Anda di halaman 1dari 4

KOMPAS.com Apa pun jender dan orientasi seksual Anda, Anda berisiko terinfeksi HIV.

Jangan lagi pernah berpikir bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit homoseksual.


Esa, Anisa, dan Antonio berbagi cerita tentang awal mula mendapatkan HIV, menunjukkan
bahwa masing-masing jender memiliki tantangan berbeda yang bisa meningkatkan peluang
terinfeksi HIV.
Kalau tak waspada, siapa pun tanpa sadar bisa mendapatkan HIV bak mendapat lotre.
"Peer pressure"
Untuk laki-laki heteroseksual seperti Esa, peer pressure adalah salah satu tantangan utama.
Sekali mengikuti gaya hidup berisiko teman untuk sekadar tren, laki-laki heteroseksual
berpotensi mendapat "lotre" terinfeksi HIV.
"Saya dulu penasun. Saya pakai obat dari sejak SMA, tahun 1996. Waktu itu masih sekelas
ganja," ujar Esa, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang tinggal di Yogyakarta.
"Awalnya dulu bisa memakai obat perlahan. Dari awalnya merokok, minum, sampai ganja, dan
kemudian menggunakan jarum suntik," kisah Esa.
Esa berhenti menggunakan narkoba suntik setelah ketahuan oleh orangtuanya. Saat itu tahun
1999. Dia pulang dari Jakarta ke Samarinda, melanjutkan studi yang sempat terbengkalai di
sana.
Status sebagai seorang HIV positif baru diketahui sekitar 10 tahun kemudian, saat Esa sedang
kuliah S-2 di Perth, Australia.
"Saya mengalami pneumonia. Jalan sebentar saja saya sudahngos-ngosan saat itu," ujar Esa
saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/11/2015) lalu.
Setelah kondisi makin menurun, ESA memeriksakan diri ke dokter. "Saya akhirnya tahu bahwa
saya HIV sekaligus AIDS. CD4 saya waktu itu cuma tinggal 6," ujarnya.
Merefleksikan pengalamannya terinfeksi HIV, Esa mengungkapkan bahwa bagi seorang laki-laki

heteroseksual, sangat penting untuk menjaga diri tak terpengaruh lingkungan hanya untuk tren.
Pengaruh bisa berupa apa pun. Dari pengamatannya di kalangan ODHA di Yogyakarta, saat ini
lebih banyak laki-laki terinfeksi HIV lewat hubungan seksual.
"Trennya berubah. Kalau dulu lebih banyak karena jarum suntik," kata Esa.
Ia berpesan, "Sekarang yang penting bagi laki-laki adalah setia pada pasangan. Jika terpaksa
melakukan hubungan seks di luar kepatutan, gunakan kondom."
Kurang memberdayakan diri
Bagi perempuan heteroseksual, sikap kurang memberdayakan diri menjadi salah satu sebab
utama terinfeksi HIV. Perempuan heteroseksual kerap menjadi korban.
Banyak perempuan heteroseksual mempunyai mimpi menikah, mempunyai anak, memiliki satu
cinta untuk selamanya. Itu tak salah. Namun, kadang perempuan kurang waspada.
"Tes HIV sebelum menikah. Jangan sampai seperti saya," ujar Anisa, perempuan asal Jakarta
yang kini menjadi orangtua tunggal untuk empat anaknya.
"Kalau memang tahu calon pasangan terinfeksi, pernikahan tetap bisa dilanjutkan. Orang HIV
tetap bisa menikah dan punya anak yang negatif," imbuhnya.
Tahun 2008, suami Anisa mengalami penyakit hati. Sang suami pemakai narkoba suntik.
Tubuhnya kurus dan sering batuk hingga mengeluarkan lendir berwarna kuning.
Pemeriksaan HIV mengungkap bahwa suami Anisa HIV positif. Sayang, Anisa kala itu tak
langsung memeriksakan diri. Ia baru mengecek status HIV-nya pada tahun 2010, setelah sang
suami meninggal.
Sikap mengabaikan dan mengingkari risiko disesalkan Anisa. Karena sikap itu, dia harus
melahirkan satu anak dengan HIV beberapa saat sebelum sang suami "pergi".
Kepada semua perempuan, Anisa berpesan bahwa HIV bisa masuk dalam tubuh siapa pun. Dia

bercerita bahwa dirinya pun tak menyangka bisa terinfeksi.


"Sampai saat saya tahu saya positif, saya mengobrak-abrik meja dokter. Saya berteriak, tidak
mungkin saya terinfeksi. Saya bukan PSK. Saya malah guru ngaji," ujar Anisa.
Mengekspresikan diri, tetapi kurang informasi
Untuk kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT), sikap mengekspresikan diri
yang tak dibarengi dengan memperkaya wawasan kesehatan menjadi isu utama.
Antonio, seorang gay dan HIV positif dari Jakarta, menceritakan betapa dirinya miskin informasi
tentang seks yang aman saat gejolak untuk mengekspresikan diri meluap.
"Dulu terbit buku Jakarta Undercover dari Moammar Emka. Dari sana, saya tahu beberapa
tempat kumpul untuk gay. Saya jadi ingin tahu, seperti apa sih Sarinah, seperti apa Senen,"
kata Antonio.
Kumpul-kumpul dengan sesama LGBT membuka peluang Antonio mengakses seks. Ia
mengaku aktif secara seksual begitu lulus kuliah dan tinggal sendiri.
Kurangnya informasi membuatnya melakukan hubungan seksual yang tidak aman. "Saya tahu
HIV bisa menular lewat seks, tapi saat itu lebih banyak isunya kan soal narkoba," katanya.
Akhir 2012, saat wisata ke Bali, Antonio memeriksakan diri. Hasil tesnya positif, tetapi ia sempat
menunda minum ARV karena CD4-nya masih tinggi.
Pada rekan sesama gay, Antonio menyampaikan pesan yang mungkin terdengar klise tetapi
tetap penting, "Lakukan seks yang aman, dengan kondom."
Selain itu, Antonio mengajak semua LGBT untuk tak cuma mengekspresikan jati diri, tetapi juga
mewaspadai risiko terinfeksi HIV.
Dia menulis pengalaman kehidupannya sebagai gay dan HIV positif dalam buku My Life My
Story. Dia juga menjadi relawan di Ruang Carlo, klinik HIV di Rumah Sakit St Carolus.

Siapa pun bisa kena


Pakar HIV/AIDS dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Sjamsuridjal Djauzi, mengungkapkan
bahwa HIV bisa menjangkiti siapa pun.
Asumsi-asumsi tentang siapa saja yang paling berpeluang terinfeksi HIV tak sepenuhnya benar.
Dikatakan, menjadi istri setia tak akan terinfeksi HIV. Tetapi, kenyataan mengungkap, tanpa
kewaspadaan, HIV tetap bisa menginfeksi.
Ibu rumah tangga kini bahkan lebih berisiko terinfeksi HIV dibandingkan pekerja seks komersial.
Asumsinya, pekerja seks dan sopir truk berpeluang lebih tinggi terinfeksi HIV. Ternyata, menurut
Laporan HIV Kementerian Kesehatan pada Agustus 2015, ibu rumah tangga, wiraswasta, dan
karyawan adalah kalangan yang menurut profesinya paling banyak menderita HIV.
"Siapa pun sebisa mungkin melakukan tes HIV," kata Sjamsuridjal.
Sjamsuridjal mengajak siapa pun memerangi HIV, termasuk perusahaan yang mempekerjakan
karyawan. Biaya HIV yang ditanggung pemerintah cukup tinggi. Tahun 2014, pemerintah
menghabiskan Rp 200 miliar hanya untuk obat ARV.
"Kalau swasta keuntungan bertriliun-triliun, mereka harusnya bisa berperan serta."
Kepada media, Sjamsuridjal menekankan pentingnya peran memberi informasi, bukan hanya
menyuguhkan perdebatan dan isu soal kebijakan

Anda mungkin juga menyukai