Anda di halaman 1dari 10

BAB I

Kasus 1:
Sungai Surabaya Tercemar Logam Kromium
Kondisi sungai surabaya sungguh memprihainkan, kini sungai tersebut tercemar
oleh produk limbah industri dan rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian,
analisis kualitas air sungai Surabaya menunjukkan konsentrasi DO (Dissolved
Oxygen), BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demad)
melebihi nilai ambang batas sungai kelas I, sedangkan kualitas air secara spasial
dari hulu ke hilir menurun. Bahkan konsentrasi logam berat terjadi kenaikan dari
tahun ke tahun. Hal itu disampaikan Drs. Yudhi Utomo, M.Si ,Sabtu (1/10).
"Tercemarnya sungai Surabaya disebabkan buangan limbah domestik dan industri
dari 11 anak sungai yang mengalir ke sungai Surabaya" ujar yudhi. Air di sungai
sebagai bahan baku air minum. Sekitar 69 persen air dari kali surabaya sebagai air
minum. Pada perairan yang tercemar perlu diwaspadai tidak hanya airnya tapi
juga ikan-ikan yang tercemar, katanya.
"Air di sungai surabaya mengandung logam berat Kromium (cr). Untuk kromium
(Cr) total dalam sedimen sungai ditemukan tertinggi 75,46 mg/kg massa kering
pada musim kemarau dan 41,75 mg/kg musim penghujan" lanjutnya.
Tidak hanya ditemukan dalam sedimen, kandungan Cr juga ditemukan dalam ikan
gabus, mujair dan bader yang sudah melebihi nilai ambang batas 0,4 mg/kg massa
basah. Padahal jika dikonsumsi dalam waktu lama bisa merugikan kesehatan
manusia.
Ikan mampu mengakumulasi logam berat dengan konsentrasi tinggi, masyarakat
harus mewaspadai bahaya jangka panjang akibat mengkonsumsi ikan dari perairan
yang tercemar logam berat, katanya.

Dari hasil penelitiannya, dosen FMIPA, Universitas Negeri Malang ini


merekomendasikan agar pemerintah untuk mengontrol pihak undustri dalam
pengelolaan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) secara optimal.
Terutama limbah cair yang dibuang ke sungai sesuai dengan nilai ambang batas
yang ditetapkan. Selain itu, masyarakat juga menyadari bahwa membuang sampah
yang

dibuang

langsung

ke

sungai

akan

menurunkan

kualitas

air.

(c8/lik/UGM,2011)
Kasus 2 :
Limbah PT Freeport Cemari Sungai Aijkwa

Pemerintah Kabupaten Mimika, Papua, mengadu kepada Komisi VII DPR soal
pendangkalan muara Sungai Aijkwa akibat pembuangan limbah PT Freeport
Indonesia.
Bupati Mimika Klemen Tinal mengatakan, PT Freeport membuang limbah pasir
bercampur bahan kimia ke Sungai Aijkwa. Pencemaran sungai juga menyebabkan
produksi sagu dan ikan turun.
Wakil Bupati Mimika Abdul Muis berharap Komisi VII DPR yang membidangi
masalah lingkungan dan sumber daya energi meninjau ulang izin pembuangan
limbah PT Freeport. Komisi VII DPR sebaiknya melihat langsung pendangkalan
Muara Sungai Aijkwa, ujar Abdul Muis, Rabu (3/11).
Ketua rombongan Komisi VII DPR Effendi Simbolon mengatakan akan meninjau
muara Sungai Aijkwa, Jumat (5/11). Kami akan mengunjungi tanggul timur serta
muara Sungai Aijkwa sesuai laporan Pemkab Mimika (VHRmedia,2010).

Kasus 3 :
Pencemaran Limbah di Sungai Musi
Maraknya aktivitas permukiman maupun industri di sepanjang Daerah Aliran
Sungai Musi mengakibatkan daya dukung sungai terpanjang di Sumatera itu
semakin menurun. Bahkan, kualitas air sungai tersebut mencapai titik tidak layak
dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Kepala Dinas Badan Pengendalian
Dampak

Lingkungan

Kota

Palembang

Hilda

Zulkifli,

Kamis

(28/10),

mengemukakan, tekanan yang diterima Sungai Musi terus bertambah. "Di bagian
hulu terdapat aktivitas penebangan hutan maupun kegiatan industri. Sementara, di
bagian hilir selain aktivitas industri, kegiatan perdagangan, domestik, maupun
transportasi sungai memiliki andil dalam menurunnya kualitas sungai," papar
Hilda.
Sungai Musi yang membelah Kota Palembang memiliki banyak fungsi, selain
sebagai sumber utama air minum, juga sebagai urat nadi transportasi dan tempat
pembuangan limbah. Di sepanjang sungai selebar 300 meter itu berdiri sejumlah
industri besar seperti pabrik karet PT Hoktong, pabrik pupuk PT Pusri, dan
pengolahan minyak Pertamina. Hilda mengatakan, ditinjau dari baku mutu air,
Musi masih beruntung tidak mengalami ancaman logam berat seperti yang
dialami sungai-sungai besar lainnya. "Tetapi pencemaran organik di beberapa
lokasi memang jauh di atas ambang batas, terutama amoniak dan minyak. Kalau
dilihat secara kasat mata, di Sungai Musi itu ada semacam layer (lapisan tipis),"
jelas Hilda.
Selain ancaman limbah dari industri di sepanjang sungai, ekosistem Musi juga
rentan terhadap kecelakaan kapal. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan
Hidup Sumatera Selatan, pada Juli 2003 terjadi dua kasus tabrakan kapal yang
mengakibatkan tumpahan minyak mentah ke badan perairan Musi. Tumpahan
minyak tersebut mengakibatkan kematian ikan secara massal.
Ditemui secara terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Palembang
Zulkarnain Noerdin mengatakan, air Sungai Musi di Palembang sudah tidak layak
untuk dikonsumsi masyarakat secara langsung karena tingkat pencemarannya
tinggi. Pencemaran disebabkan oleh berbagai jenis limbah yang masuk ke dalam

sungai dan adanya unsur bakteriologis, terutama bakteri coli, yang sudah
mencapai di atas ambang batas normal.
Pencemaran Sungai Musi dipengaruhi oleh adanya beberapa pabrik yang
menjadikan sungai tersebut sebagai sarana pembuangan limbah, seperti pabrik
minyak, pupuk, dan karet. Masalahnya, dari sekitar 1,4 juta penduduk di Kota
Palembang, hanya sekitar 40 persen yang mendapat air bersih dari Perusahaan
Daerah Air Minum Palembang. Selebihnya atau sekitar 60 persen masih
mengandalkan air Sungai Musi untuk keperluan rumah tangga sehari-hari
(Kompas,2004).
Kasus 4:
KANDUNGAN MERKURI DI SUNGAI BARITO
Kandungan merkuri atau air raksa di kawasan pedalaman Sungai Barito,
Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, dalam tiga tahun terakhir terus
berkurang.
"Hasil pengujian air Sungai Barito dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa
kandungan bahan kimia yang berbahaya seperti merkuri (Hg) tak terdeteksi,
mungkin masih ada namun turun atau di bawah baku mutu," kata Pelaksana tugas
(Plt) Kepala Badan Lingkungan Hidup Barito Utara (Barut) Asran di Muara
Teweh, Senin.
Menurut Asran, turunnya kadar kandungan merkuri ini diperkirakan sebagai
dampak gencarnya sosialisasi dan penertiban para penambang emas tanpa izin di
pedalaman Sungai Barito baik di wilayah Kabupaten Murung Raya maupun
Barito Utara.
Saat ini, kata dia, aktivitas penambangan rakyat yang sebelumnya di tengah
sungai baik secara tradisioanal maupun mesin kini sudah beralih ke darat.
"Kita harapkan pencemaran ini terus berkurang bahkan bebas dari ancaman
tercemarnya sungai dari bahan kimia yang bisa merusak kesehatan manusia dan
lingkungan tersebut," katanya didampingi Kepala UPTB Laboratorium
Lingkungan Hidup, Akhmad Rizali.
Asran menjelaskan, air pedalaman Sungai Barito di wilayah Kalimanan Tengah
hingga saat ini masih menjadi bahan baku air PDAM di Kabupaten Murung Raya
dan Barito Utara dan beberapa kabupaten lainnya.

Namun saat ini kualitas air sungai sudah tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi
langsung atau masih tercemar ringan dengan katagori sesuai polutan indeks (PI)
yakni bisa dikonsumsi asal dengan pengolahan di antaranya direbus dulu atau
disimpan di penampungan guna menurunkan tingkat kekeruhan.
"Jadi kualitas bahan baku air di daerah ini tidak memenuhi syarat, namun masih
dalam tahap toleransi atau harus diolah dulu," jelas dia.
Sungai Barito mengalir dari hulu di pedalaman Kalimantan Tengah dan bermuara
di Kalimantan Selatan sepanjang 900 kilometer. Ketika air sungai naik atau hujan,
tingkat kekeruhan sangat tinggi, namun kandungan bahan kimia dan logam
cenderung turun.
Sebaliknya ketika debit air sungai surut atau kemarau tingkat kekeruhan rendah
sedangkan kandungan bahan berbahaya bagi kesehatan relatif tinggi.
"Untuk menguji kualitas baku mutu air Sungai Barito ini minimal kami lakukan
dua kali setahun dan tahun 2011 direncanakan pengujian lagi pada pertengahan
Mei nanti," katanya.
Hasil pengujian air di wilayah Kabupaten Barito Utara pada tiga tempat yakni
kawasan Kecamatan Lahei, Muara Teweh dan Kecamatan Montallat hingga
Nopember 2010 lalu untuk tingkat keasaman (PH) pada tiga tempat itu masingmasing menunjukan 7,20, 6,65 dan 6,80.
Kemudian tingkat kekeruhan masing-masing 62,5, 61 dan 53,8 NTU, DO
(oksigen terlarut/dissolve oxygen) 4,49 mg per liter (kawasan Montallat), BOD
(kebutuhan biologis oksigen/biological oxygen deman) masing-masing 6,6 dan 9
mg/liter.
TSS (total kepadatan tersuspensi/total suspended solution) yakni 220, 94 dan 106
mg/liter, TDS (total padatan terlarut/total dissolve solution) 26,64 dan 80 mg/liter
dan bakteri coli (tingkat pencemaran limbah domestik/MCK) masing-masing 22,
10 dan 31 coli/ml (ANTARANews, 2010).

BAB II
2.1 Ringkasan
Pencemaran pada Sungai Surabaya diakibatkan oleh pembuangan limbah
industri dan rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi DO
(Dissolved Oxygen), BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical
Oxygen Demad) pada Sungai Surabaya melebihi nilai ambang batas sungai.
Kadar logam berat yang paling tinggi di Sungai Surabaya adalah Kromium (cr).
Pencemaran Sungai Aijkwa diakibatkan oleh pembuangan limbah PT
Freeport Indonesia menyebabkan produksi sagu dan ikan menurun.
Air Sungai Musi sudah tidak layak untuk dikonsumsi masyarakat secara
langsung karena tingkat pencemarannya tinggi. Pencemaran pada Sungai Musi
diakibatkan oleh penebangan hutan dan pembuangan limbah oleh beberapa pabrik
industri seperti pabrik minyak, pupuk, dan karet. Selain itu, Tumpahan minyak
mengakibatkan kematian ikan secara massal.
Disungai Barito, terjadi penurunan kadar logam merkuri. Turunnya kadar
kandungan merkuri ini diperkirakan sebagai dampak gencarnya sosialisasi dan
penertiban para penambang emas tanpa izin di pedalaman Sungai Barito baik di
wilayah Kabupaten Murung Raya maupun Barito Utara.
2.2 Analisis Kasus
Dibeberapa sungai besar di Indonesia terutama yang berada dekat dengan
industri pertambangan ditemukan banyak pencemaran logam berat seperti logam
Merkuri dan kromium. Logam tersebut banyak terkandung dalam air sungai
karena merupakan logam buangan hasil industri pertambangan dan umumnya
logam tersebut belum diolah oleh perusahaan sehingga saat masuk ke aliran
sungai limbah tersebut menjadi salah satu bahan berbahaya yang mempengaruhi
ekosistem sungai.
2.3 Dampak
Kehadiran logam berat secara berlebihan dapat menyebabkan polusi pada
air bawah tanah, toksik pada tanaman, dan berpengaruh terhadap pertumbuhan,

morfologi, dan metabolisme mikroorganisme melalui gangguan fungsi, perubahan


protein atau penghancuran sel membran yang mengakibatkan proses pernafasan
dan metabolisme tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mikroorganisme adalah
mahkluk

hidup

yang

lebih

sensitif/stress

terhadap

logam-logam

berat

dibandingkan binatang, tanah ataupun tanaman.


Logam

berat

merupakan

racun

bagi

makhluk

hidup,

baik

itu

mikroorganisme, hewan, tumbuhan bahkan manusia. Bagi mikroorganisme, logam


berat

merupakan

mikroorganisme.

desinfektan

karena

dapat

membahayakan

kehidupan

BAB III
Pemecahan masalah
Pemerintah harus lebih tegas, membuat Undang - Undang agar seluruh
industri

mengolah limbah secara konsisten untuk pembuangan limbah agar

perusahaan yang banyak menghasilkan limbah logam berat dapat di kurangi.


Namun bila pemerintah tidak bertindak dengan tegas, maka akan tetap ada
perusahaan nakal yang akan melakukan pembuangan limbah ke sungai karena itu,
pemerintah dan organsasi lingkungan harus dapat berperan aktif untuk mengawasi
pembuangan limbah B3.
Perlu juga dilakukan perbaikan lingkungan dengan upaya terpadu sehingga
kualitas air kembali seperti sebelum pencemaran. Selain itu, limbah sungai rumah
tangga dari seluruh bangunan diolah secara sungguh-sungguh, sehingga tidak ada
lagi limbah industri dan limbah rumah tangga yang mencemari perairan.
Memperketat baku mutu limbah sebelum dibuang ke sungai agar limbah
yang dibuang bukan merupakan limbah B3. Pemerintah perlu menghimbau
seluruh masyarakat dan termasuk industri, agar tidak membuang limbah bahan
berbahaya, zat kimia, dan kotoran ke sungai sehingga kualitas air tetap terjaga.
Walaupun eceng gondok dianggap sebagai gulma di perairan, tetapi
sebenarnya ia berperan dalam menangkap polutan logam berat. Rangkaian
penelitian seputar kemampuan eceng gondok oleh peneliti Indonesia antara lain
oleh Widyanto dan Susilo (1977) yang melaporkan dalam waktu 24 jam eceng
gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni),
masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak
bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni
0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur
dengan logam lain. Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr)
dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam
penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen.

Selain dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu
menyerap residu pestisida.
Kemampuan tumbuhan air dalam menyerap logam berat dalam jumlah bervariasi,
dan hanya tumbuhan tertentu saja yang diketahui dapat mengakumulasi unsur
logam tertentu dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Beberapa jenis tumbuhan air
mampu bekerja sebagai agen fitoremediasi (tumbuhan penyerap logam berat)
seperti Azolla (Bennicelli et al, 2004), semanggi air (Agunbiade et al, 2009),
eceng gondok (Juhaeti dkk, 2004). Namun demikian, belum diketahui bagaimana
besar serapan tanaman air dan besarnya debit air yang digunakan untuk
menurunkan logam berat timbal (Pb) dalam air irigasi.

DAFTAR PUSTAKA
http://digilibampl.net/detail/detail.php?
row=24&tp=kliping&ktg=airminum&kode=420
http://yokij.blogspot.com/2011/05/kandungan-merkuri-di-sungai-barito.html
http://www.vhrmedia.com/Limbah-PT-Freeport-Cemari-Sungai-Aijkwaberita6419.html
http://id.berita.yahoo.com/logam-berat-cemari-sungai-surabaya-024811051.html

Anda mungkin juga menyukai