Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

KONDISI KOMPONEN BIOTIK DAN ABIOTIK PADA EKOSISTEM


PERAIRAN DI KAWASAN BANYUWINDU

Dosen Pengampu :
Drs. Nugroho E.K, M.Si
Drs. Bambang Priyono, M.Si

Disusun oleh:
Siti Nurfaizah

4411414001

Dyken Dwi Arlinda

4411414002

Raharja Kuncara

4411414006

Yosa Rostriana P

4411414029

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016

I. TUJUAN
Mengamati kondisi komponen biotik dan abiotik pada ekosistem
perairan di kawasan Banyuwindu menggunakan beberapa parameter yaitu
salinitas, COD, dan BOD.
II. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN
Hari, tanggal : Sabtu, 16 April 2016
Tempat
: Hutan Banyuwindu, kec. Limbangan, Kab. kendal
III.DASAR TEORI
Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan
atau sistem dengan lingkungannya. Definisi ekologi sendiri adalah ilmu
mengenai hubungan organisme dengan lingkungannya mempelajari
hubungan antara tempat hidup organisme dan interaksi mereka dengan
lingkungan secara alami atau lingkungan yang sedang berkembang.
Ekosistem (satuan fungsi dasar dalam ekologi) adalah suatu sistem yang
didalamnya terkandung komunitas hayati dan saling mempengaruhi antara
komponen biotik dan abiotik. Berdasarkan salinitasnya ekosistem perairan
dibedakan menjadi tiga yaitu ekosistem perairan tawar, ekosistem perairan
payau, dan ekosistem perairan laut (Odum,1988). Sedangkan perairan
adalah suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu, baik yang
bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun
statis (tergenang) seperti danau. Perairan ini dapat merupakan perairan
tawar, payau, maupun asin (laut). Jadi ekologi perairan dapat diartikan ilmu
yang mempelajari hubungan organisme dengan lingkungan perairan.
Dalam ekosistem, organisme akan beradaptasi dengan lingkungan
fisik dan sebaliknya lingkungan fisik juga akan mempengaruhi organisme
untuk hidup (Hutagalung, 2004). Sungai merupakan suatu badan air yang
mengalir ke satu arah dari sumber (hulu) menuju muara (hilir)(Asdak,
2004). Ekosistem sungai berarti interaksi yang tak terpisahkan antara
organisme-organisme yang hidup di dalamnya. Aliran air dan gelombang
secara teratur memberikan oksigen pada air. Ketinggian daratan
memberikan perbedaan suhu pada air (Krisanti, 2004). Air sungai yang
mengalir deras tidak mendukung keberadaan organisme (plankton) untuk
berdiam diri, karena akan terbawa arus. Sebagai gantinya terjadi fotosintesis
dari ganggang yang melekat dan tanaman berakar. Jadi tetap terjadi rantai
makanan. Organisme yang dapat bertahan hidup tidak terbawa arus karena
mengalami adaptasi revolusioner, misalnya bertubuh tipis dorsoventral dan
dapat melekat pada batu. (Setyobudiandi, 1997)
Sungai adalah perairan umum yang airnya mengalir terus menerus
pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air permukaan yang akhirnya
bermuara ke laut. Sungai sebagai perairan umum yang berlokasi di darat
dan merupakan suatu ekosistem terbuka yang berhubungan erat dengan

sistem-sistem terestrial dan lentik. Sungai adalah lingkungan alam yang


banyak dihuni oleh organisme. (Odum (1996) dalam Wahyuingsih, 2013)
Pada ekosistem ini kecepatan arus merupakan faktor pembatas
terpenting. Ekosistem sungai dihuni oleh berbagai kelompok biota
organisme perairan yaitu : neuston, plankton (fitoplankton, zooplankton),
nekton, bentos, perifiton. (Probosunu (2011) dalam Wahyuingsih, 2013)
Ekosistem lotik atau sungai dibagi menjadi beberapa. Zona dimulai
dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu dan
yang selanjutnya aliran dan beberapa mata air akan membentuk di
pegunungan yang disebut zona rithal, ditandai relief aliran sungai yang
terjal. Adanya perbedaan keterjalan dan topografi aliran sungai
menyebabkan kecepatan arus mulai dari daerah hulu sampai hilir akan
bervariasi. Daerah hulu ditandai dengan kecepatan arus yang tinggi dan
kecepatan arus tersebut akan berkurang pada aliran sungai yang mendekati
daerah hilir. (Barus, 2002)
Zonasi pada habitat air mengalir adalah mengarah ke longitudinal,
yang menunjukkan bahwa tingkat yang lebih atas berada di hulu dan
kemudian mengalir ke hilir. Menurut Semartowo (1980) dalam Wahyuingsih
(2013). Pada habitat air mengalir ini, perubahan-perubahan terjadi akan
nampak pada bagian atas dari aliran air karena adanya kemiringan, volume
air atau komposisi kimia yang berubah. Sungai yang merupakan ekosistem
lotik termasuk ekosistem terbuka yang mendapat masukan unsur hara dari
kikisan tanah sejak dari bagian huluhingga hilir sungai. (Selvich (2005)
dalam Wahyunningsih, 2013)
Ciri-ciri ekologi tawar adalah antara lain variasi suhu tidak mencolok,
penetrasi cahaya kurang, dan dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Macam
kebutuhan yang terbanyak adalah ganggang, sedangkan yang lainnya adalah
tumbuhan biji. Hampir semua filum hewan terdapat dalam air tawar.
Organisme yang di air tawar biasanya bersel satu dan dinding selnya kuat.
(Rifqi, 2009)
Menurut Godam (2009) dalam Aryochepridho (2014), teradapat
beberapa ciri-ciri habitat air tawar, yaitu variasi temperature atau suhu
rendah. Kadar garam atau salinitas rendah. Penetrasi dari cahaya matahari
kurang. Terpengaruh iklim dan cuaca alam sekitar. Tumbuhan mikroskopis
seperti alga dan fitoplankton sebagai produsen utama.
a) Suhu
Suhu atau temperature adalah derajat energi panas. Sumber
utama energi panas adalah radiasi matahari. suhu merupakan
komponen abiotik di udara , tanah, air. Suhu sangat diperlukan oleh
setiap mahluk hidup, berkaitan dengan reaksi kimia yang terjadi dalam
tubuh makhluk hidup. (Aryulina, 2004:269)
b) Kelembaban
Kelembapan merupakan salah satu komponen abiotik di udara
dan tanah. Kelembapan di udara berarti kandungan uap air di udara,
sedangkan kelembapan di tanah berarti kandungan air dalam tanah.

Kelembapan diperlukan oleh mkhluk hidup agar tubuhnya tidak cepat


kering karena penguapan. Kelembapan yang diperlukan setiap
makhluk hidup berbeda-beda. (Aryulina, 2004:269)
Volume sungai mempengaruhi jumlah biota yang hidup di dalamnya.
Semakin panjang dan lebar serta dalam ukuran sungai, maka semakin
banyak jumlah biota yang menempatinya (Kottelat, et al, 1996 dalam
Aryochepridho, 2014). Tak hanya itu, semakin tinggi kecepatan arus ,
kandungan oksigen terlarut dalam air yang sangat dibutuhkan oleh biota air
dalam metabolismenya akan semakin banyak. Kecepatan arus akan
berkurang seiring dengan penambahan kedalaman suatu perairan (Siregar,
2004 dalam Aryochepridho, 2014). Kecepatan arus ditentukan oleh
kemiringan, kekasaran dan kelebaran dasarnya. (Odum, 1993 dalam
Aryochepridho, 2014)
Air merupakan senyawa yang bersifat pelarut universal, karena
sifatnya tersebut, maka tidak ada air dan perairan alami yang murni. Tetapi
didalamnya terdapat unsur dan senyawa yang lain. Dengan terlarutnya unsur
dan senyawa tersebut, terutama hara mineral, maka air merupakan faktor
ekologi bagi makhluk hidup. Walaupun demikian ternyata tidak semua air
dapat secara langsung digunakan memenuhi kebutuhan makhluk hidup,
tetapi harus memenuhi kriteria dalam setiap parameternya masing-masing.
Berbagai sumber air yang dipergunakan untuk keperluan hidup dan
kehidupan dapat tercemar oleh berbagai sumber pencemaran. Limbah dari
makhluk hidup, seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan dapat
menjadi penyumbang pencemaran terhadap air yang akan dipergunakan,
baik untuk keperluan makhluk hidup maupun untuk keperluan kehidupan yang
lain. Keberadaan Zat-zat beracun atau muatan bahan organik yang berlebih
akan menimbulkan gangguan terhadap kualitas air. Keadaan ini akan
menyebabkan oksigen terlarut dalam air berada pada kondisi yang kritis,
atau merusak kadar kimia air.
Rusaknya kadar kimia air tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi
dari air itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa oksigen memegang
peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut
berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik.
Selain itu, oksigen juga menentukan kegiatan biologis yang dilakukan oleh
organisme aerobik atau anaerobik. Sebagai pengoksidasi dan pereduksi
bahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan
tidak beracun.
Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme
untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat
berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain
yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Oleh karena itu, untuk mengetahui
kadar oksigen terlarut yang terdapat dalam air perlu dilakukan pemeriksaan
kadar oksigen.
Salah satu cara untuk mengetahui seberapa jauh beban pencemaran
pada air limbah adalah dengan mengukur BOD (Biological Oxygen

Demand), dan COD (Chemical Oxygen Demand)(Masturi, 1997). BOD


(Biological Oxygen Demand) adalah jumlah kebutuhan oksigen yang
diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa organik yang
ada dalam limbah. COD (Chemical Oxygen Demand) adalah banyaknya
oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi senyawa organik secara
kimiawi. (Alaerts dan Santika, 1984)
IV. ALAT & BAHAN
A. ALAT:
Refractometer
Thermometer
Beaker glass
Botol kecil
Pipet tetes
Papan Jalan
Alat Tulis
B. BAHAN:
Air sampel
Indikator PP
Reagen KOH-KI
Reagen MnSO4
Reagen H2SO4
Reagen Na2S2O3
Larutan amilum 2%

V. CARA KERJA
1) Menentukan titik pengamatan (di hulu, tengah, dan hilir sungai).
2) Melakukan pengamatan pada masing-masing titik pengamatan.
3) Mengukur faktor pada setiap titik pengamatan yaitu (suhu air, salinitas,
kecepatan arus, kedalaman dan lebar sungai).
4) Mengukur kadar COD dan BOD.
Cara mengukur faktor abiotik dilakukan sebagai berikut:
a. Mengukur salinitas air
1 Menyiapkan Refractometer dan sampel air dari 3 titik pengamatan.
2 Membuka Refractometer pada bagian yang akan ditetesi sampel air.
3 Meneteskan sampel air kawasan hutan kedalam Refractometer,
4

menutup kembali Refractometer.


Mengamati hasil pengukuran salinitas dan menuliskan pada tabel
pengamatan yang tersedia.

Melakukan hal sama untuk sampel air persawahan dan pemukiman


warga.

b. Mengukur kedalaman sungai, lebar sungai, dan kecepatan arus


1) Mengukur lebar sungai menggunakan meteran dari tepi sungai ke
tepi sungai yang lain.
2) Mengukur kedalaman sungai dengan menggunakan meteran,
kedalaman diukur dari dasar sungai sampai ke permukaan air.
3) Mengukur kecepatan arus menggunakan bantuan bola tenis meja:
a. Mengukur panjang jarak yang akan ditempuh bola.
b. Meletakan bola dan menghanyutkannya.
c. Mencatat waktu yang dibutuhkan bola untuk menempuh jarak
yang telah ditentukan.
d. Melakukan pengulangan sebanyak tiga kali.
c. Mengukur suhu air
1) Mengukur suhu air langsung pada sungai dari setiap titik
pengamatan.
2) Menyiapkan Thermometer.
3) Mengukur suhu dengan memasukkan ujung Thermometer kedalam
air sungai.
4) Thermometer digantungkan dengan menggunakan penggantung
karet sehingga tidak langsung terkena tangan.
5) Melihat dan mencatat hasil penghitungan suhu air ke dalam tabel
yang tersedia.
d. Mengukur kadar CO2 dengan cara COD
1 Mengambil sampel air dari ketiga titik pengamatan dengan
2

menggunakan botol kecil yang telah disediakan.


Mengambil sampel air kawasan perbatasan hutan Banyuwindu

sebanyak 5 ml.
Meneteskan 2 tetes reagen PP (untuk menunjukkan air sampel

4
5

mengandung CO2).
Meneteskan KOH-KI sampai warna menjadi bening.
Menghitung berapa tetes KOH-KI yang digunakan sampai sampel

menjadi bening.
Jumlah tetesan dikalikan 100 mg/L, hasil perkalian merupakan hasil

7
8

COD.
Menuliskan hasil pengukuran COD kedalam tabel pengamatan.
Melakukan hal yang sama untuk sampel air persawahan dan
pemukiman warga.

e. Mengukur Kadar O2 dengan cara BOD


1) Menyiapkan sampel air sebanyak 100 ml ke dalam beaker glass.
2) Meneteskan 5 tetes MnSO4.
3) Meneteskan 5 tetes KOH-KI, menunggu kurang lebih 1 menit
sampai terbentuk endapan sambil diaduk.
4) Meneteskan dengan 10 tetes H2SO4 pekat sampai endapan hilang.
5) Mengambil 5 ml larutan pada point 6.
6) Meneteskan dengan 1 tetes larutan amilum 2% sehingga larutan
berwarna biru.
7) Meneteskan Na2S2O3 sampai warna biru pudar sehingga menjadi
bening.
8) Jumlah tetesan Na2S2O3 dikalikan 10 mg/L merupakan BOD.
9) Menuliskan hasil penghitungan BOD ke dalam hasil pengamatan.

VI. HASIL PENGAMATAN


Titik
ke-

Biotik
Hewan
Anggang-anggang
Nyamuk
Laba-laba
Lalat
Anggang-anggang
Belalang
Mrutu
Semut
Kupu-kupu
Laba-laba
Semut
Kupu-kupu
Keong
Capung
Ulat
Lalat

Tumbuhan
Talas
Equisetum sp
Spirogira sp
Stacitarpeta indica
Musa paradisiaca
Equisetum sp
Spirogira sp
Impatiens sp

Cucurbita sp
Plathy petala
Equisetum sp
Talas
Bambusa sp
Musa paradisiaca

Laba-laba
Bunglon
Kecepatan
Titik
ke- Jarak
tempuh &
waktu
p: 310 cm
t1: 10 s
1

t2: 7 s
t3: 7 s
p: 390 cm
t1: 3 s

t2: 4 s
t3: 4 s
p: 380 cm
t1: 5 s

t2: 8 s
t3: 6 s
*Keterang
an:

VII.

arus (v)
v=p/t
(m/s^2)

BOD/CO
D

V1: 31
V2:
44,29
V3:
44,29

COD:
100
mg/L

Abiotik
Kondisi sungai
Leba
Kedalam Substr
r
an (cm)
at
(cm)

108,33
V1: 76
V2:
47,5
V3:
63,33
v

:62,28

Salinit
as

197

20

Batu,
Pasir

23

5,2

218

23

Batu,
Pasir

23

5,2

300

21

Batu,
Pasir

25

5,2

BOD: 20
: 39, mg/L
v

86
V1: 130
V2:
97,5
V3:
97,5

Suh
u
(C)

COD:
100
mg/L
BOD: 30
mg/L
COD:
100
mg/L
BOD: 20
mg/L

p: jarak tempuh, t: waktu,

v : kecepatan rata-rata

PEMBAHASAN
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi perairan di kawasan
Bayuwindu Kendal dengan substrat berupa batu dan pasir. Dalam kegiatan
ini yang menjadi objek pengamatan adalah komponen biotik dan abiotik
dari ekosistem perairan sungai di kawasan Banyuwindu Kendal.
Pengamatan dilakukan pada tiga titik yaitu pada hulu, tengah, dan hilir.

Untuk bagian hulu kami mengambil pada perbatasan hutan, bagian tengah
kami menentukan di sekitar persawahan, dan hilir pada bagian pemukiman
warga. Untuk komponen biotik yang diamati adalah hewan dan tumbuhan
yang berada di air dan di tepi sungai. Dan untuk komponen abiotik adalah
kecepatan arus, kedalaman sungai, COD, BOD, suhu, dan salinitas air. Dari
hasil pengamatan komponen biotik paling banyak ditemukan adalah
tumbuhan sedangkan hewan kiami hanya menemukan beberapa serangga
dan molusca hal ini dimungkinkan karena pengamatan yang kurang cermat
dan waktu pengamatan dilakukan ketika sore hari.
Komponen abiotik yang diamati berupa kecepatan arus, kedalaman
sungai, suhu, salinitas dan suhu diukur di tempat dimana kami menetukan
titik. Untuk mengukur COD dan BOD dilakukan dengan mengambil sampel
air dari setiap titik pengamatan. Suhu air yang kami peroleh pada perbatasan
hutan sebesar 23oC, daerah persawahan sebesar 23oC dan kawasan
pemukiman warga sebesar 25oC. Data yang kami peroleh sesuai dengan
teori yaitu jika kelembaban udara semakin tinggi suhu akan semakin rendah.
Kadar garam (salinitas) disetiap titik sama yaitu 5,2% yang seharusnya
kadar salinitas pada daerah pegunungan tidak mencapai 5,2%. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena penggunaan pupuk oleh warga pada daerah
persawahan maupun hutan sehingga garam mineral yang terkandung
terbawa olwh air hujan dan masuk ke sungai.
Pada uji Biological Oxygen Demand (BOD) dilakukan dengan cara
menguji larutan sampel yang telah diambi dari tiga titik berbeda dan
ditambahkan dengan MnSO4 yang berfungsi untuk mengikat oksigen pada
sampel menjadi Mn(OH)2 yang kemudian akan teroksidasi menjadi MnO2
berhidrat. Kemudian tambahkan dengan asam sulfat (H2SO4) pekat larutan
ini berfungsi untuk melarutkan endapan yang muncul. Kemudian tambahkan
amilum hingga berwarna biru, amilum berfungsi sebagai indikator warna.
Warna biru tua merupakan kompleks pati iodin yang berperan dalam uji
kepekaan terhadap iod. Kepekaan itu akan lebih besar dalam larutan yang
sedikit asam dari pada dalam larutan netral. Kemudian dilanjukan dengan
titrasi menggunakan larutan Na2S2O3 hingga warna biru hilang, warna biru
hilang setelah dititrasi dengan larutan Na2S2O3 sebanyak 2 tetes. Dari hasil
pengujian BOD pada sampel air yang telah disiapkan didapatkan hasil untuk
kawsan hilir yaitu 20 mg/L, pada kawasan tengah (persawahan) 30 mg/L
dan pada kawasan pemukiman warga sebesar 20 mg/L. Hasil yang kami
dapatkan kurang tepat karena seharusnya nilai BOD semakin ke bawah atau
mendekati pemukiman warga akan semakin besar karena tingkat
penceraman semakin bisar pada daerah pemukiman warga.
Selanjutnya yaitu uji Chemical Oxygen Demand (COD) uji ini
digunakan untuk mengetahui kadar CO2 dalam suatu larutan sampel. Pada
uji ini menggunakan indikator warna berupa penambahan PP, setelah
penambahan PP larutan berwarna pink, hal ini menunjukkan bahwa didalam
larutan sampel terkandung CO2. Setelah mengetahui bahwa sampel air
tersebut mengandung CO2, dilanjutkan dengan menambahkan KOH-KI

sampai larutan berwarna jernih kembali, penambahan KOH-KI bertujuan


untuk mengetahui kadar CO2 dalam sampel air tersebut. Dari penambahan
KOH-KI didapatkan kadar CO2 dalam air sampel dari ke tiga titik sama
yaitu 100 mg/L.
Dari pemeriksaan nilai Biological Oxygen Demand (BOD) pada
sampel air yang telah dilakukan oleh praktikan diperoleh hasil pada titik
pertama 20 mg/L, titik ke dua 30 mg/L, dan titik ke tiga 20 mg/L. Apabila
merujuk pada keputusan Kepmen LH No.KEP-03/MENKLH/II/1991
tentang baku mutu limbah cair untuk golongan 3 BOD adalah 150 mg/L.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa tingkat
pencemaran pada air di kawasan Banyuwindu Kendal masih aman dan
berada di bawah ambang batas standar pencemaran. Sehingga aman bagi
organisme yang hidup pada ekosistem sungai di kawasan banyuwindu.
Untuk hasil dari uji untuk pemeriksaan nilai Chemical Oxygen
Demand (COD) yang telah dilakukan oleh praktikan diperoleh bahwa nilai
BOD pada sampel air yang diuji adalah 100 mg/L. Apabila merujuk pada
Kepmen LH No.KEP-03/MENKLH/II/1991 tentang baku mutu limbah cair
golongan 3 COD yaitu 300 mg/L. Dari hasil pengujian nilai COD yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa air di kawasan Banyuwindu Kendal
Kendal masih aman dan berada di bawah ambang batas standar pencemaran,
dan masih aman bagi organisme yang hidup dalam ekosistem sungai di
kawasan Banyuwindu. Namun perlu adanya tindakan preventif agar tidak
terjadi pencemaran dan keseimbangan ekosistem tetap terjaga.

VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari praktikum yang telah
dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa kondisi komponen biotik dan abiotik
pada kawasan perairan Banyuwindu masih tergolong dalam kategori aman
dengan kadar salinitas 5,2 pada semua titik pengamatan. Nilai COD yaitu,
100 mg/L pada semua titik pengamatan, dan nilai BOD yaitu, 20 mg/L pada
titik pengamatan pertama, 30 mg/L pada titik pengamatan ke dua, serta 20
mg/L pada titik pengamatan ke tiga, yang merupakan masih di bawah
ambang batas pencemaran suatu perairan.

DAFTAR PUSTAKA

Alaerts G., & S.S Santika. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional Surabaya
Indonesia

Aryochepridho. 2014. Ekosistem Sungai. Manajemen Sumberdaya Perikanan


Aryulina, Dyah. 2004. Biologi I. Jakarta: Erlangga
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. USU Press : Medan

Hutagalung, R.A. 2004. Ekologi Dasar. Erlangga. Jakarta.


Krisanti, et al. 2004. Panduan Pengukuran Kualitas Air Sungai. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Masturi. 1997. Pengambilan Minyak Kedelai Pra Proses Pembuatan Tahu.
Laporan Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Industri
Semarang.
Odum E.P. 1988. Basi di ecologia. Piccin Editore, Padova.
Rifqi, Arif. 2009. Hubungan Ekologi Dengan Ilmu Lain, Populasi Dan
Komunitas.

Setyobudiandi, I. 1997. Makrozoobentos. Institut Pertanian Bogor. Bogor


Wahyuningsih, J.S. 2013. Ekosistem Sungai. Taknologi Hasil Prtanian

Anda mungkin juga menyukai