Anda di halaman 1dari 8

A.

Hemostatis
Hemostasis adalah penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang rusak
yaitu, penghentian hemoragia (hemo berarti darah; statis berarti berdiri). Untuk terjadinya
perdarahan dari suatu pembuluh, dinding pembuluh harus mengalami kerusakan dan tekanan
di bagian dalam pembuluh harus lebih besar keluar dari defek tersebut.
Kapiler kecil, arteriol, dan venula sering pecah oleh trauma ringan dalam kehidupan
sehari-hari; trauma semacam ini adalah penyebab tersering perdarahan, meskipun kita sering
bahkan tidak menyadari bahwa telah terjadi kerusakan. Mekanisme hemostatic inheren tubuh
secara normal sudah memadai untuk menambal defek dan menghentikan pengeluaran darah
dari pembuluh mikrosirkulasi halus ini.
Perdarahan dari pembuluh sedang sampai besar, yang jauh lebih jarang terjadi,
biasanya tidak dapat dihentikan oleh mekanisme hemostatik tubuh saja. Perdarahan dari arteri
yang terputus lebih deras dan karenanya lebih berbahaya daripada perdarahan vena, karena
teakanan yang mendorong keluar jauh lebih besar di arteri (yaitu, tekanan darah arteri jauh
lebih besar daripada tekanan darah vena). Tindakan pertolongan pertama untuk arteri yang
terputus mencakup pemberian tekanan eksternal pada luka yang lebih besar daripada tekanan
arteri untuk secara sementara menghentikan perdarahan sampai pembuluh yang robek dapat
ditutupi secara bedah. Perdarahan dari vena yang robek sering dapat dihentikan hanya dengan
mengangkat bagian tubuh yang berdarah untuk mengurangi efek gravitasi pada tekanan vena.
Jika penurunan tekanan vena tersebut belum cukup untuk menghentikan perdarahan makak
tekanan eksternal ringan biasanya sudah memadai.
Hemostasis melibatkan tiga langkah utama : (1) spasme vaskuler, (2) pembentukan
sumbat trombosit, dan (3) koagulasi darah (pembentukan bekuan darah). Trombosit berperan
kunci dalam hemostasis. Keping darah ini jelas berperan besar dalam membentuk sumbat
trombosit, tetapi mereka juga memberi kontribusi signitifikan kepada dua langkah lainnya.
(1) Spasme vaskuler mengurangi aliran darah melalui pembuluh darah yang cedera.
Mekanisme yang mendasari hal ini belum jelas tetapi diperkirakan merupakan suatu respon
intrinsic yang dipicu oleh suatu zat parakrin yang dilepaskan secara local dari lapisan dalam
(endotel) pembuluh yang cedera. Konstriksi ini, atau spasme vascular, memperlambat darah
mengalir melalui defek dan memperkecil kehilangan darah. Permukaan-permukaan endotel
yang saling berhadapan juga saling menekan oleh spasme vascular awal ini sehingga
permukaan tersebut menjadi lekat satu sama lain dan semakin menambal pembuluh yang
rusak.

(2) Trombosit menggumpal untuk membentuk sumbat di bagian pembuluh yang


terpotong atau robek. Trombosit dalam keadaan normal tidak melekat ke permukaan endotel
pembuluh darah yang licin, tetapi jika permukaan ini rusak akibat cedera pembuluh maka
trombosit menjadi aktif oleh kolagen yang terpajan, yaitu protein fibrosa di jaringan ikat di
bawah endotel. Setelah terkatifkan, trombosit cepat melekat ke kolagen dan membentuk
sumbat trombosit hemostatik di tempat cedera. Ketika mulai menggumpal, trombosittrombosit tersebut mengeluarkan beberapa bahan kimia penting dari granula simpanannya.
Diantara zat-zat kimia tersebut terdapat adenosine difosfat (ADP), yang menyebabkan
permukaan trombosit darah yang terdapat disekitar menjadi lekat, sehingga trombosit tersebut
melekat ke lapis pertama gumpalan trombosit. Trombosit-trombosit yang baru melekat ini
melepaskan lebih banyak ADP, yang menyebabkan semakin banyak trombosit menumpuk di
tempat defek; karena itu, di tempat defek cepat terbentuk sumbat trombosit melalui
mekanisme umpan balik positif.
Karena sifat agregasi trombosit yang terus berlanjut, mengapa sumbat trombosit tidak
terus terbentuk dan meluas ke permukaan dalam pembuluh darah normal disekitarnya?
Penyebab kunci adalah bahwa ADP dan bahan kimia lain yang dikeluarkan oleh trombosit
aktif merangsang pelepasan prostasiklin dan nitrat oksida dari endotel normal sekitar. Kedua
bahan kimia ini menghambat agregasi trombosit. Karena itu, sumbat trombosit bersifat
terbatas di defek dan tidak menyebar ke jaringan vaskuler sekitar yang tidak rusak.
Sumbat trombosit tidak saja secara fisik menambal kerusakan pembuluh tetapi juga
memungkinkan dilakukannya tiga fungsi penting. (1) Kompleks aktin-myosin di dalam
trombosit yang membentuk sumbat tersebut berkontraksi untuk memadatkan dan
memperkuat sumbat yang mula-mula longgar. (2) Bahan-bahan kimia yang dikeluarkan oleh
sumbat trombosit mencakup beberapa vasokonstriktor kuat (serotonin, epinefrin, dan
tromboksan A2), yang memicu kontriksi kuat pembuluh yang bersangkutan untuk
memperkuat vasospasme awal. (3) Sumbat trombosit membebaskan bahan-bahan kimia lain
yang meningkatkan koagulasi darah, yaitu langkah berikut pada hemostasis. Meskipun
mekanisme pembentukan sumbat trombosit saja sering sudah cukup untuk menambal
robekan-robekan kecil di kapiler dan pembuluh halus lain yang terjadi berkali-kali dalam
sehari, lubang yang lebih besar di pembuluh memerlukan pembentukan bekuan darah agar
perdarahan dapat dihentikan seluruhnya.
(3) Bekuan darah terjadi akibat terpicunya suatu reaksi berantai yang melibatkan
faktor-faktor pembekuan plasma. Koagulasi darah atau pembekuan darah adalah transformasi
darah dari cairan menjadi gel padat. Pembentukan bekuan di atas sumbat trombosit
2

memperkuat dan menopang sumbat, meningkatkan tambalan yang menutupi kerusakan


pembuluh. Selain itu, sewaktu darah sekitar defek pembuluh memadat, darah tidak lagi dapat
mengalir. Pembekuan darah adalah mekanisme hemostatik tubuh yang paling kuat.
Mekanisme ini diperlukan untuk menghentikan perdarahan dari semua defek kecuali defekdefek yang paling kecil.
Langkah terakhir dalam pembentukan bekuan adalah perubahan fibrinogen, suatu
protein plasma yang dapat larut dan berukuran besar yang dihasilkan oleh hati dan secara
normal selalu ada di dalam plasma, menjadi fibrin, suatu molekul tak larut berbentuk benang.
Perubahan menjadi fibrin ini dikatalisis oleh enzim thrombin di tempat cedera. Molekulmolekul fibrin melekat ke permukaan pembuluh yang rusak, membentuk jala longgar yang
menjerat sel-sel darah, termasuk agregasi trombosit. Masa yang terbentuk, atau bekuan,
biasanya tampak merah karena banyaknya SDM yang terperangkap, tetapi bahan dasar
bekuan adalah fibrin yang berasal dari plasma. Kecuali trombosit, yang berperan pemting
dalam menyebabkan perubahan fibrinogen menjadi fibrin, pembekuan dapat berlangsung
tanpa adanya sel-sel darah lain.
Jala fibrin awalnya ini relative lemah, karena untai-untai fibrin salaing menjalin
secara longgar. Namun, dengan cepat terbentuk ikatan kimia antara untai-untai fibrin yang
berdekatan untuk memperkuat dan menstabilkan jala bekuan ini. Proses pembentukan ikatan
ini dikatalisis oleh suatu faktor pembekuan yang dikenal sebagai faktor XIII (fibrinstabilizing factor), yang secara normal terdapat dalam plasma dalam bentuk inaktif.
Peran thrombin, selain (1) mengubah fibrinogen menjadi fibrin juga (2) mengaktifkan
faktor XIII untuk menstabilkan jala fibrin yang terbentuk, (3) bekerja melalui mekanisme
umpan balik positif untuk mempermudah pembentukan dirinya, dan (4) meningkatkan
agregasi trombosit, yang seblaiknya esensial bagi proses pembekuan darah.
Karena kerja thrombin mengubah molekul-molekul fibrinogen yang selalu ada dalam
plasma menjadi bekuan darah maka dalam keadaan normal thrombin harus tidak terdapat
dalam plasma kecuali di sekitar pembuluh yang rusak. Jika tidak maka darah akan selalu
mengalami koagulasi-suatu keadaan yang tidak memunkinkan kehidupan. Bagaimana
thrombin dalam keadaan normal tidak terdapat di dalam plasma, namun segera tersedia untuk
memicu pembentukan fibrin begitu ada pembuluh cedera? Solusinya terletak pada eksistensi
thrombin dalam plasma dalam bentuk precursor inaktif yang dinamai protrombin. Apa yang
mengubah protrombin menjadi thrombin ketika dibutuhkan pembekuan darah? Perubahan ini
melibatkan jenjang pembekuan.

Pada jenjang pembekuan terdapat faktor pembekuan plasma aktif lainnya, faktor X,
yang mengubah protrombin menjadi thrombin; faktor X itu sendiri dalam keadaan normal
terdapat dalam darah dalam bentuk inaktif dan harus diubah menjadi bentuk aktifnya oleh
faktor pengaktif lain, demikian seterusnya. Secara bersama-sama terdapat 12 faktor
pembekuan plasma yang ikut serta dalam tahap-tahap esensial yang menyebabkan perubahan
akhir fibrinogen menjadi jala fibri yang stabil. Faktor-faktor ini diberi nama angka romawi
sesuai urutan penemuannya, bukan urutan keikutsertaannya dalam proses pembekuan.
Sebagian besar dari faktor pembekuan ini adalah protein plasma yang disintesis oleh hati.
Salah satu konsekuensi penyakit hati adalah waktu pembekuan memanjang akibat
berkurangnya produksi faktor-faktor pembekuan. Dalam keadaan normal, faktor-faktor ini
selalu terdapat di dalam plasma dalam bentuk inaktif, misalnya fibrinogen dan protrombin.
Berbeda dengan fibrinogen, yang diubah menjadi untai-untai fibrin tak larut, protrombin dan
precursor lain, ketika diubah menjadi bentuk aktifnya, bekerja sebagai enzim proteolitik
(pengurai protein). Enzim-enzim ini mengaktifkan faktor spesifik lain dalam rangkaian
pembekuan. Jika faktor pertama dalam sekuens ini diaktifkan maka faktor tersebut akan
mengaktifkan faktor berikutnya, demikian seterusnya, dalam suatu rangkaian reaksi berantai
yang dikenal sebagai jenjang pembekuan, sampau thrombin mengatalisis perubahan final
fibrinogen menjadi fibrin. Beberapa dari tahap ini memerlukan keberadaan Ca2+ plasma dan
platelet faktor 3 (PF3), suatu fosfolipid yang dikeluarkan oleh sumbat trombosit. Karena itu,
trombosit juga berperan dalam pembentukan bekuan.

B. Fibrinolitik
Plasmin fibrinolitik melarutkan bekuan. Bekuan tidak dibentuk sebagai solusi
permanen bagi cedera pembuluh. Bekuan darah adalah alat sementara untuk menghentikan
perdarahan sampai pembuluh dapat diperbaiki.
Pada perbaikan pembuluh, agregat trombosit mengeluarkan suatu bahan kimia yang
membantu meningkatkan invasi fibroblast dari jaringan ikat sekitar ke daerah pembuluh yang
luka. Fibroblast membentuk jaringan parut di tempat pembuluh yang rusak.
Disolusi Bekuan
Bersamaan dengan proses penyembuhan, bekuan darah, yang tidak lagi diperlukan
untuk mencegah perdarahan, secara perlahan dihancurkan oleh suatu enzim fibrinolitik
(pengurai fibrin) yang dinamai plasmin. Jika bekuan tidak dibersihkan setelah melakukan
fungsi hemostatiknya maka pembuluh darah, terutama yang berukuran kecil yang setiap hari
mengalami rupture kecil, akhirnya akan tersumbat oleh bekuan.
Plasmin, seperti faktor pembekuan, adalah protein plasma yang diproduksi oleh hati
dan terdapat dalam darah sebagai suatu bentuk prekursor inaktif, plasminogen. Plasmin
diaktifkan dalam suatu jenjang reaksi cepat yang melibatkan banyak faktor, antara lain faktor
XII (faktor Hageman), yang juga memicu reaksi berantai yang menyebabkan terbentuknya
bekuan. Ketika bekuan dengan cepat terbentuk, plasmin aktif terperangkap di dalam bekuan
dan kemudian melarutkannya dengan secara perlahan menguraikan jala-jala fibrin.
Sel darah putih fagositik secara bertahap menyingkirkan produk-produk pelarutan
bekuan. Anda dapat mengamati hilangnya secara perlahan darah yang telah membeku yang
keluar dari lapisan jaringan kulit setelah suatu cedera. Tanda hitam dan biru kulit memar
tersebut terjadi karena adanya darah beku terdeoksigenasi di dalam kulit; darah ini akhirnya
dibersihkan oleh kerja plasmin, diikuti oleh sel-sel fagositik pembersih.

C. Anti Fibrinolitik
Asam aminokaproat
Asam aminokaproat merupakan penghambat bersaing dari activator plasminogen dan
penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan menghancurkan fibrinogen, fibrin dan faktor
pembekuan darah lain. Oleh karena itu asam aminokaproat dapat membantu mengatasi
perdarahan berat akibat fibrinolysis yang berlebihan dapat didasarkan atas hasil tes
laboratorium berupa TT dan PT yang memanjang, hipofibrinogenemia atau kadar
plasminogen yang menurun. Akan tetapi beberapa dari hasil labiratorium di atas biasanya
didapatkan pula pada pasien DIC, yang merupakan kontraindikasi pemberian asam
aminokaproat, karena dapat menyebabkan pembentukan thrombus yang mungkin bersifat
fatal. Oleh karena itu asam aminokaproat hanya digunakan untuk mengatasi perdarahan
fibrinolysis berlebihan yang bukan disebabkan oleh DIC. Bila terdapat keraguan, kriteria
untuk membedakan kedua keadaan tersebut adalah hitung trombosit, tes parakoagulasi
protamine dan lisis bekuan euglobulin. Pada DIC : hitung trombosit menurun, tes
parakoagulasi protamine positif dan lisis bekuan euglobulin normal. Pada fibrinolysis
primer : hitung trombosit normal, tes parakoagulasi protamine negative dan lisis bekuan
euglobulin berkurang. Tetapi fibrinolysis jarang terjadi sendiri, biasanya terjadi sekunder
akibat DIC.
Farmakokinetik. Asam aminokaproat diabsorpsi secara baik per oral dan juga dapat
diberikan IV. Obat ini diekskresi dengan cepat melalui urin, sebagian besar dalam bentuk
asal. Kadar puncak setelah pemberian per oral dicapai kurang lebih 2 jam setelah dosis
tunggal.
Indikasi. Asam aminokaproat digunakan untuk mengatasi hematuria yang berasal dari
kandung kemih, prostat atau uretra. Pada pasien yang mengalami prostatektomi transurethral
atau suprapubik, asam aminokaproat mengurangi hematuria pasca bedah secara bermakna.
Akan tetapi penggunaannya harus dibatasi pada pasien dengan perdarahan berat dan yang
penyebab perdarahannya tidak dapat diperbaiki. Asam aminokaproat juga dapat digunakan
sebagai antidotum untuk melawan efek trombolitik streptokinase dan urokinase yang
merupakan activator plasminogen. Asam aminokaproat dilaporkan bermanfaat untuk pasien
hemophilia sebelum dan sesudah ekstraksi gigi dan perdarahan lain karena trauma di dalam
mulut.
Efek samping. Asam aminokaproat dapat menyebabkan pruritus, eritema, ruam kulit,
hipotensi, dyspepsia, mual, diare, hambatan ejakulasi, eritema konjungtiva, dan hidung

tersumbat. Efek samping yang paling berbahaya ialah thrombosis umum, karena itu pasien
yang mendapat obat ini harus diperiksa mekanisme hemostatiknya.
Teratogenisitas. Penelitian teratogenisitas pada hewan memberikan hasil yang bervariasi.
Pada manusia tidak didapatkan kelainan yang bermakna, meskipun demikian asam
aminokaproat sebaiknya tidak digunakan selama kehamilan trimester pertama dan kedua,
kecuali memang benar-benar diperlukan. Bila asam aminokaproat diberikan selama operasi
maka kandung kemih harus bebas dari bekuan darah, karena obat ini akan tertumpuk pada
bekuan tersebut dan menghambat disolusinya.
Posologi. Dosis dewasa dimulai dengan 5-6 g per oral atau infus IV secara lambat, lalu 1 g
tiap jam atau 6 g tiap 6 jam bila fungi ginjal normal. Dengan dosis tersebut dihasilkan kadar
terapi efektif 13 mg/dl plasma. Pada pasien dengan penyakit ginjal atau oliguria diperlukan
dosis lebih kecil. Anak-anak, 100 mg/kgBB tiap 6 jam untuk 6 hari. Bila digunakan IV, asam
aminokaproat harus dilarutkan dengan larutan Nacil. Dekstrosa 5% atau laruta Ringer.
Namun, masih diperlukan bukti lebih lanjut mengenai keamanan penggunaan obat ini untuk
jangka panjang dengan dosis di atas.
Asam traneksamat
Obat ini merupakan analog asam aminokaproat, mempunyai indikasi dan mekanisme
kerja yang sama dengan asam aminokaproat tetapi 10 kali lebih potent dengan efek samping
yang lebih ringan.
Farmakokinetik. Asam traneksamat cepat diabsopsi dari saluran cerna. Sampai 40% dari
satu dosis oral dan 90% dari satu dosis IV dieksresi melalui urin dalam 24 jam. Obat ini dapat
melalu sawar uri.
Posologi. Dosis yang dianjurkan 0,5-1 g, diberikan 2-3 kali sehari secara IV lambat sekurangkurangnya dalam waktu 5 menit. Cara pemberian lain per oral, dosis 15 mg/kgBB diikuti
dengan 30 mg/kgBB tiap 6 jam. Pada pasien gagal ginjal dosis dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood L. Fisiologi Manusia Edisi 6. EGC. Jakarta.2012:434-440
2. Setiabudy R. Farmakologi dan Terapi FK-UI. Badan Penerbit FK-UI. Jakarta:2011

Anda mungkin juga menyukai