Hal itu dikatakan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho
dalam diskusi di Kementrian Hukum dan HAM, Selasa (20/11/2012).
Menurut Emerson, surat edaran tersebut tak efektif lantaran tidak memiliki kekuatan
hukum tetap. Selain itu surat edaran tersebut juga tak memiliki jangka waktu yang jelas hingga
kapan surat edaran tersebut berlaku. "Pak Gamawan cukup baik pakai surat edaran, tapi tidak ada
waktu yang jelas sampai kapan. Harusnya dalam surat edaran isinya dipecat," ujar Emerson.
Lebih lanjut, Emerson menegaskan, tidak ada untungnya pemerintah menaruh seorang
koruptor untuk menduduki jabatan struktural. Terlebih pajak dari masyarakat digunakan untuk
membayar mereka para koruptor.
"Pasal 34 UUD 45 fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Yang ada
sekarang fakir miskin dan koruptor dipelihara negara. Aneh kan," tutupnya.
(ugo)
Bahkan ada beberapa butir sila yang salah saat mengucapkannya. "Dua, kesejahteraan
yang adil bagi manusia," kata Rudi Sutedja. Tak ayal butir kedua Pancasila itu diteriaki "salah,
ayo ulang" oleh puluhan aktivis PP. "Sila kedua Pancasila yang benar itu Kemanusiaan yang adil
dan beradab," timpal salah soerang aktivis PP Nanggik.
Ia kemudian memandu Rudi Sutedja untuk melafalkan Pancasila. Setelah hafal
Pancasila,Rudi diminta untuk hormat dan mencium bendera sang saka merah putih sebagai
simbol kesetiaan pada negara. Ternyata tidak hanya Rudi saja yang kena razia Pancasila, namun
tukang becak pedagang kaki lima sampai petugas Satpol PP pun juga mendapat giliran.
Salah seorang petugas Satpol PP M Joko bersama lima temannya awalnya siap-siap
cabut ketika didatangi ke Kantor Pemkab oleh puluhan aktivis PP. Dikiranya PP akan melakukan
demontrasi. Eh...tak tahunya hanya minta menghafalkan Pancasila. Beruntung M Joko hafal lima
butir Pancasila. Ganjarannya, Joko dihadiahi satu dus mi instant dan satu bendera merah putih.
Ketua Majelis Pimpinan Cabang Pemuda Pancasila Kabupaten Jember Abdul Aried
Ismail mengatakan, razia warga yang tidak hafal Pancasila itu sebagai perwujudan agar jangan
sampai warga negara sendiri melupakan dasar negaranya.
"Ini sebagai salah satu cara kita untuk mengingatkan warga negara terhadap dasar
negara Pancasila. Selain itu juga menumbuhkan rasa nasionalisme yang saat ini sudah mulai
pudar karena kepentingan politik sesaat," tandas Abdul Arief Ismail.
(P Juliatmoko/Sindo/fit)
DEPOK - Sekretaris Kabinet Dipo Alam menilai timbulnya gerakan makar, kekerasan,
dan radikalisme di Tanah Air akhir-akhir ini karena bangsa Indonesia telah melupakan nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam butir-butir Pancasila.
Saya pikir kita terlalu mendewa-dewakan dunia barat soal HAM, bagus sih, begitu
juga dengan demokrasi, tetapi jangan lupakan Pancasila, biar gimana Pancasila penting, bukan
hanya masalah P4, harus diperhatikan, tegasnya di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok,
Jumat (06/05/11).
Dipo menambahkan seluruh pihak harus mampu memelihara semangat Pancasila. Salah
satunya adalah para pemimpin bangsa atau pejabat diminta untuk menyebut Pancasila dalam
setiap kali kesempatan berpidato di sejumlah acara.
Bukan hanya NII, tetapi PKI saja timbul sekarang, semua lembaga negara termasuk
pemerintah akan pikirkan ini, semua pemimpin bangsa, pejabat kalau pidato harus menyebut
pancasila, di NTT saja pastur pidato masih sebut Pancasila, ujarnya.
Seluruh pejabat, kata dia, tak boleh lupa dengan makna dan nilai Pancasila. Kita sudah
rindukan Pancasila, dikemanakan Pancasila, ini perlu diingatkan kembali kepada para pemimpin
bangsa, tandasnya.
(ful)
"Ada Upaya
Pengkaburan
Nilai-Nilai
Pancasila"
Jumat, 14 Mei 2010 12:55 WIB
YOGYAKARTA - Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM melihat salah satu sebab yang
menimbulkan melemahnya jiwa dan karakter nasionalisme bangsa Indonesia adalah adanya
pengkaburan nilai-nilai Pancasila khususnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn).
Staf peneliti PSP UGM Heri Santoso mengatakan, pengkaburan antara lain dilakukan
pengubahan nama PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) menjadi Pkn saja.
Meskipun kelihatan sepele, namun ini jelas merupakan salah satu upaya pelemahan
nilai-nilai Pancasila, kata Heri di kampus UGM, Jumat (14/5/2010).
Disamping itu, imbuh Heri, kurikulum Pkn di tingkat SLTA khususnya hanya
mencantumkan pokok bahasan Pancasila dalam sub bab kecil di kelas XII saja. Padahal
Pancasila adalah salah satu sarana penumbuhan semangat nasionalisme dan pembangunan
karakter bangsa yang efektif.
Dalam mata pelajaran PKN pokok bahasan tentang nasionalisme hanya mendapat
porsi yang kecil dalam mata pelajaran Pkn tingkat SLTA, sedangkan sebagian besar pokok
bahasan Pkn adalah tata negara, ujarnya.
Heri mengatakan, dalam sebuah penelitian yang dilakukan Pusat Studi Pancasila
terhadap 10 sekolah di wilayah Bantul dengan melibatkan 201 responden terungkap bahwa
dengan kurikulum dan pembejalaran Pancasila saat ini para guru mengaku sulit menumbuhkan
jiwa nasionalisme dan karakter bangsa. Kurikulum yang ada hanya memungkinkan
pengembangan karakter berupa hapalan (kognisi) sedangkan afeksi (penumbuhan mental)
diabaikan.
Di sini memang ada reduksi pendidikan Pancasila kita yang ditengarai dilakukan
secara by design, jelas Heri. Kondisi ini, imbuh Heri, juga diperparah dengan tidak
dimasukkannya Pkn dalam mata pelajaran yang diujikan di Ujian Nasional (Unas) . Artinya
dengan ada atau tidak adanya Pkn
dianggap
tidak
berpengaruh
terhadap apapun. Para guru dan
siswa menjadi malas terhadap
mata pelajaran ini, katanya.
(Satria Nugraha/Trijaya/mbs)
Habibie Prihatin
Pancasila Diidentikkan dengan Orba
Rabu, 01 Juni 2011 11:30 WIB
"Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan
Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, kata Habibie saat Pidato Kebangsaan di Gedung Nusantara IV, DPR, Senayan,
Jakarta Pusat, Rabu (1/6/2011).
Harus diakui, kata dia, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi
Pancasila secara sistematis, terstruktur, dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata
ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak
Pancasilais" atau "anti Pancasila
"Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang
represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus
dilupakan," imbuhnya. Ia menuturkan pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan
tententu merupakan kesalahan mendasar.
"Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa
tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan, atau orde tertentu.
Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang
bernama Indonesia," ungkapnya diiringi oleh tepuk tangan.
(ful)