TINJAUAN PUSTAKA
2.1
anterior lensa saja karena batasnya terbatas pada sekitar ekuator, sehingga
bagian kapsul posterior tidak terdapat epitel. Pada bagian ini, aktivitas
seluler seperti biosintesis DNA, RNA, pembentukan ATP berlangsung untuk
memberi kebutuhan energi lensa. Epitel lensa juga memiliki germinative
zone, yaitu suatu daerah melingkar pada anterior lensa yang memiliki
cakupan aktivitas sintesis DNA premitotik (Fase replikasi, fase S mitosis)
terbesar (American Academy of Ophtalmology, 2008).
Serat-serat lensa berbentuk hexagonal dan datar, jumlahnya sekitar
2100 sampai 2300, berukuran panjang 8-12 milimikron dan lebar 5-7
milimikron (Ahmed, 2001). Bagian tengah lensa disebut dengan nukleus,
dan bagian perifernya adalah korteks (Crick, 2003). Dalam Riordan-Eva
(2009), sel-sel epitelium di dekat ekuator lensa selalu berdiferensiasi
membentuk serat-serat epitel lensa baru, sehingga serat-serat yang lebih tua
dimampatkan ke bagian nukleus dan yang muda membentuk serat pada
korteks.
2008).
Kapsul
lensa
bertindak
sebagai
membran
2.2
Katarak Senilis
10
1. Definisi
Katarak senilis adalah katarak akibat proses penuaan tanpa penyakit
penyerta lainnya (Crick, 2003). Menurut Ocampo dan Foster (2012),
katarak senilis adalah penyakit yang menyebabkan gangguan penglihatan
secara gradual, dengan penebalan pada lensa secara progresif.
Ditinjau dari umur saat onset kejadian, katarak senilis memiliki
definisi yang berbeda-beda. Dalam Mirsamadi et al. (2004), katarak
senilis dimulai dari usia 45 tahun ke atas. Akan tetapi, untuk menentukan
semua kejadian katarak senilis yang terjadi pada usia lebih dini,
Battacharjee (1996) menyatakan bahwa katarak senilis ialah kekeruhan
lensa yang terdapat pada usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun.
2. Epidemiologi
Prevalensi katarak di beberapa provinsi di Indonesia yang dapat
mewakili Indonesia menurut hasil survei indera penglihatan dan
pendengaran tahun 1993-1996 adalah sebesar 7,3%, sedangkan menurut
hasil pada SKRT-Suskernas tahun 2001 adalah sebesar 4,99%. Dalam
riskesdas pada tahun 2007, prevalensi katarak pada usia >30 tahun adalah
sebesar 1,8%. Di Provinsi Sumatera Selatan, masih dalam sumber yang
sama, prevalensi katarak mencapai angka 2,4% (Depkes, 2008).
Sayangnya, Indonesia masih belum memiliki data spesifik kejadian
katarak senilis dengan batasan usia >40 tahun.
Di Amerika Serikat, prevalensi katarak pada usia lebih dari 40 tahun
dalam Congdon (2004) adalah sebesar 17,2%. Prevalensi katarak pada
usia 40 tahun keatas di Selatan India adalah 47,5% (Nirmalan et al.,
2004). Di beberapa negara seperti Cina, Denmark, Argentina, Jepang,
dan India menunjukkan bahwa katarak senilis menjadi penyebab
gangguan penglihatan dan kebutaan terbesar dengan kisaran antara
33,6% di Denmark, hingga 82,6% di India (Ocampo dan Foster, 2012).
2.2.2 Klasifikasi Anatomi
11
Gambar 4. Proses penguningan lensa: pada usia 6 bulan (A), 8 tahun (B), 12
2.
tahun (C), 25 tahun (D), 47 tahun (E), 62 tahun (F), 70 tahun (G), 82 tahun (H),
91 tahun (I), brown nuclear cataract pada usia 70 tahun (J), katarak kortikal pada
Katarak Kortikal
usia Katarak
68 tahun (K),
katarakadalah
campuran
nuklear dan
kortikal
pada usia
74 tahun
(L).
kortikal
kekeruhan
pada
bagian
korteks
lensa.
Sumber:serat
American
of Ophtalmology,
2008 celah-celah
Perubahan hidrasi
lensaAcademy
menyebabkan
terbentuknya
12
13
14
Insipien
Ringan
Cairan Lensa
Normal
Iris
Bilik Mata
Normal
h
Terdorong
Normal
Dangkal
Normal
Dalam
Normal
Sempit
Normal
Terbuka
Negatif
Positif
Negatif
Glaukoma
Pseudopos
Uveitis+Glaukom
Depan
Sudut Bilik
Mata
Shadow Test
Penyulit
Imatur
Sebagian
Bertamba
Matur
Seluruh
Hipermatur
Masif
Normal
Berkurang
Normal
Tremulans
15
berkaitan dengan hipotesis bahwa estrogen sebagai agen protektif lensa, dan
fungsinya semakin berkurang seiring dengan penambahan usia (Christen et
al., 2001).
Disamping usia dan jenis kelamin sebagai faktor internal, faktor
eksternal seperti paparan radiasi sinar ultra violet (UV) juga berperan dalam
proses pembentukan katarak senilis. Sinar UV dapat menginduksi
terbentuknya radikal bebas dan superoksida pada lensa (Roberts, 2002).
Hipotesis yang berkembang saat ini menyatakan bahwa radikal bebas dapat
mengganggu tingkat kestabilan kimiawi dalam sel lensa. Keadaan tersebut
dapat menginduksi proses terbentuknya kekeruhan pada lensa, dengan kata
lain katarak. Hal ini diperparah oleh penurunan dalam hal jumlah dan proses
daur ulang antioksidan utama lensa yaitu GSH (glutathione tereduksi)
seiring dengan peningkatan usia (Spector, 1995).
Faktor eksternal lain seperti pengunaan kortikosteroid, rokok, dan
penyakit diabetes melitus juga dapat menginduksi kejadian katarak senilis.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan pada enzim Na+/K+ ATPase
yang dapat menyebabkan proses hidrasi pada lensa, proteolisis dan agregasi
protein. Hal ini berdampak pada proses pembentukan opasitas atau
kekeruhan lensa. Rokok yang biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari
juga menjadi faktor risiko terjadinya katarak karena erat kaitannya terhadap
pembentukan radikal bebas yang dapat menginduksi terjadinya katarak
(Weintraub, 2002). Penyakit diabetes melitus atau lebih dikenal sebagai DM
merupakan faktor risiko katarak senilis karena dapat menginduksi
penumpukan produk metabolik glukosa yang oksidatif seperti Advanced
Glycosilated End Products (AGEs) yang dapat mengganggu kestabilan
protein lensa (Michael, 2011).
2.2.5 Gejala Klinis
Gejala klinis katarak sangat bervariasi. Kebanyakan dari penderita
katarak cenderung tidak berobat dan lebih memlih untuk mengatasinya
sendiri (American Academy of Ophtalmology, 2008). Hal ini dikarenakan
ketidakwaspadaan kebanyakan orang terhadap dampak dari katarak
16
Growth
Katarak
Kortical
Nuklear
SKP
Rate
2+
1+
3+
Glare
1+
1+
3+
Effect on
Effect on
Induced
Distance
1+
2+
1+
Near
1+
None
3+
Myopia
None
2+
None
2. Silau
Keluhan ini sering dialami para penderita katarak dengan derajat
yang bervariasi, mulai dari penurunan sensitivitas kontras dalam
lingkungan yang terang, hingga silau pada siang hari atau saat melihat
17
18
sentral lensa. Beberapa area dapat dideteksi dengan jelas sebagai refleks
merah dengan pemeriksaan retinoskopi atau optalmoskopi langsung. Tes
pinhole dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan penyebab lain
yang
mengakibatkan
gangguan
ini
(American
Academy
of
Ophtalmology, 2008).
Dalam Khurana (2007), monokular poliplopia diakibatkan karena
pembiasan ireguler dari lensa karena variasi dari indeks bias akibat
proses katarak.
2.2.6 Diagnosis Klinis
Banyak diantara pasien katarak yang tidak terdiagnosis pertama kali
menyadari dan tergerak untuk mengunjungi ahli mata saat dalam aktivitas
hariannya, mereka mengalami penurunan penglihatan. Beberapa pendapat
mengenai penegakkan diagnosis klinis katarak adalah sebagai berikut.
1. Riwayat Penyakit Pasien
Data demografi seperti umur, jenis kelamin, dan ras, diperlukan
untuk melengkapi riwayat pasien. Riwayat pasien terutama onset
terjadinya keluhan penurunan penglihatan harus ditanyakan pada pasien,
apakah akut atau secara bertahap atau gradual. Sangat jarang penurunan
penglihatan terjadi secara akut pada pasien katarak. Dalam riwayat
penyakit, dimasukkan riwayat kelainan mata refraktif, penyakit mata
sebelumnya, ambliopia, operasi mata, dan trauma. Penyulit seperti
ambulasi, menyetir, membaca saat kondisi remang ataupun dengan
cahaya terang, dan membaca label obat juga dimasukkan dalam data
riwayat penyakit pasien (Murrill et al., 2004).
2. Pemeriksaan Okular
Katarak biasanya didiagnosis melalui pemeriksaan rutin mata.
Sebagian besar katarak tidak dapat dilihat oleh pengamat awam sampai
menjadi cukup padat (matur atau hipermatur) dan menimbulkan
kebutaan. Namun, katarak, pada stadium perkembangannya yang paling
dini, dapat diketahui melalui pupil yang didilatasi maksimum dengan
ophtalmoskop, kaca pembesar, atau slitlamp (Murill et al. 2004).
19
Gambarillumination
5. Perbedaanexamination.
antara katarak
imatur (A) dan
matur (B)
c. Oblique
Pemeriksaan
ini katarak
menggambarkan
Khurana,
2007
warna dari lensa pada Sumber:
area pupil
yang bervariasi
untuk tiap jenis
katarak.
d. Distant direct ophtalmoscopic examination. Cahaya fundus kuning
kemerahan teridentifikasi pada ketiadaan kekeruhan pada media.
Lensa dengan katarak sebagian menunjukkan bayangan hitam yang
berlawanan dengan cahaya merah pada area katarak. Lensa dengan
katarak komplit tidak menampakkan cahaya merah.
e. Pemeriksaan slit-lamp, harus dilakukan dengan pupil dilatasi
maksimum. Pemeriksaan ini menunjukkan morfologi kekeruhan
secara keseluruhan (lokasi, ukuran, ketajaman, warna, dan pola).
20
3. Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan berguna untuk menentukan disabilitas
fungsional sistem visual atau untuk menemukan penyakit lainnya. Tes
sensitivitas kontras, tes silau, tes potensial ketajaman, threshold visual
fields atau Amsler grid testing, fluorescen angiography, corneal
pachymetry/endothelial cell count, specialized color vision testing, Bscan ultrasonography, tonografi, dan elektrofisiologi (Murrill et al.,
2004).
2.2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan katarak secara medis dengan obat-obatan masih dalam
proses penelitian yang mendalam, misalnya penggunaan aspirin, beta
karoten, serta antioksidan vitamin C dan E. Akan tetapi, beberapa penelitian
masih belum menemukan hasil yang memuaskan. Salah satu penelitian
terhadap penggunaan aspirin oleh Christen et al. (2001) menunjukkan
bahwa tidak ada efek bermakna setelah 5 tahun penggunaan aspirin dosis
rendah. Penelitian yang membahas mengenai penggunaan beta karoten pada
pria juga menunjukkan tidak ada keuntungan ataupun sifat merusak setelah
penggunaan suplemen beta karoten selama 12 tahun (Christen et al., 2003).
Di amerika serikat, penelitian random trial skala besar mengenai
penggunaan vitamin C dan E sebagai suplemen selama 8 tahun ternyata
tidak memiliki efek signifikan terhadap risiko katarak (Christen et al.,
2010). Namun, aldose reductase inhibitor, obat yang diketahui menghambat
pembentukan glukosa mejadi sorbitol, dapat digunakan untuk mencegah
katarak pada hewan yang diinduksi diabetes. Intinya, pada saat ini masih
belum ditemukan produk obat-obatan yang secara legal dapat mencegah
ataupun menghambat perkembangan penyakit katarak pada manusia
(American Academy of Ophtalmology, 2008).
Pembedahan atau operasi menjadi pilihan utama dalam mengatasi
katarak secara defnitif. Indikasi operasi katarak telah berubah secara
progresif, terutama dalam 20 tahun terakhir (Keenan et al., 2007). Dalam
Khurana (2007), indikasi operasi berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan
21
adalah seseorang dengan tajam penglihatan kurang dari sama dengan 6/36.
Di Australia, batas tajam penglihatan untuk dioperasi meningkat sebanyak 5
kali lipat, dari 6/60 menjadi 6/12 (Taylor, Vu, dan Keffee, 2006). Ini
didukung pada penelitian Desai et al. (1993 dan 1999) yang menyatakan
bahwa sebanyak 9% mata yang dioperasi memiliki tajam penglihatan
sebesar 6/12 atau lebih, terus meningkat menjadi 27%, dan meningkat
menjadi 43% menurut survey elektronik dalam Jaycock et al. (2009). Akan
tetapi, indikasi operasi utamanya yaitu berdasarkan keinginan pasien sendiri
untuk meningkatkan performa visualnya dan keputusan tersebut tidak
spesifik berdasarkan level tajam penglihatan (American Academy of
Ophtalmology, 2008).
Metode operasi yang umum dipilih adalah ekstraksi katarak
ekstrakapsular, yaitu metode dengan penanaman lensa intraokular (lensa
buatan) ke bagian lensa yang nukleus dan korteksnya telah diangkat, namun
dengan kapsul posterior yang utuh (Riordan-Eva, 2009). Metode ini
memiliki keuntungan yang lebih baik dari metode ekstraksi intrakapsular,
karena lebih sedikit menyebabkan trauma, sedikit berisiko terhadap
kebutaan, cenderung stabil dan aman, dan memudahkan posisi anatomis saat
pemasangan lensa intraokular atau lensa buatan (American Academy of
Ophtalmology, 2008). Penyulit yang dapat timbul dengan metode ini
biasanya adalah katarak sekunder (Ilyas, 2011).
Metode lain dan yang paling sering digunakan saat ini adalah dengan
teknik fakoemulsifikasi. Sebuah studi randomized controlled trial di Inggris
mendapatkan bahwa teknik fako lebih efektif dibandingkan metode ektraksi
ekstrakapsular untuk rehabilitasi pasien katarak (Minassian et al., 2001).
Ditinjau dari segi ekonomi, penelitian Newton et al. (2010) di Brazil
memaparkan bahwa ada perbedaan beban biaya yang lebih banyak dengan
metode ekstraksi ekstrakapsular dibandingkan fakoemulsifikasi. Pada teknik
ini diperlukan irisan yang sangat kecil (sekitar 2-3mm) di kornea. Getaran
ultrasonik akan digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya mesin
faco akan menyedot massa katarak yang telah hancur sampai bersih. Sebuah
22
lensa Intra Okular yang dapat dilipat dimasukkan melalui irisan tersebut
(Riordan-Eva, 2009). Keuntungan dari teknik ini dalam American Academy
of Ophtalmology ialah penyembuhan yang lebih cepat, komplikasi luka
kecil kemungkinan, dan rehabilitasi visual yang lebih cepat dibandingkan
teknik lain yang memungkinkan luka lebih besar.
Pembedahan dengan teknik mengeluarkan seluruh isi lensa bersama
kapsul dikenal dengan istilah ekstraksi katarak intrakapsular. Pada awal
abad ke 20, teknik ini paling sering digunakan dalam menangani kasus
katarak. Akan tetapi, teknik ini masih memiliki risiko untuk terjadi
kebutaan, infeksi, dan pendarahan (American Academy of Ophtalmology,
2008).
Ekstraksi
katarak
intrakapsular
tidak
diperkenankan
atau
23
24
25
pada
katarak
terkait
usia
(American
Academy
of
26
Kejadian
ini
sendiri
diperparah
dengan
berkurangnya
ketersediaan agen anti radikal bebas pada usia tua (Giblin, 2000).
Hipotesis megenai perubahan protein lensa menyebutkan bahwa
seiring dengan meningkatnya usia, protein lensa berubah dan lebih
banyak menjadi tidak terlarut air, membentuk agregat besar yang
menghamburkan cahaya, dan berpengaruh terhadap opasitas lensa
(American Academy of Ophtalmology, 2008).
27
28
estrogen
saja
terbukti
memiliki
efek
protektif
terhadap
29
Kortikosteroid
2.5.1 Adrenokortikosteroid
Pada ginjal tubuh manusia, terdapat suatu organ penting yang disebut
dengan kelenjar adrenal, terletak secara berdampingan di bagian atas ginjal.
Salah satu bagian dari kelenjar adrenal yang berfungsi vital terhadap fungsi
biologis tubuh adalah adalah korteks adrenal (Tjay dan Rahardja, 2007).
Korteks adrenal menghasilkan hormon adrenokortikosteroid yang terdiri
dari tiga kelompok hormon, yaitu glukokortikoid, mineralokortikoid, dan
androgen (Murrat et al., 2001). Dari ketiga jenis hormon ini, terdapat dua
golongan utama dalam penggunaan klinis, yaitu glukokortikoid yang sangat
berpengaruh terhadap sistem imun, dan mineralokortikoid yang berperan
terhadap pengaturan garam tubuh. Pada manusia, glukokortikoid yang
30
31
membentuk
zinc
finger.
Reseptor-glukokortikoid
32
33
termasuk
dalam
golongan
ini
adalah
predniso(lo)n,
Glukokortikoi
T1/2
1
0,8
0,7
d
1
0,8
4
1,5-2 jam
0,5-2 jam
2,5-3 jam
0,5
3,5 jam
0
0
0
5
>30
>35
>5 jam
3-4,5 jam
Mineralokortikoid
Hidrokortison
Kortison
Predniso(lo)n
Metilprednisolo
n
Triamnisolon
Deksametason
Betametason
Sumber: Tjay dan Rahardja, 2007
Daya
34
daya
(hidrokortison).
relatif
Secara
kortikosteroid
keseluruhan,
terhadap
kortisol
farmakodinamik
endogen
kortikosteroid
35
36
tinggi (lebih dari 15 mg) dan jangka waktu panjang (lebih dari 4 tahun),
risikonya meningkat hingga 80%.
Semakin sering dosis penggunaan kortikosteroid perhari semakin
meningkatkan risiko terjadinya katarak. Penelitian terkini dengan metode
case control menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis dan lama
penggunaan kortikosteroid inhalasi, maka risiko terjadinya katarak akan
semakin besar. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa ada peningkatan odd
ratio dari 0,99 dengan penggunaan dosis >400 g menjadi 1,69 dengan
dosis >1600 g (Smeeth et al., 2003).
Berbagai penelitian mengenai penggunaan kortikosteroid dimulai dari
kortikosteroid oral, inhalasi, injeksi, intravitreous, bahkan kortikosteroid
enema, ternyata dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya katarak (Shinha
et al., 2009).
2.6
Sukabangun
.
2
Sukajaya
Luas (Ha)
Jumlah
Kepadatan
Penduduk
Tiap Ha
313,46
17.491
55,80
470,19
39.438
83,88
37
Sukarami
.
4
Kebun Bunga
.
5
Talang Betutu
.
6
Sukodadi
.
7
Talang Jambi
.
Jumlah
470,19
18.118
38,53
653,06
25.882
39,63
1163,00
13.290
11,43
789,00
15.963
20,23
1287,00
8.916
6,93
5.145,90
139.098
27,03
Tabel 5. Luas Wilayah, Jumlah Rukun Warga, dan Rukun Tetangga Setiap
Kelurahan di Kecamatan Sukarami Tahun 2010
Kelurahan
Sukabangun
Sukajaya
Sukarami
Kebun Bunga
Talang Betutu
Sukodadi
Talang Jambi
Jumlah
Luas
313,46
470,19
470,19
653,06
1.163,00
789,00
1.287,00
5.145,90
Rukun
Rukun
Warga
Tetangga
48
89
48
67
40
33
26
351
6
10
13
13
14
5
6
67
38
Kelurahan
1
Sukabangun
.
2
Sukajaya
.
3
Sukarami
.
4
Kebun Bunga
.
5
Talang Betutu
.
6
Sukodadi
.
7
Talang Jambi
.
Jumlah
Laki-Laki
Perempuan
Seks Rasio
8.713
8.778
99,26
19.840
19.598
101,23
8.873
9.245
95,98
12.901
12.981
99,38
6.703
6.587
101,76
8.013
7.950
100,79
4.542
4.374
103,84
69.585
69.513
100,10
39
2.7
Kerangka Teori
Faktor risiko yang telah dibahas pada tinjauan pustaka di atas
merupakan gambaran kecil dari sekian banyak faktor risiko yang diduga
dapat mencetuskan katarak. Kerangka teoritik ini dibuat berdasarkan web
causation untuk mengetahui hubungan struktur antar variabel yang terbatas
pada pembahasan faktor risiko.
Paparan
Faktor Jenis
Faktor Usia
Sinar UV
Kelamin
Estrogen
Proses Aging
Berkurangnya Antioksidan GSH
Penggunaan
Kortikosteroid
40
kristalin berkurang
Na+ dan Ca2+ Intrasel meningkat
Protein tidak larut air
Penghamburan cahaya
Tranparansi Lensa
UV oleh lensa
Berkurang
KATARAK
SENILIS