Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa susunan Negara
Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya
menganut

prinsip

kerakyatan

yang

dipimpin

oleh

hikmat

kebijaksanaan

dalam

permusyawaratan/perwakilan. Untuk mengisi dan menjalankan peran perwakilan sebagai


tonggak dasar kedaulatan di Indonesia maka dibutuhkan Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai
sarana penegakannya. Hal ini dikarenakan rakyat akan menyalurkan aspirasinya secara langsung
untuk menentukan arah pemerintahan yang diinginkannya pada setiap pelaksanaan Pemilu
Tujuan penyelenggaraan Pemilu (general election) atau Pemilu itu pada pokoknya dapat
dirumuskan ada 4 (empat), yaitu untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan
pemerintahan secara tertib dan damai, untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang
akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan, untuk melaksanakan prinsip
kedaulatan rakyat, dan untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara. Untuk mencapai
tujuan Pemilu, maka harus dilakukan Pemilu yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil.Selain itu, diperlukan pengawasan yang ketat dalam setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu serta penggunaan sistem Pemilu yang efektif. Dengan demikian, akan
tercipta pemerintahan yang mendapat delegasi menjalankan segala wewenang dan tanggung
jawabnya kepada rakyat. Namun, dalam setiap peyelenggaraan Pemilu, bukan tidak mungkin
terjadi pelanggaran terhadap asas-asas Pemilu.Selain itu, terdapat berbagai macam bentuk
pelanggaran serta timbulnya sengketa mengenai hasil Pemilu.Untuk itu, diperlukan sebuah
mekanisme hukum yang tegas serta ditentukan pula lembaga atau badan mana yang berwenang
mengatasi persoalan tersebut. Sehingga dilakukanlah Amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar 1945, yang melalui Pasal 24C ayat 1 ditentukan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK)
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final yang
salah satunya adalah untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilu.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut: (1) Menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, (2) Memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, (3) Memutus pembubaran partai politik, dan (4)
Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta satu kewajibannya adalah Mahkamah
Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan
Sengketa Pemilu ?
2. Bagaimanakah wewenang dan mekanisme Prosedur
Mahkamah Konstitusi ?

BAB II

Pengajuan Perselisihan di

PEMBAHASAN

A. Sengketa Hasil Pemilu


1. Pengertian Perselisihan Hasil Pemilu
Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang Pemilu
yang dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) pelanggaran yakni pelanggaran pidana dan
pelanggaran administrasi. Pelanggaran pidana adalah tindakan-tindakan yang menurut Undangundang Pemilu ditetapkan sebagai tindakan kriminal dan berakibat pada hukuman penjara
dan/atau denda, sedangkan pelanggaran Administratif adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap
ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemilu dan tidak didefinisikan
sebagai tindakan kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman dan/atau denda. Konsekuensi
dari pelanggaran Administratif adalah tidak diikutsertakannya DPR, DPD, DPRD Provinsi dan
DPRD Kab/Kota sebagai peserta Pemilu. Pelanggaran Pemilu diselesaikan oleh Panwaslu atau
KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Pelanggaran pemilu adalah semua tindakan yang menurut
Undang-undang pemilu telah keluar dari apa yang telah digariskan oleh Undang-undang tersebut.
Perselisihan hasilpemilu atau yang lebih dikenal denganistilahsengketa hasilpemilu adalah
perselisihan antara peserta pemilu dan KPU

sebagai penyelenggara pemilu mengena

ipenetapan secara nasional perolehan suara hasi lpemiluoleh KPU, termasuk juga Perselisihan
antara peserta Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/ Kota di Aceh dan Komisi Independen Pemilihan (KIP). Hal ini ditegaskan pada
Pasal 1 angka 17 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Pemohon dalam sengeketa pemilu antara lain Perseorangan calon anggota DPD Peserta
Pemilu, Partai Politik Peserta Pemilu, Partai Politik dan Partai Politik Lokal Peserta Pemilu
Anggota DPRA dan DPRK di Aceh, dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. (Pasal 3
PMK No. 14/2008).Dalam Termohon adalah KPU.Dalam hal perselisihan hasil penghitungan
suara calon anggota DPRD Provinsi dan/atau DPRA, KPU Provinsi dan/atau KIP Aceh menjadi
Turut Termohon. Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD

Kabupaten/Kotadan/atau DPRK di Aceh, KPU Kabupaten/Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota


diAceh menjadi Turut Termohon. (Pasal 4 PMK No. 14/2008).
2. Obyek atau Materi Perselisihan
Setiap gugatan harus berdasarkan suatu argumen. Phil Green dan Louise Olivier mengusulkan
beberapa aspek pemilu yang dapat dipertanyakan atau menjadi dasar gugatan, termasuk di
antaranya, ketidakakuratan daftar pemilih, intimidasi terhadap pemilih, kecurangan atau
dihalangi dari pemungutan suara, soal netralitas dan partisan-tidaknya pelaksana atau petugas
pemilu, wajar-tidaknya tindakan kandidat atau partai politik, pemenuhan persyaratan kandidat
untuk dipilih, penipuan suara, atau kesalahan atau ketidakberesan dalam proses perhitungan
suara.1Permohonan adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan
secara nasional oleh KPU yang memengaruhi:
a. terpenuhinya ambang batas perolehan

suara 2,5% (dua

koma lima

perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1)Undang-Undang Nomor 10


Tahun 2008 mengenai Pemilu AnggotaDPR, DPD, dan DPRD.
b. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu dan kursi calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik di suatu daerah pemilihan.
c. Terpilihnya calon anggota DPD. (Pasal 5PMK No.14/2008).
Sedangkan materi permohonan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presidenadalah:
a. Penentuan

Pasangan

Calon yang

masuk pada putaran

Presiden dan Wakil Presiden.


b. Terpilihnya pasangan
calon Presiden

dan

kedua Pemilu

Wakil Presiden.

Berkaitan dengan obyek perselisihan, yang dapat digugat adalah Keputusan KPU tentang
penetapan

hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilu tingkat nasional.Keputusan KPU

tersebut juga tidak sembarang dapat digugat. Permohonan hanya dapat diajukan terhadap
penetapan hasil pemilu yangdilakukan secara nasional oleh KPU yang memengaruhi terpilihnya
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau perolehan kursi partai politik peserta
pemilu di suatu daerah pemilihan. Oleh karena itu, terhadap berkas permohonan keberatan,
1 Bintang R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan PemilihanUmum di Indonesia,
Jakarta, Gaya Media Pratama, 1987, hlm, 79.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam persidangan pendahuluan harus memeriksa apakah
penghitungan suara yang dianggap benar oleh pemohon dapat memengaruhi terpilihnya calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau perolehan kursi partai politik peserta pemilu di
suatu daerah pemilihan,atau tidak.Bila memang penghitungan suara yang dianggap benar oleh
pemohon terdapat potensi untuk memengaruhi terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), atau perolehan kursi partai politik peserta suatu daerah pemilihan, maka sidang
pemeriksaan dapat dilanjutkan.Bila tidak terdapat potensi tersebut, Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi dalamamar putusannya harus menyatakan bahwa permohonan tidak memenuhisyarat
dan permohonan dinyatakan tidak dapat diterima.
3. Waktu Pengajuan Keberetan
Pemohon keberatan harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi dalam jangka
waktu 3 kali 24 jam sejak pengumuman oleh KPU tentang penetapan hasil pemilu secara
nasional. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau
kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani
oleh:
a. Ketua Umum

dan

Sekretaris

Jenderal

dari

dewan

pimpinan

pusa tatau nama yang sejenisnya dari Partai Politik Peserta Pemilu atau kuasanya.
b. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan
atau nama yang
sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya.
c. Calon anggota DPD pesertaPemilu atau kuasanya.
d. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden atau kuasanya.
Luasnya wilayah Indonesia dapat menjadi kendala sendiri dalam memenuhi tenggat waktu 3
kali 24 jam di atas. Oleh sebab itu, adanya mekanisme permohonan secara online atau alat
lainnya (faksimili) sangat membantu. Dalam hal ini, permohonan yang diajukan calon anggota
DPD dan/atau partaipolitik lokal peserta Pemilu DPRA dan DPRK di Aceh dapat dilakukan
melaluipermohonan online, e-mail, atau faksimili, dengan ketentuan permohonan aslisudah
harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 3 (tiga)hari terhitung sejak
habisnya tenggat.

4. Alat Bukti

Pemohon keberatan harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi dalam jangka
waktu 3 kali 24 jam sejak pengumuman oleh KPUtentang penetapan hasil pemilu secara
nasional. Permohonan diajukansecara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau
kuasanya kepadaMahkamah Konstitusi dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani
oleh:
a. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat
b. atau nama yang sejenisnya dari Partai Politik Peserta Pemilu ataukuasanya.
c. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan ataunama yang sejenisnya
dari partai politik lokal atau kuasanya.
d. Calon anggota DPD peserta Pemilu atau kuasanya.
e. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden atau kuasanya.
Luasnya wilayah Indonesia dapat menjadi kendala sendiri dalam memenuhitenggat waktu 3 kali
24 jam di atas.Oleh sebab itu, adanya mekanismepermohonan secara online atau alat lainnya
(faksimili) sangat membantu.Dalam hal ini, permohonan yang diajukan calon anggota DPD
dan/atau partaipolitik lokal peserta Pemilu DPRA dan DPRK di Aceh dapat dilakukan
melaluipermohonan online, e-mail, atau faksimili, dengan ketentuan permohonan aslisudah
harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak
habisnya tenggat.
a. Berita acara dan salinan pengumuman
hasil pemungutan suara
b. Partai politik peserta pemilu dan calon anggota DPR, DPD, danDPRD di TPS.
c. Berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan
suara partai politik peserta
pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari PPS.
d. Berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik

, peserta pemilu dan

calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari PPK.

Dalam gugatan perselisihan hasil pemilu, pemohon harus dapat menguraikandengan jelas dan
rinci tentang kesalahan dari penghitungan suara yangdiumumkan oleh KPU dan hasil
penghitungan suara yang benar menurutpemohon (suara yang diklaim benar oleh pemohon).
Dalam hal ini, pemohonharus dapat menjelaskan secara rinci tentang terdapatnya kesalahan
penghitungan suara, yaitu dengan menunjukkan kesalahan penghitungan suara secara tepat di
tingkat tertentu (TPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, atau KPU). Alat bukti
yang dapat digunakan dalamgugatan perselisihan hasil pemilu adalah surat atau tulisan,

keterangansaksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk, dan alat bukti lainberupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secaraelektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu.Alat bukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan
perolehannyasecara

hukum.Dalam

hal

alat

bukti

tidak

dapat

dipertanggungjawabkanperolehannya secara hukum, alat itu tidak dapat dijadikan alat bukti
yangsah.Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat buktidalam persidangan
Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusimenilai alat-alat bukti yang diajukan
ke persidangan dengan memperhatikanpersesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti
yang lain.Alat bukti dokumen tersebut dapat digunakan apabila memiliki keterkaitanlangsung
dengan obyek perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan keMahkamah Konstitusi, dan alat
bukti surat atau tulisan dibubuhi materaisecukupnya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.Bila demikian halnya, walaupun pemohon mendalilkan perolehan
hasilpenghitungan suara yang benar menurut pemohon, namun alat bukti yangdapat digunakan
dalam persidangan hanyalah berupa dokumen-dokumenresmi (dalam hal ini Berita Acara dan
Sertifikat) yang dikeluarkan secara saholeh penyelenggara pemilu.Pada dasarnya pemohon tidak
dibenarkan menggunakan alat bukti berupa dokumen hasil penghitungan suara yangdibuat oleh
pemohon sendiri secara sepihak.
5. Proses penyelesaian sengketa pemilu di Panitia Pengawas Pemilu
Proses penyelesaian sengketa pemilu di Panitia Pengawas Pemilu, antara lain :
a. Penetapan berkas laporan sebagai sengketa Pemilu oleh Panitia Pengawas Penerima
Laporan.
b. Penyerahan berkas laporan sengketa pemilu oleh Pengawas Pemilu penerima laporan
kepada Pengawas Pemilu yang berwenang.
c. Pengkajian dan pemeriksaan berkas laporan tentang sengketa pemilu oleh Pengawas
Pemilu yang berwenang.
d. Pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa ole Pengawas Pemilu yang berwenang.
B. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu

Konstitusi secara sederhana oleh Brian Thompson dapat diartikan sebagai suatu dokumen yang
berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi.2Organisasi dimaksud beragam bentuk
dan kompleksitas strukturnya. Dalam konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian peraturan
tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan
susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ negara itu,
dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga NegaraPemikiran mengenai
pentingnya suatu mahkamah konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
sebelum

merdeka.3Pembentukan

Mahkamah

Konstitusi

dimaksudkan

sebagai

sarana

penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya
tidak ditentukan dalam UUD 1945. Hal ini disebabkan UUD 1945 merupakan konstitusi
sederhana dan perlu adanya pengaturan lebih detail guna mengantisipasi problematika
ketatanegaraan yang kian hari semakin rumit dan kompleks. Hal mana telah ditegaskan oleh
Nurudin Hadi sebagai berikut :Amandemen Konstitusi Republik Indonesia yakni UndangUndang Dasar melalui perubahan ketiga yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada
sidang tahunan MPR tahun 2001, akhirnya menyepakati pembentukan Mahkamah Konstitusi.
Sebuah lembaga baru yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh kalangan pakar hukum tata negara,
mengingat eksistensinya dipandang sangat urgen dalam membangun sistem ketatanegaraan
Indonesia.4 Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah
mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk
membanding undang-undang. Namun ide ini ditolok oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan,
pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak
menganut paham trias politika.Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan
belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan
2Moh. Mahfud MD., Politik Hukum Indonesia, Jakarta, PT. Pustaka LP3ES Indonesia,
2001, hlm. 7.
3Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta;
Konstitusi Press, 2005, hal. 19 34.
4 Nurudin Hadi, Wewenang Mahkamah Konstitusi (Pelaksanaan Wewenang
Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu), Prestasi
Pustaka (Cet.I), Jakarta, 2007, hlm. 1.

salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke20.Ide pembentukan Mahkamah konstitusi pada era reformasi, mulai dikemukakan pada masa
sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), yaitu setelah seluruh
anggota Badan Pekerja MPR RI melakukan studi banding di 21 negara mengenai konstitusi pada
bulan Maret-April tahun 2000. Ide ini belum muncul pada saat perubahan pertama UUD 1945,
bahkan belum ada satu pun fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengajukan
usul itu.Nampaknya para anggota MPR sangat terpengaruh atas temuannya dalam studi banding
tersebut.Walaupun demikian pada Sidang Tahunan MPR bulan Agustus tahun 2000, rancangan
rumusan mengenai mahkamah konstitusi masih berupa beberapa alternatif dan belum
final.Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK
sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga
ini.Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

menetapkan bahwa Mahkamah

Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai
kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden,
Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). Mahkamah
Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.5Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar
tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan
Negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut
tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku,
transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa
hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering
disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of
The Constitution.Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

5 Jazim Hamidi, dkk, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta, Total Media,
2009, hlm 46.

i.

Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia tahun 1945;

ii.

Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh


Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;

iii.

Memutus pembubaran partai politik;

iv.

Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945. Dalam beberapa wewenang tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan
setelah melakukan pengujian atas gugatan dan juga perkara yang masuk dalam buku registrasi
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan putusan selambat-lambatnya
tiga hari setelah perkara tersebut masuk dalam buku registrasi Mahkamah Konstitusi.Kewajiban
dari Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Proses

Peradilan

Mahkamah

Konstitusi

dalam

Menyelesaikan

Sengketa

Pemilu

Pada Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memerintahkan penyusunan
dengan segera Undang-undang organik tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur hal-hal
yang bersifat teknis, administratif yang meliputi antara lain: prosedur pengangkatan dan
pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi dan Ketentuan lainnya
tentang Mahkamah Konstitusi. Menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (6) Undang-Undang Dasar
(UUD)

1945

yang

selengkapnya

menyatakan,

sebagai

berikut:

Pengangkatan

dan

pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah

Konstitusi diatur dengan Undang-undang. Para pihak yang dapat berperkara atau legal standing
untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum, yang berada dalam
kewenangan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1)
UU No. 24 tahun 2003 sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 04/PMK/2004, ditentukan sebagai berikut: Pemohon adalah:
a. Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Peserta Pemilihan Umum.
b. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden.
c. Partai Politik pserta Pemilihan Umum.,

Sedangkan selain dari 3 (tiga) pihak diatas, maka tidak memiliki legal standing dan tentunya
tidak berhak untuk mengajukan permohonan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah
Konstitusi, akan tetapi tidak semua sengketa yang berkaitan dengan pemilihan umum berada
dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Karena bisa jadi sengketa Pemilu tersebut masuk
dalam kewenangan panitia pengawas Pemilu.Permohonan sengketa pemilu yang dapat
diajukan kehadapan Mahkamah Konsitusi, adalah hanya dapat diajukan penetapan hasil
pemilihan umum yang ditetapkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, yang dapat
mempengaruhi :
a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
b. Penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang masuk pada putaran kedua
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
c. Perolehan kursi yang dimenangkan oleh partai politik peserta pemilihan umum disuatu
Daerah Pemilihan. Tiga poin yang dapat mempengaruhi penetapan hasil pemilihan umum
secara nasional diatas, merupakan materi permohonan dan tentunya harus dipenuhi oleh

setiap pemohon, sehingga sengketa hasil pemilihan umum tersebut dapat dibawa kedepan
persidangan Mahkamah Konstitusi, dan apabila ke- 3 (tiga) poin tersebut tidak terpenuhi,
maka permohonan tersebut akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun posisi
Komisi Pemilihan Umum dalam hal ini, adalah menjadi pihak termohon.
Berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konsitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat bersifat final untuk menguji undangundang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Disamping itu, berdasarkan pasal 24C ayat
(2) UUD 1945, Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau wakil presiden menurut undang-undang dasar. Dalam
hal ini, akan lebih dijelaskan pada wewenang Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan
sengketa pemilu. Menyangkut hal ini kemungkinan terjadinya perselisihan pemilu sangat terbuka
dalam setiap pelaksanaan pemilu, apalagi Indonesia baru memasuki babak baru dalam kehidupan
berdemokrasi, maka pada setiap negara yang berdemokrasi terdapat lembaga pengawas dan atau
pemantau pemilu guna memperkecil terjadinya kecurangan atau pelanggaran dalam pelaksanaan
pemilu. Maka kehadiran lembaga peradilan yang berwenang memutus perselisihan hasil pemilu
juga sangat penting keberadaannya.
Sebagai mekanisme pelaksanaan demokrasi yang sekaligus sebagai instrument penting
dalam pembangunan tertib politik dalam suatu negara demokratis, pemilu laksana medan
pertempuran dari para konstestan (partai politik peserta pemilu) dalam memperebutkan simpati
dan dukungan dari rakyat (para pemilih). Akibatnya, ada kecurangan para konstestan
memanfaatkan peluang sekecil apapun untuk melakukan kecurangan demi mendapatkan
dukungan besar dari para pemilih. Disisi lain kesalahan perhitungan suara hasil pemilihan umum
yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga dapat terjadi. Maka dalam hal ini
keterlibatan lembaga peradilan untuk menangani sengketa tentang perselisihan hasil pemilu
sangat penting diperlukan untuk menjaga demokrasi dari sebuah pemilu yang diselenggarakan.
Berdasarkan perkembangan yang terjadi dewasa ini, banyak terjadi permasalahan yang
menyangkut pemilu, misalnya pemilu 2004. Dalam pemilu 2004 rakyat bukan hanya memilih

DPR, DPRD Tingkat I, DPRD Tingkat II saja, melainkan juga memilih anggota DPRD dan
memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pada pemilu 2004 menggunakan sistem
proporsional terbuka dan sistem distik.Dengan adanya hal tersebut maka timbul permasalahan
dalam pelaksanaannya. Dalam pasal 74 ayat (2) UU No. 24 tahun 2003 dinyatakan bahwa:
Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan
secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:
a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah,
b. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden,
c. Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.
Penetapan hasil pemilu anggota DPR, DPRD I,DPRD II, dilakukan secara nasional oleh KPU
menurut Pasal 104 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003, mengenai pengumuman hasil pemilu
dilakukan selambat-lambatnya 30 hari setelah pemungutan suara (hal ini tercantum pada Pasal
104 (2) UU No. 12 Tahun 2003). Sedangkan dalam hal terjadinya perselisihan tentang hasil
pemilu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 104, diperiksa dan diputuskan untuk tingkat
pertama dan terakhir oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 134 UU No. 12 tahun 2003). Penetapan
hasil rekapitulasi penghitungan suara dan pengumuman hasil pemilu presiden dan wakil
presiden, penetapan ini dilakukan oleh KPU dan terhadap penetapan hasil pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh pasangan calon ke Mahkamah Konsitusi
dalam waktu paling lambat 3 hari setelah penetapan hasil pemilihan umum oleh KPU, keberatan
tersebut hanya terhadap perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Dalam UU Mahkamah Konstitusi membatasi siapa saja yang berhak menjadi pemohon dalam
sengketa perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam Pasal 74 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi,
yang dapat menjadi pemohon dalam sengketa perselisihan hasil pemilu adalah perorangan WNI
calon anggota DPR, pasangan Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu, dan Partai Polotik
peserta pemilu. Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan akibat keberatan tersebut paling
lambat 14 hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 68
ayat (1) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden).
Pemerikasaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dilakukan untuk
tingkat pertama dan terakhir (Pasal 85 UU No. 23 Tahun 2003).

3. Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah Konstitusi


Para pihak atau yang disebut sebagai pemohon yang memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagaimana yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat mengajukan permohonan tersebut yang
secara administrasi ditujukan kepada bagian kepeniteraan Mahkamah Konstitusi, yang
memeriksa kelengkapan administrasi, misalnya keterangan lengkap dari pemohon, yang ditulis
dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas)
rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal lain
yang diminta untuk diputuskan. Untuk kepentingan itu, sebagaimana dijelaskan lebih rinci oleh
pasal 5 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.04/PMK/2004. tentang Pedoman Beracara
dalam

Perselisihan

Hasil

Pemilihan

Umum

yang

menyatakan

bahwa:

Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya dalam
12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh: (i) calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
peserta pemilihan umum atau kuasanya, (ii) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta
pemilihan umum dan kuasanya, (iii) Ketua umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan
sejenisnya dari pengurus pusat partai politik atau kuasanya.Permohonan diatas harus memuat
antaranya:
a. Identitas pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan,
kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telepon/faksimili/telepon seluler/email. Yang dihampiri
dengan alat-alat bukti yang sah, antara lain meliputi; foto copy KTP, terdaftar sebagai pemilih
yang dibuktikan dengan kartu pemilih, terdaftar sebagai peserta Pemilihan Umum (bagi partai
politik dan perseorangan calon anggota DPD).
b. Permohonan yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat dilakukan melalui
faksimili atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana dimaksud diatas sudah
harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktuu 3 (tiga) hari terhitung sejak
habisnya tenggat.Uraian yang jelas tentang; (i) Kesalahan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut
pemohon, (ii) Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut

pemohon.Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan
tersebut, antara lain alat bukti surat, misalnya foto copy sertifikat hasil penghitungan suara, foto
copy sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dalam setiap jenjang penghitungan, atau
foto copy dokumen-dokumen tertulis lainnya dalam rangkap 12 (dua belas) setelah 1 (satu)
rangkap dibubuhi materai cukup dilegalisasi. Apabila pemohon berkehendak mengajukan saksi
dan/atau ahli, daftar dan curriculum vitae saksi dan/atau ahli dilampirkan bersama-sama
permohonannya.Permohonan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3X24 jam
(tiga kali dua puluh empat) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil
pemilihan umum secara nasional. Pasal 74 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 jo Pasal 5 ayat (1)
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004. Namun, karena jangka waktu pengajuan
permohonan yang sangat singkat itu, maka cara pengajuannya juga dimudahkan yaitu dapat
melalui faksimili atau e-mail, dengan ketentuan bahwa permohonan aslinya sudah harus diterima
oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat
waktu. Permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera
Mahkamah Konstitusi.Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 UU tahun
2003, dimana dalam pasal tersebut, diatur bagaimana tata tertib beracara di Mahkamah
Konstitusi dan bagaimana mengajukan perkara oleh para pemohon yang ingin mengajukan
permohonan, baik dalam kasus yang bersifat konstitusional maupun kasus sengketa kewenangan
antar lembaga Negara yang diatur dalam UUD 1945.Dalam pelaksanaan wewenangnya sebagai
lembaga Negara yang memutuskan perkara ditingkat awal dan pada tingkat akhir yang
putusannya bersifat final dan mengikat, Mahkamah Konstitusi

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang Pemilu yang
dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) pelanggaran yakni pelanggaran pidana dan pelanggaran
administrasi.Sengketa Pemilu Adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya
perbedaan penafsiran antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan dengan
fakta kegiatan atau peristiwa hukum atau kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari
salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak yang
lain,

yang

terjadi

dalam

penyelenggaraan

Pemilu.Sengketa

Hasil

Pemilu

Sengketa hasil pemilu adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang berkaitan dengan
hasil Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi pada hasil pemilu.
Wewenang

Mahkamah

Konstitusi

Dalam

Menyelesaikan

Sengketa

Pemilu

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi
perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan Negara dan kehidupan politik.
Proses

Peradilan

Mahkamah

Konstitusi

dalam

Menyelesaikan

Sengketa

Pemilu

Para pihak yang dapat berperkara atau legal standing untuk dapat mengajukan permohonan
perselisihan hasil pemilihan umum, yang berada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 sebagaimana
yang dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie , Jimly,2005 Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta;


Konstitusi Press
Hadi, Nurudin Wewenang Mahkamah Konstitusi (Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi
Dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu), Jakarta, Prestasi Pustaka (Cet.I),
Hamidi, Jazim, dkk, 2009, Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta, Total Media
Saragih, Bintang R., 1987, Lembaga Perwakilan dan PemilihanUmum di Indonesia, Jakarta,
Gaya Media Pratama
Mahfud MD, Moh.,2001, Politik Hukum Indonesia, Jakarta, PT. Pustaka LP3ES Indonesia

TUGAS
HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN TATA NEGARA
( KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA HASIL PEMILU)

Oleh
INNES G G
1212011152

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015

Anda mungkin juga menyukai