KATARAK DIABETIKA
Buyung Ramadhan MP
22010114210151
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
refraksi semakin menurun juga seiring usia, hal ini mungkin dikarenakan adanya
partikel-partikel protein yang tidak larut. Maka, lensa yang menua dapat menjadi
lebih hiperopik atau miopik tergantung pada keseimbangan faktor-faktor yang
berperan.
Kapsula lensa
Kapsula lensa memiliki sifat yang elastis, membran basalisnya yang
transparan terbentuk dari kolagen tipe IV yang ditaruh di bawah oleh sel-sel
epitelial. Kapsula terdiri dari substansi lensa yang dapat mengkerut selama
perubahan akomodatif. Lapis terluar dari kapsula lensa adalah lamela zonularis
yang berperan dalam melekatnya serat-serat zonula. Kapsul lensa tertebal pada
bagian anterior dan posterior preekuatorial dan tertipis pada daerah kutub
posterior sentral di mana m. Kapsul lensa anterior lebih tebal memiliki ketipisan
sekitar 2-4 dari kapsul posterior dan terus meningkat ketebalannya selama
kehidupan. Serat zonular Lensa disokong oleh serat-serat zonular yang berasal
dari lamina basalis dari epitelium non-pigmentosa pars plana dan pars plikata
korpus siliar. Serat-serat zonula ini memasuki kapsula lensa pada regio ekuatorial
secara kontinu. Seiring usia, serat-serat zonula ekuatorial ini beregresi,
meninggalkan lapis anterior dan posterior yang tampak sebagai bentuk segitiga
pada potongan melintang dari cincin zonula.
Epitel lensa
Terletak tepat di belakang kapsula anterior lensa, lapisan ini merupakan
lapisan tunggal dari sel-sel epitelial. Sel-sel ini secara metabolik aktif dan
melakukan semua aktivitas sel normal termasuk biosintesis DNA, RNA, protein
dan lipid. Sel-sel ini juga menghasilkan ATP untuk memenuhi kebutuhan energi
dari lensa. Sel-sel epitelial aktif melakukan mitosis dengan aktifitas terbesar pada
sintesis DNA pramitosis yang terjadi pada cincin di sekitar anterior lensa yang
disebut zona germinativum. Sel-sel yang baru terbentuk ini bermigrasi menuju
ekuator di mana sel-sel ini melakukan diferensiasi menjadi serat-serat. Dengan
sel-sel epitelial bermigrasi menuju bow region dari lensa, maka proses
Lensa manusia normal mengandung sekitar 66% air dan 33% protein dan
perubahan ini terjadi sedikit demi sedikit dengan bertambahnya usia. Korteks
lensa menjadi lebih terhidrasi daripada nukleus lensa. Sekitar 5% volume lensa
adalah air yang ditemukan diantara serat-serat lensa di ruang ekstraselular.
Konsentrasi natrium dalam lensa dipertahankan pada 20mM dan konsentrasi
kalium sekitar 120 mM. Kadar natrium dan kalium disekeliling aqueous humor
dan vitrous humor cukup berbeda; natrium lebih tinggi sekitar 150 mM di mana
kalium sekitar 5 mM.
Epitelium Lensa
Lensa bersifat dehidrasi dan memiliki kadar ion kalium (K+) dan asam
amino yang lebih tinggi dari aqueous dan vitreus di sekelilingnya. Sebaliknya,
lensa mengandung kadar ion natrium (Na+) ion klorida (Cl-) dan air yang lebih
sedikit dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan kation antara di dalam dan di
luar lensa adalah hasil dari kemampuan permeabilitas membran sel-sel lensa dan
aktifitas dari pompa (Na+, K+-ATPase) yang terdapat pada membran sel dari
epitelium lensa dan setiap serat lensa. Fungsi pompa natrium bekerja dengan cara
memompa ion natrium keluar dari dan menarik ion kalium ke dalam. Mekanisme
ini tergantung dari pemecahan ATP dan diatur oleh enzim Na+, K+-ATPase.
Keseimbangan ini mudah sekali terganggu oleh inhibitor spesifik ATPase ouabain.
Inhibisi dari Na+, K+-ATPase akan menyebabkan hilangnya keseimbangan kation
dan meningkatnya kadar air dalam lensa. Walaupun Na+, K+-ATPase terhambat
pada perkembangan katarak kortikal masih belum jelas, beberapa studi telah
menunjukkan penurunan aktifitas Na+, K+-ATPase, sedangkan yang lainnya tidak
tidak menunjukkan perubahan apa pun. Dan studi-studi lain telah memperkirakan
bahwa permeabilitas membran meningkat seiring dengan perkembangan katarak.
Teori Kebocoran Pompa
Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membran seringkali
dihubungkan dengan sistem kebocoran pompa pada lensa. Menurut teori ini,
kalium dan molekul-molekul lainnya seperti asam-asam amino secara aktif
secara nyata pada densitas sel, akumulasi dari serpihan-serpihan kecil epitelial
dapat menyebabkan gangguan pembentukan serat lensa dan homeostasis dan
akhirnya mengakibatkan hilangnya kejernihan lensa. Lebih jauh lagi, dengan
bertambahnya usia lensa, penurunan ratio air dan mungkin metabolit larut air
dengan berat molekul rendah dapat memasuki sel pada nucleus lensa melalui
epitelium dan korteks yang terjadi dengan penurunan transport air, nutrien dan
antioksidan. Sen, dkk (2008) melakukan penelitian dengan mengukur kadar
homosistein plasma, folat dan vitamin B12 pada penderita katarak senilis. Ia
mendapatkan hasil turunnya kadar folat jika dibandingkan dengan kontrol
(p<0,001). Penelitian ini didasarkan pada pemikiran peningkatan kadar
homosistein yang terlihat pada berbagai macam penyakit mata seperti exfoliation
syndrome, glaukoma, dan katarak. Di mana telah diusulkan bahwa homosistein
adalah oksidan yang penting dalam patogenesis perlukaan sel-sel endotelial dan
penyakit atherosklerotik vaskular. Vitamin B12 dan folat terlibat dalam
metabolisme metilasi homosistein menjadi metionin. Sen dkk menyimpulkan
peningkatan plasma homosistein terkait dengan menurunnya kadar plasma dari
folat dan vitamin B12 di mana sangat mungkin mejadi akar permasalahan
penyebab dari patogenesis katarak.
Kemudian, kerusakan oksidatif pada lensa pada pertambahan usia terjadi
yang mengarahkan pada perkembangan katarak senilis. Berbagai macam studi
menunjukkan peningkatan produk oksidasi (contohnya glutation teroksidasi) dan
penurunan vitamin antioksidan serta enzim superoksida dismutase yang
menggaris-bawahi
peranan
yang
penting
dari
proses
oksidatif
pada
kataraktogenesis.
Mekanisme lainnya yang terlibat adalah konversi sitoplasmik lensa
dengan berat molekul rendah yang larut air menjadi agregat berat molekul tinggi
larut air, fase tak larut air dan matriks protein membran tak larut air. Hasil
perubahan protein menyebabkan fluktuasi yang tiba-tiba pada indeks refraksi
lensa, menyebarkan jaras-jaras cahaya dan menurunkan kejernihan. Area lain yang
sedang diteliti meliputi peran dari nutrisi pada perkembangan katarak secara
khusus keterlibatan dari glukosa dan mineral serta vitamin.
Katarak senilis dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk utama; katarak
nuklear, katarak kortikal, dan katarak subkapsular posterior. Katarak nuklear
merupakan hasil dari sklerosis nuklear yang berlebih dan penguningan dengan
konsekuensi pembentukan opasitas lentikular sentral. Pada beberapa keadaan,
nukleus dapat menjadi sangat padat dan coklat, yang disebut sebagai katarak
brunesen. Perubahan katarak komposisi ionik pada korteks lensa dan perubahan
hidrasi pada serat lensa menghasilkan katarak kortikal. Pembentukan kekeruhan
seperti plak dan granular terjadi pada korteks sub-kapsular posterior yang
seringkali mengarah pada katarak sub kapsular
aerobik yang menghasilkan 36 molekul ATP dari setiap molekul glukosa yang
dimetabolisme dalam siklus asam sitrat (metabolisme oksidatif). Karena tekanan
oksigen yang rendah dalam lensa, hanya sekitar 3% dari glukosa lensa yang
melewati siklus asam sitrat Krebs untuk memproduksi ATP; bagaimana pun,
walau hanya dengan metabolisme aerobik yang rendah ini menghasilkan 25% dari
ATP lensa.
Bahwa lensa tidak tergantung pada oksigen telah didemonstrasikan
dengan kemampuannya untuk menjaga metabolisme normal dalam lingkungan
nitrogen. Dengan diberikan sejumlah glukosa, lensa in vitro yang anoksik tetap
jernih dan utuh, memiliki kadar normal dari ATP serta mempertahankan aktivitas
pompa asam amino dan ion. Bagaimana pun, ketika glukosa menurun atau
kekurangan, lensa tidak dapat mempertahankan fungsi-fungsi ini dan menjadi
keruh pada beberapa jam sekalipun terdapat oksigen.
Jalur yang kurang aktif untuk utilisasi G6P dalam lensa adalah heksosa
monofosfat shunt (HMP shunt), yang dikenal juga dengan istilah jalur pentosa
monofosfat. Sekitar 5% dari glukosa lensa dimetabolisme melalui jalur ini
sekalipun jalur ini distimulasi oleh peningkatan kadar glukosa. Aktifitas HMP
shunt lebih tinggi pada lensa dibandingkan dengan jaringan lain dalam tubuh
namun perannya masih belum bisa ditetapkan. Sebagaimana pada jaringan lain,
dapat menghasilkan NADPH (sebuah bentuk terreduksi dari nicotinamide-adenine
dinucleotide phosphate (NADP)) untuk biosintesis asam lemak dan biosintesis
ribosa untuk nukleotida. Juga dihasilkan pula NADPH untuk aktifitas glutation
reduktase dan aldose reduktase dalam lensa. Produk karbohidrat dari HMP shunt
memasuki jalur glikolisis dan dimetabolisme menjadi laktat. Aldose reduktase
adalah enzim kunci pada jalur lain metabolisme karbohidrat pada lensa, yaitu jalur
sorbitol. Enzim ini telah ditemukan memainkan peranan yang penting dalam
pembentukan katarak gula.
Sebagaimana ditekankan sebelumnya, reaksi heksokinase memiliki
keterbatasan dalam memfosforilasi glukosa dalam lensa dan dihambat oleh
mekanisme umpan balik dari produk glikolisis. Maka, ketika kadar glukosa
BAB III
PENUTUP
Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya kernih
dan bening menjadi keruh. Pada dasarnya katarak dapat terjadi karena proses
kongenital atau karena proses degeneratif. Proses degeneratif pada lensa disebut
juga katarak senilis yang dibagi menjadi empat stadium; Insipien, Immatur, Matur
dan Hipermatur. Begitu banyak yang faktor yang mempengaruhi timbulnya
katarak ini, diabetes adalah salah satu faktor penyakit sistemik yang mempercepat
proses timbulnya katarak ini.
Dasar patogenesis yang melandasi penurunan visus pada katarak dengan
diabetes adalah teori akumulasi sorbitol yang terbentuk dari aktifasi kalur polyol
pada keadaan hiperglikemia yang mana lebih lanjut akumulasi sorbitol dalam
lensa akan menarik air kedalam lensa sehingga terjadi hidrasi lensa yang
merupakan dasar patofisiologi ternetuknya katarak. Dan yang kedua adalah teori
glikosilasi protein, dimana adanya AGE akan mengganggu struktur sitoskeletal
yang dengan sendirinya akan berakibat pada turunnya kejernihan lensa. Operasi
katarak dengan diabetes bukanlah suatu kontraindikasi jika terdapat retinopati
diabetik non-proliferatif. Didasarkan dari penelitian-penelitian yang ada,
didapatkan bahwa teknik fakoemulsifikasi memberikan hasil yang lebih baik
dengan komplikasi post operasi yang lebih kecil. Pada adanya retinopati diabetik
lanjut, pasien perlu dijelaskan akan kemungkinan hasil postoperasi yang tidak
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
PERKENI.Konsensus dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Jakarta.2006
Wild Sarah, Roglic Gojka.Global Prevalence of Diabetes. Diabetes Care.2004;
volume 27: 1047-1053.
Suyono,dkk.
Diabetes
Melitus
di
Indonesia,
dalam: