdata.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
25
26
27