Letak Kerajaan
Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan
Islam dan mengalami masa kejayaan pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Perkembangan pesat kerajaan Aceh tidak
lepas dari letaknya yang strategis yaitu di
Pulau Sumatera bagian utara dan dekat jalur
pelayaran perdagangan internasional pada
masa itu. Ramainya aktivitas pelayaran
perdagangan Kerajaan Aceh, mempengaruhi
perkembangan kehidupan Kerajaan Aceh
dalam segala bidang, seperti kehidupan
politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Kehidupan Politik
Berdasarkan Bustanussalatin ( 1637 M ) karangan Naruddin Ar-Raniri yang berisi silsilah
sultan- sultan Aceh, dan berita berita Eropa, Kerajaan Aceh telah berhasil
membebaskan diri dari Kerajaan Pedir. Raja -raja yang pernah memerintah di Kerajaan
Aceh :
Sultan Salahuddin
Setelah Sultan Ali Mughayat Wafat, pemerintahan beralih kepada putranya yang bergelar
Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528- 1537 M, selama menduduki tahta kerajaan
ia tidak memperdulikan pemerintahan kerajaannya. Keadaan kerajaan mulai goyah dan
mengalami kemerosotan yang tajam. Oleh karena itu, Sultan Salahuddin digantikan
saudaranya yang bernama Alauddin Riayat Syah al-Kahar.
Aceh dapat berkuasa atas Selat Malaka yang merupakan jalan dagang internasional. Selain
bangsa Belanda dan Inggris, bangsa asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, India, Siam,
Cina, Jepang, juga berdagang dengan Aceh. Barang barang yg di ekspor Aceh seperti
beras, lada ( dari Minagkabau ), rempah rempah ( dari Maluku ). Bahan impornya seperti
kain dari Koromendal ( India ), porselin dan sutera ( dari Jepang dan Cina ), minyak wangi
( dari Eropa dan Timur Tengah ). Kapal kapal Aceh aktif dalam perdagangan dan
pelayaran sampai Laut Merah.
D
Kehidupan Sosial
Meningkatnya kemakuran telah menyebabkan berkembangnya sistem feodalisme & ajaran
agama Islam di Aceh. Kaum bangsawan yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan
sipil disebut golongan Teuku, sedangkan kaum ulama yang memegang peranan penting
dalam agama disebut golongan Teungku. Namun antara kedua golongan masyarakat itu
sering terjadi persaingan yang kemudian melemahkan Aceh. Sejak berkuasanya kerajaan
Perlak ( abad ke-12 M s/d ke-13 M ) telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dengan
Sunnah Wal Jammaah. Tetapi pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda aliran Syiah
memperoleh perlindungan & berkembang sampai di daerah daerah kekuasaan Aceh.
Aliran ini di ajarkan oleh Hamzah Fansuri yang diteruskan oleh muridnya yang bernama
Syamsuddin Pasai. Sesudah Sultan Iskandar Muda wafat, Naruddin Ar-Raniri
mengembangkan islam beraliran Sunnah wal Jamaah, ia juga menulis buku sejarah Aceh
yang berjudul Bustanussalatin ( taman raja raja dan berisi adat istiadat Aceh beserta
ajaran agama Islam )
Kebudayaan
Arsitektur
Tidak banyak peninggalan bangunan
zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh.
Istana Dalam Darud Donya telah terbakar
pada masa perang Aceh - Belanda. Kini,
bagian inti dari Istana Dalam Darud
Donya yang merupakan tempat kediaman
Sultan Aceh telah berubah menjadi Kraton
Meuligoe yang digunakan sebagai Pedopo Gubernur Aceh. Perlu dicatat bahwa pada masa
Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan
Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya
dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan
arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng
Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Pinto Khop, Leusong dan Gunongan beserta Taman
Ghairah yang luas dipusat Kota Banda Aceh.
Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam
bentuk hikayat yang terkenal diantaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang
berceritakan tokoh heroik Malem Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh
Angkatan Laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Bhikayat Malem Diwa, hikayat Banta
Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad, hikayat Perang
Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah Abdullah Hadat dan hikayat Prang Sabi.
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (taman para
raja) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Taj al-salatin (1603), Sulalat al-Salatin
(1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang
agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang
yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat alMuwahidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair
Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di
Asia Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut
Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al
Baidlawy ke dalam bahasa Jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil
Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di Dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin ArRaniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal
adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.
Militer
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan
pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan
mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.
Daerah kekuasaannya banyak yang melepaskan diri seperti Johor, Pahang, Perlak,
Minangkabau, dan Siak. Negara negara itu menjadikan daerahnya sebagai negara
merdeka kembali, kadang kadang di bantu bangsa asing yang menginginkan
keuntungan perdagangan yg lebih besar.
Kerajaan Aceh yang berkuasa selama kurang lebih 4 abad, akhinya runtuh karena dikuasai
oleh Belanda awal abad ke-20.
1. Mengenai pembukaan Negeri Samudra dan Pasai serta raja-raja yang pertama
yang telah memeluk agama Islam.
2. Cerita mengenai perkembangan keadaan di Pasai, yaitu raja Ahmad dari Pasai
secara langsung atau tidak membunuh anak-anaknya, hal yang akhirnya
mengakibatkan serangan angkatan laut Majapahit terhadap Pasai, yang
dikalahkan dan kemudian takluk kepada Majapahit.
3. Cerita kemenangan angkatan Majapahit di kepulauan Indonesia, dan cerita
percobaannya yang gagal untuk menaklukkan daerah Minangkabau. (Roolvink
1986: 19).
Dibandingkan dengan HRP, naskah SM yang sampai kepada kita ada
beberapa buah naskah aslinya diduga berasal dari awal abad ke-17, mengingat
peristiwa terakhir yang dikisahkan dalam SM terjadi sebelum tahun 1613 (Hsu Yun
Tsiao, 1986: 41). Dalam SM, kisah mengenai Pasai (dan Samudra) terdapat dalam
cerita yang ketujuh, kedelapan, dan kesembilan (Teeuw dan Situmorang, 1952).
Pada umumnya para pakar berpendapat bahwa SM dalam beberapa bagian
mendasarkan uraiannya kepada HRP (de Jong, 1986: 60).
Sedangkan dalam berita Cina, memang tidak ada berita yang secara langsung
menyebut Pasai, walaupun yang menyinggung kata samudra dan beberapa daerah
lain di Sumatra bagian utara agak banyak ditemukan, namun mengingat pada masa
para ahli tarikh atau musafir Cina itu hidup sezaman dengan masa berkembangnya
Kerajaan (Samudra) Pasai, tidaklah terlalu dapat disalahkan jika para peneliti
cenderung menyesuaikan berita itu dengan Pasai (Groeneveldt, 1960: 144). Seperti
umumnya berita Cina, uraian tentang Pasai itu terutama berkenaan dengan
berbagai keadaan alam dan keanehan adat atau tata kehidupan masyarakat yang
berbeda dengan tata kehidupan masyarakat Cina.
Seorang tokoh Portugis bernama Tome Pires pernah singgah di beberapa
daerah di Nusantara pada tahun 1512-1515. Ia mencatat apa yang dilihat, didengar,
dan diketahuinya mengenai daerah yang disinggahinya itu. Ia mancatat bahwa pada
saat itu Pasai masih berdiri. Laporannya tentang Pasai dan bandar-bandar di Sumatra
Utara cukup memberikan gambaran menganai daerah itu, yaitu meliputi hal-hal
yang berhubungan dengan penduduk, kota, perdagangan, uang, dan bahkan pajak
yang terdapat di Pasai.
Berita Marko Polo pada tahun 1292 dan Ibn Battutah pada tahun 1346 juga
tidak secara langsung berkenaan dengan Pasai. Hanya saja pada saat itu mereka
melakukan pelayaran pada masa Pasai berdiri.
Bukti yang paling populer dan paling mendukung berdirinya kerajaan
Samudra Pasai adalah adanya nisan kubur yang terbuat dari granit asal Samudra
Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal
pada bulan Ramadhan tahun 969 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun
1297 M[2].
Dari segi politik, munculnya kerajaan Samudra Pasai abad ke-13 M itu
sejalan dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya
memegang peranan penting di kawasan Sumatra dan sekitarnya.
1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Samudra Pasai
1.2.1 Komposisi dan Struktur Masyarakat Pasai
Dalam HRP, komposisi masyarakat yang disebutkan terdiri atas raja,
orang besar-besar, sultan, perdana menteri, nata, menteri bentara, pegawai,
sida-sida, bendahari, penggawa, patih, tumenggung, demang, ngabehi, lurah,
bebekal petinggi, bala tentara, lasykar, hulubalang, pahlawan, panglima,
pendekat, senapati, hamba sahaya, rakyat, orang tuha-tuha, gundik, dayangdayang, binti perwara, fakir, miskin, inangda pengasuh, orang berbuat bubu,
juara bermain hayam, orang menjala ikan, orang benjaga, orang berlayar,
orang pekan, seorang tuha dalam surau, nahkoda, ahlul nujum, yogi, guru, dan
pendeta.
Sedangkan dalam SM, komposisi masyarakat terdiri dari raja, tuanya
menteri, sultan, orang besar-besar, mangkubumi (di negeri), pegawai, bentara,
hulubalang, gahara, gundik, fakir, miskin rakyat, dayang-dayang, hamba,
orang menahan lukah, orang berburu, dan nahkoda.
sungkala
yang
aslinya
juga
berasal
dari
sanskrit
Chula.
Nama Raja
Sultan Malik Al-Saleh
Muhammad Malik Al-Zahir
Mahmud Malik Al-Zahir
Manshur Malik Al-Zahir
Ahmad Malik Al-Zahir
Zain Al-Abidin Malik AL-Zahir
Nahrasiyah
Abu Zaid Malik Al-Zahir
Mahmud Malik Al-Zahir
Zain Al-Abidin
Abdullah Malik Al-Zahir
Zain Al-Abidin
Tahun Pemerintahan
Sampai tahun 1207 M
1297-1326 M
1326-1345 M
1345-1346 M
1346-1383 M
1383-1405 M
1402-? M
?-1455 M
1455-1477 M
1477-1500 M
1501-1513 M
1513-1524 M
pada abad ke 13. Bisa disebutkan mata uang Samudera Pasai adalah mata uang
emas pertama yang dikeluarkan nusantara oleh kerajaan islam dengan
oranamen islam (tulisan arab) yang tertulis dalam sisi atas dan sisi bawah,
karena pada masa itu kerajaan nusantara lain baru mengeluarkan mata uang
dari perak. Ada yang menyebutkan bahwa mata uang ini sangat halus
pengerjaanya dibandingkan mata uang logam perak di Jawa.
Kerajaan Samudra Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Kerajaan
ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun,
kemudian tahun 1524 M dianeksasi oleh raja Aceh yaitu Ali Mughayatsyah.
Selanjutnya kerajaan Samudra Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan
Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
1.2.3 Perekonomian Kerajaan Samudra Pasai
Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini tidak
mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan
pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan serta pelayaran itu merupakan
sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan
dan pajak yang besar. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan internasional
pertama untuk mengekspor sutera dan lada. Hubungan dagang antara Pasai
dan Jawa berkembang pesat. Para pedagang Jawa membawa beras ke Pasai,
dan sebaliknya dari kota pelabuhan ini mereka mengangkut lada ke Jawa. Di
Samudra Pasai, para pedagang Jawa mendapat hak istimewa, dibebaskan dari
bea dan cukai.
Dalam catatan Tome Pirse di Pasai ada mata uang dirham. Diceritakan juga
bahwa setiap kapal yang membawa barang-barang dari Barat dikenakan pajak
6%. Dalam catatannya juga disebutkan bahwa Pasai mengekspor lebih kurang
8.000-10.000 bahan lada per tahun, atau 15.000 bahar bila panen besar. Selain
lada, Pasai juga mengekspor sutera,
Cara pembuatan sutera diajarkan orang Cina kepada penduduk Pasai.
Pada saat itu, jika ditinjau dari segi geografis dan sosial ekonominya Samudra
Pasai memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung