Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan oleh dokter
dalam resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamu-jamuan; yang dimaksud
dengan obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan.
Pemberian obat secara topikal dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan
obat oleh kulit.
Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang mengancam jiwa
manusia. Obat makin lama makin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga reaksi
terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat (adverse drug eruption) atau R.S.O.
Salah satu bentuk R.S.O ialah reaksi obat alergik (R.O.A). Manifestasi reaksi obat
pada kulit disebut erupsi obat alergik (E.O.A). Satu macam obat dapat menyebabkan lebih
dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam-macam
obat. Reaksi simpang obat (RSO) menurut WHO adalah setiap efek yang berbahaya dan tidak
diharapkan pada penggunaan suatu obat dengan dosis yang digunakan pada manusia untuk
tujuan pencegahan, diagnostik atau pengobatan.
Erupsi

obat

juga

dapat

menyebabkan

Kegawatdaruratan

penyakit

kulit.

Kegawatdaruratan penyakit kulit dapat terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang
pada setiap saat dan di mana saja. Hal ini dapat berupa serangan penyakit secara mendadak,
kecelakaan atau bencana alam. Keadaan ini membutuhkan pertolongan segera yang dapat
berupa pertolongan pertama sampai pada pertolongan selanjutnya secara mantap di rumah
sakit. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah dan membatasi
cacat serta meringankan penderitaan penderita.
Pertolongan ini harus diberikan secara tepat sebab penanganan yang salah justru dapat
berakibat kematian atau cacat tubuh. Pertolongan selanjutnya diberikan setelah penderita tiba
di rumah sakit, dilakukan oleh dokter umum atau dokter spesialis yang mempunyai
kompetensi untuk melakukan tindakan pada kasus tersebut.
Pada penyakit kulit, dikenal beberapa penyakit yang dianggap sebagai suatu kasus
kegawat daruratan. Dimana kasus-kasus tersebut membutuhkan pertolongan yang cepat dan
tepat agar tidak menimbulkan kecacatan sampai kematian.
BAB 2
1

TINJAUAN PUSTAKA
A. Erupsi Obat Alergi
I.
Definisi
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya
sistemik. Yang dimaksud dengan obat, ialah zat yang dipakai untuk menegakkan
II.

diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. 1


Insidens
Insidens reaksi adversi obat belum diketahui dengan pasti. Penelitian di luar
negeri menunjukkan bahwa reaksi adversi obat yang terjadi pada pasien yang dirawat
di rumah sakit berkisar antara 6-15 %. Angka insiden di luar rumah sakit biasanya
kecil, karena kasus-kasus tersebut bila ringan tidak dilaporkan. Reaksi alergi obat
merupakan 6-10 % dari reaksi adversi obat. Di masyarakat nilai ini berkisar 1-3 %
tetapi mungkin angka ini lebih kecil lagi, mengingat idiosinkrasi dan intoleransi obat

III.

sering dilaporkan sebagai reaksi alergi obat.


Etiologi
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau
non-imunologik. Yang dimaksud dengan E.O.A ialah alergi terhadap obat yang terjadi
melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada penderita
yang sudah mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Biasanya obat flu
berperan pada mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten disebabkan
oleh berat molekulnya yang rendah. 1
Terjadinya reaksi hipersensitivitas karena obat harus di metabolisme terlebih
dahulu menjadi produk yang secara kimia sifatnya reaktif. Secara umum metabolisme
obat dapat dianggap sebagai satu bentuk proses detoksifikasi yaitu obat dikonversi
dari zat yang larut dalam lemak, nonpolar, menjadi zat yang hidrofilik dan polar yang
mudah diekskresi.
Terdapat 2 langkah untuk terjadinya hal ini :
1. Reaksi fase I : reaksi oksidasi reduksi
2

2. Reaksi fase II : reaksi konjugasi


Reaksi oksidasi-reduksi umumnya melibatkan enzim sitokin P450, prostaglandin
sintetase dan macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh enzim,
misalnya hidrolase, glutation-S-tranferase (GST) dan N-asetyl-transferase (NAT).
Untuk dapat menimbulkan reaksi imunologik hapten harus bergabung dahulu dengan
protein pembawa (carrier) yang ada dalam sirkulasi atau protein jaringan hospes.
Carrier diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel limfosit T agar
merangsang sel limfosit B membentuk antibodi terhadap obat atau metabolitnya.
IV.

Klasifikasi R.O.A
Secara umu terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh Coomb dab
Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari ke-4 jalur ini.
1. Tipe I (Reaksi cepat, reaksi anafilaksis)
Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat
tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi selanjutnya dapat menimbulkan
reaksi. Antibodi yang terbentuk ialah antibodi IgE yang mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pada pemberian obat yang sama, antigen
dapat menimbulkan perubahan berupa degranulasi sel mast dan basofil dengan
dilepaskannya bermacam-macam mediator, antara lain histamin, serotonin,
bradikinin, heparin dan SRSA.
Mediator-mediator ini mengakibatkan bermacam-macam efek antara lain
urtikaria, dan yang lebih berat ialah angioderma. Yang paling berbahaya ialah
terjadinya syok anafilaktik. Penisilin merupakan contoh penyebab utama erupsi
obat hipersensivitas tipe cepat yang igE-dependent.
2. Tipe II (Reaksi sitostatik)
Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang memerlukan
penggabungan antara IgG dan IgM dipermukaan sel. Hal ini menyebabkan efek
sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen. Gabungan
obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah
3

berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan


lisis sel sehingga reaksi tipe II tersebut disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik.
Contohnya ialah penisilin, sefalosforin, strepstomisin, sulfonamida, dan isoniazid.
E.O.A yang berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel sasarannya
trombosit. Obat lain yang menyebabkan alergik tipe ini ialah penisilin,
sefalosforin, streptomisin, klorpromasin, sulfonamida, analgesik, dan antipiretik.
3. Tipe III (Reaksi kompleks imun)
Reaksi ini ditandai oleh pembentukan kompleks antigen, antibodi (IgG dan
IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.
Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan berbagai mediator diantaranya
enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun akan beredar dalam
sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran. Contohnya ialah penisilin,
eritromisin, sulfonamida, salisilat, dan isoniazid.
4. Tipe IV (Reaksi alergik seluler tipe lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan Sel
Langerhans yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang
tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe
lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan
pelepasan serangkaian limfokin. Contoh reaksi tipe ini ialah dermatitis kontak
V.

alergik.
Gambaran klinis
1. Erupsi makulapapular atau mirbiliformis
Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi eksantematosa dapat
diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan
simetris terdiri atas eritema, selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada
demam, malaise dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah
dimulainya terapi erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID,
Sulfonamid, dan tetrasiklin.
4

2. Urtikaria dan angioedema


Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtika, kadang-kadang dapat disertai
angioedema. Pada angioedema yang berbahaya ialah terjadi asfiksia, bila
menyerang glotis. Keluhannya umumnya gatal dan panas pada tempat lesi.
Biasanya timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria
dapat disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malaise, nyeri kepala
dan vertigo
Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia ekstena,
tangan dan kaki. Kasus-kasus angioedema pada lidah dan laring harus mendapat
pertolongan segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat dan
NSAID.
3. Fixed drug eruption (FDE)
FDE disebabkan khusus obat atau bahan kimia. FDE merupakan salah satu erupsi
kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritem dan vesikel
berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular. Kemudian meninggalkan
bercak hiperpigmentasi yang lama baru hilang, bahkan sering menetap. Dari
namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada
tempat yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir dan
daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena
berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas
setempat. Obat penyebab yana sering ialah sulfonamida, barbiturat, trimetroprim,
dan analgesik.
4. Eritroderma (Dermatitis eksfoliativa)
Eritroderma ialah terdapatnya eritema yang universal yang biasanya disertai
skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit lain di
samping alergi karena obat, misalnya psoriasis, penyakit sistemik termasuk
keganasan pada sistem limforetikuler (Penyakit Hodgkin, leukemia). Pada
eritroderma karena alergi obata telihat eritema tanpa skuama; skuama baru timbul

pada stadium penyembuhan. Obat-obat yang biasa menyebabkannya ialah


sulfonamid, penisilin, dan fenibultazon.
5. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak hilang bila
ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi

tunggal alergi obat.

Biasanya simetris serta muncul disekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau
tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan
disertai rasa gatal.
6. Vaskulitis
Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable
purpura yang mengenai kapiler. Biasanya distribusinya simetris pada ekstremitas
bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan
anoreksia. Obat penyebab ialah penisilin, sulfonamid, NSAID, antidepresan, dan
antiaritmia.
Jika vaskulitis terjadi pada pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum
(E.N). kelainan kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di
atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malaise. Tempat predileksinya di
daerah ekstensor tungkai bawah. E.N dapat pula disebabkan oleh beberapa
penyakit lain. Misalnya tuberkulosis, infeksi streptokokkus, dan leprae. Obat yang
dianggap sering menyebabkan E.N ialah sulfonamid dan kontrasepsi oral.
7. Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak alergi,
lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan dapat
meluas ke daerah yang tidak terpajan matahari. Obat yang dapat menyebabkan
fotoalergik ialah fenotiazin, sulfonamida, NSAID, dan griseofulvin.
8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut
Penyakit putulosis eksantema generalisata akut (P.E.G.A) atau acute generalized
exanthematous pustulosis (AGEP) jarang terdapat, diduga dapat disebabkan oleh
alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri, dan
dermatitis kontak.
6

Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul pada kulit
yang eritromatosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan
kulit timbul pada waktu demam tinggi (>38C) , dan pustul-pustul tersebut cepat
menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti dekuamasi selama beberapa
hari. Pada pemeriksaan histopatologik di dapati pustul intraepdermal atau
subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat polimorfonuklear
perivaskular dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit. Terdapat 2
perbedaan utama antara P.E.G.A dan psoriasis pustulosa, yaitu P.E.G.A terjadinya
akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada P.E.G.A pustul-pustul pada kulit yang
eritromatosa dan demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran
histopatologik juga berbeda.
9. Di samping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa eritema
multiforme, sindrome Stevens-Jhonson, dan nekrolisis epidermal toksisk yang
VI.

dibicarakan secara tersendiri.


Diagnosis
Dasar diagnostik erupsi obat alergik sebagai berikut :
Anamnesis
Wawancara mengenai riawayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling
penting untuk diagnosis
1. Anamnesis yang teliti mengenai :
a. Obat-obat yang didapat, jangan lupa menanyakan tentang jamu.
b. Kelainan yang timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat.
c. Rasa gatal yang dapat disertai demam yang biasanya subfebril.
2. Kelainan kulit yang ditemukan :
a. Distribusi menyebar dan simetris, atau setempat.
b. Bentuk kelainan yang timbul : eritema, urtikaria, purpura, eksantema, papul,
eritroderma, eritema nodosum.
Menurut pengalaman kami di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSCM/FKUI obat yang sering menyebabkan reaksi alergik ialah penisilin dan

derivatnya (ampisilin, amoksisilin, kloksasilin), sulfonamida, golongan analgetikantipiretik, misalnya asam salisilat, metametazol, metampirin, dan paracetamol.
VII.

Pengobatan
1. Sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
ialah tablet prednison (1 tablet = 5 mg). Pada kelainan urtikari, eritema, dermatitis
medikamentosa, purpura, eritema nodusum, eksantema fikstum, dan P.E.G.A
karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednison
sehari. Pada eritroderma dosisnya ialah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.
b. Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal.
Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan kortikosteroid
2. Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada kelainan kulit, apakah kering atau basah.
Kalau keadaan kering, seperti pada eritema dan urtikaria, dapat diberikan bedak
salisilat 2 % ditambah dengan obat antipruritus, misalnya mentol - 1% untuk
mengurangi

rasa

gatal.

Kalau

keadaan

membasah

seperti

dermatitis

medikamentosa, perlu digunakan kompres, misalnya kompres larutan asam


salisilat 1 %.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal.
Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika
kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya dengan krim hidrokortison 1 %
atau 2 %. Pada eritoderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh
VIII.

dan skuamasi, dapat diberi salap lanolin 10 % yang dioleskan sebagian-sebagian.


Pencegahan
Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat yaitu
memberikan hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan pasien
atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30 kematian
8

karena penisilin, ternyata hanya 12 pasien yang memiliki indikasi yang jelas . jika
sudah tepat indikasinya. Barulah dinyatakan secara teliti riwayat alergi obat dimasa
lalu, terutama yang ada hubungannya dengan yang akan kita berikan. Sering pasien
menyebutkan alergi terhadap bermacam macam obat yang sebenarnya kurang masuk
akal, tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada pasien
diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan. Masalah reaksi
silang antara obat juga harus diperhatikan. Seperti penisilin dan sefelosporin,
gentamisin dengan kanamicin atau streptomicin, sulfa dengan obat obat golongan
sulfonilurea
Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan
obat atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau
kalau ada fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh
diberikan namun tetap harus berhati hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang
harus diberikan, dipertimbangkan cara pemberian obat secara desentisasi. Sedangkan
bagi obat obat yang uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara
provokasi dan bila reaksinya positif kembali kita melakukan prosedur desentisasi.
Prinsip uji provokasi atau desentisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat
kecil, kemudian dinaikkan perlahan lahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun
uji provokasi tidak selalu terjadi desentisasi karena sensitasinya sendiri belum bisa
dibuktikan. Prosedur desentisasi hanya memberi pasien bebas sensitasi sementara,
karena bila satu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut harus
diulangi kembali. Perlu ditambahkan bahwa kedua prosedur tadi hanya untuk
mencegah terjadinya reaksi anafilaktik.
IX.

Prognosis

Pada dasarnya erupsi kulit karena obat menyembuh bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya
eritroderma dan kelainan-kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Stevens-Johnson,
prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. 1
B. Kegawat Daruratan di Bidang Dermatologi
a. Eritema Multiforme
a.1 Definisi
Eritema Multiforme merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadangkadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spektrum dan gambaran khas
bentuk iris.Pada kasus yang berat disertai simtom konstitusi dan lesi viseral.1
a.2 Sinonim
Herpes iris,dermatostomatitis,eritema eksudativum multiforme. 1
a.3 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui.Faktor-faktor penyebabnya selain alergi obat
sistemik, ialah peradangan oleh alergi virus tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar
matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti keadaan hamil atau haid, dan penyakit
keganasan.Pda anak-anak dan dewasa muda,erupsi biasanya disertai dengan infeksi,
sedangkan pada orang dewasa disebabkan oleh obat-obatan dan keganasan. 1
a.4 Gejala Klinis
Gejala klinis berupa spectrum yang bervariasi dan erupsi local kulit dan selaput lendir
sampai

bentuk

berat

berupa

kelainan

kematian.Didapati 2 tipe dasar : 1


1.Tipe makula-eritema
2.Tipe vesikobulosa
Tipe Makula-eritema
10

multisystem

yang

dapat

menyebabkan

Erupsi timbul mendadak, simetris dengan tempat predileksi di punggung tangan,telapak


tangan, bagian ekstensor ekstremitas, dan selaput lender. Pada keadaan berat dapat juga
mengenai badan. Lesi terjadi tidak serentak, tetapi berturut-turut daalm 2-3 minggu.
Gejala khas ialah bentuk iris(target lesion) yang terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian tengah
berupa vesikel atau eritema yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel
atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat dan
kemudian lingkaran yang merah. 1
Tipe vesikobulosa
Lesi mula-mula berupa macula, papul, dan urtika yang kemudaian timbul lesi vesikobulosa di
tengahnya. Bentuk ini dapat juga mengenai selaput lendir. 1

Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5 th ed. San Fransisco:
McGraw Hill; 2007.

a.5 Pemeriksaan Laboratorium


Pada pemeriksaan darah tepi tidak ditemukan kelainan. Pada kasus berat dapat terjadi
anemia dan protenuri ringan. 1
a.6 Pengobatan

11

Pada kasus ringan diberikan pengobatan simtomatik, meskipun sedapat-dapatnya perlu


dicari penyebabnya. Pada penyakit ini biasanya dapat diberikan pengobatan kortikosteroid
per oral, misalnya berupa prednisone 3 X 10 mg sehari. 1
a.7 Prognosis
Kedua tipe eritema multiforme sering rekuren, terutama kasus-kasus yang disebbakan
oleh virus herpes simpleks. Biasanya penyakit ini berjalan ringan dan sembuh sesudah 2-3
minggu. 1

b. Sindrom Steven-Johnson
b.1. Definisi
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkat sebagai SSJ, adalah reaksi buruk yang
sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput
mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai toksik
epidermal nekrolisis (TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema
multiforme (EM). 1,3
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de FriessingerRendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dan dermatostomatitis. 2,3
b.2. Etiologi
a) Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa dan usia
lanjut. Hampir semua kasus SSJ disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama
antibiotik (misal obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri,
termasuk yang dijual tanpa resep. Terkait HIV, alasan SSJ yang paling umum adalah
nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). 1,4

12

b) Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksi
obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karena imunitas belum berkembang
sepenuhnya.
c) NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-negara Barat. Di
Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama.
d) Empat kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik. 1,4
b.3. Patofisiologi
SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut Coomb
dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran
utama SSJ ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas
sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama
terdapat di dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1,
ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di
epidermis.2,3
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi :
a) Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan.
b) Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat.
c) Kegagalan termoregulasi.
d) Kegagalan fungsi imun.
e) Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa
didahului panas tinggi, dan nyeri yang berkelanjutan. Erupsi timbul mendadak, gejala
bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata,
genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodromal
tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4
minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada
selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus

13

yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta
hemoragik. 2,4
b.4. Gejala Klinis
SSJ biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam,
malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang
sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien
mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian
meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas,
sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila
digosok. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran napas atas.
Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yang berkembang akan bertahan
dari 2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan lokal
harus dipikirkan ke arah superinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh
kasus. 1,6
Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasien tidak dapat makan
dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapat memberi keluhan disuria. Riwayat
penyakit SSJ atau eritema multiforme dapat ditemukan. Rekurensi dapat terjadi apabila agen
yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien mengalami pajanan kembali.
Pada SSJ akan terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata. 2,6
a) Kelainan pada kulit
Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang menjadi papula,

vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen.


Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik.
Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan ekskoriasi

pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.


Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik.
Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan morbiditas.
Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal dari tangan
dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling umum.

14

Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang paling umum di
batang tubuh.

Gambar A.1. kelainan kulit


Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5 th ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2007.

b) Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), disusul pada lubang alat

genitalia (50%), jarang pada lubang hidung dan anus (masing-masing 8% dan 4%).
Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang gampang
pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman terutama pada bibir.
Krusta kehitaman ini disebut juga krusta hemoragik, timbul karena adanya serum
atau darah yang mengering akibat ekskoriasi. Juga dapat timbul pseudomembran.

Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian atas, faring dan esofagus.
Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan.
Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.
Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa lesi pada
kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai

atipikal atau inkomplit.


c) Kelainan Mata
Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis yaitu peradangan pada
konjungtivitis yang mengeluarkan sekret mukopurulen. Selain itu juga dapat berupa
simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis. Simblefaron merupakan perlengketan
antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks. 2,6

15

Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5 th ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2007.

Gambar A.2. konjungtivitis dan Selaput lendir di orifisum


b.5. Diagnosa
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Lesi target atau lesi iris
merupakan suatu lesi yang berbentuk cincin yang terdiri dari 3 zona berbentuk lingkaran,
lingkaran pertama mengandung purpura atau vesikel dibagian tengah yang dikelilingi oleh
lingkaran pucat (lingkaran kedua) dan lingkaran ketiga merupakan lingkaran eritema. 1,3

Gambar A.3. Lesi Target


Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan
perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.
Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat
dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.
Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik. 2
b.6. Diagnosis Banding
16

Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson : 4


a) Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN. SJS
dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
b) Eritem Multiformis adalah suatu kondisi kulit akut, tipe lesi paling ringan yang
menunjukkan erupsi kulit yang terlokalisasi dengan keterlibatan mukosa yang minimal
atau tidak ada sama sekali.
b.7. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium : 4,5
Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ.
Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau
leukositosis

yang

nonspesifik.

Leukositosis

yang

nyata

mengindikasikan

kemungkinan infeksi bakteri berat. Kalau terdapat eosinofilia kemungkinan karena

alergi.
Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang
serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan

mortalitas.
Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan
panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya. Prosedur pemeriksaan berupa
pembuatan apusan spesimen yang difiksasi dengan aseton atau metanol, perendaman
apusan dengan konjugat antibodi, pembilasan spesimen secara cermat untuk
menghilangkan konjugat antibdi yang tidak terikat dan pemeriksaan spesimen

dibawah mikroskop.
Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya

infeksi.
b) Pemeriksaan Radiologi:
Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara
klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan. 4,5
c) Pemeriksaan Histopatologi:
Gambaran histopatologik sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan
dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyuluruh. Kelainan berupa :
Infiltrate sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superficial.
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler.
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
17

Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.


Spongiosis dan edema intrasel epidermis.

Gambar A.4. Nekrosis Sel Epidermal


b.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan unutuk SSJ, adalah sebagai berikut : 2,3
a) Menghentikan pemakaian obat dan mengobati infeksi yang dicurigai sebagai penyebab
reaksi.
b) Pemberian deksametason 20-30 mg/hari secara IV dan dosis diturunkan setelah
beberapa hari kondisi membaik dan lesi baru tidak muncul, sebanyak 5 mg/hari
(tappering off) atau diberikan injeksi metilprednisolon 2x1 vial/hari secara IV (1 vial :
125 mg).
c) Untuk mencegah infeksi sekunder diberikan antibiotik yang jarang menimbulkan
alergi, spektrum luas dan bakterisidal. Gentamisin 2 x 80 mg/hari secara IV atau
netilmisin (ex : netromycin) 1-2 x 200 mg/hari secara IV atau meropenem 500 mg tiap
8 jam secara IV. Pemberian antibiotik dihentikan bila tanda-tanda infeksi hilang. Untuk
pemberian gentamisin dilakukan pemeriksaan urin (ureum dan kreatinin) terlebih
dahulu.
d) Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau
tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan. Untuk itu diberikan infus
Ringer Laktat/ Albumin/ Imunoglobulin. Jika terjadi penurunan Hb dilakukan transfusi
darah.
e) Untuk mencegah hipokalemia diberikan KCl tab 3 x 500 mg/ hari.
f) Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Dipenhidramin hidrokloride 3 x
10-20 mg/hari secara IV atau cetirizin 1-2 tab/hari.
g) Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in oral base (Triamsinolon acetonid) atau
kandistatin suspensi.
h) Lesi di kulit dirawat dengan kompres NaCl.
18

i) Untuk mata yang terjadi konjungtivitis diberikan gentamisin, juga untuk mencegah
perlengketan.
j) Diet tinggi protein dan rendah garam
k) Kosultasi ke spesialis yang lain, misal kulit dan kelamin, mata, gigi dan mulut, anak,
penyakit dalam dan THT. 2,3
B.9. Komplikasi
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut: 1,4
a)
b)
c)
d)
e)

Oftalmologi : ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan


Gastroenterologi : Esophageal strictures
Genitourinaria : nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
Pulmonari : bronkopneumonia
Kutaneus : timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit

sekunder
f) Infeksi sitemik : sepsis
g) Kehilangan cairan tubuh : syok.
B.10. Prognosis
Jika bertindak cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. Pada keadaan
umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan
kematian. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis. 5
c. Nekrolisis Epidermal Toksik
c.1. Definisi
Nekrolisis epidermal toksik atau Lyell's syndrome adalah kelainan kulit yang
memerlukan penanganan segera yang paling banyak disebabkan oleh obat-obatan. Meskipun
begitu, etiologi lainnya, termasuk infeksi, keganasan, dan vaksinasi, juga bisa menyebabkan
penyakit ini. 7
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan reaksi mukokutaneous khas onset
akut dan berpotensi mematikan, yang biasanya terjadi setelah dimulainya pengobatan baru.

19

Nekrolisis epidermal toksik merupakan varian yang paling berat dari penyakit bulosa
seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. Semua kelainan tersebut
memberikan gambaran lesi kulit yang menyebar luas, dan terutama pada badan dan wajah
yang melibatkan satu atau lebih membran mukosa. 7
Pada Stevens-Johnson Syndrome (SJS) epidermal detachment meliputi kurang dari
10% luas permukaan kulit tubuh ; transitional SJS-TEN ditentukan dengan epidermal
detachment antara 10 sampai 30 % ; dan TEN detachment lebih dari 30 %.8
c.2. Epidemologi
Kejadian di seluruh dunia adalah 0,5 sampai 1,4 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan frekuensi yang sama pada pria dan wanita. NET dapat
mengenai semua kelompok usia tetapi lebih umum pada orang tua, kemungkinan karena
meningkatnya jumlah obat yang dikonsumsi oleh orang tua. 9,10
c.3. Etiologi
Etiologi NET sama dengan Syndrome Steven Johnson. NET juga dapat terjadi akibat
reaksi graft versus host, infeksi (virus,jamur,bakteri,parasit), dan sepertiga kasus nekrolisis
epidermal toksika disebabkan oleh suatu reaksi terhadap suatu obat. Hubungan antara intake
obat dan onset penyakit ini merupakan faktor yang sangat penting. SJS dan TEN umumnya
dimulai kurang dari 8 minggu tapi lebih dari 4 hari sejak intake obat pertama kali. Obat yang
paling sering menyebabkan penyakit ini adalah : 10

20

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 2008.


c.4. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas. Ada yang menganggap bahwa N.E.T. merupakan bentuk
berat Sindrome Stevens-Johnson karena pada sebagian para penderita SJS penyakitnya
berkembang menjadi NET. Keduanya dapat disebabkan oleh alergi obat dengan spectrum
yang hampir sama. Anggapan lain N.E.T. berbeda dengan SJS karena pada N.E.T tidak
didapati kompleks imun yang beredar seperti pada Sindrome Stevens-Johnson dan eritema
multiformis. Gambaran histologiknya juga berlainan. 7,8
NET dipercaya merupakan immune-related cytotoxic reaction yang menghancurkan
keratinosit yang mengekspresikan sebagai antigen asing. TEN menyerupai reaksi
hipersensitivitas dengan karakteristik reaksi lambat pada pajanan pertama dan reaksinya
meningkat cepat pada pajanan ulang. Adanya bukti yang mendukung beberapa jalur
immunopatologik yang mengacu pada apoptosis keratinosit, sebagai berikut : 7,8

Aktivasi Fas-ligand pada membran keratinosit death receptormediated apoptosis


Pelepasan protein dekstruktif (perforin and granzyme B) dari sitotoksik T limfosit
akibat interaksi dengan sel yang mengekspresikan major histocompatability complex

(MHC) class I.
Produksi berlebih dari T cell dan/atau macrophage-derived cytokines (interferon-,
tumor necrosis factor- [TNF-], and various interleukins).
21

Drug-induced secretion of granulysin dari CTLs, natural killer cells, dan natural killer
T cells.

c.5. Gejala klinis


N.E.T. umumnya terdapat pada orang dewasa. Pada umumnya N.E.T. merupakan
penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan
cairan/elektrolit atau karena sepsis. Gejalanya mirip Sindrome Steven Johnson.8
Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodromal. Penderita tampak sakit berat
dengan demam tinggi, mialgia, cephalgia, dan kesadaran menurun. Kelainan kulit mulai
dengan eritema generalisata kemudian banyak timbul vesikel dan bula, dapat pula disertai
purpura. Kelainan pada kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut
berupa erosi, ekskoriasi, dan perdarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam.
Kelainan semacam itu dapat pula terjadi di orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertai
kelainan pada mata seperti pada syndrome Steven Johnson. 8,10
Pada N.E.T. yang terpenting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas
dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio.
Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolski positif pada kulit yang eritematosa, yaitu
jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada
tempat yang sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya
penderita berbaring. Pada sebagian para penderita kelaina kulit hanya berupa epidermolisis
dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis).10
Pada organ tubuh dapat terjadi perdarahan traktus gastrointestinal, trakeitis,
bronkopneumonia, udem paru, emboli paru, gangguan keseimbangan cairan & elektrolit,
syok hemodinamik & kegagalan ginjal. Pada penyakit ini terlihat adanya trias kelainan
berupa : 8

22

1. Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan
bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital,
sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan. Kelainan berupa vesikal dan bula
yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat
terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang
tebal. Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar atau tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas. 7,8
3. Kelainan mata Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan, simblefarop,
ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis. Lebih dari 80% pasien memperlihatkan adanya
kelainan yang melibatkan konjungtiva, ulserasi kornea, uveitis anterior dan synechiae. 7
c.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Hal
yang terpenting yaitu adanya riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Semua kasus yang
dicurigai NET harus dilakukan biopsi kulit dan hapusan immunofluoresensi harus
dipertimbangkan jika diduga pemphigus atau pemphigoid. Laboratorium didapatkan adanya
leukositosis, peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria, gangguan fungsi ginjal,
dan ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi TBC dan bronkopneumonia. Pemeriksaan histopatologi, lesi awal
menunjukkan apoptosis keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya
nekrosis di seluruh lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan
epidermis dan dermis. 2,7

23

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 2008.


c.7. Diagnosis Banding

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 2008.

24

Sumber : Hongkong medical diary, 2008.


c.8. Penatalaksanaan
Hanya pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 0-1 yang tidak
perlu penanganan spesial. Sedangkan yang lain harus ditanganin di unit intensive atau burn
centers. Supportive cares terdiri dari : mempertahankan kestabilan hemodinamik dan
mencegah komplikasi yang mengancam nyawa. 15

Sumber : Hongkong medical diary, 2008.

Pengobatan Simptomatik :
- Fluid replacement secepatnya : Tujuan Mengatur+mempertahankan keseimbangan
-

cairan & elektrolit.


Suhu ruangan dipertahankan 28 30 oC cegah hipotermi.
Early nutritional support pasang nasogastric tube (NGT), diet tinggi protein &

rendah garam
Debridement ekstensif dan agresif tidak dianjurkan.
Konsultasi disiplin ilmu lain : THT, mata, penyakit dlm, gigi dan mulut, dll. Mata
diperiksa oleh ophthalmologist setiap hari, beri artificial tears, tetes mata antibiotik,
dan vitamin A setiap 2 jam sekali selama fase akut dan cegah synechiae. Mulut

berkumur dengan larutan antiseptik atau antifungal beberapa kali sehari. 14


Pengobatan Spesifik :
- Kortikosteroid masih kontroversial, beberapa penelitian menyatakan penggunaan
pada fase akut dapat mencegah perluasan penyakit, dan penelitian lain menyatakan
25

steroid tidak menghentikan progresivitas penyakit dan bahkan berhubungan dengan


-

peningkatan mortalitas dan efek samping, terutama sepsis. 13


Intravenous Immunoglobulin gunakan high-dose dikarenakan adanya fas-mediated

cells death.
Cyclosporin A agent immunosupresif kuat; mekanismenya dengan mengaktivasi
Th2 sitokine, inhibisi CD8+ sitotoksik, dan anti-apoptosis dengan inhibisi Fas-L,

nuclear factor dan TNF-.


Plasmapheresis/Hemodialysis tujuannya untuk mengeluarkan medikasi penyebab,
metabolitnya, atau mediator inflamasi (sitokin), tapi tidak direkomendasikan karena

kurangnya bukti dan risiko yang berhubungan dengan kateter intravaskular.


Anti-TNF agents anti-TNF monoclonal antibodi telah berhasil dipakai untuk
mengobati beberapa pasien, tapi pada penggunaan thalidomide dihentikan karena
dilaporkan banyaknya kematian. 13

c.9. Komplikasi

Infeksi sistemik dan septisemia


Syok dan gagal multi-organ (MODs)
Komplikasi pada ginjal berupa

ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerolunefritis.


Pengelupasan membran mukus dalam mulut, tenggorokan, dan saluran pencernaan;

nekrosis

tubular

akut

akibat

terjadinya

ini menimbulkan kesulitan dalam makan dan minum sehingga mengarah pada

dehidrasi dan kekurangan gizi.


Pengelupasan konjungtiva dan gangguan-gangguan mata lainnya bisa menyebabkan

kebutaan.
Infeksi kulit oleh bakteri, scars and nail dystrophy, hiperpigmentasi atau

hipopigmentasi
Adhesi genital dyspareunia, nyeri dan perdarahan
Pneumonia atau respiratory failure. 7,8

c.10. Prognosis
Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan
alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit luas, meliputi 50-70% permukaan kulit,

26

prognosisnya buruk. Luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga bila terdapat
purpura yang luas dan leukopenia. Angka kematian NET 30-35% , jadi lebih tinggi daripada
Sindrome Steven Johnson yang hanya 5 % atau 10-15% pada bentuk transisional, karena
N.E.T. lebih berat. SCORTEN merupakan sistem skoring prognostik yang dikembangkan
untuk menghubungkan mortalitas dengan parameter yang terpilih. 11,14

Sumber : Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 2008.


d. Pemfigus vulgaris
d.1. Definisi
Pemfigus merupakan sekelompok penyakit berlepuh autoimun pada kulit dan
membran mukosa. Pemfigus vulgaris merupakan penyakit serius pada kulit yang ditandai
oleh timbulnya bula (lepuh) dengan berbagai ukuran disertai lesi berkelompok dan rekuren
pada kulit yang tampak normal dan membrane mukosa (misalnya, mulut, vagina), yang
ditandai oleh: 9

Secara histologi, lepuh intraepidermal karena hilangnya hubungan antar keratinosit

Secara imunopatologi, ditemukannya IgG autoantibodi terikat dan bersirkulasi yang


secara langsung menyerang permukaan keratinosit.10

d.2 Klasifikasi
Pemfigus terbagi menjadi 3 bentuk utama:9

27

1. Pemfigus vulgaris
2. Pemfigus foliaseus
3. Pemfigus paraneoplastik
Dari ketiga bentuk tersebut, pemfigus paraneoplastik adalah bentuk yang paling
berbahaya karena sering ditemukan pada pasien yang telah didiagnosis mengalami keganasan
(kanker). Namun, pemfigus paraneoplastik merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan.9
d.3. Epidemiologi
Penelitian retrospektif sebelumnya terhadap pasien pemfigus vulgaris, pemfigus
foliaseus atau keduanya telah menunjukkan secara jelas bahwa epidemiologi dari pemfigus
tergantung pada wilayah di dunia yang diteliti dan juga populasi etnis pada wilayah tersebut.
Prevalensi pemfigus pada pria dan wanita untuk kedua tipe ini hampir sama di semua
wilayah. Pengecualian khusus yaitu seringnya wanita menjadi fokus penyebaran pemfigus
vulgaris di Tunisia dan seringnya pria menjadi fokus penyebaran pemfigus vulgaris di
Kolombia. Usia rata-rata timbulnya penyakit ini berkisar antara 40-60 tahun. Namun, batas
usia ini dapat melebar dimana pernah ditemukan beberapa kasus pada anak maupun pada usia
lanjut. Walaupun semua etnik dapat terkena, namun pemfigus lebih sering dijumpai pada
orang Timur Tengah atau keturunan Yahudi. Di sebagian besar negara, pemfigus vulgaris
lebih sering ditemukan dari pada pemfigus foliaseus, kecuali di Finlandia, Tunisia, dan
Brazil. 9
d.4. Faktor Resiko dan Penyebab
Para peneliti belum mengetahui secara pasti penyebab terjadinya pemfigus, namun
diduga kuat bahwa penyakit ini merupakan penyakit autoimun. Pada keadaan normal, sistem
imun tubuh menyerang virus, bakteri, dan substansi berbahaya lainnya. Namun pada pasien
pemfigus, sistem imun menyerang protein normal yang disebut desmoglein pada kulit dan

28

membran mukosa. Protein ini mengikat sel bersama-sama, dan ketika protein ini rusak,
epidermis akan terpisah sehingga terbentuk lepuh. 10
Pasien dengan kanker sering mengalami pemfigus, terutama pada non-Hodgkin
limfoma dan leukemia limfositik kronik. Adanya kelainan autoimun lainnya juga
meningkatkan risiko terjadinya pemfigus, antara lain: 9
-

Miastenia gravis. Penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya kelemahan otot.

Timoma

Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, pemfigus dapat timbul akibat mengkonsumsi
obat-obatan seperti ACE inhibitor. 9

d.5. Patogenesis
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat khas, antara lain: 11

Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis)

Adanya antibodi IgG terhadap antigen determinan yang ada pada permukaan
keratinosit yang sedang berdiferensiasi.
Pada pemfigus vulgaris lepuh terjadi akibat adanya reaksi autoimun terhadap antigen

pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan glikoprotein transmembran dengan berat molekul
130 kD untuk pemfigus vulgaris dan 160 kD untuk pemfigus foliaseus yang terdapat di
permukaan keratinosit. 11
Antigen target pada pemfigus vulgaris yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein
3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Pada pemfigus
foliaseus antigen targetnya adalah desmoglein 1.
Desmoglein merupakan salah satu komponen desmosom. Desmosom berfungsi untuk
meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa.
Penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi subklas IgG1 dan IgG4,
tetapi yang patogenetik adalah IgG4.
29

Pada pemfigus juga terdapat faktor genetik, umumnya berkaitan dengan HLA-DR4.
d.6. Gejala Klinis
Pemfigus ditandai oleh adanya lepuh-lepuh pada kulit dan membran mukosa.
Gambaran klinis dari ketiga bentuk pemfigus bervariasi tergantung dari tipenya masingmasing. 9
Pemfigus vulgaris ditandai oleh adanya bula berdinding tipis, kendur dan mudah
pecah yang timbul baik pada kulit atau membran mukosa normal maupun di atas dasar
eritematous. Cairan bula pada awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik
bahkan seropurulen. Bula-bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan ruptur sehingga
terbentuk erosi. Erosi ini sering berukuran besar dan dapat menjadi generalisata. Kemudian
erosi akan tertutup krusta yang hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki kecenderungan
untuk sembuh. Tetapi bila lesi ini sembuh sering berupa hiperpigmentasi tanpa pembentukan
jaringan parut.9
Pemfigus vulgaris biasanya timbul pertama kali di mulut kemudian di sela paha, kulit
kepala, wajah, leher, aksila, dan genital. Pada awalnya hanya dijumpai sedikit bula, tetapi
kemudian akan meluas dalam beberapa minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau
beberapa lokasi selama beberapa bulan.9
Tanda Nikolsky positif, karena hilangnya kohesi antar sel di epidermis sehingga
lapisan atas dapat dengan mudah digeser ke lateral dengan tekanan ringan.9
Lesi di mulut muncul pertama kali dalam 60% kasus. Bula akan dengan mudah pecah
dan mengakibatkan erosi mukosa yang terasa nyeri. Lesi ini akan meluas ke bibir dan
membentuk krusta. Keterlibatan tenggorokan akan mengakibatkan timbulnya suara serak dan
kesulitan menelan. Esofagus dapat terlibat, dan telah dilaporkan suatu esophagitis dissecans
superficialis sebagai akibatnya. Konjungtiva, mukosa nasal, vagina, penis, dan anus dapat
juga terlibat.9

30

Gambar C.3. Pemfigus vulgaris. A. Bula flaksid B. Lesi oral

Gambar C.4. Pemfigus vulgaris. Erosi luas akibat lepuh pada kulit
Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5 th ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2007.

d.7. Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis suatu pemfigus diperlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang lengkap. Lepuh dapat dijumpai pada berbagai penyakit sehingga dapat
mempersulit dalam penegakkan diagnosis. 1,10
Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :

31

1. Nikolsky Sign : penekanan atau penggosokan pada lesi menyebabkan terbentuknya


lesi, epidermis terlepas, dan tampak seperti kertas basah. Bullae spread phenomenon :
bula ditekan isinya tampak menjauhi tekanan.
2. Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa tampak sel
akantolitik atau sel tzanck.
3. Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik : Leukositosis, Eosinofilia, Serum
protein rendah, Gangguan elektrolit, Anemia dan Peningkatan laju endap darah.
4. Biopsi kulit dan patologi anatomi. Pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari
kulit yang berlepuh dan diperiksa di bawah mikroskop. Gambaran histopatologi
utama adalah adanya akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu dengan yang lain.
Pada pemfigus vulgaris dapat dijumpai adanya akantolisis suprabasiler, sedangkan
pada pemfigus foliaseus akantolisis terjadi di bawah stratum korneum dan pada
stratum granulosum.9

Gambar C.5. Gambaran hitopatologi pemfigus. A. Pemfigus vulgaris. B. Pemfigus


foliaseus. C.Pemfigus paraneoplastik
5. Imunofluoresensi. Pemeriksaan ini terdiri dari: Imunofluoresensi langsung. Sampel
yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan fluoresens. Pemeriksaan ini
32

dinamakan direct immunofluorescence (DIF). Pemeriksaan DIF memerlukan


mikroskop khusus untuk dapat melihat antibodi pada sampel yang telah diwarnai
dengan cairan fluoresens. Imunofluoresensi tidak langsung. Antibodi terhadap
keratinosit dideteksi melalui serum pasien.9,10

d.8. Diagnosis Banding


Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa.
Dermatitis herpetiformis dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya baik,
keluhannya sangat gatal, ruam polimorf, dinding vesikel/bula tegang dan berkelompok, dan
mempunyai tempat predileksi. Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang dewasa,
keadaan umumnya buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur, dan biasanya generalisata.9
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pemphigus vulgaris karena keadaan umumnya baik,
dinding bula tegang, letaknya disubepidermal, dan terdapat lgG linear. 11
d.9. Komplikasi
1. Infeksi sekunder , baik sistemik atau lokal pada kulit, dapat terjadi karena penggunaan
imunosupresan dan adanya erosi. Penyembuhan luka pada infeksi kutaneous tertunda
dan meningkatkan risiko timbulnya jaringan parut.
2. Terapi imunosupresan jangka panjang dapat mengakibatkan infeksi dan malignansi
yang sekunder (misalnya, Sarkoma Kaposi), karena sistem imunitas yang terganggu.
3. Retardasi pada pertumbuhan telah dilaporkan pada anak yang memakai kortikosteroid
sistemik dan imunosupresan.
4. Penekanan pada sumsum tulang telah dilaporkan pada pasien yang menerima
imunosupresan. Peningkatan insiden leukemia dan limfoma dilaporkan pada pasien
yang menerima imunosupresi yang berkepanjangan.
5. Gangguan respon kekebalan yang disebabkan oleh kortikosteroid dan obat
imunosupresif lainnya dapat menyebabkan penyebaran infeksi yang cepat.

33

Kortikosteroid menekan tanda-tanda klinis infeksi dan memungkinkan penyakit


seperti septikemia atau TB untuk mencapai stadium lanjut sebelum diagnosis.
6. Osteoporosis dapat terjadi setelah penggunaan kortikosteroid sistemik.
7. Insufisiensi adrenal
telah dilaporkan setelah penggunaan jangka panjang
glukokortikoid. 10
d.10. Penatalaksanaan
10.1. Non Medikamentosa
a. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit yang di
alaminya.
b. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bagaimana cara merawat luka.
c. Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang pengobatan yang harus
dijalaninya beserta komplikasi dari pemakaian obat tersebut.
d. Memberikan nutrisi yang baik dengan diet tinggi protein.
10.2. Medikamentosa
a. Perbaiki keadaan umum, terapi cairan intravena sampai keadaan umum pasien
membaik.
b. Oral Kortikosteroid: merupakan obat pilihan untuk pemfigus vulgaris, panduan
pemberian kortikosteroid menurut Lever And White menganjurkan dosis
permulaan 180 360 mg prednison/hari sampai remisi lengkap atau sampai tidak
timbul lesi baru (biasanya 6 - 10 minggu), sebagai contoh bila dosis awal
prednison 180 mg/hari diberikan selama 6 minggu dan terjadi remisi lengkap,
maka dosis dapat diturunkan menjadi 90 mg/hari selama 1 minggu dan 45 mg/hari
selama 1 minggu, 30 mg/hari selama 2 minggu, 20 mg/hari selama 3 minggu, 15
mg/hari selama 4 minggu dan selanjutnya dosis bertahan kurang dari 15
mg/harinya.
Imunosupresan: Untuk mengurangi dosis kortikosteroid dapat dikombinasikan
dengan Azathioprine (Imuran) 2,5 mg/kgBB/hari atau Siklofosfamida 1 3
mg/kgBB/ hari dan terbukti lebih efektif.

34

Antibiotik spectrum luas selama 7 - 10 hari untuk mencegah agar tidak terjadinya
infeksi sekunder.
c. Topikal
Penanganan lesi luas diperlukan pengobatan dan perawatan yang tepat
-

Lesi Basah : kompres garam faali (NaCl 0.9%)

Lesi yang baru pecah dapat di oleskan Antibiotik salap (Fusidic Acid)

Lesi Kering: Talcum Acidum Salicylicum 2%.

d.11. Prognosis
Derajat keparahan perjalanan penyakit pemfigus vulgaris bervariasi, tetapi mayoritas
pasien meninggal sebelum penghentian terapi steroid. Terapi kortikosteroid sendiri telah
dapat mengurangi angka mortalitas sebesar 5-15%. Pemfigus vulgaris yang yang tidak
mendapatkan terapi adekuat akan berakibat fatal karena penderita rentan terhadap infeksi
serta gangguan yang muncul akibat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar
kasus kematian terjadi pada tahun-tahun awal munculnya gejala, dan jika pasien dapat
bertahan lebih dari 5 tahun, prognosisnya akan lebih baik.

e. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome


e.1. Definisi
Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) adalah merupakan kelainan kulit
ditandai dengan eksantem generalisata, lepuh luas disertai erosi dan deskuamasi superfisial.
Staphylococcal scalded skin syndrome umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak usia
di bawah lima tahun tetapi jarang ditemukan pada dewasa. Diantara kasus yang pernah
dilaporkan, lelaki cenderung lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 2:1, dimana 50%
kasus terjadi sebelum usia 50.13,15
e.2. Etiologi

35

Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu
toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan dari strain toksigenik bakteri
staphylococcus aureus (faga grup 2).18
Desmosom merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab sebagai perekat
kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada molekul di antara desmosom dikenali
sebagai desmoglein dan kemudiannya memisah sehingga kulit menjadi tidak utuh.16,17
Toksin eksfoliatif memiliki target kerja pada desmoglein 1 merupakan desmosom
glikoprotein transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel pada epidermis.18,19
e.3. Patofisiologi
Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat menimbulkan celah
pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, yang tampak pada bagian atas epidermis
yaitu antara stratum spinosum dan granulosum sehingga menimbulkan bula berdinding tipis
yang mudah pecah, memperlihatkan Nikolsky sign positif. Pada SSSS toksin berdifusi dari
fokus infeksi, dan tidak adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan penyebaran
toksin secara hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus yang terbanyak adalah faga
grup II (subtype 3A, 3B, 3C, 55 dan 71), selain itu juga terdapat strain faga grup I dan III.
Adanya keterlibatan desmoglein 1 pada SSSS menyerupai penyakit autoimun pemfigus
foliaseus.13
Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang terletak
pada stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus memungkinkan
proliferasi dan penyebarannya di bawah barier tersebut. Sekali kulit dapat mengenali toksin
eksfoliatif tersebut, S. aureus dapat menyebar sehingga menimbulkan celah di bawah stratum
korneum.19
Toksin staphylococcus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan ETB) yang
menyebabkan lepuhnya kulit pada SSSS. ETA terdiri atas 242 dengan berat molekul 26.950

36

kDa, bersifat stabil terhadap panas dan gennya terletak pada kromosom sementara ETB
terdiri atas 246 asam amino dengan berat molekul 27.274 kDa, bersifat labil terhadap
pemanasan dan gennya berlokasi pada plasmid. Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan
bakteri dan diekskresikan dari kolonisasi staphylococcus sebelum diabsorpsi melalui sirkulasi
sistemik. Toksin mencapai stratum granulosum epidermis melalui difusi pada kapiler dermal.
Studi histologis menunjukkan bahwa ikatan ETs pada keratinosit kultur isolasi kulit
menyebabkan terbentuknya vesikel yang mengisi ruang antarsel, diikuti cairan interseluler
yang mengisi ruang antara stratum granulosum dan spinosum. Pemeriksaan laboratorium
mendukung bahwa ETB lebih pirogenik dibandingkan ETA, sementara studi klinis
menunjukkan meskipun ETA dan ETB dapat menyebabkan SSSS lokal, tetapi ETB lebih
sering diisolasi dari anak yang menderita SSSS generalisata dan juga dapat menyebabkan
eksfoliasi generalisata pada orang dewasa yang sehat.13,14
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS. Desmosom adalah
intercelluler adhesive junction yang secara struktural berhubungan dengan filamen
intermediet intraseluler. Desmosom ini diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya
yang banyak terdapat pada jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa
gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih. Desmoglein (Dsg) merupakan komponen
transmembran mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel
tetapi juga pada morfogenesis sel epitel. Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2,
dan Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan
miokard, sedangkan Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat.17,19
ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara menghambat
desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi pemisahan intradesmosomal.
Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin tersebut terikat secara langsung pada cadherin
desmosomal, yaitu desmosglein1 (Dsg1). Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan

37

oleh toksin eksfoliatif (ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin
tersebut. ETs juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang
pada gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik.19
Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus proksimal
dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus proksimal. Kecepatan filtrasi
glomerulus (GFR) bayi kurang dari 50% GFR orang dewasa normal, dan hal ini terbanyak
ditemukan pada dua tahun pertama kehidupan. Hal ini menjelaskan mengapa bayi-bayi,
pasien dengan gagal ginjal kronik, dan pasien yang menjalani hemodialisa merupakan faktor
predisposisi terjadinya SSSS.15
e.4. Gejala klinis
Infeksi S. aureus berawal dari lokasi-lokasi tertentu seperti kulit, tenggorokan,
hidung, mulut, atau saluran pencernaan. SSSS timbul berupa bercak kemerahan yang diikuti
pengelupasan epidermis menyeluruh.17
Staphylococcal scalded skin syndrome biasanya dimulai dengan demam, malaise,
gelisah, dan nyeri. Selanjutnya diikuti kemerahan meluas pada kulit yang biasa terjadi pada
daerah lipatan, seperti leher, axilla, selangkangan dan muka. Dalam waktu 24-48 jam
terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan, benjolan-benjolan ini mudah pecah, dan
meninggalkan kesan yang tampak seperti terbakar. Dua sampai tiga hari lapisan atas kulit
akan mengeriput dan terjadi pengelupasan lembaran kulit, meninggalkan luka terbuka yang
lembab, merah dan nyeri. Luka terbuka selanjutnya akan mengering dan terjadi deskuamasi,
kondisi ini biasanya dapat sembuh dalam 7-14 hari.16,18

Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5 th ed. San Fransisco:
McGraw Hill; 2007.

38

Gambar D.2. (A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan, muka dan badan bayi
penderita SSSS, (B) bula berdinding tipis yang pecah dan meninggalkan kesan terbakar.

Gambar D.3. Luka yang telah mengering dan mulai terjadi deskuamasi
e.5. Diagnosis dan Diagnosa banding
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi
ET, dan hasil biopsi.15
Pada umumnya penyakit ini diawali dengan demam, karena infeksi saluran nafas atas,
kelainan kulit yang timbul diawali oleh eritema yang timbul mendadak pada lipat paha,
muka, leher, dan ketiak yang kemudian meluas ke seluruh tubuh tapi tidak melibatkan
membran mukosa dengan Nikolskys sign positif dan nyeri tekan.18,19 Dalam waktu 24-48 jam
akan timbul bula-bula besar berdinding kendur, yang selanjutnya akan terjadi pengeriputan
spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah erosif yang
mirip dengan kombustio dalam beberapa hari akan mengering dan terjadi deskuamasi.
Penyembuhan akan terjadi pada 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.14

39

Gambar D.4. Nikolskys sign positif pada penderita SSSS


Pemeriksaan kultur bula yang intak pada SSSS biasanya steril (tidak ditemukan
staphylococcus), hal ini sesuai dengan patogenesis penyebaran toksin secara hematogen
berasal dari fokus infeksi yang jauh. Sedangkan pada impetigo bulosa pemeriksaan kultur dan
pewarnaan gram menunjukkan adanya staphylococcus.17
Pada gambaran histopatologi didapatkan pemisahan pada epidermis antara stratum
granulosum dan stratum spinosum. Akantolisis pada stratum granulosum dan pembentukan
belahan subkorneal ditemukan pada lesi awal, pada tahap deskuamasi tampak epidermis yang
utuh dengan celah pada stratum korneum (Gambar.5). Beberapa limfosit mengelilingi
pembuluh darah superficial. Dua ET (ETA dan ETB) dapat dilihat pada imunofluoresensi,
dimana ET berikatan dengan granula-granula keratohialin.13,19

Gambar D.5. Histopatologi SSSS, dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis superfisial.
Staphylococcal scalded skin syndrome dan impetigo bulosa merupakan penyakit kulit
melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada impetigo bulosa, ET hanya terdapat pada area
infeksi sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari isi lepuh. Pada SSSS, ET tersebar secara
40

hematogen dan akan berpotensi menyebabkan kerusakan epidermal pada bagian tempat
terjauh.14,15
Staphylococcal scalded skin syndrome dibedakan dari toxic epidermal necrolysis
(TEN) berdasarkan bagian yang mengalami kerusakan, dimana SSSS terjadi pada
intraepidermal sedangkan TEN menyebabkan nekrosis pada seluruh lapisan epidermal (pada
batas membran dasar). Staphylococcal scalded skin syndrome memiliki tingkat keparahan
yang lebih rendah dan tidak melibatkan erosi membrane mukosa jika dibandingkan dengan
TEN. Pada SSSS, hasil pemeriksaan preparat Tzanck dari area lepuh yang dipecahkan akan
didapatkan sejumlah sel epitel dengan inti sel besar dan sel-sel akantolitik tetapi tidak
ditemukan sel-sel inflamasi sedangkan TEN hanya memiliki sel epitel yang sedikit dan tidak
memiliki sel akantolitik tetapi banyak terdapat sel-sel inflamasi.14,15
e.6. Penatalaksanaan
Terapi untuk SSSS harus ditujukan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus.
Pengobatan biasanya memerlukan perawatan inap dan pemberian antibiotik antistaphylococcal intravena. Untuk kasus yang tidak berat, antibiotik oral dapat diberikan
sebagai pengganti setelah beberapa hari. Kerusakan fungsi perlindungan kulit yang luas pada
lesi SSSS, menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit. Pemantauan cairan ditunjang
penggunaan antibiotik yang tepat serta perawatan kulit, sangat berguna untuk mempercepat
penyembuhan. Penggunaan baju yang meminimalkan gesekan juga dapat membantu
mengurangi terjadinya pengelupasan kulit akibat gesekan. Kompres daerah lesi untuk
membersihkan dari jaringan-jaringan epidermis yang telah nekrosis. Salep antibiotik
muporicin diberikan beberapa kali dalam sehari pada area lesi termasuk pada sumber infeksi
sebagai tambahan terapi antibiotik sistemik. 14
e.7. Prognosis dan Komplikasi

41

Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien SSSS adalah gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi lain yang sering terjadi berupa dehidrasi,
infeksi sekunder, dan sepsis. Kasus SSSS pada anak jarang menyebabkan sepsis sehingga
angka kematiannya lebih rendah (1-5%). Angka kematian pada dewasa lebih besar (mencapai
50-60%) karena diikuti beberapa faktor penyebab kematian lainnya dan peningkatan kejadian
sepsis.15,16

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. Keenam. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI.
2. Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta. EGC. Hal 141-142.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
4. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical
dermatology. 5th ed. San Fransisco: McGraw Hill; 2007.
5. Ramon PF, Maldonado R. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome, and Toxic
Epidermal Necrolysis. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen F, Goldsmith LA,

42

Katz S (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine 6th edition. New York:
McGraw- Hill Professional Pub; 2003.
6. Steven J Parrillo SJ. Stevens-Johnson Syndrome in Emergency Medicine. Aviable on
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview
7. Barakbah, Jusuf, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi ketiga. Surabaya: Airlangga University Press
8. Valeyrie and Roujeau, 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis). Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, USA : 7th
edition, chapter 39, page 349-355.
9. Sanchez and Raimer, 2001. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). Vademecum
Dermatopathology. Georgetown, USA : page 68-69.
10. Amagai M. Pemfigus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds). Dermatology. Spain:
Elsevier. 2008; 5: 417-29.
11. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology. 3 rd ed. Victoria: Blackwell Publishing.
2002; 9: 108-9.
12. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ (eds). Fitzpatrick's dermatology in general medicine (two vol. set). 7 th ed. New
York: McGraw-Hill; 2008: 459-74.
13. Berger TG, Odom RB, James WD. Andrews disease of the skin. 9 th ed. Philadelphia: WB
Saunders Co. 2000; 21: 574-84.
14. Donohue D, Robinson B, Goldberg NS. Staphylococcal scalded skin syndrome in a
woman with chronic renal failure exposed to human immunodeficiency virus. Cutis
1991;47:317-8.
15. Ladhani S, Robbie S, Garratt RC, Chapple DS, Joannou CL, Evans RW. Development
and Evaluation of Detection System for Staphylococcal Exfoliative Toxin a Responsible
for Scalded Skin Syndrome. J Clin Microbiol. 2001; 39: 2050-54
16. Luk N.M. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong Kong
Dermatology & Venereology Bulletin. 2002; 10 (1): 25.

43

17. Clark RA dan Hopkins T , The other eczemas, In: Moschella S, Hurley H (editor).
Dermatology: 3rd ed. Edinburgh: Mosby: 2003. p. 489-93
18. Travers JB, Mousdicas N. Gram-positive Infections Associated with Toxin Production. In:
Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine, 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1710-19.
19. Morgan MB, Smoller BR, Somach SC, eds. Staphylococcal Toxin-Mediated Scalded Skin
and Toxic Shock Syndromes. In: Deadly Dermatologic Diseases Clinicopathologic Atlas
and Text. Cleveland: Springer; 2007. p. 133-6.
20. Amagai M, Matsuyoshi N, Stanley JR. Toxin in Bullous Impetigo and Staphylococcal
Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein-1. Nat Med. 2000; 6: 1275-7.

44

Anda mungkin juga menyukai