Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia termasuk Indonesia. Lebih dari 220
juta orang di dunia menderita diabetes dan diprediksi akan meningkat dua kali
lipatnya pada tahun 2030 (WHO, 2011). Meningkatnya jumlah kasus DM di
Indonesia menempatkan Indonesia di urutan ke- 4 dunia setelah negara India,
China, dan Amerika dengan jumlah Diabetesi sebesar 8,4 juta orang dan
diperkirakan akan terus meningkat sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Wild et
al, 2004). Komplikasi DM dapat menimbulkan kerusakan pada semua organ
tubuh bahkan kematian. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
(2007), DM merupakan penyebab kematian kedua pada kelompok usia 45-54
tahun di daerah perkotaan yaitu 14,7% dan penyebab kematian keenam di daerah
pedesaan yaitu 5,8% (Riskesdas, 2007). Orang dengan DM akan lebih berisiko
terkena penyakit berbahaya lain, yaitu penyakit jantung koroner, stroke,
hipertensi, penyakit ginjal, neuropati, dan retinopati (Centers for Disease Control
and Prevention, 2011).
Kecenderungan semakin meningkatnya prevalensi penyakit dan dampak
yang ditimbulkan terutama oleh penyakit kronis termasuk DM, menuntut
perubahan paradigma kesehatan dari yang mengutamakan upaya kuratif dan
rehabilitatif (Secondary Health Care/SHC) menjadi Primary Health Care (PHC)
yang mengutamakan upaya promotif dan preventif dengan tetap tidak
mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Pelaksanaan PHC di Indonesia saat
ini terwujud dalam gerakan pengembangan dan pembinaan Desa Siaga yang
dicanangkan pemerintah sejak tahun 2006. Program Desa Siaga ini bertujuan
mewujudkan masyarakat yang peduli, tanggap, dan mampu mengenali, mencegah
serta mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi secara mandiri sesuai
dengan visi pembangunan kesehatan yang harus ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis (Kemenkes RI, 2010).
Tujuan program pengendalian DM di Indonesia adalah terselenggaranya
pengendalian faktor risiko untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan
1

kematian yang disebabkan DM. Pengendalian DM lebih diprioritaskan pada


pencegahan dini melalui upaya pencegahan faktor risiko DM. WHO
merekomendasikan bahwa strategi yang efektif perlu dilakukan secara
terintegrasi, berbasis masyarakat melalui kerjasama lintas program dan lintas
sektor termasuk swasta. Oleh karena itu, pemahaman faktor risiko DM sangat
penting diketahui, dimengerti dan dapat dikendalikan oleh para pemegang
program, pendidik, edukator maupun kader kesehatan di masyarakat sekitarnya
(Kemenkes RI, 2011).
Sampai dengan tahun 2009 tercatat 42.295 desa dan kelurahan (56,1%) dari
75.410 desa dan kelurahan yang ada di Indonesia telah memulai upaya
mewujudkan Desa Siaga dan Keluarahan Siaga. Namun banyak dari antaranya
yang belum berhasil menciptakan Desa dan Kelurahan Siaga yang sesungguhnya.
Program penemuan dini dan tatalaksana kasus DM di tingkat komunitas yang
sudah dirancang pemerintah belum sepenuhnya teraplikasi bagaimana seharusnya
baik dari sisi pelaksaan program di dalamnya maupun pihak yang seharusnya
berperan (kader kesehatan masyarakat dan petugas kesehatan di tingkat pelayanan
dasar). Hal ini dapat dipahami karena pengembangan dan pembinaan Desa dan
Kelurahan Siaga yang menganut konsep pemberdayaan masyarakat memang
memerlukan suatu proses (Kemenkes RI, 2010). Mengubah perilaku manusia
tentu bukan hal yang mudah dan dapat dilakukan dalam sekejab.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas bagaimana program
penemuan dini dan tatalaksana DM di komunitas yang seharusnya dijalankan,
kesenjangan dalam pelaksanaannya, dan strategi yang dapat dikembangkan untuk
memudahkan penerimaannya oleh masyarakat sehingga tercapai target sesuai
yang direncanakan dan berkontribusi mewujudkan Desa dan Kelurahan Siaga di
Indonesia

yang

sesungguhnya.

Salah

satu

strateginya

adalah

melalui

pemberdayaan masyarakat yang harus berprinsip menumbuhkembangkan potensi


masyarakat, sebanyak mungkin menggunakan dan memanfaatkan potensi
setempat, serta desentralisasi (sesuai dengan keadaan dan budaya setempat).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1
1

Diabetes Melitus (DM)


Definisi
Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme (sindroma metabolik)

dimana tubuh penderita tidak mampu mengendalikan kadar gula (glukosa) dalam
darahnya. Penderita tidak bisa memproduksi insulin dalam jumah yang cukup,
atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif, sehingga terjadi
kelebihan glukosa di dalam darah (Price dan Wilson, 2006; American Diabetes
Association, 2005 dalam Soegondo, 2007; Olefsky, 2001 dalam Falvo, 2005).
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut WHO (2006) adalah sebagai
berikut:
1

Diabetes Melitus Tipe 1 (Diabetes Tipe 1)


Insulin pada penderita tipe 1 diabetes hanya dihasilkan sedikit atau bahkan
tidak sama sekali. Diabetes tipe ini disebabkan oleh reaksi autoimun dimana
sistem pertahanan tubuh menyerang sel yang memproduksi insulin. Penderita
tipe ini harus mendapatkan suntikan insulin untuk mempertahankan hidupnya.
Karena onsetnya yang muncul sejak anak-anak atau remaja awal, diabetes tipe
ini juga disebut sebagai Juvenile-onset diabetes. Namun demikian, penyakit ini
juga dapat menyerang siapa saja (American Diabetes Association, 2005;

International Diabetes Federation, 2005).


Diabetes melitus Tipe 2 (Diabetes Tipe 2)
Diabetes Melitus (DM) tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan
(lebih dari 90%). Timbul makin sering setelah umur 40 tahun. Pada diabetes
tipe 2 ini, penderita dapat menghasilkan insulin, namun karena suatu hal, maka
sel-sel tubuh mereka menjadi resisten terhadap insulin. Dengan kata lain,
gangguan ini disebabkan oleh kurangnya produksi insulin oleh tubuh. Tipe ini
lebih sering terjadi pada masa dewasa sehingga disebut juga adult-onset
diabetes (Suyono, 2007; American Diabetes Association, 2005).
Yang berbeda dengan tipe 1 diabetes adalah tidak tergantungnya penderita
diabetes tipe 2 terhadap insulin dan tidak mudah mengalami ketoasidosis,
tetapi mungkin diperlukan insulin untuk mengontrol hiperglikemia jika tujuan
pengobatan tidak dapat tercapai dengan modifikasi diet dan agen hipoglikemik

(International Diabetes Federation, 2005).


Diabetes Melitus Tipe lain

Ada beberapa tipe diabetes yang lain seperti defek genetik fungsi sel beta,
defek genetik kerja insulin, penyakit ensokrin pankreas, endokrinopati, karena
obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang dan sindroma genetik
4

lain yang berkaitan dengan DM (Suyono, 2007).


Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Ini
meliputi 2-5% dari seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena
dampaknya pada janin yang kurang baik bila tidak ditangani dengan benar
(Suyono, 2007).

2.2 Diabetes Tipe 2


2.2.1

Etiologi
Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) atau yang disebut

juga diabetes melitus tipe 2, disebabkan oleh kegagalan relatif sel dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi
glukosa oleh hati. Sel tidak mampu untuk mengimbangi retensi insulin ini
sepenuhnya (desentisasi), sehingga terjadi penurunan sekresi insulin pada
rangsangan glukosa, maupun bahan perangsang sekresi insulin lain yang
mengakibatkan peningkatan kadar glukosa dalam darah (Mansjoer, 1999).
2.2.2

Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat berpengaruh pada timbulnya diabetes antara lain

adalah faktor kegemukan, pola makan yang salah, minum obat-obatan yang dapat
menaikkan kadar glukosa darah, proses menua, stress, kurang gerak/malas,
Kehamilan, Kekurangan produksi hormon insulin, dan penyakit hormon yang
kerjanya berlawanan dengan insulin (Suyono, 2007; Imam Subekti, 2007).
International Diabetes Federation (2006) menambahkan beberapa faktor
yang mungkin berpengaruh terhadap perkembangan diabetes tipe 2, yaitu adanya
pengaruh etnis tertentu, obesitas, diet, dan inaktivitas, resistensi insulin, riwayat
Keluarga, dan juga lingkungan intrauterin.
2.2.3

Patofisiologi
PREDISPOSISI GENETIK

LINGKUNGAN

Defek Genetik Multipel

Kegemukan

DEFEK SEL BETA PRIMER

RESISTENSI INSULIN
JARINGAN PERIFER

Gangguan Sekresi Insulin

Gangguan Sekresi Insulin

HIPERGLIKEMIA
Kelelahan sel beta
DIABETES TIPE 2

Gambar 2.2.3 Patogenesis Diabetes Tipe 2 (Robbins et al., 2007)

Pada tipe 2 ini, faktor genetik berperan sebagai faktor predisposisi


terjadinya penyakit. Dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah
ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap insulin (resistensi insulin)
dan gangguan sekresi insulin pada sel beta. Berdasarkan data mengenai hewan
percobaan dengan diabetes tipe 2, mula-mula resistensi insulin menyebabkan
peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya dan kemudian
terjadi gangguan pengenalan glukosa oleh sel beta karena adanya suatu protein
yang disebut uncoupling protein 2 (UCP 2), diekspresikan oleh sel beta. Kadar
UCP 2 intrasel yang tinggi menumpulkan respons insulin, sedangkan kadar yang
rendah memperkuatnya. Mekanisme lain kegagalan sel beta pada diabetes tipe 2
dilaporkan berkaitan dengan pengendapan amiloid di sel islet (Robbins et al.,
2007).
2.2.4 Gejala
Adanya penyakit diabetes ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan
tidak disadari oleh penderita. Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat
perhatian adalah sebagai berikut (Subekti, 2007):
1

Keluhan Klasik
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah
yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa
akan dikeluarkan melalui air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan
membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang
hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan,
maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri).
Akibatnya, maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak
minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, sehingga

penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal


ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak
makan (polifagi).
Gejala klasik lainnya adalah terjadinya penurunan berat badan dan rasa
lemah. Hal ini terjadi karena glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam
sel, sehingga sel tubuh menggunakan sel lemak dan otot untuk bertahan hidup
yang menyebabkan penderita kehilangan jaringan lemak dan otot, sehingga
2
a

menjadi kurus (Soegondo, 2006).


Keluhan Lain
Gangguan saraf tepi/ kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu

malam, sehingga mengganggu tidur.


Gangguan penglihatan
Pada fase awal penyakit diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang
mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar ia tetap

dapat melihat dengan baik.


Gatal/ bisul
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluhan atau daerah
lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan
timbulnya bisul atau luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat

yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.
Gangguan Ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara

terus terang dikemukakan oleh penderitanya.


Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan

dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.


2.2.5 Komplikasi
Penderita diabetes dapat mengalami dua macam komplikasi, yaitu dapat
secara akut maupun kronis. Masalah yang dapat terjadi pada komplikasi akut
adalah sebagai berikut (Subekti, 2007):
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat
berupa koma dengan kejang. Gelaja lain dapat berupa pusing, gemetar, dan
terasa kaku atau mati rasa pada tangan dan kaki. Penyebab tersering
hipoglikemia adalah obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfenilurea,
khususnya glibenklamid. Penyebab lain hipoglikemia dapat karena makan
6

kurang dari aturan yang ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga,
sesudah melahirkan, dan sesudah sembuh dari sakit.
2. Hiperglikemia
Kelompok hiperglikemia, secara anamnesis ditemukan adanya masukan
kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului
oleh stres akut. Tanda khas adalah kesadaran menurun disertai dehidrasi berat.
Selain komplikasi-komplikasi akut yang telah disebutkan di atas, terdapat
penyulit-penyulit kronik diabetes melitus yang digolongkan sebagai berikut
(Subekti, 2007):
1. Mikrovaskular (ginjal, retina mata)
Kerusakan mata (retinopati) dialami 1 dari 5 penderita diabetes sedangkan
kerusakan ginjal (nefropati) dialami oleh 1 dari 10 orang dengan diabetes yang
baru memeriksakan kondisinya untuk pertama kali (Bryer-Ash, 2011).
2. Makrovaskular (jantung koroner, pembuluh darah kaki, pembuluh darah otak)
Pasien dengan diabetes berisiko untuk terkena infak miokard. Fakta yang ada
menunjukkan bahwa setiap 1 dari 3 orang yang tervonis mengalami serangan
jantung (sudden heart event) juga ditemukan mengalami diabetes atau
prediabetes (Consitt, Boyle, dan Houmard, 2008; Bryer-Ash, 2011).
3. Neuropati (mikro dan makrovaskular)
Neuropati otonomik (autonomic neuropathy) dapat menurunkan denyut jantung
maksimal (maximal heart rate) dan tekanan darah, dan bahkan dapat
meningkatkan resting heart rate. Neuropati dialami oleh 2 dari 5 pasien dengan
diabetes tipe 2 pada saat diagnosis ditetapkan (Consitt, Boyle, dan Houmard,
2008; Bryer-Ash, 2011).
4. Rentan Infeksi (mikro dan makrovaskular)
Hiperglikemia dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi dan kerusakan luka.
Infeksi ini juga dapat disebabkan oleh adanya komplikasi neuropati
sebagaimana dinyatakan oleh Consitt, Boyle, dan Houmard (2008) bahwa
peripheral neuropathy merupakan kehilangan sensasi distal pada tungkai
bawah dan kaki yang dapat menyebabkan injuri, injuri kutaneus, atau infeksi
2.2.6 Diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis Diabetes Mellitus dipertimbangkan bila ada keluhan khas
Diabetes Mellitus seperti tersebut di atas serta memenuhi poin-poin yang
tercantum di bawah ini :
1 Gejala klasik DM + gula darah sewaktu adalah 200 mg/dl.
Gula darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
2

memerhatikan waktu makan terakhir.


Kadar gula darah puasa 126 mg/dl.
7

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.


Tabel 2.2.6 Kategori Hasil Pemeriksaan Kadar Gula Darah
Normal
Pra-diabetes
Diabetes
3

Glukosa Darah Puasa


<100 mg/dl
100-125 mg/dl
126 mg/dl

Glukosa Darah Sewaktu


<140 mg/dl
140-199 mg/dl
200 mg/dl

Kadar gula darah 2 jam pada TTGO adalah 200 mg/dl. TTGO dilakukan
dengan Standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g

glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.


Pemeriksaan HbA1c: tidak digunakan untuk menegakkan diagnosa, tetapi
hanya untuk memonitor kadar gukosa dalam darah (Baradero,M, dkk., 2009).

Gambar 2.2.6 Nilai Pemeriksaan Kadar HbA1c (Baradero dkk, 2009)

Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil,


dilakukan ulangan setiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor
risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun (Perkeni, 2006).
2.2.7 Penatalaksanaan
Diabetes tipe 2 dapat dikelola dengan berbagai cara. Tidak semua orang
dengan diabetes tipe 2 membutuhkan pil atau insulin pada awal penyakit ini.
Banyak penderita yang baru terdiagnosa memulai terapinya hanya dengan
merubah pola makan dan perencanaan olahraga. Pada beberapa penderita, makan
makanan sehat rendah lemak dan melakukan latihan fisik secara teratur sudah
cukup untuk dapat mengontrol kadar gula darah mendekati normal. Sebagian
penderita lainnya memerlukan bantuan dari obat dan insulin. Tujuan akhir dari
semua terapi ini adalah untuk menjaga agar glukosa darah dapat dipertahankan
dalam rentang 90-130 mg/dl sebelum makan dan kurang dari 180 mg/dl 2 jam
setelah makan (American Diabetes Association, 2005).

Beberapa penatalaksanaan farmakologi dan nonfarmakologi yang dapat


dilakukan oleh penderita diabetes, dijelaskan sebagai berikut:
1

Diet dan Aktivitas Fisik


Modifikasi diet dan melakukan latihan fisik adalah kunci dari penatalaksanaan
diabetes tipe 2. Walaupun tindakan medikasi telah dilakukan, namun
modifikasi diet dan latihan fisik harus tetap dipertahankan secara
berkelanjutan. Diet sehat, khususnya menjaga banyaknya makanan yang
dikonsumsi dapat membantu mempertahankan kadar glukosa dalam rentang
normal sedangkan latihan fisik yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan
sensitivitas tubuh terhadap insulin (American Diabetes Association, 2005).
A Diet
Manajemen dan kontrol diet sangat penting dalam strategi menormalkan
kadar glukosa, menurunkan penyimpangan postpandrial, menurunkan
obesitas,

dan

mengatur

metabolisme

lemak

dan

protein

serta

mempertahankan homeostasis. Adanya kepatuhan yang rendah, kurangnya


kontrol diri, pengetahuan pasien yang kurang, dan kemudahan untuk
mendapatkan makanan cepat saji menyebabkan keberhasilan yang
diperoleh dari manajemen diet tipe 2 diabetes hanya setengah-setengah
(Anderson dalam Coradio, 2011).
B Latihan Fisik
Latihan aerobik yang teratur berfungsi untuk menurunkan
hiperglikemia yang diakibatkan oleh adenosin monofosfat dengan yang
berefek langsung pada peningkatan sensitivitas insulin dalam tingkat
selular. Penderita diabetes yang melakukan latihan fisik teratur dapat
menurunkan dosis dan bahkan kebutuhan akan insulin dan agen oral,
dengan cara menurunkan kolesterol LDL, trigliserida, dan tekanan darah
dalam hubungannya dengan peningkatan HDL (Coradio, 2011).
Peningkatan aktivitas fisik terbukti bermanfaat

terhadap

peningkatan kapasitas total kerja dan ambilan oksigen yang maksimal,


kekuatan otot, fleksibilitas sendi, peningkatan massa tubuh tanpa lemak,
peningkatan kesehatan psikologi dan penurunan stres. Meskipun demikian,
latihan fisik juga dapat menimbulkan risiko yang tidak menguntungkan
(Coradio, 2011).
Pemberian obat hipoglikemia dan insulin dapat meningkatkan
risiko terjadinya hipoglikemia pada pasien yang meningkatkan aktivitas
9

fisiknya. Latihan fisik juga dapat meningkatkan risiko trauma pada kaki
oleh karena adanya gangguan pada peripheral vaskular dan adanya
peripheral neuropathy. Autonomic neuropathy dapat meningkatkan risiko
kejadian iskemik yang tidak terduga. Latihan fisik yang tidak disupervisi
dapat menyebabkan risiko kardiovaskular. Angkat beban atau aerobik
dapat meningkatkan risiko terjadinya hemoragik dengan proliferatif
retinopati (Coradio, 2011).
Oleh karena itu, latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani individu. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi diabetes melitus, dapat dikurangi. Menghindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan juga diperlukan
dalam pengelolaan aktivitas jasmani penderita diabetes (Perkeni, 2006).
Latihan fisik atau jasmani dianjurkan secara teratur (3-4 kali
seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai CRIPE
(continuous, rhythmical, interval, progressive, endurance training).
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal,
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai
contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit,
olahraga sedang adalah berjalan cepat selama 20 menit, dan olahraga berat
misalnya jogging (Waspadji, 2007).
Aktivitas sehari-hari yang dianjurkan dalam konsensus Perkeni
(2006) adalah sebagai berikut:
a Menghindari aktivitas sedenter,

misalnya

menonton

televisi,

menggunakan internet, dan main game komputer.


Mengikuti olahraga rekreasi dan beraktivitas fisik tinggi pada waktu

liburan, misalnya jalan cepat, golf, dan bersepeda.


Melakukan kebiasaan gaya hidup sehat, misalnya berjalan kaki ke
pasar (tidak menggunakan mobil), menggunakan tangga (tidak
menggunakan lift), menemui rekan kerja (tidak hanya melalui telepon

internal), dan berjalan dari tempat parkir.


Medikasi Oral Diabetes
Salah satu kelas dari obat oral diabetes adalah sulfonylurea. Efek dari
sulfonylurea adalah untuk menurunkan kadar gula darah dengan cara
mendorong pankreas untuk memproduksi dan melepaskan lebih banyak lagi

10

insulin. Selain sulfonylurea, terdapat pula metformin (glucophage) yang


merupakan kelas biguanide. Biguanide bekerja secara berbeda dengan
sulfonylurea. Sewaktu malam hari ketika tidak makan, maka liver tubuh akan
mengeluarkan glukosa sehingga sel-sel tubuh dapat menghasilkan energi
(American Diabetes Assosiation, 2005).
Obat golongan biguanide ini menurunkan kadar glukosa darah dengan
cara menghambat pengeluaran simpanan glukosa oleh liver. Efeknya juga
menghalangi absorbsi glukosa dari makanan di usus halus. Biguanide mungkin
juga dapat menurunkan resistansi insulin di otot tubuh. Karena metformin
bekerja untuk menurunkan pelepasan glukosa daripada meningkatkan aktivitas
insulin, terdapat risiko kecil terjadinya hipoglikemia dalam penggunaan obat
ini. Metformin memiliki keuntungan tambahan dalam membantu menurunkan
kadar lipid darah dan meningkatkan penurunan berat badan (American
Diabetes Assosiation, 2005).
Kelas lain dari obat diabetes adalah thiazolidinedione. Dua obat dalam
kelas ini adalah pioglitazone (Actos) dan rosiglitazone (Avandia). Glitazone
menurunkan resistansi insulin, tetapi cara kerjanya belum diketahui.
Keuntungan ekstra yang dapat diperoleh adalah menurunkan level trigliserida
dan meningkatkan level high density lipoprotein (HDL) (American Diabetes
Association, 2005).
Acarbose (Precose) juga merupakan obat oral diabetes yang termasuk
golongan kelas alpha-glucosidase inhibitor. Obat ini menjaga peningkatan level
gula darah setelah makan dengan cara memblok sementara kerja enzim
pencernaan. Banyak orang yang menggunakan obat ini mengeluhkan adanya
gangguan diare dan masalah gas intentinal, namun efek samping itu seringkali
hilang dengan seiring dengan diteruskannya pengobatan atau penyesuaian dosis
(American Diabetes Assosiation, 2005).
Kelas obat terakhir adalah meglitinide. Repaglinide (Prandin) dan
nateglinide (Starlix) menstimulasi pelepasan insulin oleh pankreas dalam
respons terhadap makanan. Jika pasien memiliki masalah peningkatan secara
cepat glukosa darah setelah makan, obat ini dapat menjadi pilihan yang bagus
3

(American Diabetes Association, 2005).


Terapi Insulin

11

Orang dengan diabetes tipe 2 tertentu mungkin membutuhkan insulin bila


terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah misalnya gagal
dengan kombinasi obat hipoglikemik oral dosis hampir maksimal atau apabila
mengalami stres fisiologis seperti pada tindakan pembedahan. Sekitar 30
hingga 40 persen penderita diabetes tipe 2 menggunakan insulin. Orang dengan
diabetes yang mendapat nutrisi parenteral atau memerlukan suplemen tinggi
kalori, untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap
akan memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi
4

peningkatan kebutuhan insulin (Soegondo, 2007).


Manajemen Stres
Selain keempat manajemen di atas, penderita diabetes perlu juga
melakukan manajemen stres. Stres emosional memiliki efek langsung pada
peningkatan kadar glukosa darah. Konsekuensinya, individu dengan diabetes
harus mempelajari strategi-strategi koping yang menyebabkan mereka dapat
mengatasi secara efektif stres mereka, atau mereka harus menghindari situasi

penuh stres apabila memungkinkan (Falvo, 2005).


Perawatan Kaki
Perawatan kaki juga merupakan suatu hal yang penting dalam manajemen
diabetes. Kaki diabetes yang tidak dirawat dengan baik akan mudah mengalami
luka, dan cepat berkembang menjadi ulkus gangren bila tidak ditanggulangi.
Beberapa penelitian di Indonesia melaporkan bahwa angka kematian ulkus
gangren pada penyandang diabetes berkisar antara 17%-32%, sedangkan angka
laju amputasi berkisar antara 15-30%. Para ahli diabetes memperkiran
sampai kejadian amputasi dapat dihindari dengan perawatan kaki yang baik
(Tambunan, 2007).
Pemantauan kendali glisemik diabetes melitus merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari pengelolaan diabetes melitus. Pemantauan kadar gula darah


sendiri dapat memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali
glisemiknya dari hari ke hari sehingga memungkinkan pasien untuk melakukan
penyesuaian diet dan pengobatan terutama berkaitan dengan masa sakit, latihan
jasmani, atau aktivitas lain seperti mengemudi. Tidak semua orang dengan
diabetes memerlukan pemantauan kadar glukosa sendiri. Bagi penderita DM tipe
2 yang kadar glukosa darahnya relatif stabil mungkin pemantauan kadar glukosa

12

urin di rumah ditambah pemeriksaan kadar glukosa darah yang dilakukan


menjelang konsultasi dengan dokter cukup memadai (Soewondo, 2007).
2.2.8 Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan diabetes melitus terbagi menjadi tiga, yaitu pencegahan
primer untuk mencegah agar tidak timbul kasus DM yang baru, pencegahan
sekunder untu mencegah agar tidak terjadi penyulit walaupun sudah terjadi
penyakit, dan pencegahan tersier untuk mencegah agar tidak terjadi kecacatan
lebih lanjut walaupun sudah tejadi penyulit (Suyono, Slamet dkk., 2006).
Pencegahan Primer

Pencegahan Sekunder

Pencegahan Tersier
Meninggal

Mudigah
Mulai DM

Penyulit
Cacat

Nutrisi
Kegemukan

Genetik

TGT

Retinopati

Buta

Hiperglikemia

Nefropati

Gagal Ginjal

Hipertensi

Atersklerosis

PJK

Resistensi Insulin
Hiperinsulinemia

Gambar 2.2.8 Perjalanan Alami Penyakit Diabetes Melitus dan


usaha Pencegahannya (Suyono, Slamet dkk., 2006)

Menurut Slamet Suyono dkk. (2006), usaha pencegahan primer


dilakukan secara menyeluruh pada masyarakat, tetapi diutamakan dan
ditekankan untuk dilaksankan baik pada mereka yang berisiko tinggi untuk
mengidap DM, yaitu dengan mengadakan penyuluhan mengenai DM. Upaya
pencegahan sekunder dimulai dengan usaha mendeteksi dini penyandang DM.
Usaha pencegahan tersier dilakukan dengan mendeteksi dini penyulit DM dan
kemudian melakukan pengelolaan. Berikut beberapa pemeriksaan pemantau dan
pengelolaan penyulit dalam pencegahan tersier DM:
Tabel 2.2.8 Pemeriksaan Pemantauan Penyulit DM dan Pengelolaan Penyulit
Kronik DM (Suyono, Slamet dkk., 2006).

13

Pemeriksaan Pemantauan
Pengelolaan Penyulit Kronik DM
Mata:
PJK:
Pemeriksaan
mata/fundus
secara - pengelolaan gagal jantung, infark
- pengelolaan penyempetin koroner
berkala setiap 6-12 bulan
- konservatif dan medikamentosa
- invasif-bedah pintas koroner
- angioplasti
Paru:
PVD:
Pemeriksaan berkala foto dada setiap - pengelolaan konservatif dengan
1-2 tahun atau jika mengeluh batuk
medikamentosa,
debridemen,
kronik
mengatasi infeksi
Jantung:
Retina:
Pemeriksaan berkala EKG/ Uji latih
- fotokoagulasi
- virektomi dengan endolaser
jantung secara berkala setiap tahun
atau jika ada keluhan nyeri dada/cepat
capai
Ginjal:
Gagal Ginjal:
Pemeriksaan berkala urin untuk
- pengelolaan
konservatif
mendeteksi adanya protein dalam urin
dengan diet dan obat
- Pengelolaan dengan tindakan
hemodialisis,
dialisis
peritoneal, dan transplantasi
ginjal
Kaki:
Pemeriksaan kaki secara berkala dan
penyuluhan mengenai cara perawatan
kaki yang sebaik-baiknya untuk
mencegah kemungkinan timbulnya
kaki diabetik dan kecacatan yang
mungkin ditimbulkannya
2.3 Penemuan dan Tatalaksana Dini Penyakit Diabetes Mellitus
2.3.1 Penemuan Dini Penyakit DM
Menurut Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit DM
Kemenkes RI (2008), penemuan dini meliputi pemeriksaan faktor resiko dan
wawancara terarah yang dapat dilakukan di tempat-temapat, seperti:
1

Masyarakat, misalnya: Posyandu Lansia atau kelompok-kelompok diabetisi


dan sejenisnya dalam pembinaan Puskesmas dengan metode wawancara dan
pemeriksaan faktor resiko DM.
Pemeriksaan pada masyarakat dapat dilakukan oleh kader kesehatan yang
sudah melalui pelatihan dasar yang meliputi pengertian DM dan keluhannya,

14

pengenalan faktor risiko DM, pengukuran berat badan ideal, pengukuran


tekanan darah, pengukuran aktivitas fisik sederhana, pengetahuan diet sehat,
dan aktivitas fisik/olahraga yang sehat.
Puskesmas
Rumah sakit/fasilitas kesehatan lain, terutama yang mengkhususkan pada

2
3

penyakit DM.
2.3.2 Tatalaksana Penyakit DM
Menurut Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit DM
Kemenkes RI (2008), tatalaksana penyakit DM dapat dilakukan secara berjenjang,
meliputi:
1

Masyarakat, dalam hal ini kader yang sudah terlatih dapat melakukan
kegiatan tatalaksana kasus DM ini meliputi:
a Edukasi
Kader yang sudah dilatih dapat melakukan penyuluhan kesehatan,
meliputi, materi dasar yang telah diberikan pada pelatihan penemuan dini
yaitu meliputi pengertian DM dan keluhannya, pengenalan faktor risiko
DM, pengukuran berat badan ideal, pengukuran tekanan darah,
pengukuran aktivitas fisik sederhana, pengetahuan diet sehat, dan aktivitas
b

fisik/olahraga yang sehat.


Pengelolaan makanan sederhana
Kader yang yang sudah dilatih dapat melakukan penyuluhan kesehatan
mengenai pengelolaan makanan sederhana yang meliputi pengukuran berat

badan ideal dan pengetahuan diet sehat.


Aktivitas fisik
Kader yang sudah dilatih dapat melakukan penyuluhan kesehatan
mengenai aktivitas fisik/olahraga yang sehat sambil membentuk
kelompok-kelompok senam yang dilakukan secara teratur setiap 2 hari

sekali.
Pengawasan minum obat
Kader bersama keluarga memotivasi dan mengawasi keteraturan diabetisi

dalam mengatasi obat-obat yang harus diminum.


Melakukan rujukan ke Puskesmas
Kader kesehatan keluarga selalu memantau kondisi kesehatan diabetisi dan
memotivasi agar selalu kontrol ke pelayanan kesehatan terdekat guna

mencegah terjadinya komplikasi.


Puskesmas
a Edukasi

15

Puskesmas selain melakukan pembinaan kepada kader juga memberikan


informasi melalui penyuluhan langsung ke masyarakat maupun secara
tidak langsung menggunakan poster, leaflet, lembar balik, dan lain-lainnya
yang meliputi materi dasar yang telah diberikan pada pelatihan penemuan
dini yaitu pengertian DM dan keluhannya, pengenalan faktor risiko DM,
pengukuran berat badan ideal, pengukuran tekanan darah, pengukuran
aktivitas fisik sederhana, pengetahuan diet sehat, dan aktivitas
b

fisik/olahraga yang sehat.


Pengelolaan makanan sederhana
Kader yang yang sudah dilatih dapat melakukan penyuluhan kesehatan
mengenai pengelolaan makanan sederhana yang meliputi pengukuran berat
badan ideal dan pengetahuan diet sehat serta melakukan pengelolaan

makanan kepada diabetisi.


Aktivitas fisik
Puskesmas melakukan pembinaan kepada kader kesehatan mengenai
aktivitas fisik/olahraga yang sehat dan merangsang terbentuknya

kelompok-kelompok senam yang ada di masyarakat.


Pengobatan
Puskesmas dapat melakukan diagnosis DM dan melakukan pengobatan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Puskesmas memotivasi kader dan
keluarga diabetisi untuk melakukan pengawasan minum obat, pola makan

sehat tinggi serat rendah gula, dan aktivitas fisik rutin kepada diabetisi.
Melakukan rujukan
Puskesmas mampu melakukan pengobatan tingkat dasar dan melakukan
rujukan pasien sesuai dengan tingkat kemampuan Puskesmas. Puskesmas
mampu melakukan perencanaan kebutuhan obatnya guna pemenuhan

kebutuhan diabetisi sesuai peraturan yang ada.


3 Rumah sakit
a Menerima rujukan medis meliputi konsultasi pasien untuk keperluan
diagnostik, pengobatan, tindakan operatif ditujukan untuk diabetisi dengan
b

komplikasi.
Melakukan pembinaan terhadap diabetisi melalui penyuluhan lanjutan
meliputi pengobatan komplikasi DM dan upaya rehabilitasi yang dapat

dilakukan
Melakukan fasilitasi peningkatan kemandirian masyarakat melalui
pembentukan kelompok-kelompok diabetisi.

16

BAB 3
USULAN DAN SARAN
3.1

Metode e-PHC (economic-Primary Health Care) sebagai Strategi

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pencegahan Diabetes Melitus di Tingkat


Komunitas
Metode e-PHC (economic-Primary Health Care) merupakan inovasi
metode yang penulis ciptakan sebagai strategi pemberdayaan masyarakat dalam
pencegahan suatu penyakit. Metode e-PHC (economic-Primary Health Care)
adalah suatu model pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan,
memandirikan masyarakat untuk sadar akan pentingnya kesehatan dengan
mengedepankan tindakan preventif dan promotif daripada kuratif melalui
pendekatan ekonomi. Metode ini mensinergiskan konsep dasar PHC dengan
pendekatan ekonomi (penggunaan teknologi tepat guna untuk mengolah potensi

17

lokal suatu daerah sasaran pemberdayaan masyarakat sebagai pencegah suatu


penyakit). Konsep ini didasarkan pada prinsip pemberdayaan masyarakat yang
harus berprinsip menumbuhkan menumbuhkembangkan potensi masyarakat,
sebanyak mungkin menggunakan dan memanfaatkan potensi setempat, serta
desentralisasi (sesuai dengan keadaan dan budaya setempat) agar mudah diterima
oleh masyarakat. Untuk lebih konkretnya, penulis telah menerapkan metode ini
dalam program pemberdayaan masyarakat yang pernah penulis lakukan dalam
pencegahan diabetes.
Program tersebut bernama Kampung Edukasi Anti Diabetes (KENDI):
Investasi Hidup Sehat Dengan Metode economic-Primary Health Care (e
PHC) Melalui Pengolahan Mengkudu (Morinda citrifolia) di Desa
Tawangargo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang . Program ini
berhasil dilaksanakan pada 13 Februari-30 Mei 2011. Gambaran program secara
keseluruhan dijelaskan dalam kerangka konsep di bawah ini.

PHC
(Primary Health Care)
pemerataan upaya kesehatan
penekanan upaya preventif
penggunaan teknologi tepat guna
keterlibatan
serta masyarakat
Diabetes peran
Mellitus
kerjasama
lintas
sektoral
Pola hidup masyarakat
yang tidak se
economic
Ket :
--- : termasuk
: menghambat

Kesadaran masyarakat untuk mengo


ePHC
tindakan preventif dan promotif di m
kurangnya pengetahuan masyarakat
rendahnya kesadaran para diabetisi
PHC

pemerataan upaya kesehatan & penekanan upaya


pengolahan mengkudu menjadi olahan kering & cair
edukasi
senam DM
media publikasi
keterlibatan peran serta masyarakat
buku pedoman diabetes
pelatihan distribusi mengkudu
pemeriksaan gula darah
konsumsi olahan mengkudu sebagai pencegah DM

pembentukan
kader kesehatan
kerjasama
lintas sektoral
(ekonomi)dan kader meng
pembentukan SHG (kelompok swabantu)
pembiayaan kesehatan mandiri
5-10% dialokasikan untuk dana posyandu DM

kerjasama lintas sektoral (ekonomi)

Tin
pembiayaan kesehatan mandiri
KENDI
(Kampung Edukasi Anti Diabetes)18
Gambar 3.1 e-PHC dalam KENDI

Gambar 3.1 e-PHC dalam KENDI

3.1.1 Aplikasi metode e-PHC untuk menciptakan KENDI (Kampung Edukasi


Antidiabetes) di Desa Tawangargo, Kec. Karangploso, Kab. Malang
3.1.1.1 Pelaksanaan Program

No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Tanggal
Februari 2011
3 Maret 2011
26 April 2011

Hal yang Dilakukan


Studi pendahuluan dan persiapan kegiatan
Tim berlatih membuat olahan mengkudu
Sosialisasi informal kepada kader kesehatan
Tawangargo
6 Maret 2011
Sosialisasi kepada kader kesehatan dan warga umum
13 Maret 2011
Pembekalan konsep DM dan khasiat mengkudu ke
kelompok kerja
18 Maret 2011
Pelatihan pemeriksaan kesehatan sederhana mengukur
tekanan darah dan gula darah
26 Maret, 3 & 9 Musyawarah, pelatihan pengolahan, dan pelatihan
April 2011
penjualan mengkudu.

8.

16 April 2011

9.

7, 19, 22, 23, dan


26 Mei 2011

10.

1, 8, 15, 22, 24,


dan 28 Mei 2011

Expo pengolahan mengkudu, senam DM untuk


diabetisi dan warga umum, pemeriksaan tekanan
darah dan gula darah.
- Mengenalkan program KENDI di Pilar Mas
Edukasi atau penyuluhan DM di tahlilan ibu-ibu di
tiap dusun
7 Mei 2011 : Dusun Leban dan Lasah
19 Mei 2011: Dusun Kalimalang
22 Mei 2011: Dusun Ngudi
23 Mei 2011: Dusun Swaluan
26 Mei 2011: Dusun Boro
Pembentukan kelompok swabantu DM di masingmasing dusun
1 Mei 2011 : Dusun Kalimalang dan Swaluan
8 Mei 2011 : Dusun Kalimalang dan Swaluan

19

11.

15 Mei 2011

12.

18 Maret Juni
2011

15 Mei 2011: Dusun Swaluan


22 Mei 2011: Dusun Ngudi dan Kalimalang
28 Mei 2011: Dusun Leban, Boro, dan Lasah
- Evaluasi dan monitoring produksi olahan
mengkudu yang akan dijual oleh kelompok kerja
- Penyebaran poster waspada DM ke setiap RT dan
leaflet 100 lembar setiap dusun untuk disebarkan ke
KK.
Monitoring dan Evaluasi

3.1.1.2 Pihak-Pihak Terkait


Pihak-pihak yang terlibat dalam mewujudkan tujuan dari program ini yaitu pemerintah
desa, tokoh-tokoh masyarakat, dan warga Desa Tawangargo.
a. Kepala Desa Tawangargo Bapak Wahyudin, SH sebagai pendukung dan penanggung
jawab pelaksanaan program secara keseluruhan di Desa Tawangargo.
b. Ibu Camat Karangploso sebagai pendukung pelaksanaan program.
c. Koordinator Bidan Kecamatan Karangploso Ibu Herawati, Amd.Keb sebagai
pendukung dan evaluator pelaksanaan program KENDI.
d. Bidan Desa, Ketua Puskesmas Pembantu, sekaligus Ketua Kader Kesehatan Desa
Tawangargo Ibu Yunik, Amd.Keb sebagai pendukung, evaluator, dan penanggung
jawab pelaksanaan kegiatan kesehatan di Desa Tawangargo
e. Kelompok kerja Rumah Sehat Mengkudu yang terdiri dari kader kesehatan dan warga
umum pemilik pohon mengkudu.
f.

Warga umum Desa Tawangargo sebagai pendukung pelaksanaan program dan sasaran
edukasi antidiabetes.

g. Diabetisi (warga dengan DM) di Desa Tawangargo sebagai pendukung pelaksanaan


program dan sasaran edukasi antidiabetes (kelompok swabantu DM).
h. Warga pemilik pohon mengkudu di Desa Tawangargo sebagai pendukung pelaksanaan
program pengolahan mengkudu untuk dijadikan sebagai usaha oleh kelompok kerja.
3.1.1.3 Keberhasilan Program

1. Sebelum penerapan teknologi tepat guna e-PHC (economic-Primary Health


Care) oleh penulis, Desa Tawangargo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten
Malang

belum

memiliki

UKBM

(Upaya

Kesehatan

Bersumberdaya

Masyarakat) dalam penanggulangan Diabetes Melitus (DM). Desa Tawangargo


belum memiliki Posyandu Lansia sebagai wadah survailans (penemuan dan
tatalaksana dini) penyakit termasuk penyakit DM. Hasil pertanian mengkudu di
20

Desa Tawangargo belum pernah diolah. Pengetahuan masyarakat Desa


Tawangargo tentang pengolahan dan pemanfaatan mengkudu, termasuk
manfaat mengkudu dalam pencegahan DM masih kurang.
2. Keseluruhan program terlaksana dengan modifikasi dilakukan di beberapa
kegiatan disesuaikan dengan kondisi dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat Desa Tawangargo yang menjadi sasaran di tiap kegiatan.
3. Metode e-PHC mewujudkan Desa Tawangargo, Kecamatan Karangploso,
Kabupaten Malang sebagai Kampung Edukasi Anti Diabetes dan meningkatkan
peran serta masyarakat dalam penanggulangan diabetes mellitus. e-PHC
menginisiasi terbentuknya kader kesehatan yang mampu dan berperan aktif
dalam penanggulangan DM, menginisiasi Posyandu Lansia sebagai wadah
penemuan dini dan tatalaksana DM, menginisiasi kegiatan aktivitas fisik
(senam DM), meningkatkan pengetahuan warga umum mengenai DM,
meningkatkan pengetahuan diabetisi dalam managemen DM, dan menginisiasi
alokasi 5-10% hasil penjualan mengkudu untuk kas Posyandu Lansia sebagai
subsidi biaya pemeriksaan gula darah bagi Diabetisi.
3.1.1.4 Keberlanjutan, Monitoring, dan Evaluasi Program

Pemeri
ksaan

Stat
us
Dia
Teka
kese
bet Posyandu DM oleh kader
Pelaksanaan
nan
hata
isi
10-15% dari tiap penjualan
Pengolahan dan penjualan darah
olahan mengkudu oleh kelompok
kerja
n
Pemeri
Pendidikan
- Gula
terk
ksaan
kesehatan
darah
ontr
Pencacatan

ol
Teka
- denga
hasilkontrol
n
nan
olehkader
Pemeriksaan
Status
Diruju
Wa
subsi
darah
Tekanan darah
kesehatandi
keseh
k ke
di
rga
Gula
Gula
darah
-Posya
atan
tabelkontrol
Pustu
Penimbangan
berat
badan
Peni
- ndu
um
darah
tidak
DM
atau
Alur
Gambar 3.1.1.4.1
Alur
Penemuan Dini dan
Tatalaksana DM
di
mban
tanpa
umPosyandu
Lansia Desa Tawangargo, Kec. Karangploso,
Kab.layana
Malang
terkon
gan
subsi
Posyandu trol
n
berat
di
DM
keseh
Peni
- badan
atan
mban
yang
gan
lebih
berat
tinggi
bada
n

21

Gambar 3.1.1.4.2 Alur Keberlanjutan Monitoring dan Evaluasi

3.2

Skrining Diabetes Melitus Berbasis Sumber Daya Masyarakat


Keberadaan kader kesehatan di masyarakat dapat diberdayakan untuk

skrining penyakit kronis dan tidak menular yang ada di komunitas. Selama ini
skrining yang sudah ada masih terbatas pada kesehatan ibu dan anak, sanitasi
lingkungan, dan penyakit menular. Berdasarkan pengalaman beberapa pengabdian
masyarakat yang pernah penulis lakukan, angka kejadian penyakit terutama
penyakit kronis pada tingkat komunitas hanya berdasarkan jumlah pasien sakit
yang memeriksakan diri ke Puskesmas di tingkat kelurahan, sementara penderita
yang tidak memeriksakan diri atau kelompok berisiko tidak terdata.

22

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2005. Complete Guide to Diabetes, Fourth


Edition. Alexandria: American Diabetes Association.
Bryer-Ash, Michael. 2011. 100 Questions & Answers about Diabetes. Sudbury:
Jones and Bartlett Publishers.
Budijanto, P., Hermawati, W., Kreshnawati, T. et al. 2001. Laporan Akhir
penelitian Studi Pola Penyebaran-Serapan (Difusi) Teknologi. Jakarta:
LIPI.
Centers for Disease Control and Prevention. 2011. National Diabetes Fact Sheet.
USA: CDC.
Consitt, L. A., Boyle, K. E., and Houmard, J. A. 2008. Exercise as an Effective
Treatment for Type 2 Diabetes In: Mark N. F. and Angelyn B. M. (eds).
Type 2 Diabetes Mellitus: An Evidence-Based Approach to Practical
Management. Totowa: Humana Press.
Coradio, Ronald A. 2011. Type 2 Diabetes, Pre-diabetes, and the Metabolic
Syndrome, second Edition. New York: Humana Press.
Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori
dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta
: EGC
Falvo, Donna. 2005. Medical and Psychosocial Aspects of Chronic Illness and
Disability, Third Edition. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers.
Ghazali, Lutfi. 2007. Perilaku dan Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia.

23

Gustaviani, Reno dan Soegondo, Sidartawan. Sindrom Metabolik. Dalam:


Sudoyo, Aru. Editor. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Ilyas, E. I. 2007. Manfaat Latihan Jasmani Bagi Penyandang Diabetes dalam:
Sidartawan S., Pradana S., dan Imam S. (Editor). Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
International Diabetes Federation. 2006. Diabetes Atlas, Third Edition. Brussel:
International Diabetes Federation.
Kemendagri RI. 2010. Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2010
tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan Teknologi Tepat
Guna. Jakarta: Kemendagri RI.
Kemenkes RI. 2008. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit
Diabetes Melitus. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI. 2010. Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga
Aktif. Jakarta: Kemenkes RI.
Keraff, A.S., Dual, Mikhael. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis.
Jakarta: Rineka Cipta.
Maulana, Heri D. J. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2001.Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu
Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010a. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010b. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nursalam. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Cetakan I. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Perkeni. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan bagi Penyandang
Diabetes. Jakarta: PERKENI.
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2002. Patosisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, edisi 6. Braham U.P, dkk (penerjemah). 2006.
Jakarta:EGC.
Priyatna, A. 2005. Pemberdayaan Masyarakat dalam Prespektif Pengukuran
Keberdayaan Komunitas Lokal. Jakarta: Depsos RI.
Ririnisahawaitun. 2010. Pengaruh Kelompok Swabantu (Self Help Group)
Terhadap Tingkat Stres Orangtua Dengan Anak Retardasi Mental Di SLB
Negeri
3
Yogyakarta.
http://publikasi.umy.ac.id/index.php/psik/article/viewFile/2371/1145.
Diakses pada tanggal 21 Mei 2012 pukul 08.45 WIB.
Riskesdas. 2007. Tahun 2030 Prevalensi Diabetes Melitus Di Indonesia Mencapai
21,3 Juta Orang. Jakarta: Kemenkes RI.
Roger, Everett. 2003. Diffusion of Innovation 5th Edition. New York: The Free
Press.
Robbins, Stanley L., Kumar, V., dan Cotran, Ramzi S. 2003. Buku Ajar Patologi,
Edisi 7. Brahm U. Pendit (penerjemah). 2007. Jakarta: EGC.
24

Soegondo, S. 2007. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini dalam:


Sidartawan S., Pradana S., dan Imam S. (Editor). Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Subekti, Imam. 2007a. Apa Itu Diabetes: Patofisiologi, Gejala, dan Tanda dalam:
Sidartawan S., Pradana S., dan Imam S. (Editor). Penatalaksanaan
Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Subekti, Imam. 2007b. Komplikasi Akut Diabetes Melitus dalam: Sidartawan S.,
Pradana S., dan Imam S. (Editor). Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sukmaniar. 2007. Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Pasca Tsunami di Kecamatan
Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Thesis. Semarang: UNDIP.
Suprapti, Lies. 2005. Aneka Olahan Mengkudu Berkhasiat Obat. Yogyakarta:
Kanisius
Sutini, Titin et al. 2009. Pengaruh Terapi Self Help Group Terhadap Koping
Keluarga Dengan Anak Retardasi Mental Di SLB-C Kabupaten
Sumedang.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/125504TESIS0563%20Tit%20N09p-Pengaruh%20Permainan-Pendahuluan.pdf.
Diakses pada tanggal 22 Mei 2012 pukul 03.18 WIB.
Suyono, S. 2007a. Patofisiologi Diabetes Melitus dalam: Sidartawan S., Pradana
S., dan Imam S. (Editor). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Suyono, S. 2007b. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Penyandang Diabetes
Melitus dalam: Sidartawan S., Pradana S., dan Imam S. (Editor).
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Toni, Hendri. 2006. Mengkudu : Khasiat dan Peluang Usahanya. Semarang:
Aneka Ilmu
Waspadji, S. 2007. Diabetes Melitus: Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya yang
Rasional dalam: Sidartawan S., Pradana S., dan Imam S. (Editor).
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
WHO. 2011. Diabetes Fact Sheet. Genewa: WHO.
Wild, S., Roglic, G., Green, A. Et al. 2004. Global Prevalence of Diabetes
Estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care 2:
1047-1053.

25

MAKALAH KEDOKTERAN PENCEGAHAN

COMMUNITY EMPOWERMENT BASED STRATEGY


FOR DIABETES MELLITUS PREVENTION

26

Musthika Wida Mashitah


116070117011025

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK


PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2012

27

Anda mungkin juga menyukai