Anda di halaman 1dari 10

Prof Dr Taufik Abdullah: Slogan Persatuan dan Kesatuan, Politik Pembodohan

Hari itu, 11 November 2008, ia menjadi pemakalah pertama dalam seminar


internasional Anti-belasting di Hotel View Parai, Agam. Dengan runut ia
menjelaskan sebab musabab terjadinya perang melawan pajak di era kebangsaan
Indonesia itu.
Di tengah perbincangan, panitia membagikan makalah yang ditulisnya. Sontak ia
bilang, Jangan dibagikan. Kalau dibagikan makalah itu yang jadi bintang, bukan
saya. Saya mau jadi bintang, katanya bergurau. Guyon khas Minangkabau.
Sejarawan Kharimastik itu tidak menepuk dada. Tidak perlu. Nama Taufik Abdullah
di kancah pemikiran Indonesia sudah mempunyai koloni tersendiri. Wartawan
Padang Ekspres (Group Padang-Today), S Metron M, di sela jeda dan usai seminar,
mewawancarai. Suasana berupa obrolan itu, terangkum untuk pembaca pada edisi
ini.
Pilihan Tiba-tiba
Pilihannya menekuni sejarah adalah pilihan tiba-tiba. Di atas bus yang
mengantarkannya ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah, ia kebagian jatah ilmu
sejarah dari teman-temannya. Memang, karena sedikitnya orang yang tamat SMA
membuat Anak Bukittinggi ini tidak bisa mengelak. Serunya, kami membagi-bagi
pilihan sekolah itu seperti membuat negara, kenangnya.

Pilihan tiba-tiba bukanlah pilihan sia-sia. Meski sekolah ke pusat (waktu itu
Yogyakarta) merupakan tawaran yang tak bisa dibantah dari ayahnya, Abdullah Nur.
Meski berprofesi pedagang, Abdullah membiasakan keluarganya membaca. Tak
heran Taufik dengan enam saudaranya yang lain akrab dengan dunia bacaan.
Namun, kadang-kadang pilihan juga sulit. Terutama dengan ilmu sejarah yang baru
saja dikenalnya. Ditambah pula dengan kurikulum yang belum fokus waktu itu. Tak
ayal, ilmu psikologi, sosiologi, tata bahasa, sejarah, hingga filsafat harus
dikuasainya. Belakangan, ia mensyukuri kekacauan sistem pengajaran karena
memperkaya wawasan. Di sana ia menjadi asisten pengajar sejarah Eropa yang
kemudian menghasilkan skripsi berbahasa Inggris. Satu-satunya skripsi berbahasa
Inggris dalam jurusan sejarah hingga kini. Ia lulus tahun 1962.
Bukan karena bahasa Inggris saya bagus, tapi pembimbingnya orang Inggris dan
India, tutur suami Rasida ini. Sejak kecil ia memang pintar. Sejak SD ia rajin dan
tekun belajar. "Bukan yang terpandai, " kata Taufik Abdullah sebagaimana dirilis
PDAT. "Tapi pokoknya termasuk dalam kelompok papan atas. " Posisi "papan atas "
tetap didudukinya sampai ia merampungkan studinya pada jurusan sejarah Fakultas
Sastra & Kebudayaan Universitas Gajah Mada.
Suatu kali, ia mendapat pinjaman majalah luar negeri, yang penuh gambar. Kagum
pada keindahan kota-kota besar seperti New York, Berlin, dan London, anak sulung
itu berpikir, Siapa tahu nanti bisa terkenal, dan pergi ke luar negeri.
Angan-angan itu terwujud. Dua kali ia kunjungi Universitas Cornell, Ithaca, AS.
Pertama, 1967, untuk meraih gelar M.A., dan kemudian, 1980, saat menggondol
gelar doktor (PhD). Pulang ke tanah air, Taufik memantapkan dirinya sebagai

peneliti. Bekas Direktur Leknas-LIPI ini rajin menghadiri berbagai seminar dan
pertemuan sejarawan di luar negeri. Ia pernah menjadi wakil presiden Southeast
Asian Social Science Association, dan ketua komite eksekutif Program Studi Asia
Tenggara. Kini, Taufik tenaga peneliti di LIPI.
Disertasinya berjudul School and Politics: The Kaum Muda Movement in West
Sumatera (1927-1933) diterbitkan Cornell Press. Buku itu menjadi bacaan khusus di
beberapa kampus di AS. Hasil pendalamannya, ia menulis modernisasi di
Minangkabau dan masuk buku bunga rampai Culture Politics in Indonesia karya
Claire Holt. Taufik merasa kecipratan beken karena karyanya bersanding dengan
karya sejarawan Sartono Kartodirjo, Daniel S Lev, dan Benedict Anderson.
Kekacauan Berpikir dan Kompromi
Selama seminar beberapa kali ia menepuk meja. Kadang-kadang diiringi oleh
kalimat, Itu kekacauan berpikir namanya! Bapak tiga anak ini tidak marah. Semangat
berpikir yang membuatnya tak tahan untuk terus menuangkannya. Terbukti, sebagian
besar pemakalah selalu mencantumkan namanya dalam referensi. Dr Gusti Asnan
misalnya, ia menyebut Pak Taufik sebagai Orang Minang pertama yang serius
menulis tentang Perang Kamang. Sebuah perang yang hanya menjadi catatan kaki
sejarah. Padahal, Perang Kamang menjadi perang awal dalam era kebangsaan
Indonesia.
Hidupnya memang didedikasikan untuk sejarah. Bahkan orang mengidentikkannya
dengan sejarah. Walau tidak ada penelitian khusus, orang-orang sudah terlanjur
memandangnya dari sudut itu.

Mengenai hal itu, Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) tersebut mengaku tidak
tahu. Pencapaiannya saat ini berawal dari sikap yang disebutnya rentetan atas
keharusan logis sebuah pilihan .
Namun, Taufik belajar untuk tidak taklid dengan satu ilmu saja. Berbagai
pengetahuan lain dipelajarinya agar tidak mandek. Ia mencontohkan sastra.
Ia menganggap sastra sangat dekat dengan sejarah. Ia berpendapat bahwa, "Perang
terlalu besar untuk diberikan pada jenderal saja, dan sastra terlalu penting dibiarkan
untuk sastrawan saja! " Mengingatkan bahwa sejarawan terkemuka pastilah seorang
literer, baginya sendiri novel memperkaya pengertian tentang dinamika dan sejarah.
Taufik menganggap sejarawan Indonesia masih terbelenggu pada asumsi-asumsi
teoretis maupun primordial. Posisi sejarawan hendaknya netral, dan menjaga jarak
dari sasaran penelitian, sehingga dapat memberi makna obyektif terhadap realitas.
Menurutnya seorang peneliti dituntut untuk berpegang teguh pada etika ilmiah.
Karena itu, diperlukan kejujuran, sehingga tercapai integritas intelektual. Sikap wajar
diperlukan, di samping rasional dan jernih dalam berpikir -- sikap yang bukannya
tidak mengundang risiko. Namun, untuk beberapa hal, Taufik tidak keberatan untuk
melakukan kompromi. Dalam seminar di Agam itu, ia sebenarnya enggan untuk ikut.
Tak ada tantangan baginya sebagai seorang ilmuwan lagi.
Akan tetapi, di sisi lain, tugas peneliti yang mesti memberikan pencerahan kepada
orang lain membuatnya mengambil keputusan bulat untuk bersedia menjadi
pembicara. Kesempatan ini juga digunakannya untuk memberikan wawasan lain
pada peserta. Guru sejarah sekarang malas membaca, katanya pedas, tidak seperti
guru sejarah saya dulu. Enerjik, pintar dan lentur dalam mengutarakan pikiran.

Ia memang sangat kagum dengan guru sejarahnya sewaktu SMP. Bahkan sampai
sekarang ia masih ingat kata demi kata apa yang diucapkan guru sejarahnya itu.
Orang dulu memang cerdas-cerdas, komentarnya ketika selesai shalat di beranda
kamar.
Contoh kompromi lain ditunjukkannya ketika penunjukkan pahlawan. Cuma di
Indonesia, pahlawan di-SK-kan. di luar negeri tidak, katanya ketika menuju ruang
seminar untuk sesi kedua.
Ia mengatakan pahlawan lahir karena dicintai masyarakatnya. Ia dulu juga tidak
setuju dengan SK Kepahlawanan itu. Tapi, katanya, negara kita masih butuh perekat.
Masih butuh kesatuan. Masyarakat masih membutuhkan simbol dan ikon untuk
persatuan. Inilah yang dipertahankannya ketika diminta pendapat mengenai
kepahlawanan yang memakai surat keputusan itu.
Makanya, Taufik menolak pendapat ahli sejarah modern Indonesia dari Prancis, Dr
Jacques Leclerc, bahwa sejarawan Indonesia sering melakukan pembunuhan dua kali
terhadap tokoh sejarah bangsanya -- dengan mengucilkannya, karena tidak disenangi
oleh kelompok tertentu, dan kemudian bersikap diam terhadap keadaan itu. Kata
Taufik, sejarawan memiliki perhatian berbeda terhadap suatu bidang kajian -- yang
menyukai dinamika sosial misalnya, tidak bisa dipaksa memperhatikan tokoh-tokoh
sejarah.
Politik Pembodohan
Ia sempat dicekal. Jabatan fungsionalnya sebagai peneliti dicabut dan karier ahli
penelitinya dibekukan pemerintah. Itu terjadi pascaprotes atas pemenjaraan tokoh,

pendudukan kampus, dan pemberangusan kantor media massa di akhir 80-an. Di


masa sulit itu ia tercatat mengajar dan meneliti di Departemen Ilmu Politik
Universitas Chicago, Universitas Wisconsin dan Netherlands Institute for Advanced
Studies in the Humanities and Social Science (NIAS) Wassenaar.
Lalu menduduki posisi penting di institusi lintas bangsa, seperti Ketua Komite
Eksekutif Program Kajian Asia Tenggara (ISEAS) Singapura, Wakil Presiden
Asosiasi Ilmu Sosial Asia Tenggara Kuala Lumpur, Wakil Presiden Asosiasi
Sosiologi Internasional Dewan Riset Sosiologi Agama. Dan, masih banyak lagi.
Pertengahan tahun 1980-an sanksinya dicabut dan direhabilitasi setelah sempat
menyakiti hatinya. Sudahlah, kenang dia. Sikap besar hati bisa ditelusuri dari mana
inspirasinya. Itu terjadi ketika dua orang guru mewancarainya mengenai PDRI.
Seperti yang dicatat sejarah, Statement (bukan Perjanjian) roem-Royen ditandatangai
Sukarno tanpa mengikuti pimpinan PDRI, Sjafruddin Prawiranegara. Ketika
mengetahui hasilnya, Sjafruddin berkomentar pendek, Mestinya lebih baik dari itu.
Keadaan menjadi genting karena disinyalir Sjafruddin tidak mau menyerahkan
pemerintahan darurat yang justru dialihkan Sukarno saat Belanda masuk ke
Yogyakarta. Persoalannya, Sjafruddin merasa dilangkahi.
Namun, ketika diundang untuk menghadiri penyerahan kekuasaan, Sjafruddin datang
dengan kepala tegak. Mandat itu diserahkannya dengan ucapan, PDRI tidak punya
sikap terhadap statement ( Roem-Royen). Tapi demi kesatuan republik ini, saya
menyerahkan kembali mandat ini, katanya.

Tidak ada orang seperti itu lagi dalam pikiran Taufik. Yang ada hanya elite politik,
tidak masyarakat politik. Negara rusak karena para elite politik itu terus menerus
saling cakar.
Taufik beranggapan, munculnya situasi itu merupakan pematangan kondisi kaum
intelektual sejak orde baru berjalan.
Dipandang dari segi peranan kaum intelektual, masa Orde Baru, di mata Taufik,
terbagi dalam tiga periode. Masa 1966-1974 merupakan periode kreatif-produktif
bagi kaum intelektual. Dalam periode itu berbagai masalah strategi pembangunan
dibicarakan. Masa 1974-1978 merupakan periode transisi. Di sini, dilihatnya, ada
kecenderungan kaum teknokrasi makin dihargai. Yang dihargai, menurut dia, bukan
gagasan mereka, tetapi pelaksanaannya. Periode 1978 hingga sekarang, peranan
intelektual semakin diambil oleh penguasa. "Akibatnya, kesegaran berpikir
berkurang, dan eksesnya merangsang untuk bertindak radikal, " kata Taufik.
Ia melihat adanya politik kebodohan dalam membangun negara ini. Menurutnya,
spiral kebodohan terus membesar ketika tindakan kebodohan dibalas dengan
kebodohan juga. Dia mengatakan, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa seperti
semakin menjauh akibat banyak tindakan bodoh yang dilakukan dalam semua
lapisan masyarakat, sehingga terus melingkar bagai spiral yang makin membesar
setiap hari.
Bagaimana bisa dibilang cerdas kalau seorang pencuri yang tertangkap malah
langsung dibakar " katanya. Taufik mengatakan, kebodohan dalam kehidupan bangsa
ini juga terlihat saat terus-menerus dikumandangkannya slogan `persatuan dan
kesatuan .

"Kalau persatuan itu memang bagus, karena bangsa ini memang terdiri atas berbagai
keragaman. Tapi bagaimana mungkin perbedaan itu mau menjadi kesatuan Kalau
kesatuan dalam cita-cita bolehlah, " katanya.
Menurutnya, problem yang terlupakan adalah melihat masa sekarang sebagai masa
sekarang. Padahal, yang sekarang itu bersifat transisi, yang sekarang itu sebagai
peralihan ke masa depan. Kalau menyelesaikan masalah sekarang dengan berpikir
hanya sekarang, besar kemungkinan hanya akan mengulang kejadian masa lalu dan
memperdalam dendam, serta melupakan ke mana arah ke depan. Padahal, pada saat
yang sama kita tidak bisa memegang kebenaran sendiri.
Yang mesti diingat, katanya, kita harus berpegang pada kebenaran. Sebab, kebenaran
kita bisa berbeda dengan kebenaran orang lain. Keadilan kita berbeda dengan
keadilan orang lain. Kita menyaksikan bagaimana rasa keadilan ketika orang
melakukan kejahatan yang merugikan negara hingga miliaran rupiah dihukum satu
tahun. Sementara yang melakukan kejahatan lebih kecil dihukum tujuh tahun. Mana
yang adil
Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat menjadi kurang kearifannnya. Sekarang
orang ingin berlomba menguasai sejarah. Penulisan sejarah itu cenderung ingin
mengatakan bahwa yang benar itu versi saya. Padahal, sejarah bukan untuk
memupuk dendam. Bahkan bukan juga untuk mencari pembenaran. Sejarah itu
menghasilkan loncatan kearifan, tidak perlu tahu siapa membunuh siapa, tetapi kita
ketahui kalau tindakan buruk itu ada implikasi jeleknya.
Anak Kost

Sekitar 30 karya tulis dan 150 artikel (di luar tulisannya di media massa) yang sudah
lahir. Meski begitu ia tidak pernah merasa puas. Banyak penelitian besar yang harus
dilakukannya. Tapi, kita kurang peneliti muda, katanya.
Sebagai peneliti, suami dari Rasida ini bekerja tanpa terikat waktu. Pulang dari
kantornya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, ia meneruskan kesibukan di rumah yang
tepat berada di belakang kantornya.
Ketika ngobrol-ngobrol santai di beranda hotel ia mengenang keadaan rumahnya.
Saat ini tinggal berdua. Lagi, katanya. Soalnya anaknya yang bungsu sudah menikah
dan punya rumah sendiri. Untung sekarang punya anak kost, katanya sambil senyum.
Rupanya anak kost yang dimaksud ternyata cucunya. Perangai Sang Cucu
mengingatkannya kembali ketika memiliki anak. Kalau sudah nggak pulang, sibuk
pula menelponnya, katanya, kali ini dengan senyum yang lebih lebar.
Ketika tanda seminar akan dimulai lagi, ia beranjak dari tempat duduk. Namun,
langkahnya berbelok ke lokasi di samping ruang seminar. Sebuah tempat yang bisa
melihat keindahan alam Agam menarik perhatiannya.
Setelah beberapa saat menikmati indahnya alam, beberapa orang guru mendekatinya.
Minta foto bersama. Pak Taufik tidak keberatan. Dengan senang hati ia melayani
permintaan para guru. Meski matahari tepat di atas kepala. Karena ia tahu mungkin
dengan begitu para guru bangga menjadi guru sejarah.
Rambutnya telah memutih. Tanda umur telah bersambut dengan senja. Namun, suara
yang dikeluarkannya mengurangi usianya yang berangka 72 itu sampai berpuluh

tahun. Ketegaran, kesegaran, semangat yang meledak, menyeruak dari setiap kata
yang diucapkannya. ()
Sumber : Padang Today (26 Februari 2009)

Anda mungkin juga menyukai