Anda di halaman 1dari 12

EFEKTIFITAS TERAPI BEKAM TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH

PADA PENDERITA HIPERTENSI PRIMER


1

Susiana Jansen, 2Darwin Karim, 3Misrawati


Email: annajansen010192@gmail.com
085761253529

Abstract
The aim of this research is to analize the effect of cupping therapy in reducing primary
hypertension patientss blood pressure. The research was conducted at the Pusat
Pengobatan Al-Jawad, Kereta Api Street, Pekanbaru. The design used in this research was
pre-experimental method with one group pretest-posttest design which consisted of only
the experimental group. The sampling technique explored was purposive sampling with 15
hypertension patients which were selected based on inclusion criteria. Measuring
instruments used are sphygmomanometer. Respondents were given the intervention with
cupping therapy 1 time a week for 2 weeks. Data analysis applied in the research were
univariate and bivariate by using dependent sample t test, independent sample t test,
wilcoxon, and mann-whitney. The result showed that mean of blood pressure before
cupping therapy was 166/96,67, while the mean of blood pressure after cupping therapy
was 140/75,67. The result of the research indicated decrease of blood pressure after
intervention given with P value = 0,000. The conclusion of the research is that cupping
therapy can help patient with primary hypertension to reduce their blood pressure.
Keywords
Reference

: primary hypertension, cupping theraphy, blood pressure


: 49 (2002-2013)

PENDAHULUAN
Kasus hipertensi sangat sering
dijumpai
diberbagai
belahan
dunia,
prevalensi hipertensi dunia mencapai 29,2%
pada laki-laki dan 24,8 % pada perempuan
(World Health Statistic, 2012). Berdasarkan
data Lancet (2008), penderita hipertensi di
India mencapai 60,4 juta orang pada tahun
2002 dan diperkirakan mencapai 107,3 juta
orang pada tahun 2025, sementara di Cina
pada tahun 2002 sebanyak 98,5 juta orang
mengalami hipertensi dan bakal menjadi
151,7 juta orang pada tahun 2025
(Muhamaddun, 2010).
Hipertensi primer merupakan kasus
terbanyak
untuk
penyakit
sistem
kardiovaskuler di rumah sakit di seluruh
Indonesia pada tahum 2004-2005 (Ana,
2007). Menurut World Health Statistic
(2012) prevalensi hipertensi di Indonesia

.
pada laki-laki sebanyak 32,5 % dan pada
wanita sebanyak 29,3 % pada perempuan.
Berdasarkan
data
dari
Dinas
Kesehatan Provinsi Riau dalam Profil
Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2010, kasus
Penyakit Tidak Menular (PTM) di unit rawat
jalan seluruh rumah sakit di Riau di temukan
2.414 kasus hipertensi primer yang
merupakan kasus tertinggi. Data yang
didapatkan dari unit rawat inap PTM,
hipertensi menempati urutan kedua dengan
819 kasus. Berdasarkan pola penyakit rawat
jalan di seluruh rumah sakit di Riau,
hipertensi primer menempati urutan ketiga
dengan prevalensi 9.847 kasus (9,4 %) dari
15 penyakit lainnya serta menurut pola
penyakit rawat inap di rumah sakit, kasus
hipertensi primer menempati urutan kedua
dengan 11,6 % dari 15 penyakit lainnya
(Dinas Kesehatan Provinsi Riau, 2012).

Prevalensi hipertensi primer di Kota


Pekanbaru dapat dikatakan tinggi. Menurut
data Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru pada
tahun 2011, penyakit hipertensi primer
termasuk sepuluh kasus penyakit terbesar,
yaitu berada pada urutan ke-3 penyakit
terbesar di Kota Pekanbaru dengan total
kasus sebanyak 19.229 kasus. Kasus
terbanyak ditemukan di Puskesmas Harapan
Raya sebanyak 3.234 kasus, selanjutnya
diikuti secara berturut-turut oleh Puskesmas
Melur sebanyak 2.262 kasus, Puskesmas
Limapuluh Kota sebanyak 1.589 kasus,
Puskesmas Garuda Sakti sebanyak1.566
kasus, dan Puskesmas Pekanbaru Kota
sebanyak 1.286 kasus (Dinas Kesehatan
Kota Pekanbaru, 2012).
Prevalensi hipertensi yang tinggi
mengindikasikan bahwa hipertensi perlu dan
harus diatasi segera untuk mencegah
terjadinya komplikasi seperti stroke,
gangguan jantung, ginjal kronik, mata,
bahkan terkait dengan harapan hidup yang
pendek. Perubahan pola makan dan gaya
hidup dapat memperbaiki kontrol tekanan
darah dan mengurangi resiko komplikasi
kesehatan. Secara garis besar, pengobatan
hipertensi dibagi menjadi dua pengobatan
yaitu pengobatan secara farmakologis dan
non farmakologis (Smeltzer & Bare, 2002).
Pengobatan
farmakologis
yang
menggunakan obat-obatan tidak hanya
memiliki efek yang menguntungkan, tetapi
juga merugikan. Efek samping obat dapat
menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan
pada penderita, yaitu dapat memperburuk
keadaan penyakit atau efek fatal lainnya.
Reaksi ini dapat terjadi pada dosis yang
biasanya digunakan untuk pencegahan
maupun pengobatan penyakit, selain itu
harga obat hipertensi yang relatif mahal,
dosis obat yang tidak praktis serta jenis obat
yang sulit didapat mengakibatkan pasien
berhenti mengkonsumsi obat dan berdampak
terhadap terapi pengobatan yang dilakukan
menjadi tidak efektif (Wahyuni, 2008).
Tingginya angka kejadian efek
samping pada obat serta harga yang relatif
mahal,
menjadikan
pengobatan
non
farmakologis menjadi pilihan yang tepat.

Pengobatan non farmakologis adalah


pengobatan yang tidak menggunakan bahan
dari senyawa kimia, antara lain dari bahan
tumbuhan, menjaga pola makan, olahraga
teratur, mengurangi asupan alkohol dan
merokok, refleksi dan jenis-jenis terapi
kesehatan (Ana, 2007).
Pengobatan non farmakologis atau
non medis sebagai pengobatan alternatif
diharapkan dapat menekan biaya pengobatan
(Sari, Indrawati, & Djing, 2008). Terdapat
berbagai macam jenis pengobatan atau terapi
non farmakologis yang bisa digunakan
sebagai alternative pengobatan lain, antara
lain refleksi tubuh, akupuntur, terapi lintah
dan bekam (hijamaah) serta masih banyak
jenis terapi lainnya. Berbagai macam terapi
tersebut lebih banyak diminati masyarakat
karena selain terjangkau terapi kesehatan
juga kecil kemungkinannya menimbulkan
efek sakit (Nilawati, Krisnatuti, Mahendra,
& Djing, 2008).
Terapi bekam di Indonesia sudah
banyak dikenal oleh masyarakat yang
ditandai dengan mulai bermunculannya
rumah atau klinik kesehatan yang
menyediakan jasa terapi bekam (Nilawati,
Krisnatuti, Mahendra, & Djing, 2008).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota
Pekanbaru (2012), di Kota Pekanbaru
terdapat 3 rumah terapi bekam yang terdaftar
yaitu Rumah Herbal Wahida di Jalan
Rajawali, Rumah Bekam di Jalan Suka
Karya, dan Pusat Pengobatan Al- Jawad di
Jalan KeretaApi.
Bekam atau hijamaah yang dikenal
dengan istilah blood letting di negara-negara
barat sudah lama dilakukan sejak zaman
Hipocrates. Bekam atau hijamah (bahasa
lainnya canduk, kop, cupping) adalah terapi
yang bertujuan membersihkan tubuh dari
darah yang mengandung toksin dengan
penyayatan tipis atau tusukan-tusukan kecil
pada permukaan kulit. Bekam juga sering
disebut sebagai terapi yang berfungsi untuk
mengeluarkan darah kotor (Dalimartha,
Purnama, Sutarina, Mahendra, & Darmawan,
2008).
Nabi Muhammad SAW sebagai
junjungan umat muslim diseluruh dunia

pernah bersabda, Kesembuhan bisa


diperoleh dengan tiga cara, yaitu minum
madu, hijamaah (bekam), dan besi panas.
Aku tidak menganjurkan umat-Ku dengan
besi panas. (H.R. Bukhari-Muslim). Hadist
lain diriwayatkan Tarmidzi menyebutkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidaklah
Aku berjalan melewati sekumpulan malaikat
pada malam Aku di Israkan, melainkan
mereka semua mengatakan kepada-Ku,
Wahai
Muhammad,
engkau
harus
berbekam. (Fatahillah, 2007).
Berdasarkan data diatas dapat
disimpulkan bahwa terapi bekam adalah
salah satu pengobatan non farmakologis
yang tergolong murah dan merupakan
anjuran Nabi Muhammad SAW sebagai
panutan umat muslim diseluruh dunia, yang
diharapkan menjadi alternatif lain bagi
masyarakat untuk menjaga kesehatan
khususnya dalam menurunkan tekanan darah
pada penderita hipertensi.
Penelitian yang dilakukan oleh
Saryono (2010) dengan judul Penurunan
Kadar Kolesterol Total pada Pasien
Hipertensi yang Mendapat Terapi Bekamdi
Klinik An-Nahl Purwokertoyang dilakukan
pada 30 responden berusia 20-65 tahun
menunjukkan hasil analisis statistik dengan
uji t berpasangan pada responden sebelum
dan sesudah terapi bekam menunjukkan nilai
t-test = 4, 01 dengan nilai p= 0,0001 (<0,05).
Hal tersebut menunjukkan bahwa ada
perbedaan antara kadar kolestrol total
sebelum dan sesudah terapi bekam, dengan
nilai beda mean sebesar 17,4. Sedangkan jika
dilihat dari nilai signifikasi (p = 0,0001),
maka nilainya kurang dari = 0.05. Hal
tersebut dapat menjelaskan bahwa upaya
penurunan kadar kolestrol darah dapat
dilakukan dengan terapi bekam (Saryono,
2010).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan oleh peneliti pada tanggal 20
Januari 2013 dengan mewawancarai 10
pasien di Pusat Pengobatan Al-Jawad, 6 dari
10 pasien mengatakan tidak mengetahui
bahwa terapi bekam dapat mengurangi
penyakit hipertensi. Pasien-pasien tersebut
datang ke terapi bekam hanya untuk menjaga

kesehatan dan mengurangi rasa pegal-pegal


yang dirasakan.
Berdasarkan latar belakang dan
uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk
meneliti efektifitas terapi bekam terhadap
penurunan tekanan darah pada penderita
hipertensi primer.
METODE
Desain
penelitian
merupakan
rancangan penelitian yang digunakan sebagai
pedoman dalam melaksanakan prosedur
penelitian. Desain penelitian ini adalah pre
experimental
dengan
menggunakan
rancangan one group pretest-postest. One
group pretest-posttest dilakukan dengan cara
memberikan pretest (pengamatan awal)
terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi,
setelah diberikan intervensi, kemudian
dilakukan kembali posttest (penagamatan
akhir) (Hidayat, 2007). Rancangan ini juga
tidak ada kelompok pembanding (kontrol)
(Setiadi, 2007).
Populasi adalah keseluruhan dari
objek
atau
subjek
yang
memiliki
karakteristik tertentu yang akan diteliti
(Hidayat, 2007). Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh pasien yang menderita
hipertensi
primer
dan
mendapatkan
pelayanan terapi bekam di Pusat Pengobatan
Al-Jawad.
Sampel merupakan sebagian dari
keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili dari populasi (Notoadmodjo,
2005). Sampel memiliki dua kriteria yaitu
kriteria inklusi (subjek/objek memenuhi
syarat dan dapat mewakili sampel penelitian)
dankriteria eklusi (subjek/objek tidak
memenuhi syarat dan tidak mewakili
sampel).
Penelitian ini menggunakan teknik
nonprobability sampling dengan jenis
purposive
sampling
yaitu
teknik
pengambilan sampel dari populasi yang
sesuai dengan kehendak peneliti berdasarkan
tujuan tertentu (Hidayat, 2007). Teknik
pengambilan sampel ini dilakukan atas dasar
pertimbangan waktu, keterbatasan biaya,
tenaga, dan lokasi. Jumlah sampel yang
digunakan sebanyak 15 orang.

Kriteria insklusi untuk sampel pada


penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Berada pada rentang usia 40-60 tahun
2) Mempunyai tekanan darah 140 mmHg
untuk sistol dan 90 mmHg untuk
diastol
3) Tidak mengkonsumsi obat hipertensi
4) Tidak memiliki masalah kesehatan
selain hipertensi primer yang dapat
berpengaruh terhadap tekanan darah
(misalnya penyakit jantung, ginjal,
diabetes mellitus dan lain-lain)
5) Tidak sedang hamil
6) Tidak melakukan bekam dalam 1 bulan
terakhir
7) Bersedia menjadi responden
Dalam proses pengumpulan data
peneliti menggunakan alat ukur secara
langsung kepada responden penelitian untuk
mencari tahu perubahan atau hal-hal yang
diteliti. Alat yang digunakan pada penelitian
ini berupa lembar kuesioner berisi data
responden yang meliputi nomor responden,
usia, lama menderita hipertensi primer, jenis
kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan.
Alat ukur secara langsung yang
digunakan pada penelitian ini adalah
tensimeter (sphygmomanometer) jarum
merek Gea, yaitu alat mekanik untuk
mengukur tekanan darah. Menurut Turana
(2010) responden dilakukan pengukuran
tekanan darah setelah responden duduk
minimal selama 5 menit karena responden
datang dengan kendaraan. Pemeriksaan
tekanan darah dilakukan dalam posisi
responden duduk dengan satu lengan
(sebaiknya lengan kanan) menekuk diatas
meja dengan posisi telapak tangan
menghadap ke atas posisi lengan sebaiknya
setinggi jantung.
Alat terapi bekam dan proses terapi
dilakukan oleh terapis bekam Pusat
Pengobatan Al-Jawad di Jalan Kereta Api,
Tangkerang Tengah, Pekanbaru. Responden
yang telah mendapatkan terapi bekam basah
selanjutnya
diukur
kembali
tekanan
darahnya, dengan jarak waktu 30 menit
setelah pembekaman. Pada penelitian ini,
hasil pengukuran tekanan darah dalam
bentuk sistol dan diastol.

HASIL
Tabel 1
Distribusi frekuensi responden berdasarkan
karakteristik
Karakteristik
Usia
40-45
46-50
51-55
56-60
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tingkat
Pendidikan
SMP
SMA
PT
Jenis Pekerjaan
PNS
Swasta
Wiraswasta
IRT
Lama menderita
hipertensi primer
1 tahun
2 tahun
3 tahun

Persentase

4
3
4
4

26,7 %
20 %
26,7 %
26,7 %

8
7

53,3 %
46,7 %

6
6
3

40 %
40 %
20 %

3
5
6
1

20 %
33,3 %
40 %
6,7 %

5
6
4

33,3 %
40 %
26,7 %

Berdasarkan hasil analisis pada tabel


1 menunjukkan bahwa dari 15 responden,
usia paling sedikit adalah rentang umur 4650 tahun dengan jumlah 3 responden (20 %),
sedangkan rentang usia 40-45 tahun, 51-55
tahun, dan 56-60 tahun masing-masing
memiliki jumlah 4 responden dengan
persentase 26,7 %. Distribusi jenis kelamin
paling banyak adalah responden laki-laki
dengan jumlah 8 responden (53,3 %).
Distribusi tingkat pendidikan responden
paling banyak berada pada tingkat
pendidikan SMP dan SMA yaitu masingmasing memiliki 6 responden (40 %).
Distribusi untuk jenis pekerjaan responden
didominasi oleh wiraswasta sebanyak 6
responden dengan persentase 40 %.
Distribusi lama menderita hipertensi primer
paling banyak berada pada lama menederita
hipertensi primer 2 tahun yaitu berjumlah 6
responden dengan persentase 40 %.

Tabel 2
Rata-rata tekanan darah responden sebelum
diberikan terapi bekam
Variabel
Tekanan
darah
responden
sebelum
terapi
bekam

Sistol

Diastol

15

166,00

96,67

Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat


mean tekanan darah responden sebelum
diberikan terapi bekam dengan sistol sebesar
166 dan diastol 96,67.
Tabel 3
Rata-rata tekanan darah responden sesudah
diberikan terapi bekam sebanyak 2 kali
selama 2 minggu
Variabel

Tekanan
darah
sesudah
terapi
bekam

Minggu I

Minggu II

Sistol

Diastol

Sistol

Diastol

152,
0

92,67

140,0

75,67

15

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat


mean tekanan darah sesudah diberikan terapi
bekam pada responden adalah 152 untuk
sistol dan 92,67 untuk diastol pada minggu
pertama, sedangkan mean tekanan darah
responden pada minggu kedua adalah 140
untuk sistol dan 75,67 untuk diastol.
Tabel 4
Perbedaan
rata-rata
tekanan
darah
responden sebelum dan sesudah diberikan
terapi bekam pada minggu pertama
Sebelum

Sesudah

Variabel

Mean

SD

Mean

SD

Sistol

166,0

12,984

152,0

9,599

0,000

Diastol

96,67

6,172

92,67

7,988

0,014

Berdasarkan uji statistik T dependent


pada tabel 4 didapatkan mean tekanan darah
sistol sebelum terapi bekam adalah 166

dengan standar deviasi 12,984 dan mean


tekanan darah sistol sesudah diberikan terapi
bekam adalah 152 dengan standar deviasi
9,599. Uji statistik wilcoxon pada tekanan
darah diastol sebelum diberikan terapi bekam
didapatkan hasil mean 96,67 dengan standar
deviasi 6,172, sedangkan mean tekanan
darah diastol sesudah diberikan terapi bekam
adalah 92,67 dengan standar deviasi 7,988.
Dari hasil uji statistik didapatkan adanya
penurunan yang signifikan antara mean
tekanan darah sebelum dan sesudah
diberikan terapi bekam pada responden di
minggu pertama dimana p value sistol =
0,000 dan p value diastol = 0,014 dengan 5
% (p< 0,05).
Tabel 5
Perbedaan
rata-rata
tekanan
darah
responden sebelum dan sesudah diberikan
terapi bekam pada minggu kedua
Sebelum

Sesudah

Variabel

Mean

SD

Mean

SD

Sistol

158,3
3

11,5
98

140,0

13,62
8

0,001

Diastol

86,33

4,80
6

75,67

6,230

0,001

Berdasarkan tabel 5 diatas, hasil uji


statistik wilcoxon didapatkan mean tekanan
darah sistol sebelum diberikan terapi bekam
pada minggu kedua adalah 158,33 dengan
standar deviasi 11,598. Hasil mean tekanan
darah sistol sesudah diberikan terapi bekam
adalah 140,0 dengan standar deviasi 13,628.
Nilai mean tekanan darah diastol sebelum
diberikan terapi bekam adalah 86,33 dengan
standar deviasi 4,806, sedangkan mean
tekanan darah diastol sesudah diberikan
terapi bekam adalah 75,67 dengan standar
deviasi 6,230. Dari hasil uji statistik
didapatkan
adanya
penurunan
yang
signifikan antara mean tekanan darah
sebelum dan sesudah diberikan terapi bekam
pada minggu kedua dimana p value sistol =

0,001 dan p value diastol = 0,001 dengan 5


% (p < 0,05).
Tabel 6
Perbedaan
rata-rata
tekanan
darah
responden sebelum terapi bekam pada
minggu pertama dan minggu kedua
Variabel

Minggu I

Minggu II

Mean

SD

Mean

SD

Sistol

166,0

12,98
4

158,33

11,5
98

0,124

Diastol

96,67

6,172

86,33

4,80
6

0,000

Berdasarkan
tabel
6
diatas,
didapatkan hasil uji statistik mann-whitney
tekanan darah sistol sebelum terapi bekam
pada minggu pertama yaitu mean 166,0
dengan standar deviasi 12,984, sedangkan
pada minggu kedua didapatkan mean 158,33
dengan standar deviasi 11,598. Pada tekanan
darah diastol sebelum terapi bekam pada
minggu pertama, didapatkan mean 96,67
dengan standar deviasi 6,172 dan pada
minggu kedua didapatkan mean diastol 86,33
dengan standar deviasi 4,806. Hasil analisis
didapatkan P value sistol = 0,124 dimana
berarti nilai tersebut lebih besar dari 5 %
(p<0,05) sehingga tidak ada perbedaan yang
signifikan pada tekanan darah sistol sebelum
terapi bekam pada minggu pertama dan
kedua. Pada tekanan darah diastol didapatkan
p value diastol = 0,000 dimana berarti ada
perbedaan yang signifikan pada tekaanan
darah diastole setelah terapi bekam pada
minggu pertama dan kedua.
Tabel 7
Perbedaan rata-rata tekanan darah
responden sesudah terapi bekam pada
minggu pertama dan minggu kedua
Variabel

Sistol

Minggu I

Minggu II

Mean

SD

Mean

SD

152,0

9,5
99

140,0

13,62
8

Diasto
l

92,67

7,9
88

75,67

6,230

0,000

Berdasarkan
tabel
7
diatas,
didapatkan hasil uji statistik T independent
untuk tekanan darah sistol sesudah terapi
bekam pada minggu pertama dengan mean
152,0 dan standar deviasi 9,599, sedangkan
pada minggu kedua didapatkan mean 140,0
dan standar deviasi 13,628. Pada tekanan
darah diastol sesudah terapi bekam
digunakan
uji
mann-whitney
yang
didapatkan hasil mean 92,67 dengan standar
deviasi 7,988 untuk minggu pertama,
sedangkan untuk minggu kedua didapatkan
mean 75,67 dengan standar deviasi 6,230.
Hasil analisis didapatkan p value sistol =
0,009 dan p value diastol = 0,000 dimana
berarti nilai sistol dan diastol sesudah terapi
bekam pada minggu pertama dan minggu
kedua lebih kecil dari 5 % (p<0,05)
sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan
yang signifikan pada tekanan darah sistol
dan diastol sesudah terapi bekam pada
minggu pertama dan kedua.
Tabel 8
Perbedaan tekanan darah responden
sesudah terapi bekam pada minggu pertama
dengan sebelum terapi bekam pada minggu
kedua
Sesudah
terapi
bekam pada
minggu
pertama

Sebelum
terapi
bekam pada
minggu
kedua

Mean

SD

Mean

SD

Sistol

152,0

9,59
9

158,3
3

11,5
98

0,147

Diastol

92,67

7,98
8

86,33

4,80
6

0,017

Variabel

0,009

Dari uji statistik mann-whitney pada


tabel 8 diatas didapatkan mean tekanan darah
sistol sesudah diberikan terapi bekam pada
minggu pertama adalah 152,0 dengan standar
deviasi 9,599. Pada minggu kedua setelah

terapi bekam didapatkan mean 158,33


dengan standar deviasi 11,598. Nilai mean
tekanan darah diastol sesudah terapi bekam
pada minggu pertama adalah 92,67 dengan
standar deviasi 7,988 dan pada minggu
kedua sebelum terapi bekam didapatkan hasil
mean 86,33 dengan standar deviasi 4,806.
Hasil analisis didapatkan p value sistol =
0,147 dimana berarti tidak ada perbedaan
yang signifikan pada tekanan darah sistol
sesudah terapi bekam pada minggu pertama
dengan tekanan darah sistol sebelum terapi
bekam pada minggu kedua. Hasil analisis
untuk p value diastol = 0,017 dimana berarti
nilai tekanan diastole sesudah terapi bekam
pada minggu pertama dan sebelum terapi
bekam pada minggu kedua lebih kecil dari
5 % (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan
ada perbedaan yang signifikan pada tekanan
darah sesudah terapi bekam pada minggu
pertama dan sebelum terapi bekam pada
minggu kedua.
Tabel 9
Perbedaan rata-rata tekanan darah
responden sebelum diberikan terapi bekam
pada minggu pertama dengan sesudah
diberikan terapi bekam pada minggu kedua

Variabel

Sebelum
terapi
bekam
pada
minggu
pertama

Sesudah
terapi
bekam
pada
minggu
kedua

Mean

SD

Mean

SD

Sistol

166,0

12,
984

140,0

13,
628

0,000

Diastol

96,67

6,1
72

75,67

6,2
30

0,000

Dari uji statistik T Independent


untuk tekanan darah sistol pada tabel 9 diatas
didapatkan mean sebelum diberikan terapi
bekam pada minggu pertama adalah 166,0
dengan standar deviasi 12,984 dan mean
sesudah terapi bekam pada minggu kedua
adalah 140,0 dengan standar deviasi 13,628.

Uji mann-whitney pada tekanan darah diastol


sebelum terapi bekam pada minggu pertama
didapatkan hasil mean 96,67 dengan standar
deviasi 6,172 dan sesudah terapi bekam
didapatkan mean tekanan darah diastol 75,67
dengan standar deviasi 6,230. Hasil analisis
didapatkan p value sistol = 0,000 dan p
value diastol = 0,000 dimana berarti nilai
tekanan darah sistol dan diastol sebelum
terapi bekam pada minggu pertama dan
sesudah terapi bekam di minggu kedua lebih
kecil dari 5 % (p<0,05) sehingga dapat
disimpulkan ada perbedaan yang signifikan
pada tekanan darah sebelum diberikan terapi
bekam pada minggu pertama dan sesudah
diberikan terapi bekam pada minggu kedua.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan pada pasien hipertensi primer
yang datang ke Pusat Pengobatan Al-Jawad
didapatkan bahwa secara umum distribusi
hampir merata pada karekteristik usia yaitu
masing-masing terdapat 4 responden (26,7
%) pada rentang usia 40-45 tahun, 51-55
tahun, dan 56-60 tahun. Untuk rentang usia
46-50 tahun didapatkan jumlah sebanyak 3
responden (20 %). Hal ini didukung oleh
Fucci (2010) yang menyatakan bahwa
hipertensi sering ditemukan pada usia 35
tahun keatas meskipun juga bisa terjadi pada
remaja dan anak-anak. Copstead dan
Jacquelyn (2005) juga menyatakan bahwa
kejadian hipertensi berbanding lurus dengan
peningkatan
usia.
Arteri
kehilangan
elastisitas
atau
kelenturan
seiring
bertambahnya usia, kebanyakan orang
hipertensinya meningkat ketika berusia 5060 tahun.
Distribusi responden berdasarkan
jenis kelamin didapatkan bahwa responden
terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 8
responden (53,3 %) dan responden wanita
berjumlah 7 orang (46,7 %). Hal ini sesuai
dengan peryataan Wood (2010) bahwa
tekanan darah tinggi lebih sering terjadi pada
pria. Wanita lebih cenderung terjadi
hipertensi setelah menopause. Pria beresiko
lebih
tinggi
menderita
hipertensi
dibandingkan wanita hingga usia 55 tahun.

Satu dari lima pria yang berusia antara 35


sampai 44 tahun memiliki tekanan darah
tinggi (Sustrani, Alam, & Hadibroto, 2004).
Secara umum distribusi responden
berdasarkan tingkat pendidikan terbanyak
adalah tingkat pendidikan SMP dan SMA
yang masing-masing sebanyak 6 responden
(40 %) dan paling sedikit dengan tingkat
pendidikan PT, yaitu hanya 3 responden (20
%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan
oleh
Sugiharto,
Suharyo,
Sukandarno, dan Shofa (2003), dimana pada
penelitian yang dilakukan terhadap 310
pasien hipertensi didapatkan responden
paling banyak yaitu yang tidak pernah
sekolah sebanyak 48 orang (31%).
Pendidikan responden paling sedikit adalah
tamat akademi yaitu 1 (0,6%) dan tamat
pasca sarjana 1 (0,6%). Tingkat pendidikan
dapat mempengaruhi kemampuan dan
pengetahuan seseorang dalam menerapkan
perilaku hidup sehat, terutama mencegah
kejadian hipertensi. Semakin tinggi tingkat
pendidikan maka semakin tinggi pula
kemampuan seseorang dalam menjaga pola
hidupnya agar tetap sehat (Budhiati, 2010).
Distribusi jenis pekerjaan responden
terdiri dari PNS (Pegawai Negeri Sipil),
Swasta, Wiraswasta, dan IRT (Ibu Rumah
Tangga). Responden terbanyak bekerja
sebagai wiraswasta sebanyak 6 orang (40 %),
swasta sebanyak 5 orang (33,3 %), PNS
sebanyak 3 responden (20 %), dan IRT
dengan responden paling sedikit yaitu 1
orang (6,7 %). Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh aktivitas dan tuntutan kerja
yang tinggi pada wiraswasta pada umumnya,
dimana mereka harus terus memikirkan cara
mempertahankan
dan
mengembangkan
usahanya yang bisa memicu timbulnya stres.
Berbeda dengan ibu rumah tangga dimana
kebanyakan dari mereka hanya berdiam diri
di rumah dan dapat menhilangkan stres
dengan lebih banyak bersantai dirumah
disbanding wiraswasta. Hal ini didukung
oleh Black dan Hawks (2005) bahwa stres
meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer. Stres juga menstimulasi aktivitas
sistem saraf simpatis sehingga jantung
memompa lebih cepat. Resistensi (daya

tahan) pembuluh darah perifer tersebut


menyebabkan aliran darah tidak lancar dan
akhirnya terjadi hipertensi. Saat stres terjadi,
yang terlepas adalah hormone epinefrin atau
adrenalin.
Aktivitas
hormon
ini
meningkatkan tekanan darah secara berkala.
Jika stres berkepanjangan, peningkatan
tekanan darah menjadi permanen (Marliani
& Tantan, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan pada 15 responden, tekanan
darah diukur menggunakan tensimeter jarum
merek Gea. Responden diberikan terapi
bekam sebanyak 2 kali selama 2 minggu.
Dari hasil uji T dependent
menunjukkan bahwa ada penurunan yang
signifikan antara mean tekanan darah
responden sebelum dan sesudah diberikan
terapi bekam, sehingga dapat disimpulkan
bahwa terapi bekam efektif dalam
menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi primer. Pada hipertensi primer
akan terjadi peningkatan tekanan darah yang
konstan jika tidak diatasi sehingga
diperlukan usaha untuk mengontrolnya.
Salah satu usaha yang biasa dilakukan pasien
adalah
dengan
mengkonsumsi
obat
antihipertensi secara terus menerus. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini dilakukan
terapi bekam sebagai pengontrol tekanan
darah responden. Responden mengaku
bahwa sakit kepala dan nyeri tengkuk yang
dialami oleh sebagian besar responden
berkurang dan hilang.
Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Fera (2012)
bahwa terjadi penurunan tekanan darah ratarata pada 20 responden hipertensi sebelum
dan sesudah terapi bekam dengan nilai P
value sistol = 0,000 dan P value diastol =
0,003 dimana P < 0,05 yang menunjukkan
bahwa terapi bekam dapat menurunkan
tekanan darah pada penderita hipertensi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
pernyataan dr. Wadda Amani Umar dalam
Bekam Sunnah Nabi dan Mukjizat Medis
(Naufal, 2008) yaitu bekam dapat
menurunkan tekanan darah. Menurutnya, di
bawah kulit dan otot terdapat banyak titik
saraf. Titik-titik ini saling berhubungan

antara organ tubuh satu dengan lainnya


sehigga bekam dilakukan tidak selalu pada
bagian tubuh yang sakit namun pada titik
simpul saraf terkait. Pembekaman yang
dilakukan dengan memberikan usaha
perusakan permukaan kulit dan jaringan
bawah kulit memberikan efek menormalkan
tekanan darah. Dalam mekanisme tersebut
terjadi perbaikan mikrosirkulasi pembuluh
darah sehingga timbul efek relaksasi pada
otot (Nilawati, Krisnatuti, Mahendra, &
Djing, 2008). Kerusakan disertai keluarnya
darah kotor ini juga akan dilepaskan
beberapa zat seperti serotonin, histamin,
bradiknin, slow reactio substance (SRS). Zat
ini menyebabkan terjadinya dilatasi kapiler
dan artiriol, serta flare reaction pada daerah
yang dibekam. Dilatasi kapiler juga dapat
terjadi ditempat yang jauh dari tempat
pembekaman. Ini menyebabkan terjadi
perbaikan mikrosirkulasi pembuluh darah
yang
menimbulkan
efek
relaksasi
(pelemasan) otot-otot yang kaku serta akibat
vasodilatasi umum
akan menurunkan
tekanan darah secara stabil. Yang terpenting
adalah
dilepaskannya
corticotrophin
releasing factor (CRF), serta releasing
factors lainya oleh adenohipofise. CRF
selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya
ACTH, corticotrophin dan corticosteroid.
Corticosteroid ini mempunyai efek untuk
menyembuhkan
peradangan
serta
menstabilkan permeabilitas sel (Yasin,
2005).
Responden pada penelitian ini
menyatakan bahwa mereka mendapat
kenyamanan setelah terapi bekam, mereka
juga menyatakan sakit kepala dan nyeri
tengkuk yang sering mereka alami berkurang
bahkan
hilang.
Bekam
menjadikan
mikrosirkulasi pembuluh darah sehingga
timbul efek relaksasi pada otot sehingga
dapat menurunkan tekanan darah (Naufal,
2008).
Seseorang yang dalam kondisi
tertekan, hormon adrenalin dan kortisol akan
dilepaskan ke dalam darah sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah (Widharto, 2007),
jika ini terus-menerus terjadi maka dapat
mengakibatkan terjadinya hipertensi. Hal ini

berarti menunjukkan bahwa terapi bekam


dapat mengurangi risiko terkena hipertensi
dengan membantu mengurangi ketegangan
otot dan mikrosirkulasi pembuluh darah pada
responden.
Hasil-hasil
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
terapi
bekam
berpengaruh atau memiliki efek yang positif
terhadap tekanan darah.
Penelitian
ini
mendapatkan
kesimpulan bahwa terapi bekam terbukti
mempengaruhi
beban
kerja
jantung,
merevitalisasi
pembuluh
darah,
dan
mendatangkan ketenangan yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap tekanan
darah. Oleh karena itu, terapi bekam efektif
untuk membantu menurunkan tekanan darah
atau mengontrol tekanan darah agar tetap
stabil pada penderita hipertensi primer.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang
Efektifitas terapi bekam terhadap penurunan
tekanan darah pada penderita hipertensi
primer, yang dilakukan terhadap 15
responden didapatkan responden rata-rata
berusia 51,9 tahun dan paling banyak
berpendidikan SMP dengan status pekerjaan
sebagai wiraswasta. Dari hasil pengukuran
diperoleh nilai rata-rata tekanan darah
sebelum dibekam sebesar 166/96,67. Setelah
diberikan terapi bekam selama 2 minggu
sebanyak 2 kali, terjadi penurunan rata-rata
tekanan darah yang signifikan yaitu dengan
mean sebesar 140,/75,67.
Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya penurunan tekanan darah yang
signifikan pada responden setelah diberikan
terapi bekam dengan hasil uji statistik
dengan p value = (0,000) < (0,05). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa terapi
bekam efektif dalam menurunkan tekanan
darah pada pasien dengan hipertensi primer.
Peneliti berharap kepada berbagai
pihak untuk menindaklanjuti penelitian ini
antara lain:
1. Bagi institusi kesehatan
Hasil
penelitian
ini
dapat
memberikan kontribusi dan masukan
bagi Puskesmas-puskesmas atau fasilitas
kesehatan
lainnya
untuk
dapat

menggunakan hasil penelitian ini sebagai


salah satu terapi alternatif dalam
pengobatan hipertensi primer dan agar
dapat
disosialisasikan
kepada
masyarakat. Kepada petugas kesehatan
yang ada diharapkan agar dapat kembali
memperhatikan
cara
penanganan
hipertensi primer mengingat kejadiannya
yang semakin meningkat.
2. Bagi Pusat Pengobatan Al-Jawad
Hasil
penelitian
ini
dapat
digunakan oleh pasien yang datang
berobat ke Pusat Pengobatan Al-Jawad
untuk mengetahui manfaat terapi bekam
bagi penderita hipertensi. Peneliti juga
berharap agar Pusat Pengobatan AlJawad lebih memperhatikan prinsip steril
dalam pelaksanaan terapi bekam.
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini agar dapat
diaplikasikan oleh responden dan
keluarga dalam membantu menurunkan
tekanan darah secara efisien dan efektif.
Selain itu, masyarakat diharapkan lebih
berhati-hati dalam mengkonsumsi obatobatan kimia dan ada baiknya mencoba
pengobatan alternatif sebagai pilihan
pengobatan dalam mengatasi hipertensi
primer.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil
penelitian
ini
dapat
dijadikan sebagai evidence based dan
tambahan
informasi
untuk
mengembangkan penelitian lebih lanjut
tentang manfaat lain dari terapi bekam
terhadap kesehatan dengan jumlah
sampel yang lebih banyak dan teknik
penelitian yang lebih baik.

1. Susiana Jansen, S.Kep Mahasiswa


Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Riau
2. Ns. Darwin Karim, M.Biomed Dosen
Departemen Medikal Bedah Program
Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Riau

3. Ns. Misrawati, M.Kep., Sp.Mat Dosen


Departemen Maternitas Program Studi
Ilmu Keperawatan Universitas Riau
DAFTAR PUSTAKA
Ana. (2007). Ancaman serius hipertensi di
Indonesia. Farmacia. Diperoleh
tanggal 22 Desember 2012 dari
http://www.majala-farmacia.com.
Ahmadia, A. F. K., & Schwebelb, D. C.
(2008). The Efficacy of Wet-Cupping
in the Treatment of Tension and
Migraine Headache. The American
Journal of Chinese Medicine. 36(1);
37-44.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2005).
Medical surgical nursing: Clinical
management for positive outcomes.
(7th ed). Vol.2. Missouri: Elsevier
Saunders.
Braverman, E., & Braverman, D. (2008).
Penyakit
jantung
dan
penyembuhannya secara alami (A.
Rahmalia, Terj). Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu
Populer.
(Naskah
asli
dipublikasikan tahun 1996).
Budhiati. (2010). Sistem belajar mengajar.
Diperoleh tanggal 27 Mei 2013 dari
dglib.uns.id
Bupa. (2009). Management of hypertension.
Health Information Bupa. Diperoleh
tanggal 15 Desember 2010 dari
http://www.bupa.co.uk.
Burn, N., & Grove, S. K. (2005). The
pracrice of nursing research:
Conduct, critique, and utilization. (5th
ed). Missouri: Elsevier Saunders.
Copstead, L. C., & Jacquelyn, L. B. (2005).
Pathophisioloy. Missouri: Elsevier
Saunders.
Dalimartha, S., Purnama, B. T., Sutarina, N.,
Mahendra, B., & Darmawan, R.

(2008). Care Your Self, Hipertensi.


Jakarta: Penebar Plus.
Dahlan, M. S. (2009). Statistik untuk
kedokteran dan kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Dinkes Kota Pekanbaru. (2012). Laporan
tahunan tahun 2011. Pekanbaru:
Dinkes Kota Pekanbaru.
Dinkes Provinsi Riau. (2011). Profil
kesehatan Provinsi Riau tahun 2010.
Pekanbaru; Dinkes Provinsi Riau.
Fatahillah. (2007). Keampuhan
Jakarta: Qultum Media.
Fera.

bekam.

(2012). Pengaruh terapi bekam


terhadap tekanan darah pada pasien
hipertensi di klinik bekam De Besh
Centre Arrahmah dan Rumah Sakit
Sabbihisma Kota Padang. Jurnal
Keperawatan Universitas Andalas.
Diperoleh tanggal 15 Juni 2013 dari
http://repository.unand.ac.id.

Gardner, F. S. (2007). Smart treatment for


high blood pressure. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Hastono, S. P. (2007). Analisis
kesehatan. Jakarta: FKM UI.

data

Hidayat, A. A. A. (2007). Riset keperawatan


& teknik penulisan ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika.
Saryono.
(2009).
Penurunan
kadar
kolesterol
total
pada
pasien
hipertensi yang mendapat terapi
bekam di Klinik An-Nahl Purwokerto.
Jurnal Keperawatan Soedirman (The
Soedirman Journal of Nursing),
Volume 5, No.2 Purwokerto.
Majid. (2009). Penelitian tentang bekam.
Diperoleh tanggal 6 Januari 2013 dari
http://www.islamichealingcentre.com
.

Marliani, L., & S. Tantan, H. (2007). 100


Questions & answers hipertensi.
Jakarta: Media Komputindo.
Matz, Jenilee. (2010). Risk factors for high
blood pressure. My Optum Health.
Diperoleh tanggal 15 Desember 2012
dari http://www.myoptumhealth.com.
Muhadi & Muadzin. (2002). Semua penyakit
ada obatnya. Yogyakarta: Mutiara
Media.
Naufal. (2008). Penelitian tentang bekam.
Diperoleh tanggal 6 Januari 2013 dari
http://www.islamichealingcentre.com
.
Nastiti. (2012). Bekam kering ringankan
nyeri punggung. Diperoleh tanggal 9
Maret 2013 dari www.solopos.com.
Nilawati, S., Krisnatuti, D., Mahendra, &
Djing, O.G. (2008). Care Yourself,
Kolesterol. Jakarta: Penebar Plus.
Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi
penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi
penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Pearce, E. C. (2009). Anatomi dan fisiologi
untuk paramedis. Jakarta: Gramedia.
Permadi, A. (2008). Ramuan herbal
penumpashipertensi. Jakarta: Redaksi
Agromedia.
Porth, C. (2005). Pathophysiology: Concepts
at altered health states. (7th ed).
Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
PSIK-UNRI. (2008). Pedoman penulisan
skripsi dan penelitian. Pekanbaru:
Program Studi Ilmu Keperawatan.

Ronny., Setiawan., & Fatimah, S. (2010).


Fisiologi kardiovaskular berbasis
masalah keperawatan. Jakarta: EGC
Sari, W., Indrawati, L., & Djing, O.G.
(2008). Care yourself, hepatitis.
Jakarta: Penebar plus.
Setiadi. (2007). Konsep dan penulisan riset
keperawatan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

WHO. (2012). World health statistic. France:


World Health Organization.
Widada, W. (2010). Penelitian tentang
bekam. Diperoleh tanggal 6 Januari
2013
dari
http://www.islamichealingcentre.com
.
Widharto. (2007). Bahaya hipertensi. Jakarta
Selatan: Sunda Kelapa Pustaka.
Wong.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Buku


ajar keperawatan medikal-bedah.
Edisi 8. Jakarta: EGC.
Stoppard, M. (2006). Family Health Guide.
Jakarta: Erlangga.
Suparto. (2003). Sehat menjelang usia senja.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sustrani, L., Alam, S., & Hadibroto, I.
(2004). Hipertensi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Sutomo, B. (2009). Menu sehat penakluk
hipertensi. Jakarta: Demedia Pustaka.
Turana. (2010). Bagaimana mengukur
tekanan darah yang benar. Diperoleh
tanggal 16 Maret 2013 dari
http://www.medikaholistik.com.
Umar. (2008). Penelitian tentang bekam.
Diperoleh tanggal 6 Januari 2013 dari
http://www.islamichealingcentre.com
.
Wahyuni, T. ( 13 September 2008).
Hipertensi tak terkontrol merusak
organ tubuh. Suara Karya Online.
Diperoleh tanggal 19 Desember 2012
dari www.suarakaryaonline.com.
Weber, C. (2012). Age and high blood
pressure. Diperoleh tanggal 15
November
2012
dari
http://highbloodpressure.about.com/o
d/understandyourrisk/a/age_art.htm.

(2010). 9 terapi pengobatan


terdahsyat. Jakarta: Penebar Plus.

Wood, L. G., & Judith, H. (2006). Nursing


research: Methods and critical
appraisal
for
evidence-based
th
practice. (6 ed). Missouri: Mosby
Elsevier.
Yasin. (2005). Bekam, sunnah Nabi dan
mukjizat medis. Solo: Al-Qowam.

Anda mungkin juga menyukai