Anda di halaman 1dari 7

Artikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannya

Posted on June 27, 2013 by aldyreliandi


Artikel tentang korupsi di Indonesia serta cara penanganannya
1.

Korupsi di Indonesia

a.

Pengertian Korupsi

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika
membicarakan tenatng korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu
karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat keadaan yang busuk, jabatan
karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, sera penempatan kelurga atau
golongan kedalam kedinasan di bawah kekusaan jabatnnya. Dengan demikian,
secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi
memiliki arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan
sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
2. Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayaakan
kepadanya; dapat disogok (melalui kekusaan untuk kepentingan pribadi).
b.

Ciri-ciri Korupsi

(a) suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan


pemerintah, (c) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan
khusus, (d) dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang
yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu, (e) melibatkan lebih
dari satu orang atau pihak, (f) adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam
bentuk uang atau yang lain, (g) terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang
menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, (h)
adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan
hukum, dan (i) menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang
melakukan korupsi.
c.

Permasalahan korupsi yang ada di Indonesia

Masalah korupsi tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat, terutama


media massa lokal dan nasional. Maraknya korupsi di Indonesia seakan sulit
untuk diberantas dan telah menjadi budaya. Pada dasarnya, korupsi adalah suatu
pelanggaran hukum yang kini telah menjadi suatu kebiasaan. Berdasarkan data
Transparency International Indonesia, kasus korupsi di Indonesia belum teratasi

dengan baik. Indonesia menempati peringkat ke-100 dari 183 negara pada tahun
2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi.
Di era demokrasi, korupsi akan mempersulit pencapaian good governance dan
pembangunan ekonomi. Terlebih lagi akhir-akhir ini terjadi perebutan
kewenangan antara KPK dan Polri. Sebagai institusi yang sama-sama menangani
korupsi, seharusnya KPK dan Polri bisa bekerja sama dalam memberantas
korupsi. Tumpang tindih kewenangan seharusnya tidak terjadi jika dapat
dikoordinasikan secara baik.
Penyebab terjadinya korupsipun bermacam-macam, antara lain masalah ekonomi,
yaitu rendahnya penghasilan yang diperoleh jika dibandingkan dengan kebutuhan
hidup dan gaya hidup yang konsumtif, budaya memberi tips (uang pelicin),
budaya malu yang rendah, sanksi hukum lemah yang tidak mampu menimbulkan
efek jera, penerapan hukum yang tidak konsisten dari institusi penegak hukum,
dan kurangnya pengawasan hukum.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, diperlukan kerja sama semua pihak maupun
semua elemen masyarakat, tidak hanya institusi terkait saja. Beberapa institusi
yang diberi kewenangan untuk memberantas korupsi, antara lain KPK,
Kepolisian, Indonesia Corruption Watch (ICW), Kejaksaan. Adanya KPK
merupakan salah satu langkah berani pemerintah dalam usaha pemberantasan
korupsi di Indonesia.
Dalam menangani kasus korupsi, yang harus disoroti adalah oknum pelaku dan
hukum. Kasus korupsi dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab sehingga membawa dampak buruk pada nama instansi hingga pada
pemerintah dan negara. Hukum bertujuan untuk mengatur, dan tiap badan di
pemerintahan telah memiliki kewenangan hukum sesuai dengan perundangan
yang ada. Namun, banyak terjadi tumpang tindih kewenangan yang diakibatkan
oleh banyaknya campur tangan politik buruk yang dibawa oleh oknum perorangan
maupun instansi.
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional maka mau tidak mau korupsi harus
diberantas, baik dengan cara preventif maupun represif. Penanganan kasus korupsi
harus mampu memberikan efek jera agar tidak terulang kembali. Tidak hanya
demikian, sebagai warga Indonesia kita wajib memiliki budaya malu yang tinggi
agar segala tindakan yang merugikan negara seperti korupsi dapat diminimalisir.
Negara kita adalah negara hukum. Semua warga negara Indonesia memiliki
derajat dan perlakuan yang sama di mata hukum. Maka dalam penindakan hukum
bagi pelaku korupsi haruslah tidak boleh pilih kasih, baik bagi pejabat ataupun
masyarakat kecil. Diperlukan sikap jeli pemerintah dan masyarakat sebagai aktor
inti penggerak demokrasi di Indonesia, terutama dalam memilih para pejabat yang
akan menjadi wakil rakyat. Tidak hanya itu, semua elemen masyarakat juga

berhak mengawasi dan melaporkan kepada institusi terkait jika terindikasi adanya
tindak pidana korupsi.

d.

Dampak korupsi

Berkaitan dengan dampak yang diakibatkan dari tindak pidana korupsi, setidaknya
terdapat dua konsekuensi. Konsekuensi negatif dari korupsi sistemik terhadap
proses demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan adalah :
a. Korupsi mendelegetimasikan proses demokrasi dengan
kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang;

mengurangi

b. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat


tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi
hanya melayani kepada kekuasaan dan pemilik modal;
c. Korupsi meniadakan sistem promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja
karena hubungan patron-client dan nepotisme;
d. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum
bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga
menganggu pembangunan yang berkelanjutan;
e. Korupsi mengakibatkan sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif
dan penumpukan beban hutang luar negeri.

Korupsi yang sistematik dapat menyebabkan :


a. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan intensif;
b. Biaya politik oleh penjarahan atau pengangsiran terhadap suatu lembaga publik,
dan;
c. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang
tidak

e.

Solusi terbaik memberantas korupsi

1. Mengerahkan seluruh stakeholder dalam merumuskan visi, misi, tujuan dan


indicator terhadap makna Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

2. Mengerahkan dan mengidentifikasi strategi yang akan mendukung terhadap


pemberantasan KKN sebagai payung hukum menyangkut Stick, Carrot, Perbaikan
Gaji Pegawai, Sanksi Efek Jera, Pemberhentian Jabatan yang diduga secara nyata
melakukan tindak korupsi dsb.

Korupsi
Indeks persepsi korupsi di 2009. Semakin hijau menunjukkan tingkat korupsi
semakin rendah; sedangkan semakin merah menunjukkan semakin tinggi tingkat
korupsi sebuah negara
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain
yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak[1].
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:

perbuatan melawan hukum,

penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah

memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),

penggelapan dalam jabatan,

pemerasan dalam jabatan,

ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara),


dan

menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan

korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan
dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau
berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan
kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan
membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang
dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang
legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung


jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim
yang bukan demokratik.

Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar


dari pendanaan politik yang normal.

Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman


lama".

Lemahnya ketertiban hukum.

Lemahnya profesi hukum.

Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.

Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan


kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B

Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubunghubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan
adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa
hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling
memengaruhi satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling
menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi.
Namun kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang
paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini
dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The
Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula
J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960
situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji
sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami
bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan
banyak di antaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk
pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi
Hamzah, 2007)

Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal
memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.

Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau


"sumbangan kampanye".

.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan
dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan
pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan
Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan
penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua
aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat
penyogokan.
Sumbangan kampanye dan "uang haram"
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit
lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip
menyangkut politisi.

Tuduhan korupsi sebagai alat politik


Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka
dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Tiongkok, fenomena ini digunakan
oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawanlawan politik mereka.
Mengukur korupsi
Referensi

Axel Dreher, Christos Kotsogiannis, Steve McCorriston (2004),


Corruption Around the World: Evidence from a Structural Model

Anda mungkin juga menyukai