Refreshing Kulit Fix
Refreshing Kulit Fix
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan oleh dokter
dalam resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamu-jamuan; yang dimaksud
dengan obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan.
Pemberian obat secara topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan
obat oleh kulit.
Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang mengancam jiwa
manusia. Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga reaksi
terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug eruption) atau R.S.O.
Salah satu bentuk R.S.O ialah reaksi obat alergik (R.O.A). Manifestasi reaksi obat
pada kulit disebut erupsi obat alergik (E.O.A). Satu macam obat dapat menyebabkan lebih
dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam-macam
obat. Reaksi simpang obat (RSO) menurut WHO adalah setiap efek yang berbahaya dan tidak
diharapkan pada penggunaan suatu obat dengan dosis yang digunakan pada manusia untuk
tujuan pencegahan, diagnostik atau pengobatan.
Erupsi
obat
juga
dapat
menyebabkan
Kegawatdaruratan
penyakit
kulit.
Kegawatdaruratan penyakit kulit dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang
pada setiap saat dan di mana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak,
kecelakaan atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat
berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara mantap di rumah
sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah dan membatasi
cacat serta meringankan penderitaan penderita.
Pertolongan ini harus diberikan secara tepat sebab penanganan yang salah justru dapat
berakibat kematian atau cacat tubuh. Pertolongan selanjutnya diberikan setelah penderita tiba
di rumah sakit, dilakukan oleh dokter umum atau dokter spesialis yang mempunyai
kompetensi untuk melakukan tindakan pada kasus tersebut.
Pada penyakit kulit, dikenal beberapa penyakit yang dianggap sebagai suatu kasus
kegawat daruratan. Dimana kasus-kasus tersebut membutuhkan pertolongan yang cepat dan
tepat agar tidak menimbulkan kecacatan sampai kematian.
BAB 2
1
TINJAUAN PUSTAKA
A. Erupsi Obat Alergi
I.
Definisi
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya
sistemik. Yang dimaksud dengan obat, ialah zat yang dipakai untuk menegakkan
II.
III.
Klasifikasi R.O.A
Secara umu terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh Coomb dab
Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari ke-4 jalur ini.
1. Tipe I (Reaksi cepat, reaksi anafilaksis)
Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat
tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi selanjutnya dapat menimbulkan
reaksi. Antibodi yang terbentuk ialah antibodi IgE yang mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pada pemberian obat yang sama, antigen
dapat menimbulkan perubahan berupa degranulasi sel mast dan basofil dengan
dilepaskannya bermacam-macam mediator, antara lain histamin, serotonin,
bradikinin, heparin dan SRSA.
Mediator-mediator ini mengakibatkan bermacam-macam efek antara lain
urtikaria, dan yang lebih berat ialah angioderma. Yang paling berbahaya ialah
terjadinya syok anafilaktik. Penisilin merupakan contoh penyebab utama erupsi
obat hipersensivitas tipe cepat yang igE-dependent.
2. Tipe II (Reaksi sitostatik)
Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang memerlukan
penggabungan antara IgG dan IgM dipermukaan sel. Hal ini menyebabkan efek
sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen. Gabungan
obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah
3
alergik.
Gambaran klinis
1. Erupsi makulapapular atau mirbiliformis
Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat
diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan
simetris terdiri atas eritema, selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada
demam, malaise dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah
dimulainya terapi erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID,
Sulfonamid, dan tetrasiklin.
4
Biasanya simetris serta muncul disekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau
tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan
disertai rasa gatal.
6. Vaskulitis
Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable
purpura yang mengenai kapiler. Biasanya distribusinya simetris pada ekstremitas
bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan
anoreksia. Obat penyebab ialah penisilin, sulfonamid, NSAID, antidepresan, dan
antiaritmia.
Jika vaskulitis terjadi pada pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum
(E.N). kelainan kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di
atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malaise. Tempat predileksinya di
daerah ekstensor tungkai bawah. E.N dapat pula disebabkan oleh beberapa
penyakit lain. Misalnya tuberkulosis, infeksi streptokokkus, dan leprae. Obat yang
dianggap sering menyebabkan E.N ialah sulfonamid dan kontrasepsi oral.
7. Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak alergi,
lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan dapat
meluas ke daerah yang tidak terpajan matahari. Obat yang dapat menyebabkan
fotoalergik ialah fenotiazin, sulfonamida, NSAID, dan griseofulvin.
8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut
Penyakit putulosis eksantema generalisata akut (P.E.G.A) atau acute generalized
exanthematous pustulosis (AGEP) jarang terdapat, diduga dapat disebabkan oleh
alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri, dan
dermatitis kontak.
6
Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul pada kulit
yang eritromatosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan
kulit timbul pada waktu demam tinggi (>38C) , dan pustul-pustul tersebut cepat
menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti dekuamasi selama beberapa
hari. Pada pemeriksaan histopatologik di dapati pustul intraepdermal atau
subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear
perivaskular dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Terdapat 2
perbedaan utama antara P.E.G.A dan psoriasis pustulosa, yaitu P.E.G.A terjadinya
akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada P.E.G.A pustul-pustul pada kulit yang
eritromatosa dan demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran
histopatologik juga berbeda.
9. Di samping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa eritema
multiforme, sindrome Stevens-Jhonson, dan nekrolisis epidermal toksisk yang
VI.
derivatnya (ampisilin, amoksisilin, kloksasilin), sulfonamida, golongan analgetikantipiretik, misalnya asam salisilat, metametazol, metampirin, dan paracetamol.
VII.
Pengobatan
1. Sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
ialah tablet prednison (1 tablet = 5 mg). Pada kelainan urtikari, eritema, dermatitis
medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema fikstum, dan P.E.G.A
karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednison
sehari. Pada eritroderma dosisnya ialah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.
b. Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal.
Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan kortikosteroid
2. Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada kelainan kulit, apakah kering atau basah.
Kalau keadaan kering, seperti pada eritema dan urtikaria, dapat diberikan bedak
salisilat 2 % ditambah dengan obat antipruritus, misalnya mentol - 1% untuk
mengurangi
rasa
gatal.
Kalau
keadaan
membasah
seperti
dermatitis
karena penisilin, ternyata hanya 12 pasien yang memiliki indikasi yang jelas . jika
sudah tepat indikasinya. Barulah dinyatakan secara teliti riwayat alergi obat dimasa
lalu, terutama yang ada hubungannya dengan yang akan kita berikan. Sering pasien
menyebutkan alergi terhadap bermacam macam obat yang sebenarnya kurang masuk
akal, tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada pasien
diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan. Masalah reaksi
silang antara obat juga harus diperhatikan. Seperti penisilin dan sefelosporin,
gentamisin dengan kanamicin atau streptomicin, sulfa dengan obat obat golongan
sulfonilurea
Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan
obat atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau
kalau ada fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh
diberikan namun tetap harus berhati hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang
harus diberikan, dipertimbangkan cara pemberian obat secara desentisasi. Sedangkan
bagi obat obat yang uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara
provokasi dan bila reaksinya positif kembali kita melakukan prosedur desentisasi.
Prinsip uji provokasi atau desentisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat
kecil, kemudian dinaikkan perlahan lahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun
uji provokasi tidak selalu terjadi desentisasi karena sensitasinya sendiri belum bisa
dibuktikan. Prosedur desentisasi hanya memberi pasien bebas sensitasi sementara,
karena bila satu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut harus
diulangi kembali. Perlu ditambahkan bahwa kedua prosedur tadi hanya untuk
mencegah terjadinya reaksi anafilaktik.
IX.
Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat menyembuh bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya
eritroderma dan kelainan-kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Stevens-Johnson,
prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. 1
B. Kegawat Daruratan di Bidang Dermatologi
a. Eritema Multiforme
a.1 Definisi
Eritema Multiforme merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadangkadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum dan gambaran khas
bentuk iris.Pada kasus yang berat disertai simtom konstitusi dan lesi viseral.1
a.2 Sinonim
Herpes iris,dermatostomatitis,eritema eksudativum multiforme. 1
a.3 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui.Faktor-faktor penyebabnya selain alergi obat
sistemik, ialah peradangan oleh alergi virus tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar
matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti keadaan hamil atau haid, dan penyakit
keganasan.Pda anak-anak dan dewasa muda,erupsi biasanya disertai dengan infeksi,
sedangkan pada orang dewasa disebabkan oleh obat-obatan dan keganasan. 1
a.4 Gejala Klinis
Gejala klinis berupa spectrum yang bervariasi dan erupsi local kulit dan selaput lendir
sampai
bentuk
berat
berupa
kelainan
multisystem
yang
dapat
menyebabkan
Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5 th ed. San Fransisco:
McGraw Hill; 2007.
11
b. Sindrom Steven-Johnson
b.1. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkat sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang
sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput
mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai toksik
epidermal nekrolisis (TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema
multiforme (EM). 1,3
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de FriessingerRendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dan dermatostomatitis. 2,3
b.2. Etiologi
a) Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa dan usia
lanjut. Hampir semua kasus SSJ disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama
antibiotik (misal obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri,
termasuk yang dijual tanpa resep. Terkait HIV, alasan SSJ yang paling umum adalah
nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). 1,4
12
b) Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksi
obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karena imunitas belum berkembang
sepenuhnya.
c) NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-negara Barat. Di
Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama.
d) Empat kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik. 1,4
b.3. Patofisiologi
SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut Coomb
dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran
utama SSJ ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas
sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama
terdapat di dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1,
ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di
epidermis.2,3
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi :
a) Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan.
b) Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat.
c) Kegagalan termoregulasi.
d) Kegagalan fungsi imun.
e) Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa
didahului panas tinggi, dan nyeri yang berkelanjutan. Erupsi timbul mendadak, gejala
bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata,
genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodromal
tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4
minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada
selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus
13
yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta
hemoragik. 2,4
b.4. Gejala Klinis
SSJ biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam,
malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang
sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien
mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian
meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas,
sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila
digosok. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas.
Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang akan bertahan
dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan lokal
harus dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh
kasus. 1,6
Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat makan
dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan disuria. Riwayat
penyakit SSJ atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi dapat terjadi apabila agen
yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien mengalami pajanan kembali.
Pada SSJ akan terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata. 2,6
a) Kelainan pada kulit
Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang menjadi papula,
14
Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling umum di
batang tubuh.
genitalia (50%), jarang pada lubang hidung dan anus (masing-masing 8% dan 4%).
Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang gampang
pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman terutama pada bibir.
Krusta kehitaman ini disebut juga krusta hemoragik, timbul karena adanya serum
atau darah yang mengering akibat ekskoriasi. Juga dapat timbul pseudomembran.
Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian atas, faring dan esofagus.
Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan.
Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.
Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi pada
kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai
15
Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5 th ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2007.
yang
nonspesifik.
Leukositosis
yang
nyata
mengindikasikan
alergi.
Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang
serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.
Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan
panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya. Prosedur pemeriksaan berupa
pembuatan apusan spesimen yang difiksasi dengan aseton atau metanol, perendaman
apusan dengan konjugat antibodi, pembilasan spesimen secara cermat untuk
menghilangkan konjugat antibdi yang tidak terikat dan pemeriksaan spesimen
dibawah mikroskop.
Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya
infeksi.
b) Pemeriksaan Radiologi:
Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara
klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan. 4,5
c) Pemeriksaan Histopatologi:
Gambaran histopatologik sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan
dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyuluruh. Kelainan berupa :
Infiltrate sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superficial.
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler.
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
17
i) Untuk mata yang terjadi konjungtivitis diberikan gentamisin, juga untuk mencegah
perlengketan.
j) Diet tinggi protein dan rendah garam
k) Kosultasi ke spesialis yang lain, misal kulit dan kelamin, mata, gigi dan mulut, anak,
penyakit dalam dan THT. 2,3
B.9. Komplikasi
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut: 1,4
a)
b)
c)
d)
e)
sekunder
f) Infeksi sitemik : sepsis
g) Kehilangan cairan tubuh : syok.
B.10. Prognosis
Jika bertindak cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. Pada keadaan
umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan
kematian. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis. 5
c. Nekrolisis Epidermal Toksik
c.1. Definisi
Nekrolisis epidermal toksik atau Lyell's syndrome adalah kelainan kulit yang
memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun
begitu, etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan
penyakit ini. 7
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset
akut dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru.
19
Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa
seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut
memberikan gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah
yang melibatkan satu atau lebih membran mukosa. 7
Pada Stevens-Johnson Syndrome (SJS) epidermal detachment meliputi kurang dari
10% luas permukaan kulit tubuh ; transitional SJS-TEN ditentukan dengan epidermal
detachment antara 10 sampai 30 % ; dan TEN detachment lebih dari 30 %.8
c.2. Epidemologi
Kejadian di seluruh dunia adalah 0,5 sampai 1,4 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan frekuensi yang sama pada pria dan wanita. NET dapat
mengenai semua kelompok usia tetapi lebih umum pada orang tua, kemungkinan karena
meningkatnya jumlah obat yang dikonsumsi oleh orang tua. 9,10
c.3. Etiologi
Etiologi NET sama dengan Syndrome Steven Johnson. NET juga dapat terjadi akibat
reaksi graft versus host, infeksi (virus,jamur,bakteri,parasit), dan sepertiga kasus nekrolisis
epidermal toksika disebabkan oleh suatu reaksi terhadap suatu obat. Hubungan antara intake
obat dan onset penyakit ini merupakan faktor yang sangat penting. SJS dan TEN umumnya
dimulai kurang dari 8 minggu tapi lebih dari 4 hari sejak intake obat pertama kali. Obat yang
paling sering menyebabkan penyakit ini adalah : 10
20
(MHC) class I.
Produksi berlebih dari T cell dan/atau macrophage-derived cytokines (interferon-,
tumor necrosis factor- [TNF-], and various interleukins).
21
Drug-induced secretion of granulysin dari CTLs, natural killer cells, dan natural killer
T cells.
22
1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan
bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital,
sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula
yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat
terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang
tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar atau tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas. 7,8
3. Kelainan mata Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop,
ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Lebih dari 80% pasien memperlihatkan adanya
kelainan yang melibatkan konjungtiva, ulserasi kornea, uveitis anterior dan synechiae. 7
c.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Hal
yang terpenting yaitu adanya riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Semua kasus yang
dicurigai NET harus dilakukan biopsi kulit dan hapusan immunofluoresensi harus
dipertimbangkan jika diduga pemphigus atau pemphigoid. Laboratorium didapatkan adanya
leukositosis, peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria, gangguan fungsi ginjal,
dan ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi TBC dan bronkopneumonia. Pemeriksaan histopatologi, lesi awal
menunjukkan apoptosis keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya
nekrosis di seluruh lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan
epidermis dan dermis. 2,7
23
24
Pengobatan Simptomatik :
- Fluid replacement secepatnya : Tujuan Mengatur+mempertahankan keseimbangan
-
rendah garam
Debridement ekstensif dan agresif tidak dianjurkan.
Konsultasi disiplin ilmu lain : THT, mata, penyakit dlm, gigi dan mulut, dll. Mata
diperiksa oleh ophthalmologist setiap hari, beri artificial tears, tetes mata antibiotik,
dan vitamin A setiap 2 jam sekali selama fase akut dan cegah synechiae. Mulut
cells death.
Cyclosporin A agent immunosupresif kuat; mekanismenya dengan mengaktivasi
Th2 sitokine, inhibisi CD8+ sitotoksik, dan anti-apoptosis dengan inhibisi Fas-L,
c.9. Komplikasi
nekrosis
tubular
akut
akibat
terjadinya
ini menimbulkan kesulitan dalam makan dan minum sehingga mengarah pada
kebutaan.
Infeksi kulit oleh bakteri, scars and nail dystrophy, hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi
Adhesi genital dyspareunia, nyeri dan perdarahan
Pneumonia atau respiratory failure. 7,8
c.10. Prognosis
Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan
alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit,
26
prognosisnya buruk. Luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga bila terdapat
purpura yang luas dan leukopenia. Angka kematian NET 30-35% , jadi lebih tinggi daripada
Sindrome Steven Johnson yang hanya 5 % atau 10-15% pada bentuk transisional, karena
N.E.T. lebih berat. SCORTEN merupakan sistem skoring prognostik yang dikembangkan
untuk menghubungkan mortalitas dengan parameter yang terpilih. 11,14
d.2 Klasifikasi
Pemfigus terbagi menjadi 3 bentuk utama:9
27
1. Pemfigus vulgaris
2. Pemfigus foliaseus
3. Pemfigus paraneoplastik
Dari ketiga bentuk tersebut, pemfigus paraneoplastik adalah bentuk yang paling
berbahaya karena sering ditemukan pada pasien yang telah didiagnosis mengalami keganasan
(kanker). Namun, pemfigus paraneoplastik merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan.9
d.3. Epidemiologi
Penelitian retrospektif sebelumnya terhadap pasien pemfigus vulgaris, pemfigus
foliaseus atau keduanya telah menunjukkan secara jelas bahwa epidemiologi dari pemfigus
tergantung pada wilayah di dunia yang diteliti dan juga populasi etnis pada wilayah tersebut.
Prevalensi pemfigus pada pria dan wanita untuk kedua tipe ini hampir sama di semua
wilayah. Pengecualian khusus yaitu seringnya wanita menjadi fokus penyebaran pemfigus
vulgaris di Tunisia dan seringnya pria menjadi fokus penyebaran pemfigus vulgaris di
Kolombia. Usia rata-rata timbulnya penyakit ini berkisar antara 40-60 tahun. Namun, batas
usia ini dapat melebar dimana pernah ditemukan beberapa kasus pada anak maupun pada usia
lanjut. Walaupun semua etnik dapat terkena, namun pemfigus lebih sering dijumpai pada
orang Timur Tengah atau keturunan Yahudi. Di sebagian besar negara, pemfigus vulgaris
lebih sering ditemukan dari pada pemfigus foliaseus, kecuali di Finlandia, Tunisia, dan
Brazil. 9
d.4. Faktor Resiko dan Penyebab
Para peneliti belum mengetahui secara pasti penyebab terjadinya pemfigus, namun
diduga kuat bahwa penyakit ini merupakan penyakit autoimun. Pada keadaan normal, sistem
imun tubuh menyerang virus, bakteri, dan substansi berbahaya lainnya. Namun pada pasien
pemfigus, sistem imun menyerang protein normal yang disebut desmoglein pada kulit dan
28
membran mukosa. Protein ini mengikat sel bersama-sama, dan ketika protein ini rusak,
epidermis akan terpisah sehingga terbentuk lepuh. 10
Pasien dengan kanker sering mengalami pemfigus, terutama pada non-Hodgkin
limfoma dan leukemia limfositik kronik. Adanya kelainan autoimun lainnya juga
meningkatkan risiko terjadinya pemfigus, antara lain: 9
-
Miastenia gravis. Penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya kelemahan otot.
Timoma
Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, pemfigus dapat timbul akibat mengkonsumsi
obat-obatan seperti ACE inhibitor. 9
d.5. Patogenesis
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat khas, antara lain: 11
Adanya antibodi IgG terhadap antigen determinan yang ada pada permukaan
keratinosit yang sedang berdiferensiasi.
Pada pemfigus vulgaris lepuh terjadi akibat adanya reaksi autoimun terhadap antigen
pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan glikoprotein transmembran dengan berat molekul
130 kD untuk pemfigus vulgaris dan 160 kD untuk pemfigus foliaseus yang terdapat di
permukaan keratinosit. 11
Antigen target pada pemfigus vulgaris yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein
3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Pada pemfigus
foliaseus antigen targetnya adalah desmoglein 1.
Desmoglein merupakan salah satu komponen desmosom. Desmosom berfungsi untuk
meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa.
Penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi subklas IgG1 dan IgG4,
tetapi yang patogenetik adalah IgG4.
29
Pada pemfigus juga terdapat faktor genetik, umumnya berkaitan dengan HLA-DR4.
d.6. Gejala Klinis
Pemfigus ditandai oleh adanya lepuh-lepuh pada kulit dan membran mukosa.
Gambaran klinis dari ketiga bentuk pemfigus bervariasi tergantung dari tipenya masingmasing. 9
Pemfigus vulgaris ditandai oleh adanya bula berdinding tipis, kendur dan mudah
pecah yang timbul baik pada kulit atau membran mukosa normal maupun di atas dasar
eritematous. Cairan bula pada awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik
bahkan seropurulen. Bula-bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan ruptur sehingga
terbentuk erosi. Erosi ini sering berukuran besar dan dapat menjadi generalisata. Kemudian
erosi akan tertutup krusta yang hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki kecenderungan
untuk sembuh. Tetapi bila lesi ini sembuh sering berupa hiperpigmentasi tanpa pembentukan
jaringan parut.9
Pemfigus vulgaris biasanya timbul pertama kali di mulut kemudian di sela paha, kulit
kepala, wajah, leher, aksila, dan genital. Pada awalnya hanya dijumpai sedikit bula, tetapi
kemudian akan meluas dalam beberapa minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau
beberapa lokasi selama beberapa bulan.9
Tanda Nikolsky positif, karena hilangnya kohesi antar sel di epidermis sehingga
lapisan atas dapat dengan mudah digeser ke lateral dengan tekanan ringan.9
Lesi di mulut muncul pertama kali dalam 60% kasus. Bula akan dengan mudah pecah
dan mengakibatkan erosi mukosa yang terasa nyeri. Lesi ini akan meluas ke bibir dan
membentuk krusta. Keterlibatan tenggorokan akan mengakibatkan timbulnya suara serak dan
kesulitan menelan. Esofagus dapat terlibat, dan telah dilaporkan suatu esophagitis dissecans
superficialis sebagai akibatnya. Konjungtiva, mukosa nasal, vagina, penis, dan anus dapat
juga terlibat.9
30
Gambar C.4. Pemfigus vulgaris. Erosi luas akibat lepuh pada kulit
Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5 th ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2007.
d.7. Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis suatu pemfigus diperlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang lengkap. Lepuh dapat dijumpai pada berbagai penyakit sehingga dapat
mempersulit dalam penegakkan diagnosis. 1,10
Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :
31
33
34
Antibiotik spectrum luas selama 7 - 10 hari untuk mencegah agar tidak terjadinya
infeksi sekunder.
c. Topikal
Penanganan lesi luas diperlukan pengobatan dan perawatan yang tepat
-
Lesi yang baru pecah dapat di oleskan Antibiotik salap (Fusidic Acid)
d.11. Prognosis
Derajat keparahan perjalanan penyakit pemfigus vulgaris bervariasi, tetapi mayoritas
pasien meninggal sebelum penghentian terapi steroid. Terapi kortikosteroid sendiri telah
dapat mengurangi angka mortalitas sebesar 5-15%. Pemfigus vulgaris yang yang tidak
mendapatkan terapi adekuat akan berakibat fatal karena penderita rentan terhadap infeksi
serta gangguan yang muncul akibat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar
kasus kematian terjadi pada tahun-tahun awal munculnya gejala, dan jika pasien dapat
bertahan lebih dari 5 tahun, prognosisnya akan lebih baik.
35
Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu
toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan dari strain toksigenik bakteri
staphylococcus aureus (faga grup 2).18
Desmosom merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab sebagai perekat
kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada molekul di antara desmosom dikenali
sebagai desmoglein dan kemudiannya memisah sehingga kulit menjadi tidak utuh.16,17
Toksin eksfoliatif memiliki target kerja pada desmoglein 1 merupakan desmosom
glikoprotein transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel pada epidermis.18,19
e.3. Patofisiologi
Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat menimbulkan celah
pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, yang tampak pada bagian atas epidermis
yaitu antara stratum spinosum dan granulosum sehingga menimbulkan bula berdinding tipis
yang mudah pecah, memperlihatkan Nikolsky sign positif. Pada SSSS toksin berdifusi dari
fokus infeksi, dan tidak adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan penyebaran
toksin secara hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus yang terbanyak adalah faga
grup II (subtype 3A, 3B, 3C, 55 dan 71), selain itu juga terdapat strain faga grup I dan III.
Adanya keterlibatan desmoglein 1 pada SSSS menyerupai penyakit autoimun pemfigus
foliaseus.13
Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang terletak
pada stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus memungkinkan
proliferasi dan penyebarannya di bawah barier tersebut. Sekali kulit dapat mengenali toksin
eksfoliatif tersebut, S. aureus dapat menyebar sehingga menimbulkan celah di bawah stratum
korneum.19
Toksin staphylococcus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan ETB) yang
menyebabkan lepuhnya kulit pada SSSS. ETA terdiri atas 242 dengan berat molekul 26.950
36
kDa, bersifat stabil terhadap panas dan gennya terletak pada kromosom sementara ETB
terdiri atas 246 asam amino dengan berat molekul 27.274 kDa, bersifat labil terhadap
pemanasan dan gennya berlokasi pada plasmid. Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan
bakteri dan diekskresikan dari kolonisasi staphylococcus sebelum diabsorpsi melalui sirkulasi
sistemik. Toksin mencapai stratum granulosum epidermis melalui difusi pada kapiler dermal.
Studi histologis menunjukkan bahwa ikatan ETs pada keratinosit kultur isolasi kulit
menyebabkan terbentuknya vesikel yang mengisi ruang antarsel, diikuti cairan interseluler
yang mengisi ruang antara stratum granulosum dan spinosum. Pemeriksaan laboratorium
mendukung bahwa ETB lebih pirogenik dibandingkan ETA, sementara studi klinis
menunjukkan meskipun ETA dan ETB dapat menyebabkan SSSS lokal, tetapi ETB lebih
sering diisolasi dari anak yang menderita SSSS generalisata dan juga dapat menyebabkan
eksfoliasi generalisata pada orang dewasa yang sehat.13,14
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS. Desmosom adalah
intercelluler adhesive junction yang secara struktural berhubungan dengan filamen
intermediet intraseluler. Desmosom ini diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya
yang banyak terdapat pada jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa
gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih. Desmoglein (Dsg) merupakan komponen
transmembran mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel
tetapi juga pada morfogenesis sel epitel. Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2,
dan Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan
miokard, sedangkan Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat.17,19
ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara menghambat
desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi pemisahan intradesmosomal.
Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin tersebut terikat secara langsung pada cadherin
desmosomal, yaitu desmosglein1 (Dsg1). Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan
37
oleh toksin eksfoliatif (ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin
tersebut. ETs juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang
pada gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik.19
Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus proksimal
dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus proksimal. Kecepatan filtrasi
glomerulus (GFR) bayi kurang dari 50% GFR orang dewasa normal, dan hal ini terbanyak
ditemukan pada dua tahun pertama kehidupan. Hal ini menjelaskan mengapa bayi-bayi,
pasien dengan gagal ginjal kronik, dan pasien yang menjalani hemodialisa merupakan faktor
predisposisi terjadinya SSSS.15
e.4. Gejala klinis
Infeksi S. aureus berawal dari lokasi-lokasi tertentu seperti kulit, tenggorokan,
hidung, mulut, atau saluran pencernaan. SSSS timbul berupa bercak kemerahan yang diikuti
pengelupasan epidermis menyeluruh.17
Staphylococcal scalded skin syndrome biasanya dimulai dengan demam, malaise,
gelisah, dan nyeri. Selanjutnya diikuti kemerahan meluas pada kulit yang biasa terjadi pada
daerah lipatan, seperti leher, axilla, selangkangan dan muka. Dalam waktu 24-48 jam
terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan, benjolan-benjolan ini mudah pecah, dan
meninggalkan kesan yang tampak seperti terbakar. Dua sampai tiga hari lapisan atas kulit
akan mengeriput dan terjadi pengelupasan lembaran kulit, meninggalkan luka terbuka yang
lembab, merah dan nyeri. Luka terbuka selanjutnya akan mengering dan terjadi deskuamasi,
kondisi ini biasanya dapat sembuh dalam 7-14 hari.16,18
Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5 th ed. San Fransisco:
McGraw Hill; 2007.
38
Gambar D.2. (A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan, muka dan badan bayi
penderita SSSS, (B) bula berdinding tipis yang pecah dan meninggalkan kesan terbakar.
Gambar D.3. Luka yang telah mengering dan mulai terjadi deskuamasi
e.5. Diagnosis dan Diagnosa banding
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi
ET, dan hasil biopsi.15
Pada umumnya penyakit ini diawali dengan demam, karena infeksi saluran nafas atas,
kelainan kulit yang timbul diawali oleh eritema yang timbul mendadak pada lipat paha,
muka, leher, dan ketiak yang kemudian meluas ke seluruh tubuh tapi tidak melibatkan
membran mukosa dengan Nikolskys sign positif dan nyeri tekan.18,19 Dalam waktu 24-48 jam
akan timbul bula-bula besar berdinding kendur, yang selanjutnya akan terjadi pengeriputan
spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah erosif yang
mirip dengan kombustio dalam beberapa hari akan mengering dan terjadi deskuamasi.
Penyembuhan akan terjadi pada 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.14
39
Gambar D.5. Histopatologi SSSS, dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis superfisial.
Staphylococcal scalded skin syndrome dan impetigo bulosa merupakan penyakit kulit
melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada impetigo bulosa, ET hanya terdapat pada area
infeksi sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari isi lepuh. Pada SSSS, ET tersebar secara
40
hematogen dan akan berpotensi menyebabkan kerusakan epidermal pada bagian tempat
terjauh.14,15
Staphylococcal scalded skin syndrome dibedakan dari toxic epidermal necrolysis
(TEN) berdasarkan bagian yang mengalami kerusakan, dimana SSSS terjadi pada
intraepidermal sedangkan TEN menyebabkan nekrosis pada seluruh lapisan epidermal (pada
batas membran dasar). Staphylococcal scalded skin syndrome memiliki tingkat keparahan
yang lebih rendah dan tidak melibatkan erosi membrane mukosa jika dibandingkan dengan
TEN. Pada SSSS, hasil pemeriksaan preparat Tzanck dari area lepuh yang dipecahkan akan
didapatkan sejumlah sel epitel dengan inti sel besar dan sel-sel akantolitik tetapi tidak
ditemukan sel-sel inflamasi sedangkan TEN hanya memiliki sel epitel yang sedikit dan tidak
memiliki sel akantolitik tetapi banyak terdapat sel-sel inflamasi.14,15
e.6. Penatalaksanaan
Terapi untuk SSSS harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus.
Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian antibiotik antistaphylococcal intravena. Untuk kasus yang tidak berat, antibiotik oral dapat diberikan
sebagai pengganti setelah beberapa hari. Kerusakan fungsi perlindungan kulit yang luas pada
lesi SSSS, menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit. Pemantauan cairan ditunjang
penggunaan antibiotik yang tepat serta perawatan kulit, sangat berguna untuk mempercepat
penyembuhan. Penggunaan baju yang meminimalkan gesekan juga dapat membantu
mengurangi terjadinya pengelupasan kulit akibat gesekan. Kompres daerah lesi untuk
membersihkan dari jaringan-jaringan epidermis yang telah nekrosis. Salep antibiotik
muporicin diberikan beberapa kali dalam sehari pada area lesi termasuk pada sumber infeksi
sebagai tambahan terapi antibiotik sistemik. 14
e.7. Prognosis dan Komplikasi
41
Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien SSSS adalah gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi lain yang sering terjadi berupa dehidrasi,
infeksi sekunder, dan sepsis. Kasus SSSS pada anak jarang menyebabkan sepsis sehingga
angka kematiannya lebih rendah (1-5%). Angka kematian pada dewasa lebih besar (mencapai
50-60%) karena diikuti beberapa faktor penyebab kematian lainnya dan peningkatan kejadian
sepsis.15,16
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. Keenam. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI.
2. Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta. EGC. Hal 141-142.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
4. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical
dermatology. 5th ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2007.
5. Ramon PF, Maldonado R. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome, and Toxic
Epidermal Necrolysis. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen F, Goldsmith LA,
42
Katz S (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine 6th edition. New York:
McGraw- Hill Professional Pub; 2003.
6. Steven J Parrillo SJ. Stevens-Johnson Syndrome in Emergency Medicine. Aviable on
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview
7. Barakbah, Jusuf, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi ketiga. Surabaya: Airlangga University Press
8. Valeyrie and Roujeau, 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis). Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, USA : 7th
edition, chapter 39, page 349-355.
9. Sanchez and Raimer, 2001. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). Vademecum
Dermatopathology. Georgetown, USA : page 68-69.
10. Amagai M. Pemfigus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds). Dermatology. Spain:
Elsevier. 2008; 5: 417-29.
11. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology. 3 rd ed. Victoria: Blackwell Publishing.
2002; 9: 108-9.
12. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ (eds). Fitzpatrick's dermatology in general medicine (two vol. set). 7 th ed. New
York: McGraw-Hill; 2008: 459-74.
13. Berger TG, Odom RB, James WD. Andrews disease of the skin. 9 th ed. Philadelphia: WB
Saunders Co. 2000; 21: 574-84.
14. Donohue D, Robinson B, Goldberg NS. Staphylococcal scalded skin syndrome in a
woman with chronic renal failure exposed to human immunodeficiency virus. Cutis
1991;47:317-8.
15. Ladhani S, Robbie S, Garratt RC, Chapple DS, Joannou CL, Evans RW. Development
and Evaluation of Detection System for Staphylococcal Exfoliative Toxin a Responsible
for Scalded Skin Syndrome. J Clin Microbiol. 2001; 39: 2050-54
16. Luk N.M. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong Kong
Dermatology & Venereology Bulletin. 2002; 10 (1): 25.
43
17. Clark RA dan Hopkins T , The other eczemas, In: Moschella S, Hurley H (editor).
Dermatology: 3rd ed. Edinburgh: Mosby: 2003. p. 489-93
18. Travers JB, Mousdicas N. Gram-positive Infections Associated with Toxin Production. In:
Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1710-19.
19. Morgan MB, Smoller BR, Somach SC, eds. Staphylococcal Toxin-Mediated Scalded Skin
and Toxic Shock Syndromes. In: Deadly Dermatologic Diseases Clinicopathologic Atlas
and Text. Cleveland: Springer; 2007. p. 133-6.
20. Amagai M, Matsuyoshi N, Stanley JR. Toxin in Bullous Impetigo and Staphylococcal
Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein-1. Nat Med. 2000; 6: 1275-7.
44