Anda di halaman 1dari 13

KERAJAAN ACEH DARUSSALAAM

Letak Kerajaan
Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan
Islam dan mengalami masa kejayaan pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Perkembangan pesat kerajaan Aceh tidak
lepas dari letaknya yang strategis yaitu di
Pulau Sumatera bagian utara dan dekat jalur
pelayaran perdagangan internasional pada
masa itu. Ramainya aktivitas pelayaran
perdagangan Kerajaan Aceh, mempengaruhi
perkembangan kehidupan Kerajaan Aceh
dalam segala bidang, seperti kehidupan
politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Kehidupan Politik
Berdasarkan Bustanussalatin ( 1637 M ) karangan Naruddin Ar-Raniri yang berisi silsilah
sultan- sultan Aceh, dan berita berita Eropa, Kerajaan Aceh telah berhasil
membebaskan diri dari Kerajaan Pedir. Raja -raja yang pernah memerintah di Kerajaan
Aceh :

Sultan Ali Mughayat Syah


Adalah raja kerajaan Aceh yang pertama. Ia memerintah tahun 1514 -1528 M. Di bawah
kekuasaannya, Kerajaan Aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada di
daerah Daya dan Pasai. Bahkan melakukan serangan terhadap kedudukan bangsa
Portugis di Malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.

Sultan Salahuddin
Setelah Sultan Ali Mughayat Wafat, pemerintahan beralih kepada putranya yang bergelar
Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528- 1537 M, selama menduduki tahta kerajaan
ia tidak memperdulikan pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan mulai goyah dan
mengalami kemerosotan yang tajam. Oleh karena itu, Sultan Salahuddin digantikan
saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah al-Kahar.

Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar


Ia memerintah Aceh dari tahun 1537-1568 M. Ia melakukan berbagai bentuk perubahan
dan perbaikan dalam segala bentuk pemerintahan Kerajaan Aceh.
Pada masa pemeintahannya, Kerajaan Aceh melakukan perluasan wilayah kekuasaannya
seperti melakukan serangan terhadap Kerajaan Malaka ( tetapi gagal ). Daerah Kerajaan
Aru berhasil diduduki. Pada masa pemerintahaannya, Kerajaan Aceh mengalami masa
suram. Pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi.

Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan


Aceh tahun 1607 -1636 M. Di bawah
pemerintahannya, Kerajaan Aceh mengalami
kejayaan. Kerajaan Aceh tumbuh menjadi
kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan
Islam, bahkan menjadi bandar transito yang
dapat menghubungkan dengan pedagang Islam di
dunia barat.
Untuk mencapai kebesaran Kerajaan Aceh,
Sultan Iskandar Muda meneruskan perjuangan
Aceh dengan menyerang Portugis dan Kerajaan
Johor di Semenanjung Malaya. Tujuannya adalah
menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka
dan menguasai daerah - daerah penghasil lada.
Sultan Iskandar Muda juga menolak permintaan
Inggris dan Belanda untuk membeli lada di pesisir Sumatera bagian barat. Selain itu,
kerajaan Aceh melakukan pendudukan terhadap daerah daerah seperti Aru, Pahang,
Kedah, Perlak, dan Indragiri, sehingga di bawah pemerintahannya Kerajaan Aceh
memiliki wilayah yang sangat luas.
Pada masa kekuasaannya, terdapat 2 orang ahli tasawwuf yg terkenal di Aceh, yaitu
Syech Syamsuddin bin Abdullah as-Samatrani dan Syech Ibrahim as-Syamsi. Setelah
Sultan Iskandar Muda wafat tahta Kerajaan Aceh digantikan oleh menantunya, Sultan
Iskandar Thani.

Sultan Iskandar Thani.


Ia memerintah Aceh tahun 1636 1641 M. Dalam menjalankan pemerintahan, ia
melanjutkan tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya,
muncul seorang ulama besar yg bernama Nuruddin ar-Raniri. Ia menulis buku sejarah
Aceh berjudul Bustanussalatin. Sebagai ulama besar, Nuruddin ar-Raniri sangat
dihormati oleh Sultan Iskandar Thani dan keluarganya serta oleh rakyat Aceh. Setelah
Sultan Iskandar Thani wafat, tahta kerjaan di pegang oleh permaisurinya ( putri Sultan
Iskandar Thani ) dengan gelar Putri Sri Alam Permaisuri ( 1641-1675 M ).
Kehidupan Ekonomi
Dalam kejayaannya, perekonomian
Kerajaan Aceh berkembang pesat.
Daerahnya
yang
subur
banyak
menghasilkan lada. Kekuasaan Aceh atas
daerah daerah pantai timur dan barat
Sumatera menambah jumlah ekspor
ladanya. Penguasaan Aceh atas beberapa
daerah
di
Semenanjung
Malaka
menyebabkan
bertambahnya
badan
ekspor penting timah dan lada.

Aceh dapat berkuasa atas Selat Malaka yang merupakan jalan dagang internasional. Selain
bangsa Belanda dan Inggris, bangsa asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, India, Siam,
Cina, Jepang, juga berdagang dengan Aceh. Barang barang yg di ekspor Aceh seperti
beras, lada ( dari Minagkabau ), rempah rempah ( dari Maluku ). Bahan impornya seperti
kain dari Koromendal ( India ), porselin dan sutera ( dari Jepang dan Cina ), minyak wangi
( dari Eropa dan Timur Tengah ). Kapal kapal Aceh aktif dalam perdagangan dan
pelayaran sampai Laut Merah.
D

Kehidupan Sosial
Meningkatnya kemakuran telah menyebabkan berkembangnya sistem feodalisme & ajaran
agama Islam di Aceh. Kaum bangsawan yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan
sipil disebut golongan Teuku, sedangkan kaum ulama yang memegang peranan penting
dalam agama disebut golongan Teungku. Namun antara kedua golongan masyarakat itu
sering terjadi persaingan yang kemudian melemahkan Aceh. Sejak berkuasanya kerajaan
Perlak ( abad ke-12 M s/d ke-13 M ) telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dengan
Sunnah Wal Jammaah. Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah
memperoleh perlindungan & berkembang sampai di daerah daerah kekuasaan Aceh.
Aliran ini di ajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya yang bernama
Syamsuddin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat, Naruddin Ar-Raniri
mengembangkan islam beraliran Sunnah wal Jamaah, ia juga menulis buku sejarah Aceh
yang berjudul Bustanussalatin ( taman raja raja dan berisi adat istiadat Aceh beserta
ajaran agama Islam )

Kebudayaan
Arsitektur
Tidak banyak peninggalan bangunan
zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh.
Istana Dalam Darud Donya telah terbakar
pada masa perang Aceh - Belanda. Kini,
bagian inti dari Istana Dalam Darud
Donya yang merupakan tempat kediaman
Sultan Aceh telah berubah menjadi Kraton
Meuligoe yang digunakan sebagai Pedopo Gubernur Aceh. Perlu dicatat bahwa pada masa
Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan
Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya
dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan
arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng
Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Pinto Khop, Leusong dan Gunongan beserta Taman
Ghairah yang luas dipusat Kota Banda Aceh.
Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam
bentuk hikayat yang terkenal diantaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang
berceritakan tokoh heroik Malem Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh
Angkatan Laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Bhikayat Malem Diwa, hikayat Banta

Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad, hikayat Perang
Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah Abdullah Hadat dan hikayat Prang Sabi.
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (taman para
raja) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Taj al-salatin (1603), Sulalat al-Salatin
(1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang
agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang
yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat alMuwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair
Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di
Asia Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut
Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al
Baidlawy ke dalam bahasa Jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil
Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di Dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin ArRaniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal
adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.
Militer
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan
pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan
mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.

Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.


F

Penyebab Kemunduran Kerajaan Aceh


Setelah Sultan Iskandar Muda wafat tahun 1030, tidak ada raja raja besar yang mampu
mengendalikan daerah Aceh yg demikian luas. Di bawah Sultan Iskandar Thani ( 1637
1641 ), sebagai pengganti Sultan Iskandar Muda, kemunduran itu mulai terasa &
terlebih lagi setelah meninggalnya Sultan Iskandar Thani.
Timbulnya pertikaian yang terus menerus di Aceh antara golongan bangsawan ( teuku )
dgn golongan utama ( teungku ) yang mengakibatkan melemahnya Kerajaan Aceh.
Antara golongan ulama sendiri pertikaian terjadi karena perbedaan aliran dalam agama
( aliran Syiah dan Sunnah wal Jamaah )

Daerah kekuasaannya banyak yang melepaskan diri seperti Johor, Pahang, Perlak,
Minangkabau, dan Siak. Negara negara itu menjadikan daerahnya sebagai negara
merdeka kembali, kadang kadang di bantu bangsa asing yang menginginkan
keuntungan perdagangan yg lebih besar.
Kerajaan Aceh yang berkuasa selama kurang lebih 4 abad, akhinya runtuh karena dikuasai
oleh Belanda awal abad ke-20.

KERAJAAN SAMUDRA PASAI


1.1 Latar Belakang Munculnya Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Kemunculan kerajaan ini diperkirakan berdiri mulai awal atau pertengahan abad ke13 M[1] sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8, dan seterusnya.
Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kerajaan Samudra Pasai
merupakan gabungan dari kerajaan Pase dan Peurlak.
Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan
agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu
kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif
berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam untuk menulis
karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa
Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi.
Ada sejumlah sumber tertulis yang menjelaskan tentang berdirinya Kerajaan
Samudra Pasai, diantaranya yaitu dua berasal dari Nusantara, beberapa dari Cina,
satu dari Arab, satu dari Italia, dan satu dari Portugis. Sumber Nusantara antara lain
Hikayat Raja Pasai (HRP) dan Sejarah Melayu (SM). Sumber Cina antara lain Yingyai Sheng-lan dari Ma Huan, berita Arab dari Ibn Battutah, kisah pelayaran Marko
Polo dari Italia. Sedangkan sumber yang berasal dari Portugis ialah Suma Orientalnya Tome Pires.
Naskah HRP diduga berasal dari sekitar tahun 1383-90 (Hill, 1960: 41), atau
sekurang-kurangnya akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15 (Jones, 1987: v). HRP
dianggap sebagai karya historiografi Melayu tradisional tertua, namun hingga saat
ini naskah yang sampai hanya satu yaitu yang dikenal sebagai naskah Raffles Malay
no. 67 dan sekarang tersimpan di The Royal Asiatic Siciaty, London. Naskah itu
berasal dari Jawa pada tahun 1815 pada masa Raffles menjadi letnan gubernur
jenderal.
Berdasarkan isinya, HRP dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

1. Mengenai pembukaan Negeri Samudra dan Pasai serta raja-raja yang pertama
yang telah memeluk agama Islam.
2. Cerita mengenai perkembangan keadaan di Pasai, yaitu raja Ahmad dari Pasai
secara langsung atau tidak membunuh anak-anaknya, hal yang akhirnya
mengakibatkan serangan angkatan laut Majapahit terhadap Pasai, yang
dikalahkan dan kemudian takluk kepada Majapahit.
3. Cerita kemenangan angkatan Majapahit di kepulauan Indonesia, dan cerita
percobaannya yang gagal untuk menaklukkan daerah Minangkabau. (Roolvink
1986: 19).
Dibandingkan dengan HRP, naskah SM yang sampai kepada kita ada
beberapa buah naskah aslinya diduga berasal dari awal abad ke-17, mengingat
peristiwa terakhir yang dikisahkan dalam SM terjadi sebelum tahun 1613 (Hsu Yun
Tsiao, 1986: 41). Dalam SM, kisah mengenai Pasai (dan Samudra) terdapat dalam
cerita yang ketujuh, kedelapan, dan kesembilan (Teeuw dan Situmorang, 1952).
Pada umumnya para pakar berpendapat bahwa SM dalam beberapa bagian
mendasarkan uraiannya kepada HRP (de Jong, 1986: 60).
Sedangkan dalam berita Cina, memang tidak ada berita yang secara langsung
menyebut Pasai, walaupun yang menyinggung kata samudra dan beberapa daerah
lain di Sumatra bagian utara agak banyak ditemukan, namun mengingat pada masa
para ahli tarikh atau musafir Cina itu hidup sezaman dengan masa berkembangnya
Kerajaan (Samudra) Pasai, tidaklah terlalu dapat disalahkan jika para peneliti
cenderung menyesuaikan berita itu dengan Pasai (Groeneveldt, 1960: 144). Seperti
umumnya berita Cina, uraian tentang Pasai itu terutama berkenaan dengan
berbagai keadaan alam dan keanehan adat atau tata kehidupan masyarakat yang
berbeda dengan tata kehidupan masyarakat Cina.
Seorang tokoh Portugis bernama Tome Pires pernah singgah di beberapa
daerah di Nusantara pada tahun 1512-1515. Ia mencatat apa yang dilihat, didengar,
dan diketahuinya mengenai daerah yang disinggahinya itu. Ia mancatat bahwa pada
saat itu Pasai masih berdiri. Laporannya tentang Pasai dan bandar-bandar di Sumatra

Utara cukup memberikan gambaran menganai daerah itu, yaitu meliputi hal-hal
yang berhubungan dengan penduduk, kota, perdagangan, uang, dan bahkan pajak
yang terdapat di Pasai.
Berita Marko Polo pada tahun 1292 dan Ibn Battutah pada tahun 1346 juga
tidak secara langsung berkenaan dengan Pasai. Hanya saja pada saat itu mereka
melakukan pelayaran pada masa Pasai berdiri.
Bukti yang paling populer dan paling mendukung berdirinya kerajaan
Samudra Pasai adalah adanya nisan kubur yang terbuat dari granit asal Samudra
Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal
pada bulan Ramadhan tahun 969 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun
1297 M[2].
Dari segi politik, munculnya kerajaan Samudra Pasai abad ke-13 M itu
sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya
memegang peranan penting di kawasan Sumatra dan sekitarnya.
1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai
1.2.1 Komposisi dan Struktur Masyarakat Pasai
Dalam HRP, komposisi masyarakat yang disebutkan terdiri atas raja,
orang besar-besar, sultan, perdana menteri, nata, menteri bentara, pegawai,
sida-sida, bendahari, penggawa, patih, tumenggung, demang, ngabehi, lurah,
bebekal petinggi, bala tentara, lasykar, hulubalang, pahlawan, panglima,
pendekat, senapati, hamba sahaya, rakyat, orang tuha-tuha, gundik, dayangdayang, binti perwara, fakir, miskin, inangda pengasuh, orang berbuat bubu,
juara bermain hayam, orang menjala ikan, orang benjaga, orang berlayar,
orang pekan, seorang tuha dalam surau, nahkoda, ahlul nujum, yogi, guru, dan
pendeta.
Sedangkan dalam SM, komposisi masyarakat terdiri dari raja, tuanya
menteri, sultan, orang besar-besar, mangkubumi (di negeri), pegawai, bentara,
hulubalang, gahara, gundik, fakir, miskin rakyat, dayang-dayang, hamba,
orang menahan lukah, orang berburu, dan nahkoda.

1.2.2 Silsilah Raja Samudra Pasai


Antara tahun 1290 dan 1520 kesultanan Pasai tidak hanya menjadi kota
dagang terpenting di selat Malaka, tetapi juga pusat perkembangan Islam dan
bahasa sastra Melayu. Selain berdagang, para pedagang Gujarat, Persia, dan
arab menyebarkan agama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam tradisi lisan
dan Hikayat Raja-raja Pasai, raja pertama kerajaan Samudra Pasai sekaligus
raja pertama yang memeluk Islam adalah Malik Al-Saleh yang sekaligus juga
merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hal itu dapat diketahui melalui tradisi
Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas
beberapa sumber yang dilakukan para sarjana Barat terutama Belanda seperti
Snouck Hurgronye, J.P. Molquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer,
H.K.J. Cowan, dan lain-lain.
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik Al-Saleh
sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam
berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan syarif Makkah
yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al-Saleh. Nisan itu didapatkan
di Gampong Samudra bekas kerajaan Samudra Pasai tersebut[3].
Merah Selu adalah putra Merah Gajah. Nama Merah Gajah merupakan
gelar bangsawan yang lazim di Sumatra Utara. Selu kemungkinan berasal dari
kata

sungkala

yang

aslinya

juga

berasal

dari

sanskrit

Chula.

Kepemimpinannya yang menonjol membuat dirinya ditempatkan sebagai raja.


Dari hikayat itu pula, dijelaskan bahwa tempat pertama yang dijadikan
sebagai pusat kerajaan Samudra Pasai adalah Muara Sungai Peusangan yaitu
sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai yang
memudahkan perahu-perahu serta kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke
pedalaman dan sebaliknya. Di muara sungai itu ada dua kota yang letaknya
berseberangan yaitu Pasai dan Samudra. Kota Samudra terletak agak lebih ke
pedalaman, sedangkan Pasai terletek lebih ke muara. Di tempat terakhir inilah
banyak ditemukan makam-makam para raja.

Dalam berita Cina dan pendapat Ibn Batutah yang merupakan


pengembara terkenal asal Marokko, dari Delhi mengatakan bahwa pada
pertengahan abad ke-14 M (tahun 746 H/1345 M) ia melakukan perjalanan ke
Cina. Ketika itu Samudra Pasai diperintah oleh Sultan Malik Al-Zahir, putra
Sultan Malik Al-Saleh. Menurut sumber-sumber Cina, pada awal tahun 1282
M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (Samudra) mengirim kepada raja Cina duta-duta
yang disebut dengan nama-nama muslim yaitu Husein dan Sulaiman. Ibnu
Batutah juga menyatakan bahwa Islam sudah hampir satu abad lamanya
disiarkan di sana. Ia juga meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati, dan
semangat keagamaan rajanya yang seperti rakyatnya, yaitu mengikuti mahzab
Syafii. Dalam bertinya juga dijelaskan bahwa kerajaan Samudra Pasai pada
saat itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul para ulama
dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan
keduniaan.
Dari uang dirham yang ditemukan di kerajaan ini, dapat diketahui
nama-nama raja beserta urutannya, karena dalam mata uang-mata uang yang
ditemukan itu terdapat nama-nama raja yang pernah memerintah kerajaan
ini[4]. Adapun urutannya adalah sebagai berikut:
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Nama Raja
Sultan Malik Al-Saleh
Muhammad Malik Al-Zahir
Mahmud Malik Al-Zahir
Manshur Malik Al-Zahir
Ahmad Malik Al-Zahir
Zain Al-Abidin Malik AL-Zahir
Nahrasiyah
Abu Zaid Malik Al-Zahir
Mahmud Malik Al-Zahir
Zain Al-Abidin
Abdullah Malik Al-Zahir
Zain Al-Abidin

Tahun Pemerintahan
Sampai tahun 1207 M
1297-1326 M
1326-1345 M
1345-1346 M
1346-1383 M
1383-1405 M
1402-? M
?-1455 M
1455-1477 M
1477-1500 M
1501-1513 M
1513-1524 M

Pada abad ke 14 wilayah Kesultanan Samudera Pasai menuai masa


kejayaan. Kejayaan itu di buktikan dengan kemampuan kesultanan samudera
pasai membuat mata uang emas pada masa Sultan Malik Al Zahir (1297-1326)

pada abad ke 13. Bisa disebutkan mata uang Samudera Pasai adalah mata uang
emas pertama yang dikeluarkan nusantara oleh kerajaan islam dengan
oranamen islam (tulisan arab) yang tertulis dalam sisi atas dan sisi bawah,
karena pada masa itu kerajaan nusantara lain baru mengeluarkan mata uang
dari perak. Ada yang menyebutkan bahwa mata uang ini sangat halus
pengerjaanya dibandingkan mata uang logam perak di Jawa.
Kerajaan Samudra Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Kerajaan
ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun,
kemudian tahun 1524 M dianeksasi oleh raja Aceh yaitu Ali Mughayatsyah.
Selanjutnya kerajaan Samudra Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan
Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
1.2.3 Perekonomian Kerajaan Samudra Pasai
Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini tidak
mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan
pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan serta pelayaran itu merupakan
sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan
dan pajak yang besar. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan internasional
pertama untuk mengekspor sutera dan lada. Hubungan dagang antara Pasai
dan Jawa berkembang pesat. Para pedagang Jawa membawa beras ke Pasai,
dan sebaliknya dari kota pelabuhan ini mereka mengangkut lada ke Jawa. Di
Samudra Pasai, para pedagang Jawa mendapat hak istimewa, dibebaskan dari
bea dan cukai.
Dalam catatan Tome Pirse di Pasai ada mata uang dirham. Diceritakan juga
bahwa setiap kapal yang membawa barang-barang dari Barat dikenakan pajak
6%. Dalam catatannya juga disebutkan bahwa Pasai mengekspor lebih kurang
8.000-10.000 bahan lada per tahun, atau 15.000 bahar bila panen besar. Selain
lada, Pasai juga mengekspor sutera,
Cara pembuatan sutera diajarkan orang Cina kepada penduduk Pasai.
Pada saat itu, jika ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonominya Samudra
Pasai memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung

antara pusat-pusat perdagangan yang ada di kepulauan Indonesia, India, Cina,


dan Arab. Hal itu menyebabkan Samudra Pasai menjadi pusat perdagangan
yang sangat penting. Adanya mata uang pada saat itu membuktikan bahwa
kerajaan ini merupakan kerajaan yang makmur.
Samudra Pasai sebagai pelabuhan dagang yang maju, mengeluarkan
mata uang dirham berupa uang logam emas. Saat hubungan dagang antara
Pasai dan Malaka berkembang setelah tahun 1400, pedagang Pasai
menggunakan kesempatan mengenalkan dirham ke Malaka. Raja pertama
Malaka, Prameswara, menjalin persekutuan dengan Pasai tahun 1414
memeluk Islam dan menikah dengan putri Pasai. Uang emas dicetak di awal
pemerintahan Sultan Muhammad (1297-1326) dan pengeluaran uang emas
harus mengikuti aturan sebagai berikut. Seluruh Sultan Samudra Pasai perlu
menuliskan frasa al-sultan al-adil pada dirham mereka.
Mata uang dirham[5] dari Samudra Pasai itu pernah diteliti oleh H.K.J
Cowan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang
tersebut menggunakan nama-nama Sultan, diantaranya yaitu Sulatan Alauddin,
Sultan Manshur Malik Al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun
1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham, diantaranya bertuliskan nama
Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah yang
semuanya merupakan raja-raja Samudra Pasai pada abad ke-14 M dan 15 M.
1.3 Keruntuhan Kerajaan Samudra Pasai
Pada abad ke-15 kerajaan Samudra Pasai kehilangan kekuasaan perdagangan
atas Selat Malaka, dan kemudian dikacaukan Portugis pada tahun 1511-20.
Akhirnya kerajaan ini dihisab kesultanan Aceh yang timbul tahun 1520-an. Warisan
peradaban Islam internasionalnya diteruskan dan dikembangkan di Aceh.
Hancur dan hilangnya peranan Kerajaan Pasai dalam jaringan antarbangsa
ketika suatu pusat kekuasan baru muncul di ujung barat pulau Sumatera, yakni
Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini muncul pada abad 16 Masehi. Kerajaan
Islam yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah kala itu menaklukkan Kerajaan
Pasai sehingga wilayah Pasai dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan

Islam Darussalam. Kerajaan Islam Samudera Pasai akhirnya dipindahkan ke Aceh


Darussalam (sekarang Banda Aceh).
Runtuhnya kekuatan Kerajaan Pasai sangat berkaitan dengan perkembangan
yang terjadi di luar Pasai, tetapi lebih dititikberatkan dalam kesatuan zona Selat
Malaka. Walaupun Kerajan Islam Pasai berhasil ditaklukan oleh Sultan Asli
Mughayat Syah, peninggalan dari kerajaan kecil tersebut masih banyak dijumpai
sampai saat ini di Aceh bagian utara.
Pada tahun 1524 M setelah Kerajaan Aceh Menakhlukan Kesultanan
Samudera Pasai tradisi mencetak deurham menyebar keseluruh wilayah Sumatera,
bahkan semenanjung Malaka. Derham tetap berlaku sampai bala tentara Nippon
mendarat di Seulilmeum, Aceh Besar pada tahun 1942.

Anda mungkin juga menyukai