Anda di halaman 1dari 16

I.

PENDAHULUAN
Gangguan

hipokondrik

merupakan suatu preokupasi yang tidak

disertai dengan waham dan terjadi selama minimal 6 bulan disertai dengan
perasaan takut terhadap suatu penyakit serius. Perhatian biasanya hanya terfokus
pada satu atau dua organ atau sistem tubuh . Tidak mau menerima nasihat atau
penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau
abnormalitas fisik yang melandasi keluhannya. Atas dasar kesalahan interpretasi
terhadap gejala-gejala pada tubuh seseorang tersebut akan menimbulkan
keinginan untuk melakukan pemeriksaan medis secara berulang-ulang serta
mengakibatkan gangguan pada

fungsi

sosial,

pekerjaan,

atau fungsi

penting lainnya. (Maslim R., 2003; Sadock B.J, 2007).


Gangguan hipokondrik dilaporkan terjadi sekitar 4-6% dari pasien-pasien
yang datang berkunjung ke poliklinik, dengan

kasus

pada

laki-laki

sama

dengan perempuan yaitu pada usia 20 hingga 30 tahun (Fallon B.A., 2012; Sadock
B.J, 2007). Beberapa studi mengatakan gangguan hipokondrik harus diterapi
dengan suatu psikoterapi seperti manajemen stres, terapi perilaku, terapi kognitif,
hingga hipnosis serta terapi farmakologis yang setara dengan terapi pada penyakit
gangguan cemas meliputi penggunaan obat-obat anticemas (Xiong et.al., 2007;
Maslim R., 2007; Sadock B.J, 2007)
Pada hipokondrik pasien biasanya mengeluhkan satu penyakit berat yang
dalam

pemeriksaan

penunjang

tidak

ditemukan

adanya

kelainan

yang

mendasarinya. Pasien merasa yakin bahwa ada sesuatu yang salah dalam dirinya
dan selalu ingin diperiksa untuk memastikan adanya gangguan pada tubuhnya. Hal
lain yang berbeda dengan gangguan somatisasi dimana pasien biasanya meminta
pengobatan terhadap penyakitnya yang seringkali menyebabkan terjadinya
penyalahgunaan obat, maka pada gangguan hipokondrik pasien malah takut untuk
makan obat karena dikira dapat menambah keparahan dari sakitnya (Sadock B.J,
2007).
Pasien hipokondrik lebih menekankan pada pemeriksaan untuk mendeteksi
penyakitnya bahkan pada pemeriksaan mahal sekalipun dan selalu mendesak
dokter untuk melakukan hal tersebut. Jika dokter tidak mau menuruti keinginan

pasien, pasien biasanya akan mencari dokter lain sehingga pada pasien seperti ini
sering ditemukan adanya riwayat kunjungan ke dokter yang sangat banyak.

II.

DEFINISI GANGGUAN HIPOKONDRIK


Istilah

hipokondriasis

didapatkan

dari

istilah

medis

yang

lama

hipokondrium yang berarti dibawah rusuk, dan mencerminkan seringnya


keluhan abdomen yang dimiliki pasien dengan gangguan ini. Hipokondriasis
disebabkan dari interpretasi pasien yang tidak realistik dan tidak akurat terhadap
gejala atau sensasi fisik yang menyebabkan preokupasi dan ketakutan bahwa
mereka menderita penyakit yang serius kendatipun tidak ditemukan penyebab
medis yang diketehui. Preokupasi pasien yang menyebabkan penderitaan yang
bermakna bagi pasien dan mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi
didalam peranan personal, social dan pekerjaan (Kaplan, 1997).
Penderita hipokondria menjadi sangat sensitive terhadap perubahan ringan
dalam sensasi fisik, seperti sedikit perubahan dalam detak jantung dan sedikit
sakit serta nyeri (Barsky dkk.,2001). Padahal kecemasan akan simptom fisik dapat
menimbulkan sensasi fisik tersendiri-misalnya, keringat berlebihan dan pusing,
bahkan pingsan. Dengan demikian sebuah lingkaran setan (vicious cycle) akan
mncul. Penderita hipokondria akan menjadi marah saat dokter mengatakan bahwa
ketakutan mereka sendirilah yang menyebabkan simptom-simptom fisik tersebut
(Kaplan, 1997).
III.

ETIOLOGI GANGGUAN HIPOKONDRIK


Dalam kriteria diagnostik untuk hipokondriasis, DSM-IV menyatakan

bahwa gejala mencerminkan gejala-gejala tubuh. Data tubuh yang cukup


menyatakan bahwa orang hipokondriakal meningkatkan dan membesarkan sensasi
somatiknya; mereka memiliki ambang dan toleransi yang lebih rendah terhadap
gangguan fisik. Sebagai contohnya apa yang dirasakan oleh orang normal sebagai
tekanan abdominal, orang hipokondriakal mungkin berpusat pada sensasi tubuh,
salah menginterpretasikannya dan menjadi tersinyal oleh hal tersebut karena
skema kognitif yang keliru (American Psychiatric Association: 2000)

Teori kedua adalah bahwa hipokondriasis dapat dimengerti berdasarkan


model belajar sosial. Gejala hipokondriasis dipandang sebagai keinginan untuk
mendapatkan perasaan sakit oleh seseorang yang menghadapi masalah yang
tampaknya berat dan tidak dapat dipecahkan. Peranan sakit memberikan jalan
keluar, karena pasien yang sakit dibiarkan menghindari kewajiban yang
menimbulkan kecemasan dan menunda tantangan yang tidak disukai dan
dimaafkan dari kewajiban yang biasanya diharapkan (Mantja Z. 2008).
Teori ketiga adalah bahwa gangguan ini adalah bentuk varian dari gangguan
mental lain. Gangguan yang paling sering dihipotesiskan berhubungan dengan
hipokondriasis adalah gangguan depresif dan gangguan kecemasan. Diperkirakan
80 persen pasien dengan hipokondriasis mungkin memiliki gangguan depresif atau
gangguan kecemasan yang ditemukan bersama-sama. Pasien yang memenuhi
criteria

diagnostic

untuk

hipokondriasis

mungkin

merupakan

subtype

pensomatisasi dari gangguan lain tersebut (Mantja Z. 2008).


Bidang

pikiran

keempat

tentang

hipokondriasis

adalah

bidang

psikodinamika yang menyatakan bahwa harapan agresif dan permusuhan terhadap


orang lain dipindahkan kepada keluhan fisik. Kemarahan pasien hipokondriakal
berasal dari kekecewaan, penolakan dan kehilangan di masa lalu, tetapi pasien
mengekspresikannya pada saat ini dengan meminta pertolongan dan perhatian dari
orang lain dan selanjutnya menolaknya karena tidak efektif. Hipokondriakal juga
dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa bersalah yang melekat, suatu ekspresi
harga diri yang rendah, dan tanda perhatian terhadap diri sendiri yang berlebihan.
Penderitaan nyeri dan somatik selanjutnya menjadi alat untuk menebus kesalahan
dan membatalkan dan dapat dialami sebagai hukuman yang diterimanya atas
kesalahan di masa lalu dan perasaan bahwa seseorang adalah jahaat dan
memalukan (Kaplan, 1997).
Individu yang tidak mampu untuk melakukan penyesuaian diri dengan
perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat dan proses modernisasi semakin
berat menjadikan individu menjadi tidak nyaman sehingga timbul ketegangan dan
tekanan batin. Persaingan hidup yang berat menjadikan banyak terjadi tindakan
yang menyimpang seperti kriminalitas dan hal-hal yang terhubung dengannya,
sehingga menimbulkan ketakutan dan ketegangan batin pada penduduk dan

menjadi salah satu penyebab utama timbulnya macam-macam penyakit mental.


Kehidupan di perkotaan yang modern lebih menonjolkan kepentingan diri sendiri
dan individualism sehingga kontak sosial menjadi longgar dan tidak peduli lagi
akan kondisi orang lain. Dalam masyarakat seperti ini, individunya selalu merasa
cemas, tidak aman, kesepian dan takut. Kehidupan modern yang penuh rivalitas
dan kompetisi selalu merefleksikan diri dalam bentuk kebudayaan eksplosif atau
kebudayaan tegangan tinggi (hightension culture) dengan iklim persaingan yang
sangat melelahkan baik secara fisik maupun mental dan dapat membuat manusia
menjadi sakit Maslim R., 2007; Sadock B.J, 2007)
Pengaruh lingkungan dan media massa yang cenderung untuk menampilkan
standar hidup yang tinggi dengan semua kemewahan material menjadikan
timbulnya kekalutan mental apabila seorang individu tidak mampu untuk
memenuhinya. Transisi kebudayaan dapat menimbulkan ketidaksinambungan
antara lompatan cultural yang kemudian menimbulkan kebingungan dan ketakutan
sampai berujung pada terjadinya mental disorder, salah satunya hypochondriac
(Kaplan:1997).
IV.

EPIDEMIOLOGI GANGGUAN HIPOKONDRIK


Satu penelitian terakhir melaporkan prevalensi enam bulan terakhir sebesar

4-6 persen pada populasi klinik medis umum. Laki-laki dan wanita sama-sama
terkena oleh hipokondriasis. Walaupun onset gejala dapat terjadi pada setiap
manusia, onset paling sering antara usia 20 dan 30 tahun. Beberapa bukti
menyatakan bahwa diagnostik adalah lebih sering diantara kelompok kulit hitam
dibandingkan kulit putih (Sadock B.J, 2007).
V.

DIAGNOSIS GANGGUAN HIPOKONDRIK


Kategori diagnostic DSM IV untuk hipokondriasis mengharuskan bahwa

pasien terpreokupasi dengan keyakinan palsu bahwa ia menderita penyakit yang


berat dan keyakinan palsu tersebut didasarkan pada misintepretasi tanda atau
sensasi fisik. Kriteria mengharuskan bahwa keyakinan tersebut berlangsung
sekurangnya enam bulan, kendatipun tidak adanya temuan patologis pada
pemeriksaan medis dan neurologis. Kriteria diagnostik juga mengharuskan bahwa

keyakinan tersebut tidak dalam intensitas waham (lebih tepat didiagnosis sebagai
gangguan delusional) dan tidak terbatas pada ketegangan tentang penampilan
( lebih tepat didiagnosis sebagai gangguan dismorfik tubuh). Tetapi gejala
hipokonriasis diharuskan memiliki intensitas yang menyebabkan gangguan pada
kemampuan pasien untuk berfungsi didalam bidang penting hidupnya. Klinisi
dapat menentukan adanya tilikan secara tidak konsisten mengetahui bahwa
permasalahan tentang penyakit adalah luas.
VI.

GAMBARAN KLINIS GANGGUAN HIPOKONDRIK


Pesien hipokondriakal percaya bahwa mereka menderita penyakit yang

parah yang belum dapat dideteksi dan mereka tidak dapat diyakinkan akan
kebalikannya. Pasien hipokondriakal dapat mempertahankan keyakinan bahwa
mereka memiliki satu penyakit tertentu atau dengan jalannya waktu, mereka
mungkin mengubah keyakinannya tentang penyakit tertentu. Keyakinan tersebut
menetap walau hasil lab adalah negatif. (James NB; Susan M and Jill MH: 2007)
Tabel dari DSM-IV, diagnostic and statistical manual of mental disorder
Kriteria diagnostik untuk hipokondriasis
a. Preokupasi dengan ketakutan penderita atau ide bahwa ia menderita suatu
penyakit serius didasarkan pada intepretasi keliru orang tersebut terhadap
gejala-gejala tubuh.
b. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang
tepat dan penentraman.
c. Keyakinan dalam criteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti pada
gangguan delusional, tipe somatic) dan tidak terbatas pada kekhawatiran
yang terbatas tentang penampilan ( seperti pada gangguan dismorfik tubuh)
d. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya
e. Lama gangguan sekurang-kurangnya 6 bulan
f. Preokupasi tidak dapat deterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan
umum, gangguan obsesif kompulsif, gangguan panic, gangguan depresif
berat, cemas perpisahan, atau gangguan somatoform lain.

Walaupun DSM-IV menyebutkan bahwa gejala harus ada selama


sekurangnya enam bulan, keadaan hipokondriakal sementara dapat terjadi setelah
stress berat, paling sering kematian atau penyakit berat pada seseorang yang
penting bagi pasien atau penyakit serius ( kemungkinan membahayakan hidup)
yang telah disembuhkan tetapi meninggalkan pasien hipokondriakal secara
sementara dengan akibatnya. Keadaan hipokondriakal tersebut yang berlangsung
kurang dari enam bulan harus didiagnosis sebagai gangguan somatoform yang
tidak ditentukan. Hipokondriakal sementara sebagai respon dari stress eksternal
biasanya menyembuh jika stress dihilangkan, tetapi dapat menjadi kronis jika
diperkuat oleh orang didalam system sosial pasien atau oleh professional
kesehatan (American Psychiatric Association: 2000).
VII.

DIAGNOSIS BANDING GANGGUAN HIPOKONDRIK


Hipokondriasis harus dibedakan

dari kondisi medis non psikiatrik,

khususnya gangguan yang tampak dengan gejala yang tidak mudah didiagnosis.
Penyakit penyakit tersebut adalah AIDS, endokrinopati, miastenia gravis,
sklerosis multiple, penyakit degeneratif pada system syaraf, lupus eritematosus
sistemik, dan gangguan neoplastik yang tidak jelas (Jeffrey S; Nevid R and
Spencer AG: 2000).
Hipokondriasis dibedakan dari gangguan somatisasi oleh penekanan pada
hipokondriasis tentang ketakutan menderita suatu penyakit dan penekanan pada
gangguan somatisasi tentang banyak gejala. Perbedaan yang tidak jelas adalah
bahwa pasien dengan hipokondriasis biasanya mengeluh tentang sedikit gejala
debandingkan dengan pasien dengan gangguan somatisasi. Gangguan somatisasi
biasanya memiliki onset sebelum usia 30 tahun sedangkan hipokondriasis
memiliki usia onset yang kurang spesifik. Pasien dengan gangguan somatisasi
lebih sering adalah wanita dibandingkan pasien hipokondriasis (Behrman, Richard
E, dkk. 2000).
Hipokonsriasis juga dibedakan dari gangguan somatoform lainnya.
Gangguan konversi adalah akut dan biasanya sementara, melibatkan satu gejala,
bukan suatu penyakit tertentu. Adanya atau tidak la belle indifferences adalah ciri
yang tidak dapat dipercaya yang membedakan kedua kondisi tersebut. Gangguan

nyeri adalah kronis, seperti juga hipokondriasis, tetapi gejalanya adalah terbatas
pada keluhan nyeri. Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh berharap dapat
tampil normal tetapi percaya bahwa orang lain memperhatikan bahwa mereka
tidak noemal, sedangkan pasien hipokondriakal mencari perhatian untuk anggapan
penyakitnya (Jeffrey S; Nevid R and Spencer AG: 2000).
Gejala hipokondriakal dapat terjadi pada gangguan depresi dan gangguan
kecemasan.

Jika

pasien

memenuhi

kriteria

diagnostik

lengkap

untuk

hipokondriasis maupun gangguan mental berat lainnya, seperti gangguan depresif


berat atau gangguan gejala klasik gangguan panic. Keyakinan hipokondriakal
delusional terjadi pada skizpfrenia dan gangguan psikotik lainnya tetapi dapat
dibedakan dari hipokondriasis dengna adanya gejala psikotik lain. Disamping itu
waham somatic pasien skizofrenia cenderung kacau, aneh, dan diluar lingkungan
kulturnya. Hipokondriasis dibedakan dari gangguan buatan dengan gejala fisik
dan berpura-pura dimana pasien hipokondriakal sesungguhnya mengalami dan
tidak mesimulasi gejala yang mereka laporkan (Xiong et.al., 2007).
VIII. PENATALAKSANAAN/INTERVENSI
Pasien hipokondriakal biasanya tahan terhadap pengobatan psikiatrik.
Beberapa pasien hipokondriakal menerima pengobatan psikiatrik jika dilakukan
menerima pengobatan psikiatrik jika dilakukan di lingkungan medis dan
dipusatkan untuk menurunkan stress dan pendidikan tentang mengatasi penyakit
kronis. Diantara pasien-pasien tersebut, psikoterapi kelompok adalah cara yang
terpilih karena cara ini sebagian cara ini memberikan dukungan sosial dan
interaksi sosial yang tampaknya menurunkan kecemasan pasien. Psikoterapi
individual berorientasi-tilikan mungkin berguna, tetapi biasanya tidak berhasil.
(Maslim R., 2007; Sadock B.J, 2000)
Jadwal pemeriksaan fisik yang tertib dan teratur adalah berguna untuk
menenangkan pasien bahwa mereka tidak ditelantarkan oleh dokternya dan
keluhan mereka ditanggapi secara serius. Tetapi prosedur diagnostic dan
terapeutik yang infasif harus dilakukan jika hanya bukti-bukti objektif
mengharuskannya. Jika mungkin klinisi harus menahan diri supaya tidak

mengobati temuan pemeriksaan fisik yang tidak jelas atau kebetulan (Xiong et.al.,
2007).
Farmakoterapi menghilangkan gejala hipokondriakal hanya jika pasien
memiliki suatu kondisi dasar yang responsive terhadap obat seperti gangguan
kecemasan atau gangguan depresif berat. Jika hipokonsriasis adalah sekunder dari
akibat gangguan primer lainnya, gangguan tersebut harus diobati untuk gangguan
itu sendiri. Jika hipokondriasis adalah rekasi situasional yang sementara, klinisi
harus membantu pasien untuk mengatasi stress tanpa mendorong perilakusakit
mereka dan pemakaian peranan sakit sebagai suatu pemecahan masalah (Sadock
B.J, 2000).
IX.

PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS


Perjalanan penyakit biasanya episodik; episode berlangsung dari beberapa

bulan sampai beberapa tahun dan dipisahkan oleh periode tenang yang sama
panjangnya. Mungkin terdapat hubungan jelas antara eksaserbasi gejala
hipokondriakal dan stressor psikososial. Walaupun hasil penelitian besar yang
dilakukan belum dilaporkan, diperkirakan sepertiga sampai setengah dari semua
pasien akhirnya membaik secara bermakna. Prognosis yang baik adalah
berhubungann dengan status sosioekonomi yang tinggo, onset gejala yang tibatiba, tidak adanya gangguan kepribadian dan tidak adanya kondisimedis non
psikiatrik yang menyertai. Sebagian besar anak hipokondriakal menjadi sembuh
pada masa remaja akhir atau pada dewasa awal (Maslim R., 2003).
Gangguan

hipokondrik

merupakan salah

satu

gangguan

psikiatri

yang termasuk ke dalam gangguan somatoform. Secara umum gangguan


somatoform ditandai dengan adanya keluhan-keluhan fisik yang berulang
yang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik meski terbukti hasilnya
negatif (Ajiboye P.O., 2013; Maslim R., 2003).
Axis I: gangguan hipokondrik. Hal ini sebagai contoh berikut.

Pasien

mengatakan Kepala saya sakit dok, sebelah kiri, terasa senut-senut sakit
sekali, kadang-kadang seperti melayang rasanya. Apakah di kepala saya ada
sesuatu, mungkin tumor sampai kepala saya sakit berdenyut- denyut begini.
Berdasarkan kalimat tersebut, keluhan pasien dapat dikatakan mengarah ke satu

organ yaitu kepala. Hal

ini

sesuai

dengan

karakteristik pasien dengan

gangguan hipokondrik, yaitu adanya keluhan-keluhan yang mengarah ke satu


organ (Deacon B., 2008; Maslim R., 2003; Sadock B.J., 2007).
Berdasarkan teori menurut Maslim, tanda yang paling penting pada
gangguan hipokondrik adalah adanya keyakinan yang bersifat menetap kurang
lebih selama 6 bulan terhadap sekurang- kurangnya satu penyakit fisik yang
serius (Maslim R., 2003; Sadock B.J., 2007).
Selain itu, pada gangguan hipokondrik pasien biasanya sering mendatangi
beberapa tempat pengobatan untuk mengatasi keluhan- keluhannya. Pasien juga
akan sering melakukan berbagai macam pemeriksaan dan melakukannya
berulang-ulang. Apabila hasil pemeriksaan atau hasil temuan dokter tidak sesuai
dengan harapan pasien, pasien akan melakukan pemeriksaan ulang dari satu
tempat ke tempat lainnya hingga pasien tersebut mendapatkan penjelasan yang
dianggap paling tepat (Dillon
2007).

B.,

2011;

Salim

R.,

2003; Sadock B.J.,

Pada kasus seperti pasien mengatakan, Saya sudah berganti-ganti

poliklinik saat saya berobat ke Rumah Sakit karena saya mengalami banyak
keluhan, saya juga sudah

periksa

laboratorium,

dan hasilnya normal.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa pasien sering berkunjung ke


berbagai pemeriksaan meski hasil pemeriksaan pasien tersebut normal.
Axis

II:

ciri

kepribadian menghindar. Berdasarkan Kaplan, ciri

kepribadian menghindar antara lain hambatan sosial yang pervasif, merasa


tidak mampu, terlalu sensitif terhadap evaluasi yang bersifat negatif yang dimulai
sejak dewasa muda dan ditandai dengan adanya 4 atau lebih dari keadaankeadaan berikut: (1) menghindari aktivitas sehari-hari yang melibatkan hubungan
interpersonal, karena merasa takut dikritik, ditolak, atau tidak diterima; (2)
ketidakmampuan untuk bergabung bersama orang lain; (3) menunjukkan perasaan
takut

karena

interpersonal;

akan dipermalukan atau ditertawakan dalam suatu

hubungan

(4) adanya preokupasi terhadap perasaan dikritik atau ditolak

dalam situasi sosial; (5) merasa terhambat bila berada pada situasi interpersonal
yang baru karena merasa tidak cocok berada dalam situasi tersebut; (6) melihat
diri sendiri sebagai orang yang tidak layak pada suatu situasi sosial, tidak
menarik, dan lebih rendah

dari

orang

lain;

(7)

merasa enggan untuk

memulai aktivitas baru karena merasa malu terhadap sesuatu hal yang baru
(Dillon B., 2011; Sadock B.J, 2007).
Axis III: belum ada diagnosis. Berdasarkan Salim, Axis III meliputi
diagnosis-diagnosis klinis pasien yang berkaitan dengan gangguan pada sistem
organ (Maslim R., 2003; Olatunji B.O., 2009).
Axis

IV:

Masalah

dengan

primary support group keluarga.

Berdasarkan Salim, Aksis IV merupakan berbagai keadaan yang dapat menjadi


faktor penyebab seseorang mengalami gangguan kejiwaan. Keadaan-keadaan
tersebut

misalnya

masalah

pada keluarga, lingkungan sosial, pendidikan,

pekerjaan, perumahan, ekonomi, akses ke pelayanan kesehatan, interaksi


dengan hukum/kriminal, dan psikososial atau lingkungan lain (Olatunji B.O.,
2009; Salim R., 2003).
Axis V: GAF 70-61. Axis V menunjukkan skala penilaian fungsi secara
global. Skala 70-61 menunjukkan keadaan dengan beberapa gejala ringan dan
menetap,

disabilitas ringan dalam fungsi, atau secara umum masih

baik

(Abramoitz J.S., 2006; Salim R., 2003).


Pada prinsipnya penanganan pasien dengan gangguan psikiatri dapat diatasi
dengan psikoterapi. Psikoterapi pada gangguan hipokondrik meliputi pengelolaan
rasa cemas dengan dukungan sosial dan interaksi sosial dari anggota keluarga
terdekat yang bertujuan untuk mengurangi rasa cemas (Abramoitz J.S., 2006;
Sadock, B.J., 2007). Farmakoterapi dilakukan bila gejala yang dialami pasien
mengarah ke gangguan cemas atau depresi, sehingga prinsip pengobatannya
menggunakan obat-obatan yang ditujukan untuk mengurangi rasa cemas atau
depresi (Xiong et.al., 2007; Maslim R., 2007; Sadock B.J, 2007). Pada pengobatan
gangguan hipokondrik dapat diberikan obat anti cemas seperti Clobazam.
Clobazam merupakan obat anticemas golongan Benzodiazepine yang digunakan
untuk mengatasi sindrom cemas yang meliputi (1) adanya perasaan
atau

khawatir

cemas

yang tidak realistis terhadap dua atau lebih hal yang

dipersepsi sebagai ancaman yang menyebabkan seseorang tidak mampu istirahat


dengan tenang; (2) terdapat paling sedikit 6 dari gejala- gejala yang termasuk
ketegangan motorik, hiperaktivitas otonomik, kewaspadaan berlebihan dan

penangkapan berkurang; (3) hendaya dalam

fungsi

kehidupan

sehari-hari,

yang ditandai dengan penurunan kemampuan bekerja, hubungan sosial, dan


melakukan kegiatan rutin. Obat anticemas golongan Benzodiazepine tersebut
bekerja dengan cara bereaksi dengan reseptor Benzodiazepine sehingga dapat
meningkatkan mekanisme penghambatan dari neuron GABA-ergik yang
kemudian dapat mengurangi hiperaktivitas dari sistem limbik sistem saraf pusat
(Xiong et.al., 2007; Maslim R., 2007; Sadock B.J, 2007).
Selain itu, pengobatan seperti Fluoxetin juga diperlukan. Hal ini bertujuan
untuk mengatasi defisiensi relatif salah satu atau beberapa neurotransmitter
aminergik pada celah sinaps neuron di sistem saraf pusat khususnya pada
sistem

limbik.

Defisiensi neurotransmitter

tersebut

dapat

terjadi akibat

penekanan aktivitas neurotransmitter oleh obat anticemas (Xiong et.al., 2007;


Maslim R., 2007; Sadock B.J, 2007). Dengan demikian pemberian kedua jenis
obat tersebut diharapkan dapat menyeimbangkan aktivitas sistem limbik pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Ajiboye

P.O.

and

Yusuf

A.D. Monosymptomatic Hypochondriacal

Psychosis (Somatic Delusional Disorder): A Report of Two Cases. Afr J Psychiatry.


2013; 16: 87-91.
American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorderr, page 77. Washington DC : APA
Behrman, Richard E, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson bab 552 kelainan
neurodegeneratif masa anak, halaman 2103. EGC. Jakarta.
Deacon B. and Abramowitz J.S. Is Hypochondriasis Related to ObssesiveCompulsive Disorder, Panic Disorder, or Both? An Empirical Evaluation. Journal of
Cognitive Psychotherapy: An International Quarterly. 2008; 22(2): 115-127.
Dillon

B.

Hypochondria:

Medical Condition, Creative Malady.

Brain.

2011;134: 1244-1249.
Fallon B.A., Harper K.M., Landa A., Pavlicova M., Schneier F.R. Carson
A.Personality

Disorders

in Hypochondriasis: Prevalence and Comparison with

Two Anxiety Disorders. Psychosomatics.

2012; 53(6): 566-74.

Kaplan, Harold I, dkk. 1997. Sinopsis Psikiatri, jilid 2 bab 38 gangguan


somatoform, halaman 81. Binarupa Aksara. Jakarta
Mantja, Zulkarnaen. 2008. Simtomatologi psikiatri, hal 59. Departemen of
psikiatri medical faculty. Bandar lampung.
Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas
PPDGJ III, halaman 84. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. Jakarta.
Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi Ke-3. 2007.
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta.
Olatunji B.O., Deacon B.J., and Abramoitz J.S. Is Hypochondriasis an Anxiety
Disorder. The British Journal of Psychiatry. 2009; 194:481-482.
Sadock B.J and Sadock V.A. Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatry
Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry Tenth Edition. 2007. Lippincott
and Wilkins. New York.

Williams

Xiong

G.L.,

Bougeois

J.A.,

Chang C.H., Liu D., Hilty D.M.

Hypochondriasis: Common Presentations and Treatment Strategies in Primary care


and Specialty Settings. Therapy. 2007; 4(3); 323-38.
James NB; Susan M and Jill MH.(2007). Abnormal Psychology: core concepts.
Allyn and Barcon
Jeffrey S; Nevid R and Spencer AG.(2000). Abnormal Psychology : in a
changing

world.

Prentice

Hall

Inc.

Anda mungkin juga menyukai