Anda di halaman 1dari 28
Internasionalisasi Upaya Organisasi Non-Pemerintah dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal di Bangladesh MARISKA ABSTRACT. Since the transboundary movement of hazardous wastes has emerged in the 80s, developing countries like Bangladesh has became the dumping ground of those hazardous wastes sent from developed countries. One of the hazardous wastes that have been dumped to this country is the waste from ship dismantling activities containing hazardous material from developed countries. Ship dismantling activities have also brought negative impacts to the lives of workers in ship dismantling yards, the environment and has created a negative image for Bangladesh as the dumping ground for the developed countries’ hazardous wastes. This activities finally brought NGOs like YPSA, BELA, Greenpeace, BAN and FIDH together to fight these exploitative activities. They, individually or in alliance, have made efforts to resolve the problem. Their internationalizations of efforts have been succesful because the government of Bangladesh finally imposed new regulations for ship dismantling activites. Keyworps: ship dismantling, non-government organization, dumping ground Kegiatan ship dismantling merupakan suatu proses penghancuran struktur kapal yang sudah rusak dan berusia tua untuk dibongkar atau dibuang. Kegiatan ini memiliki beberapa tahap, seperti memindahkan semua roda gigi dan berbagai perlengkapan kapal dan memotong, setiap bagian dari infrastruktur milik kapal tersebut.1 Pada awalnya, kegiatan ini dikategorikan sebagai suatu proses yang membutuhkan keahlian mekanik tinggi dan berpusat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan ' Md. M. Maruf Hossain dan Mohammad Mahmudul Islam. 2006. Ship Breaking Activities and its Impact on the Coastal Zone of Chittagong, Bangladesh: Towards Sustainable Management. Bangladesh: YPSA. ‘Mariska (mariska makroud@gmail.com) adalah Alumni Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Tmu Sosial dan Timu Politik, Universitas Pelita Harapan. Saat ini bekerja sebagai Asisten Dosen di Jurusan yang sama. ‘VERITY w Volume 2, No. 4, Juli-Desember 2010 ‘© Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas limu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pelita Harapan 101 102m Intemasionalisasi Upaya Omop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal Inggris. Setelah tahun 1960, kegiatan ini berpindah ke negara semi-industri seperti Spanyol dan Turki, sampai akhirnya sejak tahun 1980-an berpindah lagi ke wilayah Asia seperti China, Pakistan, India dan Bangladesh. Hingga kini, 95% dari kegiatan ship dismantling dilakukan di wilayah Asia, terutama India dan Bangladesh? Pada kurun waktu 2000-2007, terdapat serangkaian kegiatan ship dismantling dari berbagai kapal asing di Bangladesh. Walupun jumlahnya menurun (601 kapal pada tahun 2001 menjadi hanya 159 pada tahun 2007)3 kegiatan ship dismantling ini tetap menjadi peristiwa yang kompleks karena terbukti melibatkan lebih dari dua negara. Satu hal unik yang terjadi ialah bagaimana kapal-kapal tersebut selalu berganti bendera kapal setiap kali memasuki wilayah perairan Chittagong. Kapal tersebut tidak lagi menggunakan bendera asal kapal, tapi berubah menjadi bendera dari negara lain. Sebagai contoh kapal yang berasal dari negara industri maju seperti Amerika Serikat pasti mengalami perubahan bendera menjadi negara berkembang seperti Mongolia.* Hal ini membuat negara-negara maju tersebut tidak dapat dianggap melanggar peraturan dalam Basel Convention dalam hal melakukan ekspor material beracun5 Dalam COP ke 9 (Conference of the Parties to the Basel Convention on the Control of The Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal Ninth Meeting) di Bali tahun 2008 ditegaskan kembali bahwa ada beberapa peraturan dalam Basel Convention yang harus diperhatikan bagi para aktor yang terlibat dalam kegiatan penghancuran kapal, termasuk di Bangladesh. Dalam COP ke 9 tersebut dikatakan bahwa Flag of Convenience harusnya dilarang dengan tegas bagi kapal-kapal yang akan diperdagangkan Perubahan bendera tidak diperbolehkan karena hal ini dapat disalahgunakan oleh para pelaku (dalam hal ini negara pemilik kapal) ketika kapal tersebut akan memasuki periode final, yaitu dihancurkan untuk didaur ulang.6 Flag of Convenience sendiri merupakan kategori negara-negara yang memberi izin kepada kapal asing yang tidak memiliki hubungan dengan mereka untuk meregistrasikan kapal di negara mereka dan menggunakan > Antoine Bemard (ed). 2002. FIDH Report Investigative Mission Where Do the “Floating Dusibins” End Up? Labour Rights in Shipbreaking Yards in South Asia The cases of Chittagong (Bangladesh) and Alang (India). Paris: FIDH * Dapat dilihat melalui situs http//www shipbreakingbd info/stats2002-20075B15D__pdf Diakses 9 Februari 2010. + Robin des Bois. 2007. Information Bulletin on Ship Demolition, Pasis: Robin des Bais * Dean Irvine, 2009, “Clean Up Its Act.” Tersedia dalam ban_news/2009/090514_clean_up_its_act html. Diakses 1S Maret 2010. © Dapat dilihat melalui situs http://www, basel int/meetings/cop/cop9/docs/i40e.pdf. Diakses 15 Maret 2010. Mariska @ 103 bendera mereka. Biaya yang dikenakan juga relatif rendah, dengan biaya awak kapal yang juga rendah dan terkadang tidak memenuhi standar keamanan internasional. Seringkali negara-negara yang tergabung dalam kategori ini tidak bersedia atau tidak mampu melaksanakan yurisdiksi efektif terhadap kapal asing yang telah menggunakan bendera mereka, seperti Kepulauan Marshall, Mongolia, Liberia, Siprus, Bahama, dan Malta.? Flag of Convenience ini teckesan menjadi pelindung bagi negara asal kapal (negara industri maju). Negara-negara asal kapal terkesan tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan Basel Convention, karena mereka tidak lagi memiliki kaitan dengan kapal itu setelah bendera negara mereka berganti menjadi bendera negara lain ketika kapal tersebut mengalami periode akhir hidup mereka. Preambul Basel Convention menegaskan bahwa negara harus mengontrol perpindahan lintas batas limbah dari dan ke negara tersebut. Mereka harus mengontrol limbah-limbah dari negara mereka sehingga dapat dibuang dengan manajemen yang ramah lingkungan dan tidak merugikan negara lainnya.! Penggantian bendera memperlihatkan bagaimana negara asal kapal tidak bertanggungjawab dalam mengontrol limbah mereka (dalam hal ini kapal tua) dan justru ‘membuangnya’ ke negara lain dengan merubah benderanya terlebih dahulu, sehingga kesalahan tidak dapat dilimpahkan kepada mereka. Berikut adalah beberapa contoh kasus ship dismantling yang pernah dilakukan di Bangladesh? 1. Kapal bernama Libra yang dibawa ke Chittagong pada tahun 2002. Kapal ini diproduksi pada tahun 1979 di Finlandia oleh sebuah perusahaan asal Yunani dan memiliki berat 3.040 ton. Ketika didatangkan dari Spanyol ke Bangladesh pada tahun 2002, kapal ini berbendera Panama dan berhasil dijual sebesar US$512 per tonnya. 2. Kapal tanker bernama Petrocom dengan panjang 232 m dan berat 15.100 ton. Kapal ini berbendera Kepulauan Marshall dan berganti menjadi bendera Tuvalu di saat akhir. Kapal ini diproduksi tahun 1979 oleh Mitsubishi Heavy Industry di jepang dan dimiliki oleh Thome Offshore Management di Singapura. Kapal ini akhirnya dibeli di Singapura dan dihancurkan di Bangladesh dengan harga 535 dolar per tonnya. 7 R.R. Churchill dan AV Lowe. 1999. The Law of the Sea. Third Edition. United Kingdom: Manchester University Press. hal, 258-259. * Ibid. * Robin des Bois. Op. cit 104 w Intemasionalisasi Upaya Omnop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapa 3. Kapal tanker khusus untuk bahan kimia bernama Polyxeni I dengan Panjang 174 m dan berat 6.965 ton, Bendera kapal ini ialah bendera Panama dan diproduksi pada tahun 1984 oleh Minami Nippon Zosen KK di Jepang. Kapal ini dimiliki oleh perusahaan Yunani dan khusus diproduksi untuk mengangkut dan mempertahankan senyawa minyak. Kapal ini terjual di Jamaika dan dihancurkan di Bangladesh dengan harga 410 dolar per tonnya. Dampak Kegiatan Ship Dismantling bagi Bangladesh Timbulnya internasionalisasi upaya organisast_non-pemerintah (ornop) untuk memerangi kegiatan ship dismantling di Bangladesh disebabkan oleh dampak buruk dari kegiatan ship dismantling sendiri. Berdasarkan pengamatan di lapangan dampak buruk tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut. Eksploitasi Burth di Lokasi Ship Dismantling Sejumiah faktor berikut adalah penyebab tereksploitasinya kaum buruh di lokasi ship dismantling di Bangladesh selama tahun 1990 sampai dengan pertengahan tahun 2000. Keterbatasan Peralatan Kerja'® Menurut laporan yang dikeluarkan oleh YPSA tahun 2006, buruh yang, bekerja di lokasi ship dismantling tidak memiliki peralatan yang aman untuk bekerja seperti helm, pelindung mata, sarung tangan, sepatu boot, dan asuransi kesehatan. Berbagai mesin derek dan alat penarik tidak pernah dites terlebih dulu, sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan sangat besar. Tali untuk mengangkut lembaran baja digunakan berkali-kali tanpa adanya pengetesan kekuatan dari tali tersebut. Para pekerja yang tidak terlatih seringkali terlihat membawa lembaran baja di bahu mereka tanpa menggunakan alat bantu dan tidak ada batasan ukuran berat dari baja yang harus dibawa untuk satu kali jalan. Hal ini sangat berbahaya ketika para buruh melakukan kegiatan pembersihan awal (pre-cleaning). Kapal-kapal tua yang masuk ke Chittagong atau ™ Mahfuza Akther, dk. 2005. Workers in Shipbreaking Industries: A Base Line Survey of Chittagong (Bangladesh). Bangladesh: YPSA. Mariska @ 105 pelabuhan manapun untuk dihancurkan sebenamya harus melewati proses pembersihan awal di negara asalnya. Kapal tersebut harusnya melewati proses pemindahan berbagai material beracun sebelum mereka dilabuhkan untuk dihancurkan. Namun, karena proses tersebut tidak ada, maka para buruh dari Chittagonglah yang harus membersihkan (cleaning) kapal-kapal tersebut dengan peralatan seadanya.? Upah Buruh Rendah Secara khas penindasan muncul karena para buruh tidak memiliki modal atau ketrampilan wirausaha yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu bisnis.2 Hal ini mengarahkan mereka ke kerja upahan seperti yang, terjadi di Chittagong. Tabel 1 Upah Buruh Tahun 2005 Working h/day | Percentage of Labour ‘Average Salary/day 8 857 ‘85.56 taka/1.28 dolar 9 381 98.75 taka/1.48 dolar 10 24.76 115.96 taka/1.74 dolar et 20.00 10931 taka/1.64 dolar 12 31.43 121.61 taka/1.82 dolar 2B 952 158 taka/2.37 dolar 4 095) 168 taka/252 dolar 16 085) 200 taka/3 dolar Sumber: Workers in Shipbreaking Industries: A Base Line Survey of Chittagong (Bangladesh), 2005 Tabel 1 di atas memberikan gambaran tentang gaji buruh di lokasi berdasarkan kelompok jam kerja. Para buruh biasa bekerja dari pukul 07.00 sampai 23.00 dengan waktu istirahat sebanyak 2 jam 30 menit dan 1 jam untuk makan sing. Buruh-buruh tersebut tidak pernah mendapatkan gaji \" Dean Irvine. Op. cit. '? Jon Elster. 2000. Kar! Marx Marxisme-Analisis Kritis, Sebuah Analisis Kritis Tokoh Historis Pengguncang Dunia Perlukah Kita Menolak Korunisme? Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya. hal. 107- 7. " Dapat dilihat dalam “The Chittagong Ship Breaking Yards." Tersedia dalam http://www brainreleasevalve.com/2p=706. Diakses 14 Maret 2010. 106 = Internasionalisasi Upaya Ornop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal lembur, penggantian uang berobat maupun cuti.!# Jam kerja buruh yang terlampau lama disertai dengan gaji_ yang tidak memadai merupakan bentuk eksploitasi, karena jam kerja mereka tidak sebanding dengan jam kerja para pemilik lokasi ship dismantling yang hanya memantau dari kota saja. Penggunaan Pekerja Anak Jumlah penduduk Bangladesh yang hidup di bawah garis kemiskinan ialah sebesar 36.3%.!9 Tingginya tingkat kemiskinan ini mengakibatkan masih digunakannya buruh anak di lokasi ship dismantling. Penggunaan buruh anak sendiri merupakan salah satu clemen dari kemiskinan suatu negara. Rakyat miskin cenderung mengirimkan anak- anak mereka ke lokasi dengan risiko kerja yang ekstrim, hanya untuk menyiasati cara memenuhi kebutuhan hidup mereka." Berikut adalah tabel mengenai persentasi usia buruh yang bekerja di lokasi ship dismantling di Bangladesh. Grafik 1 Persentase Usia Buruh di Lokasi Penghancuran Kapal Tahun 2005 ‘run of bow (Yard Sumber: Workers in Shipbreaking Industries: A Base Line Survey of Chittagong (Bangladesh), 2005 ‘*Dapat dilihat melalui situs http://www.shipbreakingbd.info/overview.htm. Diakses 14 Februari 2010. 'S Dapat dilihat_~— melalui situs___https://www.cia.gov/library/publics fact s/bg.html. Diakses 29 April 2010. ILO. 2006. Realizing Decent Work in Asia, Report of Director General ILO. Report of the Director-General, Fourteenth Asian Regional Meeting Busan, Republic of Korea, August-September, Swiss: ILO Publications. jons/the-world- Mariska m 107 Menurut Worst Forms of Child Labour Convention 1999 artikel 3(d), pekerjaan yang, bertempat di lokasi yang dapat membahayakan keschatan, keamanan atau moral dari para buruh anak tersebut merupakan bentuk dari pekerjaan terburuk yang dilakukan buruh anak.” Lokasi ship dismantling yang sarat akan asbestos, merkuri, arsenik, dan bahan yang, mudah meledak merupakan contoh lokasi pekerjaan terburuk bagi buruh anak.§ Berdasarkan laporan dari YPSA, kebanyakan, buruh anak datang, ke lokasi bersama anggota keluarga mereka. Mereka bekerja sebagai pembantu pemotong (cutter helpers), pembersih (membersihkan lumpur dari bagian kapal yang dihancurkan), serta beberapa bertanggungjawab untuk membawa kabel dan piringan baja ke truk-truk yang akan membawa barang tersebut kepada pihak pembeli.! Fasilitas Kerja Buruk Kondisi sanitasi, makanan dan tempat tinggal di lokasi yang kurang memadai menyebabkan tereksploitasinya kaum buruh. Hal ini terlihat dari hasil kuesioner yang disebarkan oleh YPSA pada tahun 2005. Grafik 2 Kondisi Makanan, Sanitasi dan Habitat di Lokasi Penghancuran Kapal tahun 2005 Sumber: Workers in Shipbreaking Industries: A Base Line Survey of Chittagong (Bangladesh), 2005 Selain itu para buruh juga dirugikan akibat tidak adanya kontrak kerja yang menegaskan hubungan kerja antarburuh dan pemilik lokasi yang "’ Trevor Buck. 2005. International Child Law. United Kingdom: Cavendish Publishing, hal. 96. 's BIDH. Op. cit. " Mahfuza Akther, dkk. Op. cit. 108 Internasionalisasi Upaya Omop dalam Memerangi Kegistan Penghancuran Kapal mempekerjakan mereka. Menurut data dari YPSA, buruh yang bekerja di lokasi tersebut tidak memiliki kontrak kerja apa pun dengan pihak pemilik lokasi. Sementara itu, berdasarkan The Workers Compensation Act 1965, buruh yang mengalami kecelakaan kerja (100% menjadi tidak mampu bekerja atau disable worker) akan memperoleh 30.000 taka (450 dolar) sebagai kompensasi dan 21.000 taka (315 dolar) bagi keluarga dari buruh yang meninggal dunia. Hingga tahun 2006, kompensasi hanya naik sebesar 20.000 taka (300 dolar), di mana pemilik lokasi penghancuran kapal hanya memberikan 50.000 taka (750 dolar) saja.2° Berbagai tindakan eksploitatif tersebut terjadi disebabkan oleh kenyataan di negara Bangladesh sendiri yang memiliki sumber daya manusia dalam jumlah besar hidup di bawah garis kemiskinan (36.3%), sehingga rela dibayar murah. Berbagai hal ini akhimya membuat negara lain (pemilik kapal) menggunakan negara berkembang untuk menghancurkan kapal milik mereka dengan servis yang lebih murah bila dibandingkan dengan melakukan penghancuran kapal di negara mereka sendiri. Ini merupakan bentuk terjadinya suatu pembagian kerja internasional yang disebabkan oleh perdagangan internasional. Pembagian kerja ini mengakibatkan perdagangan menjadi tidak seimbang antarnegara ‘tmaju yang berfokus pada teknologi canggih dan negara berkembang yang hanya memberikan servis bernilai rendah. Hal ini terlihat dari bagaimana Bangladesh tetap menjadi negara yang menyediakan jasa untuk menghancurkan kapal dengan biaya yang lebih murah bagi negara maju, sementara negara maju pun tetap menjadi negara yang menyediakan jasa berbiaya tinggi seperti pembuatan kapal dengan biaya buruh yang tinggi dan lokasi kerja yang kondusif. Pembagian kerja internasional inilah yang membuat negara berkembang seperti Bangladesh tetap berada dalam posisi miskin, sementara negara maju tidak mengalami kerugian. Dampak terhadap Lingkungan Hidup di Sekitar Lokasi Ship Dismantling di Bangladesh Kegiatan ship dismantling memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup di sekitar lokasi ship dismantling tersebut. Dampak buruk ® Dapat dilihat melalui situs httpy/www.shipbreakingbd.info/Rightsviolation html. Diakses 17 Februari 2010. * Depat —dilihat melalui situs s/f www.cia. gov/libracyh world |. Op. cit. Mariska m 109 terhadap lingkungan hidup ini disebabkan oleh lokasi kerja yang tidak bersahabat. Lokasi ship dismantling di Bangladesh memiliki tingkat polusi yang tinggi di sekitar pantai akibat kegiatan ship dismantling yang langsung membuang limbah ke perairan di sekitar kapal tersebut. Lumpur yang mengandung berbagai bahan kimia berbahaya setiap hari diinjak oleh para buruh yang tidak menggunakan alas kaki apa pun ketika mengangkut lembaran baja yang diambil dari kapal yang dihancurkan. Untuk setiap kapal yang dihancurkan, diperkirakan mengandung kurang lebih 5 ton racun yang mengandung kimia berbahaya seperti asbestos dan merkuri.22 Beberapa racun berbahaya yang terdapat di lokasi ship dismantling akibat dari tuanya usia kapal ialah asbestos-Polychlorinated byphenyls (PCBs), arsenik-Tributyl tin (TBT), krom-Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), merkuri, kadnium dan timah.® Berbagai jenis limbah berbahaya di atas merupakan kategori limbah berbahaya berdasarkan Basel Convention. Bahan kimia tersebut termasuk dalam Kategori logam berat yang dihasilkan selama kegiatan penghancuran kapal berlangsung, Akibat dari bahan-bahan kimia ini, tidak hanya lingkungan di sekitar lokasi yang mengandung bahan-bahan berbahaya, tetapi banyak juga buruh yang jatuh sakit dan bahkan meninggal dunia. Menurut laporan FIDH, 18 pekerja meninggal dunia pada kurun waktu 2006-2007 dan 10 pekerja meninggal dunia pada tahun 2008.4 Fakta yang lebih mengagetkan ialah ternyata dalam kurun waktu 20 tahun, telah lebih dari 400 pekerja meninggal dunia dan lebih dari 6000 pekerja yang cidera dan menjadi cacat.25 Citra Negatif Bangladesh sebagai Dumping Ground Usia kapal yang telah melewati masa operasional kapal, serta bahan kimia berbahaya yang dihasilkan dari kegiatan ship dismantling yang terjadi di sepanjang pantai Chittagong, menyebabkan negara ini dikenal sebagai dumping ground atau lokasi pembuangan limbah berbahaya dari negara maju. Dalam Basel Convention sendiri dikatakan bahwa sejak tahun 80-an negara maju menjadi lebih sering mengirimkan limbah berbahaya milik ® Shafiq Alam. 2009, “New deal brings boom time to Bangladesh Shipbreakers.” Tersedia dalam hitp:/hwww. chinapost.com.tw/business/asia/other!2009/06/15/212266/New-deal ktm. Diakses 15 Maret 2010. Antoine Bernard, Op. cit. * FIDH, YPSA dan NGO Platform on Shipbreaking, 2008, Childbreaking Yards-Child Labour in the Ship Recycling Indusiry, FIDH Press Kit ** Jacquetine Schuiling, Op. cit. 110 @ Internasionalisasi Upaya Omop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal mereka ke negara berkembang, dengan alasan untuk menekan biaya. Hal ini menyebabkan negara berkembang menjadi lokasi pembuangan limbah berbahaya dari negara maju.26 Karena itulah, sejak kegiatan ship dismantling memang melibatkan zat-zat berbahaya seperti asbestos, merkuri dan arsenik, maka negara yang menjadi tempat tujuan dari negara maju untuk mengirimkan kapal-kapal tua mereka disebut sebagai dumping ground atau lokasi pembuangan limbah berbahaya. Misalnya Bangladesh, Akibat sebutan ini maka berbagai omop berupaya untuk menghilangkan image negatif terhadap Bangladesh agar tidak lagi menjadi dumping ground bagi negara maju untuk membuang kapal-kapal tua mereka. Internasionalisasi Upaya Ornop dalam Memerangi Kegiatan Ship Dismantling Dampak buruk dari kegiatan ship dismantling di Bangladesh menarik perhatian banyak ornop dari seluruh dunia. Hal ini juga ikut menarik perhatian dari 15 ornop yang tergabung dalam NGO Platform on Shipbreaking yang didirikan tahun 2005. Dari ke 15 ornop tersebut, 5 omop yang terdiri YPSA, BELA, Greenpeace, BAN dan FIDH melakukan berbagai internasionalisasi upaya untuk memerangi kegiatan ship dismantling tersebut. YPSA (Young Power in Social Action) yang bergerak dalam perkembangan anak muda di Bangladesh __melatarbelakangi internasionalisasi upaya yang mereka lakukan karena kepedulian terhadap kehidupan anak muda dan sosial serta penggunaan buruh anak di lokasi yang sarat akan limbah berbahaya ini. BELA (Bangladesh Environmental Lawyer Association), sebagai satu- satunya omop yang beranggotakan sekumpulan pengacara Bangladesh, juga melakukan internasionalisasi upaya karena ingin melindungi negara ini dari eksploitasi perdagangan regional yang membahayakan lingkungan hidup Bangladesh seperti dalam kegaitan ship dismantling. Sementara itu Greenpeace, sebuah ornop lingkungan hidup, juga melakukan kampanye yang salah satunya ialah larangan terhadap eskpor limbah beracun ke negara berkembang.” Hal ini juga berkaitan dengan kegiatan ship dismantling yang melibatkan berbagai zat berbahaya yang © Dapat dilihst dalam situs http://www. basel.inVconventiowbasics.html. Diakses 23 April 2010. * Dapat_ dilihat melalui situs vw. greenpeace, jonal/about/our-mission Diakses 4 April 2010. Mariska mw LILI dapat merusak lingkungan hidup. Greenpeace memiliki situs sendiri yang khusus memuat berbagai informasi terbaru mengenai kegiatan ini. Kemudian BAN (Basel Action Network), sebagai satu-satunya ornop yang didirikan sebagai pengawas efektivitas dari Basel Convention, juga melakukan berbagai internasionalisasi upaya karena kepedulian mereka tethadap persoalan perpindahan lintas batas limbah berbahaya dari negara maju ke negara berkembang. Berbagai zat berbahaya yang terkandung dalam kapal tua merupakan sumber limbah berbahaya yang harus diawasi perpindahannya. Lain halnya dengan FIDH (International Federation for Human Rights) yang fokus utamanya ialah dalam hal penegakkan hak asasi manusia. Orop ini ternyata juga memiliki peran dalam melakukan internasionalisasi upaya dalam memerangi kegiatan ship dismantling yang terjadi di Asia, salah satunya adalah Bangladesh. Hal ini disebabkan oleh satu prioritas FIDH sendiri, yaitu melakukan pembelaan terhadap hak asasi manusia yang terancam akibat globalisasi ekonomi. Dengan berbagai latar belakang mereka, kelima ornop ini melakukan berbagai upaya dalam memerangi kegiatan eksploitatif ini. Berbagai internasionalisasi upaya yang dilakukan adalah sebagai berikut. Partisipasi dalam Forum Internasional Ornop seringkali membawa isu internasional dan menjadikannya sebagai subjek dalam forum intemasional. Partisipasi omop di forum-forum internasional dilakukan untuk menyelesaikan isu-isu global. Dalam upaya ini, ornop-ornop juga menerbitkan beberapa publikasi (makalah) sebagai bahan diskusi di forum internasional agar mereka dapat lebih mudah menarik perhatian forum internasional tersebut agar segera membahas isu yang mereka angkat. Berikut adalah partisipasi ornop-ornop tersebut di forum-forum internasional. 1. Presentasi Greenpeace dalam pertemuan IMO tahun 2002 mengenai “Towards Clean Ships' (-Breaking)"8 Presentasi ini dilakukan Greenpeace pada pertemuan International Maritime Organization di London tahun 2002. Pada presentasi ini Greenpeace mengeluarkan dua pernyataan. Pertama, Mulai detik ini, forum internasional harus memandang kegiatan ini sebagai sebuah jasa terhadap komunitas internasional yang dilakukan oleh negara yang * Greenpeace. “Towards Clean Ships’ (-Breaking)."” the Buffet Luncheon of the International Maritime Industries Forum. London 112. a Internasionalisasi Upaya Omop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal menjadi lokasi ship dismantling. Kedua, bila persoalan ship dismantling ingin diselesaikan, forum harus mengedepankan transparansi dan tanggungjawab dari setiap tindakan ship dismantling yang terjadi. 2. Upaya BELA membawa isu ini pada ELAW Annual Meeting 2003 Pada pertemuan tahunan ELAW, Rizawana Hasan, Direktur Eksekutif BELA, berbicara di hadapan forum mengenai persoalan ship dismantling di negaranya berdasarkan pengamatan yang dilakukannya sejak tahun 2000. Ia ingin meminta dukungan koleganya dalam pertemuan itu untuk menantang pemilik lokasi ship dismantling yang telah melakukan tindakan eksploitatif kepada para buruh yang bekerja di sana. 3. Keikutsertaan BAN dalam COP7 Basel Convention di Jenewa, Swis tahun 2004 dengan menerbitkan makalah mengenai BAN Comments and Proposals for Resolving Basel Convention Shibreaking Issues Sebagai organisasi pengawas dari efektivitas Basel Convention, BAN dipastikan menghadiri setiap COP (Conference of the Parties) yang diselenggarakan. Dalam COP 7 kali ini, BAN ikut serta dengan mengumpulkan makalah sebagai bahan diskusi dalam perteman tersebut. BAN menjelaskan bahwa pihak yang harus bertanggungjawab dalam kegiatan ini bukanlah negara tujuan ekspor, tetapi negara pengekspor kapal itu ke negara berkembang. Dalam publikasi ini BAN juga memperkenalkan istilah The Termination Passport yang merupakan izin yang harus dimiliki oleh kapal, minimal enam bulan sebelum dihancurkan, serta dijelaskan pula berbagai kewajiban dari negara pengekspor dan pengimpor kapal. 4. Keikutsertaan BAN dalam COP 7 Basel Convention di Jenewa tahun 2004 dalam Briefing Paper#'5: The Shame of Shipping: Breaking with Principle to Break Ships” Dalam briefing paper ini, BAN meminta agar Basel Convention tetap menyediakan peraturan tegas bagi eksportir dan pelaku eksploitasi agar jangan sampai berhasil memperbesar keuntungan mereka. BAN juga meminta agar IMO juga dapat mengadopsi beberapa peraturan dalam Basel Convention selama aturan itu menciptakan perlindungan hukum bagi para korban dari tindakan ship dismantling sendiri. 2° BAN. 2004. BAN Comments and Proposals for Resolving Basel Convention on Shipbreaking Issues. Seattle: BAN. BAN, 2004, The Shame of Shipping: Breaking with Principle to Break Ships. Seattle: BAN. Mariska m 113 5. Pembentukan NGO Platform on Shipbreaking tahun 2005%1 The NGO Platform on Shipbreaking merupakan koalisi dari ornop Iingkungan hidup dan hak asasi manusia yang didirikan tahun 2005 setelah ornop-ornop tersebut menyadari kesamaan tujuan mereka dalam hal industri perkapalan dunia. Ornop ini berhasil diakui oleh Basel Convention dan IMO sebagai ornop advokasi internasional yang kontra ship dismantling tak ramah lingkungan. Setelah NGO Platform dibentuk, koalisi omop ini banyak berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan PBB dan mewakili ornop lingkungan hidup lainnya dalam menyuarakan_ ketidaksetujuannya terhadap kegiatan ship dismantling yang tak ramah lingkungan. Tujuan dari pembentukkan koalisi ornop ini sendiri ialah untuk meyakinkan terciptanya kegiatan ship dismantling yang ramah lingkungan serta mengubah tren baru yang ada di mana kegiatan ship dismantling merupakan kegiatan ekspor dari negara industri maju ke negara berkembang yang hanya menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.* 6. Keikutsertaan Greenpeace, FIDH dan YPSA dalam Pertemuan Palais des Nations, Jenewa yang diadakan oleh PBB tahun 20053 Dalam pertemuan ini, ketiga ornop tersebut hadir dan memperlihatkan kepada forum isi dari laporan bersama antara ketiga ornop yang berjudul “The End of Life Ship: The Human Cost of Shipbreaking”. Selain itu, ketiga omop bersama dengan 17 ornop nasional dan internasional yang bergerak di bidang hak asasi manusia, lingkungan hidup dan kesehatan serta perwakilan dari IMO, ILO dan Basel Convention juga menandatangani Joint Declaration on Implementing Urgent Global Solutions to the Shipbreaking Crisis yang berisikan tentang beberapa hal seperti menyetujui bahwa kegiatan ship dismantling yang melibatkan kimia berbahaya seperti asbestos, PCB, sebagai kegiatan yang melanggar hukum internasional serta dibutuhkan suatu manajemen ship dismantling yang ramah lingkungan dan melindungi korban dari kegiatan ini. Dalam joint declaration ini pula disampaikan beberapa mandat bagi kelangsungan kegiatan penghancuran kapal, yaitu perlunya tanggung jawab dari semua pihak yang terkait dalam kegiatan ini, mulai dari pendesain kapal sampai dengan pemilik lokasi ship dismantling, perlunya dekontaminasi kapal sebelum dihancurkan, perlunya pemilik lokasi ship "'Dapat dilihat_ melalui situs —_hutp// www lat form option =com_content&view=articledideS] <emid=53. Diakses 31 Maret 2010. Tbid. * Dapat dilihat melalui situs http/www,greenpeaceweb.org/shipbreak/news]15.asp. Diakses 30 Maret 2010. 114m Intemasionalisasi Upaya Ornop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal dismantling membuat standar buruh, keamanan, kesehatan dan lingkungan yang sesuai agar hak buruh terlindungi, perlunya dana dan kompensasi yang cukup dari pemilik lokasi ship dismantling dan pemerintah untuk meningkatkan kondisi buruh yang bekerja di lokasi penghancuran kapal.# 7. Keikutsertaan BAN dalam makalah untuk COP 8 Basel Convention di Nairobi tahun 2006 mengenai Critique of Draft IMO “International Convention for Safe and Environmentally Sound Recycling of Ships” Dalam makalah ini BAN memberikan kritik terhadap tidak transparannya draf IMO yang memiliki beberapa bagian tidak mengikat hukum (legally binding) seperti yang dimiliki oleh Basel Convention. BAN juga memaparkan beberapa aspek yang berbeda dari draf IMO dan peraturan dalam Basel Convention seperti kurang jelasnya pemaparan definisi dari limbah berbahaya itu sendiri, illegal traffic yang tidak dibahas dalam draf dan dikategorikan bukan sebagai suatu tindakan kriminal internasional seperti yang dilakukan oleh Basel Convention dan kurang tegasnya draf IMO terhadap keharusan bagi kapal asing untuk melakukan dekontaminasi sebelum diberi izin lebih lanjut untuk dihancurkan. 8. Keikutsertaan BAN dalam COP 9 Basel Convention di Bali tahun 2008 dalam Briefing Paper #5: UN Failure: IMO Ship Scrap Treaty Legalizes Toxic Ship Dumping’ Kali ini BAN semakin memperlihatkan sikap oposisinya terhadap ketentuan IMO dalam mengatur kegiatan ship dismantling. BAN juga mengkritik ketidaktegasan peraturan IMO Guidelines yang tidak mendukung serta melemahkan aturan Basel Convention dan cenderung, memberi kemudahan bagi pelaku ship dismantling dan pengekspor kapal untuk melakukan kegiatannya dalam mengeksploitasi lingkungan hidup dan buruh yang bekerja. Berbagai kerjasama lewat partisipasi dalam forum internasional itu memperlihatkan bagaimana interaksi yang dilakukan oleh ornop-ornop tersebut dilakukan secara terstruktur melalui berbagai norma dan institusi “ Greenpeace. 2005. Joint Declaration on Implementing Urgent Global Solutions to the Shipbreaking Crisis. Jenewa BAN. 2006 Critique of Draft IMO “Irternational Convention for Safe and Environmentally Sound Recycling of Ships. Seattle: BAN. “BAN, 2008, UN Failure: IMO Ship Scrap Treaty Legalizes Toxic Ship Dumping. Seattle: BAN. Mariska @ 115 yang didasarkan pada asas resiprositas, kooperasi dan bahkan hukum untuk membahas isu-isu non-militer. Kampanye dan Publikasi Sejak tahun 2001, berbagai publikasi dan kampanye dilakukan oleh para omop, baik secara individual maupun aliansi, untuk memberitakan kegiatan ship dismantling di Bangladesh. Secara Individual Berbagai publikasi yang dilakukan secara individual oleh masing- masing ornop ialah sebagai berikut: 1. Pengeluaran daftar nama 50 kapal yang akan dihancurkan Menurut Greenpeace, kegiatan ship dismantling merapakan kegiatan yang tidak memiliki standar hukum lingkungan hidup dan hukum buruh yang jelas di negara Bangladesh. Kegiatan ini hanya menimbulkan polusi karena mengandung berbagai bahan kimia berbahaya seperti asbestos dan gas beracun.” Untuk menanggapi hal ini, sejak tahun 2002, Greenpeace mengeluarkan daftar nama 50 kapal yang akan menuju lokasi ship dismantling di Asia termasuk Bangladesh. Pihak Greenpeace selanjutnya meminta negara asal kapal untuk melakukan dekontaminasi dari berbagai zat berbahaya dan beracun sebelum akhirnya dinyatakan boleh dihancurkan di negara- negara Asia.* Kapal-kapal tersebut dikategorikan menjadi 6 jenis kapal: kapal tanker minyak, kapal penumpang, kapal kontainer barang, kapal pengangkut sumber daya alam, kapal tanker bahan kimia, dan kapal kargo.® 2. Publikasi yang dilakukan FIDH pada tahun 2002 berjudul "FIDH Report Investigative Mission Where do the "floating dustbins" end up? (Bangladesh) and Alang (India)" Latour Rights in Shipbreaking Yards in South Asia The Cases of Chittagong"*® *’ Dapat dilihat melalui situs http://www. greenpeaceweb org/Shipbreak/bangladesh.asp. Diakses 29 Maret 2010. % Dapat dilihat melalui situs http://www. greenpeaceweb.org/shipbreak/S0-ships.asp. Op. cit ” Dapat dilihat melalui situs i ‘shipbreak/shig ories.as Diakses 29 Maret 2010. ® Antoine Bernard, op.cit 116 a Intemasionalisasi Upaya Omop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal Publikasi ini merupakan hasil investigasi yang dilakukan oleh FIDH di lokasi ship dismantling dan berisikan tentang berbagai informasi penting mengenai sejarah, jumlah kegiatan ship dismantling yang terjadi pada kurun waktu 1997-2001, proses penghancuran kapal secara mendetail, serta eksploitasi yang terjadi di lokasi ship dismantling. Dalam publikasi ini dijelaskan mengenai keuntungan dan kerugian dari kegiatan ship dismantling seperti membuka lapangan pekerjaan bagi ratusan ribu buruh Bangladesh, menyediakan kebutuhan baja dalam negeri namun dibarengi pula dengan minimnya ketegasan peraturan pemerintah untuk melindungi hak buruh di lokasi ship dismantling + 3. Laporan Greenpeace tahun 2003 dalam “How ihe Shipping Industry Protected by Flags of Convenience, Dumps Toxic Waste on Shipbreaking Beaches” #2 Publikasi. ini merupakan laporan Greenpeace —_ mengenai ketidakmampuan pemilik kapal dalam menghindari polusi untuk menyelamatkan korban dari kegiatan ship dismantling yang terjadi. Dalam laporan ini juga tertera 20 nama pelaku penyebab polusi dalam kegiatan ship dismantling yang menggunakan Flag of Convenience untuk mempermudah mereka dalam melakukan penghancuran kapal. 4, Publikasi YPSA tahun 2005 dalam “Workers in Shipbrenking Industries: A Base Line Survey of Chittagong (Bangladesh)". Publikasi ini berisi hasil kuesioner dan wawancara yang dilakukan oleh anggota YPSA dengan para buruh di lokasi ship dismantling di Bangladesh. Laporan ini juga memuat ketentuan-ketentuan hukum Bangladesh yang relevan untuk diaplikasikan di lokasi ship dismantling, perbandingan taraf hidup buruh di dalam dan di luar lokasi penghancuran kapal yang tidak setara, serta perbandingan kondisi kerja yang, eksploitatif dan tidak eksploitatif bagi para buruh di dalam dan di luar lokasi ship dismantling. 5, Laporan YPSA tahun 2006 dalam “Ship Breaking Activities and its Impact on the Coastal Zone of Chittagong, Bangladesh: Towards Sustainable Management” “' Dapat dilihat melalui situs http://www fidh.org/Where-do-the-floating-dustbins-end-up. Diakses 29 Maret 2010, * Greenpeace Shipbreaking Site English. 2003. Playing Hide and Seek How the Shipping Industry Protected by Flags of Convenience, Dumps Toxic Waste on Shipbreaking Beaches Netherlands: Greenpeace. *’ Mahfuza Akther, dk. Op. cit “ Md. M. Manuf Hossain dan Mohammad Mahmudul Istam, Op. cit. Mariska © 117 Laporan ini berisi tentang berbagai informasi dari kegiatan ship dismantling dan berbagai dampak buruk yang dihasilkan dari kegiatan ini di negara-negara Asia. Dalam laporan ini juga disampaikan rincian mengenai zat-zat kimia beracun yang disebabkan oleh kegiatan ship dismantling serta juga ditampilkan informasi mengenai semua pihak yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ship dismantling. 6. Publikasi mengenai Rekomendasi yang disusun oleh YPSA dalam menanggapi "Draft Green Paper on Better Ship Dismantling of European Commission" yang dibuat oleh EU tahun 2007.5 Pada tahun 2007, EU mengeluarkan “Draft Green Paper on Better Ship Dismantling of European Commission" yang berisikan tentang peraturan mengenai kegiatan ship dismantling asal negara Eropa yang akan dihancurkan di lokasi ship dismantling. Dalam Green Paper ini, kegiatan uran kapal harus didasarkan pada peraturan dalam Basel Convention dan EC Waste Shipment Regulation.** Sebagai tanggapan, YPSA memberikan rekomendasi kepada EU agar hanya mengizinkan kapal-kapal yang telah didekontaminasi saja untuk masuk ke Chittagong, Rekomendasi lainnya ialah dengan membuat mekanisme sertifikasi yang berlaku secara global bagi kapal-kapal asal negara Eropa, penolakan mekanisme flag of convenience yang menguntungkan pihak tertentu dalam kegiatan ship dismantling, pembaruan terhadap ketentuan hukum yang sudah ada dan menyusun standar keamanan dan lingkungan bagi kapal-kapal yang akan menuju lokasi ship dismantling sehingga dapat dilakukan dengan aman. Melalui Aliansi Terdapat berbagai publikasi yang dilakukan oleh berbagai omop melalui aliansi. 1. Publikasi antara BAN dan Greenpeace dalam “The IMO Guidelines on Ship Recycling Annotated”-Critique tahun 2003.47 Pada publikasi ini, BAN dan Greenpeace bekerja sama dalam mengkritik kebijakan yang dikeluarkan oleh IMO mengenai kegiatan ship dismantling di Asia. Kedua omop ini dengan tegas menolak pandangan “ Dapat dilihat melalui situs bli i ismantll library?1=/ngos/ greenpaper_commentsdocdo/ EN fad. Drakses 18 Maret 2010. “© European Commission. 2007. “Green Paper on Betier Ship Dismantling. * Tersedia dalam Hees If. Diakses 29 Maret 2010. "BAN dan Greenpeace. 2003. [MO cele on Ship Recycling Armotcted. Seattle: BAN. 118 m Internasionalisasi Upaya Ornop dalam Memerangi Kegiaten Penghancuran Kapal IMO yang menyatakan bahwa pihak yang harus bertanggungjawab dari kegiatan ini ialah pihak importir (negara berkembang yang melakukan kegiatan penghancuran kapal), Hal ini bertolak belakang dengan ketentuan Basel Convention yang menuntut pihak ekpsortirlah yang harus bertanggungjawab. 2. Laporan gabungan antara Greenpeace, YPSA dan FIDH dalam "End of Life Ships The Human Cost of Breaking Ships" tahun 2005.8 Dalam laporan ini, ketiga ornop tersebut berusaha untuk menampilkan betapa eksploitatifnya tindakan ship dismantling di Bangladesh dan India yang akhirnya menjatuhkan banyak korban setiap harinya. Dalam laporan ini juga dimuat berbagai testimoni dari korban atau keluarga korban yang tidak menerima kompensasi layak setelah mengalami kecelakaan di lokasi ship dismantling. 3. Seminar YPSA dan surat kabar The Daily Supprovat Bangladesh tahun 2007.9 Seminar ini dilakukan dalam bentuk konferensi meja bundar di Press Club Auditorium, Chittagong. Seminar ini dihadiri oleh perwakilan dari Departemen Tenaga Kerja, Departemen Eksplosif, Departemen Lingkungan Hidup dan Hutan, serta perwakilan dari Departemen Administrasi Publik dari University of Chittagong. Dalam seminar ini disampaikan bahwa kapal-kapal harus didekontaminasi sebelum dihancurkan dan hukum tenaga kerja harus lebih ditegaskan guna melindungi hak buruh di lokasi ship dismantling. Selain itu pihak yang hadir juga menyesalkan perilaku dari pemilik lokasi ship dismantling yang selalu absen dalam seminar-seminar yang diadakan. 4. Publikasi yang dilakukan oleh FIDH dan YPSA tahun 2008 dalam "Childbreaking Yards-Child Labour in the Ship Recycling Industry" 5° Publikasi ini merupakan laporan hasil penelitian lapangan yang, dilakukan oleh FIDH, YPSA beserta NGO Platform on Shipbreaking yang berisi tentang gambaran kondisi buruh anak yang bekerja di lokasi ship dismantling. Pada laporan ini, ornop berusaha menjelaskan latar belakang penyebab buruh anak dapat bekerja di lokasi ship dismantling serta berbagai testimoni dan gambar dari buruh anak tersebut. “ Jacqueline Schuiling. 2005. A Greenpeace-FIDH Report in Cooperation with YPSA End of Life Ships The Human Cost of Breaking Ships. Netherlands: Colophon. Dapat dilihat melalui situs ingbd info Maret 2010. * FIDH, YPSA dan NGO Platform on Shipbreaking. Op. cit. Jhtm. Diakses 18 Mariska @ 119 5, Publikasi yang dilakukan oleh koalisi ornop bernama NGO Platform on Shipbreaking tahun 2009 dalam “Off The Beach! Save and Green Ship Dismantling” Publikasi ini menampilkan berbagai karakteristik negatif dari kegiatan ship dismantling, yaitu tidak lengkapnya peralatan kerja untuk mengangkat alat berat, polusi dan dampak buruk bagi lingkungan hidup. Publikasi ini juga menampilkan ajakan untuk melakukan kampanye yang bertemakan “Off the Beach” untuk mengajak masyarakat domestik dan intemasional dalam menolak kegiatan daur ulang kapal yang tidak memenuhi standar lingkungan yang ditetapkan dalam Base! Convention. Mempengaruhi Pembuatan Kebijakan Pemerintahan melalui Petisi Dalam membawa sebuah isu, omop dapat melakukan kampanye yang salah satunya dilakukan melalui penulisan surat kepada pihak pembuat keputusan. Petisi dapat menjadi bentuk surat yang diajukan oleh omop kepada pihak pembuat keputusan tertinggi di Bangladesh, yaitu Supreme Court of Bangladesh, yang nantinya akan menentukan terjadinya pembuatan hukum baru di Bangladesh yang harus dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.52 BELA merupakan salah satu ornop yang sering menggunakan petisi sebagai upaya mempengaruhi pemerintah untuk membuat kebijakan dalam hal penghancuran kapal. Petisi ini sendiri disusun berdasarkan public interest litigation atau pengajuan perkara oleh organisasi berkaitan dengan perlindungan terhadap kepentingan publik. Di Bangladesh, proses ini dilakukan oleh para aktivis atau partai kepada pengadilan tinggi di negara ini untuk mencari penyelesaian dari kasus-kasus yang seringkali kurang diperhatikan oleh pemerintah. Untuk persoalan ini, BELA mengajak beberapa departemen pemerintahan untuk ikut serta menjadi responden yang menandatangani petisi tersebut. Berikut ialah beberapa tindakan BELA dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan dalam pemeritahan melalui petisi. 5" NGO Platform on Shipbreaking. 2009. Off the Beach! Save and Green Ship Dismantling. ‘NGO Platform on Ship! * Dapat dilihat melalui situs http://www supremecourt gov bd/?visit=servicecharter/ page. Diakses 9 Juni 2010, * Dapat dilihat melalui situs httpy/www.belabangla.ore/html/piL htm. Diakses 9 Juni 2010, 120 1. ‘= Internasionalisasi Upaya Omnop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal Petition No. 2911 of 2003 (Ship Breaking to be Regulated by Law). Pada tahun 2003 Rizwana Hasan sebagai Direktur BELA, beserta responden lainnya seperti Kementerian Perkapalan, Industri dan Perdagangan, Buruh dan Tenaga Kerja, Lingkungan Hidup dan Perhutanan, Jenderal Direktur dari Departemen Lingkungan Hidup, Pertahanan Publik, Inspektur dari Pembangunan dan Perkantoran serta Departemen Eksplosif mengajukan Petisi No. 2911 kepada Divisi Pengadilan Tinggi Honb'le Bangladesh untuk melakukan pengecekan terhadap polusi yang terjadi di lokasi ship dismantling di Chittagong, Dalam petisi ini BELA menyatakan bahwa semua lokasi ship dismantling yang telah beroperasi tidak memenuhi standar industri di Bangladesh karena tidak memiliki sertifikat environmental clearance. Petisi ini disampaikan setelah ditandatangani oleh seluruh perwakilan dari responden dan dibawa langsung ke Pengadilan Tinggi Honb’le tanggal 19 April 2003. Petisi tersebut kemudian diproses oleh Hakim Tinggi Mr. MM. Ruhul Amin dan Mr. Mohammad Bazlur dengan membuat Rule Nisi dan kemudian memanggil responden untuk menunjukkan dengan bukti mengapa lokasi ship dismantling hanya boleh dijalankan setelah_~memiliki _ sertifikat enveironmental clearance berdasarkan The Environmental Conservation Act 1995 dan Factory Act 1965. Selain itu, responden juga harus menunjukkan mengapa suatu kegiatan ship dismantling hanya boleh dijalankan setelah kapal memperoleh gas free certificate dari Departemen Eksplosif. Setelah responden berhasil memberikan bukti dalam waktu yang ditentukan oleh Pengadilan Tinggi, peraturan hukum akan disusun paling lambat dalam waktu 4 minggu. Petition No.3916 of 2006 (MT Alfaship not to be Allowed to Proceed Further)s> Petisi, yang didasarkan pada artikel 102(2)(a)(i) dan (ii) Konstitusi Republik Bangladesh ini disampaikan kepada Pengadilan Tinggi Bangladesh, yang berisi tentang beberapa hal seperti: a. Kapal MT Enterprise dilarang dihancurkan di Chittagong, karena termasuk dalam bagian dari 50 daftar nama kapal yang disusun oleh Greenpeace. b. Pemerintah Bangladesh harus menutup lokasi ship dismantling yang tidak memperoleh sertifikat Environmental Clearance dari Departemen Lingkungan Hidup; c. Pemberian sertifikat ini tidak boleh sembarangan dan _harus dilakukan penelitian langsung ke dalam kapal secara menyeluruh & Ibid, ° Dapat dilihat melalui situs http://www. belabangla.org/htmlipil.htm. Op. cit Mariska @ 121 serta harus diawasi oleh kerjasama antar institusi pemerintah, hukum dan sosial; d. Kementerian lingkungan hidup harus membuat peraturan yang harus memperhatikan ketentuan dalam Basel Convention, Labour Act 2006 dan Environment Conservation Act 2005; e. Pemerintah diharuskan untuk tidak memperbolehkan kapal yang terdapat dalam daftar 50 kapal Greenpeace dihancurkan di Bangladesh; f. Pemerintah harus membentuk komite tingkat tinggi yang beranggotakan perwakilan dari Departemen _Perkapalan, Departemen/Kementerian Lingkungan Hidup, Kementrian Tenaga Kerja, mantan anggota Angkatan Laut Bangladesh, akademisi di bidang teknik kelautan, spesialis biologi kelautan dalam studi lingkungan hidup, ilmu tanah dan ekologi, manajemen limbah berbahaya serta ornop yang relevan seperti BELA. Petisi No. 3916 ini diajukan oleh para responden tanggal 2 Mei 2006 ke Pengadilan Tinggi Honb'le Bangladesh. Petisi ini kemudian diproses oleh Hakim Tinggi Mr. Awlad Ali dan Mr. Zinat Ara dengan mengeluarkan Rule Nisi. Dari 6 poin, ada beberapa Rule Nisi yang dibuat untuk membahas persoalan ini dan selanjutnya memanggil responden untuk memberi bukti mengapa masuknya kapal asing seperti MT Enterprise harus dicegah dan dianggap tidak sah tanpa adanya persetujuan dari Departemen Perkapalan Bangladesh. Kedua hakim juga menulis surat langsung kepada Pemerintah Bangladesh untuk menunjukkan kepada Pengadilan Tinggi mengapa mereka tidak diharuskan untuk mengambil langkah tegas bila ada kapal asing yang termasuk dalam Daftar 50 Kapal yang disusun oleh Greenpeace masuk ke wilayah Bangladesh. Namun demikian, pemerintah Bangladesh tidak memberikan tanggapan terhadap permintaan dari kedua Hakim Tinggi tersebut, Hal ini menyebabkan Pengadilan Tinggi Honb‘le menunjuk beberapa direktur dari Departemen Perkapalan, Bea Cukai serta Otoritas dari Pelabuhan Chittagong untuk mengawasi kapal-kapal asing yang masuk selama kurun waktu dua bulan ke depan terhitung setelah Hakim Tinggi mengirimkan surat penunjukan tersebut. Peraturan hukum akan dibuat paling lambat tiga minggu setelah pengadilan tinggi memperoleh bukti dari para responden. Setelah pengadilan tinggi menyusun peraturan baru, mereka menyampaikannya kepada Pemerintah Bangladesh. Kedudukan pengadilan tinggi sebagai bagian dari Supreme Court Bangladesh membuat putusan divisi ini menjadi sah dan harus dijalankan oleh 122 w Internasionalisasi Upaya Omop dalam Meémerangi Kegiatan Penghancuran Kapal pemerintah Bangladesh karena Supreme Court of Bangladesh merupakan eksekutor dari peraturan negara Bangladesh yang nantinya akan dijalankan oleh Pemerintah Bangladesh sendiri.®+ Ketiga bentuk internasionalisasi upaya yang dilakukan oleh ornop dapat dikatakan saling melengkapi satu sama lain. Partisipasi dalam forum internasional akan lebih berlangsung secara efektif bila para omop tersebut membawa bukti-bukti berupa publikasi yang mereka susun. Hal ini disebabkan oleh banyaknya omop yang melibatkan diri dalam konferensi dunia untuk menyebarluaskan publikasi yang mereka susun guna membahas suatu persoalan yang mereka angkat.5” Pemberian petisi kepada pemerintah juga merupakan bentuk internasionalisasi upaya omop meskipun pemberian petisi tersebut terjadi dalam lingkup domestik Bangladesh, Penyampaian petisi ini melibatkan faktor internasional seperti yang tercakup dalam isi petisi tersebut. Sebagai contoh, untuk petisi yang kedua terdapat satu poin yang menyatakan bahwa BELA mengusulkan agar pemerintah melarang kapal masuk ke Bangladesh bila kapal tua tersebut termasuk dalam Daftar 50 Kapal yang dikeluarkan Greenpeace. Hal ini mendorong pemerintah untuk memperhatikan dan bahkan mengadopsi internasionalisasi upaya dari Greenpeace saat membuat peraturan domestik baru pasca penyampaian surat petisi kedua tersebut. Hal lain yang tak kalah menariknya ialah saat para responden yang menyampaikan petisi tersebut harus memberikan bukti-bukti dari Rule Nisi yang disampaikan oleh Pengadilan Tinggi. Pada petisi yang pertama maupun kedua, para responden (dalam hal ini BELA) niscaya mencari bukti-bukti kuat, seperti penelitian lapangan di lokasi ship dismantling®®, Selain itu para responden juga dapat menguatkan bukti mereka dengan publikasi-publikasi. ornop yang pernah disampaikan dalam forum internasional, sehingga Pengadilan Tinggi mendapat bukti yang cukup untuk membuat peraturan baru bagi kegiatan ship dismantling di Bangladesh. Berbagai internasionalisasi upaya yang dilakukan oleh ornop-omop dalam memerangi kegiatan ship dismantling di Bangladesh memperlihatkan “ Dapat dilihat melalui situs bttps/www.supremecourt.gov.bd/?visiteservicecharter/ page. Diakses 8 Juni 2010. * John T, Rourke, Op. cit. “ Dapat dilihat untuk petisi yang pertama dimana para omop harus membuktikan mengapa kegiatan ship dismantling bagi kapal tua hanya boleh dilakukan terhadap kapal dengan gas-free certificate. Untuk membuktikan hal ini, para ornop biasanya akan melakukan berbagai wawancara kepada Departemen Eksplosif serta melakukan penelitian lapangan di lokasi ship dismantling di sepanjang Pantai Chittagong. Mariska = 123 bagaimana ornop-ornop tersebut memiliki kesadaran akan pentingnya proses memecahkan persoalan ship dismantling secara bersama-sama demi mencapai suatu kesejahteraan bagi nasib buruh yang bekerja di lokasi ship dismantling serta melindungi lingkungan hidup di Bangladesh yang tercemar akibat kimia berbahaya yang terkandung dalam kapal tua yang akan dihancurkan. Ini merupakan sebentuk-optimisme dari dampak globalisasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia serta mengajak orang bersama- sama untuk dapat bekerja sama dalam memecahkan masalah-masalah global apabila mereka mempunyai kesadaran dan tanggungjawab sebagai penduduk dunia. Banyaknya ornop yang bekerja sama untuk memerangi kegiatan eksploitatif dari kegiatan ship dismantling yang tidak ramah lingkungan memperlihatkan bagaimana politik dunia telah melibatkan aktor-aktor di luar negara yang sama pentingnya dengan negara, seperti kelompok kepentingan dan omop. Walaupun ormop-ornop ini tidak semuanya berfokus pada lingkungan hidup saja (ada pula yang berfokus pada perlindungan hak buruh dan hak asasi manusia), dalam melakukan upayanya, mereka tetap terintegrasi dalam mencapai satu tujuan, yaitu menciptakan kegiatan penghancuran kapal dengan metode yang ramah lingkungan dan melindungi hak buruh. Interaksi mereka memperlihatkan bahwa ornop-omop tersebut telah menjadi bagian dari masyarakat global. Hasil dari Internasionalisasi Upaya Ornop dalam Memerangi Kegiatan Ship Dismantling Berdasarkan laporan dari YPSA tahun 2007, meskipun Bangladesh tetap menempati urutan pertama sebagai negara dengan jumlah terbanyak dari kapal yang dihancurkan, serta bila melihat begitu fluktuatifnya perubahan jumlah kapal yang dihancurkan di negara ini, ternyata telah terjadi penurunan jumlah ship dismantling yang signifikan dari tahun 2006 ke tahun 2007. Pada tahun 2007 hanya terdapat 73 kapal yang dihancurkan sementara pada tahun 2006 terdapat 128 kapal yang dihancurkan.? Berdasarkan petisi yang disampaikan oleh Rizwana Hasan tahun 2006, pada Februari 2006 dua kapal asing bernama MT Alfaship yang berbendera Singapura dan SS Norway berhasil dilarang masuk ke Chittagong oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Pengadilan Tinggi Bangladesh juga merasa perlu peran aktif pemerintah untuk membuat © Dapat dilihat melalui situs hitp//wew.shipbreskingbd info/stats2002-20075B19D.pdf, Op. cit 124 Internasionalisasi Upaya Omop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal peraturan baru yang melarang masuknya kapal-kapal mengandung limbah beracun ke wilayah Bangladesh. Namun demikian, pemerintah hanya bersedia menyusun peraturan tidak mengikat (non-binding policies) yang mengakibatkan masih adanya kapal yang belum mendapat izin dan sertifikat dari Departemen Eksplosif berhasil masuk dan dihancurkan di Bangladesh yaitu kapal MT Enterprise. BELA pun berupaya untuk mengajukan kembali kasus ini ke pengadilan tinggi Bangladesh dan akhirnya untuk pertama kalinya dalam sejarah ada perusahaan ship dismantling yang didenda karena telah melakukan 50% dari kegiatan ship dismantling untuk kapal MT Enterprise di Chittagong. Sejak tahun 2006 pemerintah sudah mengeluarkan hukum terbaru mengenai perlindungan buruh di lokasi kerja dalam Hukum Buruh 2006 (Labor Law Act 2006). Dalam hukum ini tercantum beberapa hal yang menguntungkan buruh di lokasi kerja seperti pemberian kompensasi dan cuti bagi para pekerja. Buruh juga akan mendapatkan kompensasi sebesar 100.000 taka bagi mereka yang menjadi tak mampu lagi bekerja.s" Berbagai tindakan yang dilakukan oleh ornop terkait juga berhasil menarik simpati dari beberapa departemen pemerintahan yang membuat mereka bersikap lebih tegas terhadap masuknya kapal-kapal yang mengandung limbah beracun ini ke dalam wilayah Bangladesh. Pada tahun 2007, pemerintah lagi-lagi berhasil menolak kapal MT Apsheron masuk ke Bangladesh sebelum didekontaminasi di luar wilayah Bangladesh. Kapal ini juga termasuk dalam Daftar 50 Kapal yang mengandung limbah berbahaya yang disusun oleh Greenpeace. Di sisi lain, tokoh lokal yang bersikap kritis dalam melindungi lingkungan hidup di wilayah mereka seringkali luput dari pemberitaan dan kurang mendapat perhatian. Untuk menghargai upaya keras mereka, The Goldman Environmental Prize didirikan pada 1990 untuk memberikan penghargaan tahunan kepada mereka yang telah begitu gigih melawan kegiatan yang merusak, mempromosikan pembangungan berkelanjutan, mempengaruhi kebijakan lingkungan dan mendukung terciptanya keadilan dalam lingkungan hidup.* Gigihnya upaya Rizwana Hasan dari BELA akhirnya membuat ia memperoleh penghargaan The Goldman Environmental Prize 2009. Penghargaan ini akibat usaha gigihnya dalam melindungi hak buruh dari kegiatan ship dismantling serta kepastian hukum pemerintah mengenai Dapat dilihat melalui situs htp://www.goldmanprize.org/2009/asia. Diakses 13 April 2010. *' Dapat dilihat metalui situs http://www. shipbreakingbd. info/Rightsviotation html. Op. cit. “Toxic — Ship Barred from — Chittagong Port.” Tersedia. = dalam iwww.ban.ory/BAN_NEWS/2007/070115 chittagong_port.html. Diakses 3 April 2010. © Dapat dilihat melalui situs http//www.goldmanprize.org/theprize/about. Diakses 3 April 2010. Mariska #125 perlindungan lingkungan hidup Bangladesh dari kapal-kapal tua yang hanya membawa limbah beracun ke perairan Bangladesh. Pada tahun yang sama, Pengadilan Tinggi Bangladesh juga semakin menegaskan regulasi. mengenai kegiatan ini Pengadilan ini menginstruksikan agar 36 lokasi ship dismantling yang beroperasi tanpa sertifikasi dekontaminasi yang jelas harus ditutup. Kapal-kapal yang berada dalam daftar 50 Kapal yang dikeluarkan Greenpeace juga akan dilarang untuk masuk ke wilayah Bangladesh sebelum melalui proses dekontaminasi yang memuaskan dan kapal-kapal itu telah diinspeksi oleh Departemen Eksplosif serta Angkatan Laut Bangladesh. Peraturan mengenai environmental clearance merupakan salah satu peraturan yang terdapat dalam Environment Conservation Act 1997 No. 7. Environmental clearance sendiri harus dimiliki setiap industri atau proyek yang berlangsung di Bangladesh. Untuk mendukung perintah dari Pengadilan Tinggi, pemerintah melakukan amandemen terhadap peraturan ini pada tahun 2009 sehingga lebih dapat memfasilitasi terciptanya kegiatan ship dismantling yang kondusif.” Lokasi ship dismantling yang tidak memiliki sertifikat environmental clearance harus ditutup karena akan dianggap melanggar peraturan pemerintah tersebut.@ Satu lagi peraturan baru yang dikeluarkan oleh Departemen Lingkungan Hidup dan Hutan ialah peraturan terbaru mengenai foxic free certificate, Berdasarkan peraturan yang, telah ada sebelumnya, hanya pihak importir yang harus memiliki sertifikat ini sebagai salah satu syarat supaya kapal yang mereka beli dapat masuk ke wilayah Bangladesh. Namun, sejak tahun 2009, Departemen Lingkungan Hidup dan Hutan menegaskan bahwa sertifikat bebas racun harus dimiliki baik oleh pihak importir maupun eksportir. Hal ini diupayakan agar kedua pihak sama-sama memikul tanggung jawab terhadap kapal yang muncul di lokasi ship dismantling di Bangladesh. Untuk itulah, foxic free certification diharuskan oleh pemerintahan Bangladesh bagi pihak eksportir dan importir sehingga ada bentuk dokumen yang diserahkan sebelum kegiatan penghancuran kapal dilakukan. “ Dapat dilihat melalui situs http://www goldmanprize,org/2009/asia. Op. cit. S“Shipbreaking Ordered Shut." Tersedia dalam —httpy/www.ban.org/ban_news i shut.html. Op. cit. Ministry of Environment & Forest of Bangladesh. 1997. The Environment Conservation Rules 1997. Bangladesh: Ministry of Environment & Forest of Bangladesh "“Shipbreaking Ordered Shut.” Tersedia dalam —_hitp//www.ban.org/ban_ news! zen eee Op cit (Eavironment Directorate to _ssue Clearance for Scrapped Ships.” Tersedia dalam ih . Diakses 21 Mei 2010. ditan melalui situs http BSS_23 ain Totem 22. Mar 10. Diakses tanggal 30 Maret 2010. 126 m= Internasionalisasi Upaya Omop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal Penutup Kegiatan ship dismantling memberikan dampak buruk bagi kehidupan di Bangladesh. Kegiatan ini merupakan bentuk eksploitasi terhadap buruh, membahayakan lingkungan hidup dan sosial Bangladesh serta memberikan citra negatif yaitu sebagai dumping ground bagi pembuangan limbah berbahaya dari negara maju. Untuk itu YPSA, BELA, Greenpeace, BAN dan FIDH melakukan berbagai internasionalisasi upaya untuk memerangi kegiatan ini. Mereka berpartisipasi dalam forum internasional, melakukan kampanye dengan publikasi. serta mengajukan surat petisi. kepada pemerintah, Internasionalisasi upaya ini dapat dikatakan berhasil dan pemesintah membuat beberapa peraturan baru. Daftar Pustaka Buku Buck, Trevor. 2005. International Child Law. United Kingdom: Cavendish Publishing. Churchill, R.R dan A.V Lowe. 1999. The Law of the Sea, Third Edition. United Kingdom: Manchester University Press. Elster, Jon. 2000. Karl Marx Marxisme-Analisis Kritis, Sebuah Analisis Kritis Tokok Historis Pengguncang Dunia Perlukah Kita Menolak Komunisme? Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya. Keck, Margaret E. dan Kathryn Sikkink. International Organization and Global Governance A Reader, Second Edition. Editor: Friedrich Kratochwil dan Edward D. Mansfield. 2006. New York: Pearson Longman. Dokumen Akther, Mahfuza, dkk. YPSA. 2005. Workers in Shipbreaking Industries: A Base Line Survey of Chittagong (Bangladesh). Bangladesh: YPSA.. Bois, Robin des. 2007. Information Bulletin on Ship Demolition. Robin des Bois. Paris: Robin des Bois. FIDH. FIDH Report Investigative Mission Where do the “floating dustbins” end up? Labour Rights in Shipbreaking Yards in South Asia The cases of Chittagong (Bangladesh) and Alang (India). Editor: Antoine Bernard. 2002. Paris: FIDH. Mariska m 127 FIDH, YPSA dan NGO Platform on Shipbreaking. 2008. Childbreaking Yarils-Child Labour in the Ship Recycling Industry. FIDH Press Kit. Greenpeace, FIDH dan YPSA. A Greenpeace-FIDH Report in Cooperation with YPSA End of Life Ships The Human Cost of Breaking Ships. Editor: Jacqueline Schuiling. 2005. Netherlands: Colophon. Greenpeace Shipbreaking Site English. 2002. “Towards Clean Ships’ (-Breaking).” The buffet luncheon of the International Maritime Industries Forum. London: Greenpeace. Hossain, Md. M.Maruf dan Mohammad Mahmudul Islam. 2006. Ship Breaking Activities and its Impact on the Coastal Zone of Chittagong, Bangladesh: Towards Sustainable Management. Bangladesh: YPSA. ILO. 2006. Realizing Decent Work in Asia, Report of Director General ILO. Report of the Director-General, Fourteenth Asian Regional Meeting Busan, Republic of Korea, ‘August-September. Swiss: ILO Publications. Ministry of Environment & Forest of Bangladesh. 1997. The Environment Conservation Rules 1997. Bangladesh: Ministry of Environment & Forest of Bangladesh. NGO Platform on Shipbreaking, 2009. Off the Beach! Save and Green Ship Dismantling. NGO Platform on Shipbreaking. Situs Alam, Shafig. 2009. “New deal brings boom time to Bangladesh Shipbreakers. China Post Online.” Tersedia dalam http://www.chinapost.com.tw/business/ asia/other/2009/06/15/212266/New-deal.htm. Diakses 5 Maret 2010. Bangladesh First Online Newspaper. 2010. “Environment Directorate to Issue Clearance for Scrapped Ships.” —Tersedia_— dalam http://www.bdnews24.com/details.php?id=160908écid=2. Diakses 21 Mei 2010, BAN Online. Tersedia dalam http://www. basel.int/meetings/cop/cop9/docs/ i40e.pdf. Diakses 15 Maret 2010. BELA. Tersedia dalam http://www.belabangla.org/html/pil.htm. Diakses 9 Juni 2010. CIA WorldFact Book. Tersedia dalam Https://www.cia.gov/library/ publications / the-world-factbook/geos/bg.html. Diakses 29 April 2010. Irvine, Dean, 2009. “Clean Up Its Act.” Tersedia dalam http://www.ban.org/ ban_news/2009/090514_clean_up_its_act.html. Diakses 15 Maret 2010. 128m Intemnasionalisasi Upaya Omnop dalam Memerangi Kegiatan Penghancuran Kapal The Daily Star. 2007. “Toxic Ship barred from Chittagong Port.” Tersedia dalam http://www.ban.org/BAN_NEWS/2007/070115_chittagong_port.html. Diakses 3 April 2010. Supreme Court of Bangladesh. Tersedia dalam http:// www.supremecourt.gov.bd/ 2visit=servicecharter/ page. Diakses 9 Juni 2010. The Chittagong Ship Breaking Yards. Tersedia_ dalam _ http://www. brainreleasevalve.com/?p=706. Diakses 14 Maret 2010. The Goldman Environmental Prize Online. Tersedia dalam http://www. goldmanprize.org/2009/asia. Diakses 13 April 2010. The Goldman Environmental Prize Online. Tersedia dalam http://www. goldmanprize.org/theprize/about. Diakses 13 April 2010. YPSA Online. Tersedia dalam __ http://www.shipbreakingbd.info/stats2002- 20075B15D.pdf. Diakses 9 Februari 2010. YPSA Online. Tersedia dalam http://www.shipbreakingbd.info/overview.htm. Diakses 8 Februari 2010. YPSA Online. Tersedia dalam http:/ /www.shipbreakingbd.info/newspaper_news/ BSS_23 02_10.html 22 MAR 10. Diakses 30 Maret 2010.

Anda mungkin juga menyukai