Anda di halaman 1dari 17

SINDROM DOWN

1. PENDAHULUAN
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, karena
individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom. Mereka
mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan
kromosom ini akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan
karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh
(Soetjiningsih, 2002).
Sindrom Down dinamai sesuai nama dokter berkebangsaan Inggris bernama Langdon
Down yang pertama kali menemukan tanda-tanda klinisnya pada tahun 1866. Pada tahun
1959, seorang ahli genetika Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya mengidentifikasi
basis genetiknya (Selikowitz, 2008).
Sindrom Down merupakan salah satu kelainan genetik yang sering terjadi pada bayi
baru lahir. Menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology (ICBB)
Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap sindrom Down. Sedangkan
angka kejadian penderita sindrom Down di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa.
Angka kejadian kelainan sindrom Down mencapai 1 dalam 1000 kelahiran (Effendi dan
Indrasanto, 2008). Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan
kelainan ini (Shin et al., 2009). Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa
(Effendi dan Indrasanto, 2008).

2. ETIOLOGI
Sindrom Down disebabkan oleh trisomi 21 yang merupakan autosomal trisomi yang
paling sering pada bayi baru lahir. Salinan tambahan pada kromosom 21 biasanya disebabkan
oleh nondisjunction. Nondisjunction adalah kegagalan kromosom homolog saat pemisahan
selama meosis I atau meosis II. Oleh karena itu, satu anak sel menurunkan tiga kromosom
pada kromosom yang terkena dan menjadi trisomi, sedangkan anak sel lainnya menurunkan
satu kromosom yang menyebabkan monosomi (Hall, 2013).
Kesalahan dalam meosis yang menyebabkan nondisjunction sebagian besar diturunkan
dari ibu. Kesalahan pada meosis meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu. Kesalahan
yang diturunkan dari ibu paling sering terjadi pada meosis I (76-80%), namun dapat juga
terjadi pada meosis II (Hall, 2013).
Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down meningkat dengan bertambahnya
usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun. Namun
demikian, wanita yang hamil pada usia muda tidak selalu bebas terhadap risiko mendapat bayi
dengan sindrom Down. Kemungkinan wanita berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan
sindrom Down adalah 1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun,
kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini menunjukkan angka kemungkinan munculnya sindrom
Down makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan. Perubahan endokrin seperti meningkatnya
sekresi androgen, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor
hormon, dan hormon LH (Luteinizing Hormone) serta FSH (Follicular Stimulating Hormone)
yang secara tiba-tiba meningkat pada saat sebelum dan selama menopause dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction (Effendi dan Indrasanto, 2008).

Gambar 3. Nondisjunction (National Down Syndrome Society, 2005).

Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan
menyebabkan perubahan spektrum fenotip. Anak yang terkena biasanya mengalami
keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang
lambat. Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik yang
tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada ekstremitas atas, dan
penyakit jantung kongenital. Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q22.1-q22.3 pada
kromosom 21 berperan terhadap terjadinya penyakit jantung kongenital pada penderita
sindrom Down. Regio 21q22.1-q22.2 pada kromosom 21 adalah sangat terekspresi pada otak
dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental dan defek jantung (National Down
Syndrome Society, 2005).

3. KLASIFIKASI
Berdasarkan kelainan kromosom yang terjadi, sindrom Down dibagi menjadi 3 jenis,
yaitu:
1. Translokasi adalah suatu keadaan dimana tambahan kromosom 21 melepaskan diri pada
saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang lainnya. Kromosom 21 ini dapat
menempel pada kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4% dari seluruh
penderita sindrom Down. Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama
dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21 (National Down Syndrome Society, 2005;
Hall,2013).
2. Trisomi 21 klasik adalah bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada penderita
sindrom Down, dimana terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21. Angka kejadian
trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari semua penderita sindrom Down (National Down
Syndrome Society, 2005; Hall,2013).
3. Mosaik adalah bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, dimana hanya beberapa sel saja
yang memiliki kelebihan kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan sindrom
Down mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah kesehatan yang lebih ringan
dibandingkan bayi yang lahir dengan sindrom Down trisomi 21 klasik dan translokasi.
Trisomi 21 mosaik hanya mengenai sekitar 2-4% dari penderita sindrom Down (National
Down Syndrome Society, 2005; Hall,2013).

4. GAMARAN KLINIS

Penderita sindroma Down memiliki banyak ciri khas pada tubuh yang dapat dengan
mudah dikenali. Selain itu, Sindroma Down juga menyebabkan berbagai gangguan fungsi
organ yang dibawa sejak lahir (Carey, 2006).
Secara klinis, pasien dengan sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek,
sering kali gemuk dan tergolong obesitas. Tangan mereka pendek dan melebar, tampak garis
transversal pada telapak tangan (simian crease), clinodactyly pada jari kelima, sendi jari yang
hiperekstensi dan jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu jauh. pasien dengan
sindrom Down mempunyai tonus otot yang lemah (Soetjiningsih, 2002; Carey, 2006).

Gambar 4.1 Garis transversal pada telapak tangan sindrom Down (Fergus, 2016)

Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi yang


rata, occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang
lambat, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada sinus maksilaris
(Soetjiningsih, 2002; Carey, 2006).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting) karena
fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik titik Brushfield,
gangguan refraksi (50%), strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%) dan katarak
kongenital. Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi tulang
hidung dan jembatan hidung yang rata. Pada pemeriksaan mulut didapatkan lidah yang kecil,

air liur yang menetes (drooling), angular cheilitis, gigi yang tidak terbentuk dengan sempurna,
pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi
serta kerusakan periodontal yang jelas (Soetjiningsih, 2002; Carey, 2006).

Gambar 4.2 Gambar klinis sindrom Down (Smith,2008).

Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent quatio (IQ) mereka
sering berada antara 20 85 dengan rata-rata 50. Ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu,
pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita sindrom Down.
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau perilaku yang spontan, sikap ramah, ceria,
cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal
dengan rasa ingin tahu yang tinggi (Nascimento, 2016).
Pada panderita sindrom Down, biasanya pada kulit didapatkan xerosis, lesi
hiperkeratosis yang terlokalisir, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis,
abses dan infeksi pada kulit yang rekuren (Carey, 2006).

Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat. Otitis
media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira kira 6080% anak
penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 20 dB pada satu telinga (Soetjiningsih,
2002; Carey, 2006, Turk et al., 2009).
Pada leher didapatkan atlantoaksial yang tidak stabil (14%) sehingga dapat
menyebabkan kelemahan ligamen transversal yang menyangga prosesus odontoid. Kelemahan
itu dapat menyebabkan prosesus odontoid berpindah ke belakang, mengakibatkan kompresi
medula spinalis (Turk et al., 2009; Down Syndrom Association, 2014).
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia.
Diperkirakan 10% bayi yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat kondisi
preleukemik, yang berasal dari progenitor mieloid pada hati yang mempunyai karekter mutasi
pada GATA1, yang terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk
sebagai TransientLeukemia, Transient Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient
Abnormal Myelopoiesis (TAM) (Asim et al., 2015).
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom Down dengan
prevelensi 40-50%. Penyakit jantung kongenital yang sering ditemukan yaitu Atrioventricular
Septal Defects (43%), Ventricular Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
(10%), Tetralogy of Fallot (6%), dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%) (Asim et al.,
2015).
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang
normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem imun yang rendah.
Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia (Asim et al., 2015).

Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang dapat
ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), Meckel divertikulum,
anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan Amerika
didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah sekitar 515%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik pada human leukocyte antigen
(HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8 (Asim et al., 2015).
Pada

penderita

sindrom

Down,

tiroiditis

Hashimoto

yang

mengakibatkan

hipothyroidism adalah gangguan pada sistem endokrin yang paling sering ditemukan.
Onsetnya sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga 10 tahun. Insiden ditemukannya
Graves disease juga seringkali dilaporkan. Prevelensi mendapat penyakit tiroid seperti
hipotirod kongenital, hipertiroid primer, autoimun tiroiditis, dan compensated hypothyroidism
atau adalah sekitar 3-54% pada penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya umur (Claret et al., 2013).
Penderita sindrom Down mempunyai risiko mendapat gangguan psikis. Beberapa
kelainan yang bisa didapat adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),
Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan
spektrum autisme (Nascimento, 2016).

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5.1 Amniosentesis
Amniosentesis merupakan teknik mengambil sampel cairan amnion yang mengelilingi
fetus dengan menggunakan jarum aspirasi. Sel-sel fetus pada cairan ini dianalisis untuk

didapatkan urutan DNA spesifiknnya atau dibiakkan pada media kultur

untuk analisis

kromosom (kariotipe) (Benson, 2008).


Di antara semua teknik tes genetik yang invasif, amniosentesis merupakan teknik yang
paling aman dan telah mempunyai banyak pengalaman medis. Kerugian metode ini baru dapat
dilakukan pada minggu ke 16-20, sehingga hanya ada sedikit waktu untuk mengulang tes dan
menentukan keputusan orang tua (Benson, 2008).
Cairan amnion dan sel-sel bebas dari fetus diambil sebanyak 10-20 cc dengan
menggunakan jarum injeksi. Waktu yang paling baik untuk melakukan amniosentesis ialah
pada kehamilan 14-16 minggu. Jika terlalu awal dilakukan, cairan amnion belum cukup
banyak, sedang jika terlambat melakukannya, maka akan lebih sulit untuk membuat kultur
dari sel-sel fetus yang ikut terbawa cairan amnion. Sel-sel fetus setelah melalui suatu prosedur
tertentu lalu dibiakkan dan 2-3 minggu kemudian diperiksa kromosomnya untuk dibuat
karyotipenya. Apabila pada karyotipe terlihat adanya 3 buah autosom no.21, maka secara
prenatal sindrom down sudah dapat dipastikan pada bayi itu (Benson, 2008).

5.2 Biopsi Vili Korialis


Merupakan teknik diagnostik pranatal invasif trimester pertama yang paling sering
dikerjakan untuk menilai gangguan kromosom, molekuler, dan biokimiawi janin. Biopsi ini
dilakukan pada akhir kehamilan trimester pertama (antara 10-13 minggu) dan dilakukan di
bawah tuntunan USG. Meskipun pada awalnya teknik ini dikerjakan transvaginal, saat ini
teknik transvaginal dan transabdominam keduanya dikerjakan. Yang diambil adalah jaringan
korion dari plasenta yang sedang tumbuh. Prosedur biopsi ini memiliki risiko abortus lebih
tinggi dibanding amniosentesis. Penyulit lain seperti perdarahan pervaginam, nyeri perut, dan

infeksi juga lebih sering terjadi pada teknik biopsi vili korialis dibanding amniosentesis.
Keuntungan pemeriksaan ini ialah pemeriksaan ini dapat dilaksanakan pada trimester pertama
kehamilan, sehingga akan segera memberi kenyamanan pada keluarga penderita jika hasil
pemeriksaan tidak mendapatkan adanya kelainan. Sebaliknya, jika hasil pemeriksaan
mendapatkan adanya kelainan, maka dapat segera dilakukan koreksi jika kelainan tersebut
memang dapat dikoreksi, atau bila akan dilakukan terminasi kehamilan, prosedur tersebut
dapat dilakukan dengan lebih mudah dan lebih aman (Suryo, 2008; Purwaka dan
Aditiawarman, 2009).

5.3 Skrining Petanda Serum Maternal


Kombinasi tiga penanda (triple screening) yang berbeda telah terbukti bermanfaat
untuk menilai risiko sindrom Down pada kehamilan. Ketiga pengukuran tersebut adalah AFP
(alfa-fetoprotein), hCG (human chorionic gonadotropin), dan uE3 (unconjugated estriol)
dalam serum perempuan hamil. Pada kasus sindrom Down, AFP ibu cenderung rendah pada
sekitar 30%, hCG cenderung sekitar dua kali lipat daripada yang diperkirakan, dan estriol
cenderung menurun. Hasil dari masing-masing pengukuran dikombinasikan dengan faktor
lain seperti usia ibu, riwayat keluarga, diabetes melitus, dan usia gestasi untuk menghasilkan
risiko gabungan untuk sindrom Down (National Down Syndrome Society, 2005).

5.4 Ultrasonografi
Pemeriksaan USG yang dapat dilakukan untuk skrining adanya kelainan sindrom
Down adalah dengan mencari nuchal fold yaitu melihat ukuran kantong yang terisi cairan
pada bagian belakang leher janin. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kehamilan 11-13

minggu. Sekitar 60% bayi dengan kelainan ini didapatkan nuchal fold translucency yang
positif yaitu lebih dari 3 milimeter (Suryo, 2008; Purwaka dan Aditiawarman, 2009).

6. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk
mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita sindrom Down juga dapat
mengalami kemunduran dari sistem penglihatan, pendengaran maupun keterlambatan dalam
hal kemampuan fisiknya mengingat tonus otot yang lemah. Dengan demikian penderita harus
mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan
sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan keterlambatan perkembangan fisik maupun
mentalnya (Bertoti dan Smith, 2008).

6.1 Pengelolaan Rehabilitasi Medik.


6.1.1 Fisioterapi
Intervensi dalam bidang rehabilitasi medik ini didasarkan pada pendekatan
neurodevelopmental mengingat penderita sindrom Down memiliki feedback sensorik
buruk, buruknya stabilitas sendi dan lambatnya kemampuan intelektual dalam intepretasi
untuk melakukan gerakan. Penanganan perkembangan penderita yang sedini mungkin
dapat meningkatkan rasa percaya diri dan perkembangan keterampilan motorik penderita.

Terapi ditujukan untuk merangsang tonus otot dan untuk mendapatkan pola postur dan
gerakan volunter normal (Peter, 2000). Program fisioterapi yang diberikan meliputi
(Clegg, 1995; Peter, 2000):
Melakukan aktivitas positioning dan weightshifting dalam posisi tengkurap saat bayi
usia awal guna merangsang aktivitas angkat dan putar kepala, pembebanan
ekstremitas atas, penggapaian (reaching), putar tubuh saat tengkurap dan bergulung
dari posisi tengkurap ke telentang
Melatih aktivitas dan permainan tangan dalam posisi terlentang, menyokong posisi
setengah duduk guna mendorong aktivitas penggapaian, koordinasi mata-tangan dan
akifitas tangan sekitar garis tengah tubuh
Mengembangkan kompetensi antigravitasi leher dan togog bagian anterior melalui
pembangkitan gerakan bergulung dari posisi terlentang ke posisi miring dan aktivitas
hendak duduk dengan bantuan topangan kepala
Penguatan

aktivitas

ekstensi

togog

dan

pembebanan

ekstremitas

yang

berkecenderungan meningkatkan tonus aksial, hindari aktivtas untuk fleksi togog


yang secara umum mengurangi tonus tersebut
Sisipkan aktivitas duduk bila sudah waktunya saat mana kontrol kepala sudah
mencukupi
Lebih perkenalkan posisional dinamik daripada statik, dan pengalaman berdiri bila
sudah waktunya saat stabilitas togog dan alignment ankle telah mengijinkan

6.1.2 Terapi Wicara

Diperlukan untuk anak dengan sindrom Down yang mengalami keterlambatan


bicara dan pemahaman kosakata. Terapi wicara juga memberikan perangsangan fungsi
motorik oral yang efektif melalui (Clegg, 1995; Bertoti dan Smith, 2008):
Penyediaan puting dan atau posisi tubuh ibu dan bayi saat usia awal guna mencapai
hisapan efektif
Penggunaan berbagai isyarat taktil lembut, misalnya melakukan penekanan
menggunakan jari telunjuk yang diletakan horisontal pada tepi bawah bibir bawah bayi
dan menggerakannya seperti gerakan menghisap, atau melipatnya guna mendorong
terjadinya penutupan mulut pada saat yang tepat
Perkenalan cara menghisap dengan menggunakan semacam alat penghisap
Pengembangan reseptif dan ekspresif bahasa

6.1.3 Terapi Okupasi


Terapi ini diberikan untuk melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif serta
kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak
dengan sindrom Down tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga
beraktivitas tanpa ada komunikasi dan tidak memperdulikan orang lain (Bertoti dan Smith,
2008).
Terapi sensori integrasi diberikan bagi anak dengan sindrom Down yang
mengalami gangguan sensori integrasi, misalnya pengendalian sikap tubuh, motorik kasar,
motorik halus dan lain-lain. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan aktivitas dengan
terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat (Bertoti dan Smith, 2008).

6.2 Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy)


Mengajarkan anak dengan sindrom Down yang sudah berusia lebih besar agar
memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan
yang berlaku di masyarakat (Down Syndrom Association, 2014).

6.3 Perawatan Medis


Beberapa pemeriksaan secara reguler dapat dilakukan untuk memantau
perkembangan tingkat kesehatan penderita sindrom Down, baik anak ataupun dewasa.
Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan audiologi, pemeriksaan optalmologi
secara berkala sebagai pencegah keratokonus, opasitas kornea atau katarak. Untuk kelainan
kulit seperti follikulitis, xerosis, dermatitis atopi, dermatitis seboroik, infeksi jamur, vitiligo
dan alopesia perlu dirawat segera. Masalah kegemukan pada penderita sindrom Down dapat
diatasai dengan pengurangan komsumsi kalori dan meningkatkan aktivitas fisik (Cohen et
al., 2002).
Skrining terhadap penyakit Celiac juga harus dilakukan, yang ditandai dengan
kondisi seperti konstipasi, diare, bloating, tumbuh kembang yang lambat dan penurunan
berat badan. Selain itu, kesulitan untuk menelan makanan harus juga diperhatikan, dipikirkan
kemungkinan terjadi sumbatan pada jalan nafas. Perhatian khusus harus diberikan terhadap
proses operasi dikarenakan tidak stabilnya atlantoaxial dan masalah yang mungkin terjadi
pada sistem respirasi. Selain itu, jangan lupa untuk melakukan skrining untuk kemungkinan
tejadinya penyakit hipotiroid dan diabetes mellitus (Cohen et al., 2002).

6.4 Pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek
pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya
kelainan pada jantung tersebut (Cohen et al., 2002).

7. PROGNOSIS
Sebanyak 44 % penderita sindrom Down hidup sampai 60 tahun. Tingginya angka
kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang mengakibatkan 80 % kematian.
Meningkatnya resiko terkena leukimia pada syndrom down adalah 15 kali dari populasi
normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44
tahun (Soetjiningsih, 2002).

DAFTAR PUSTAKA
Asim A, Kumar A, Muthuswarny S, Jain S and Agarwal S. 2015. Down Syndrome: an Insight of
the Disease. Journal of Biomedical Science 22 (41): 1-9.
Benson RC. 2008. Buku saku obstetri dan ginekologi. Edisi 9. Jakarta: EGC, hal 224-225.
Bertoti DB and Smith DE. 2008. Mental Retardation: Focus on Down Syndrome. In: Tecklin JS
(Ed), Pediatric Physical Therapy 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins, pp 365-386.
Carey JC. 2006. Gangguan Kromosom. IN: Rudolph AM, Hoffman JI, Rudolph CD (Eds.), Buku
Ajar Pediatri Rudolph Edisi 20 Volume 1. Jakarta: EGC, hal 39-342.
Claret C, Corretger JM, Goday A. 2013. Hypothyroidsm and Downs Syndrome. Rev Med Int
Sindr Down 17(2): 18-24.
Clegg M. 1995. Developmental Delay. In: Eckersley PM (Ed), Elements of Paediatric
Physiotherapy. London: Churcill Livingstone, pp 157-166.
Cohen WI, Nadel A, Madnick ME. 2002. Down Syndrome: Vision for the 21 st Century. New
York: Willey-Liss Inc.
Down Syndrom Association. 2014. Journal. DSA Journal 130, pp 15-17.
Effendi SH, Indrasanto E. 2008. Kelainan Kongenital. In: Buku ajar Neonatologi Edisi 1.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI, hal 41-61.
Fergus K. 2016. Making the Dagnosis of Down Syndrome. https://www.verywell.com/makingthe-diagnosis-of-down-syndrome-1120403. Diakses pada tanggal 26 April 2016.
Hall JG. 2013. Abnormalitas Klinik karena Kromosom. In: Nelson WE (Ed), Ilmu Kesehatan
Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta: EGC, hal 389-399.
Nascimento A. 2016. Intellectual Disability and Cognitive Impairment in Down Syndrome. Rev
Med Int Sindr Down 20(1): 3-7.
National Down Syndrome Society. 2005. Down Syndrome. New York.

Peter EM. 2000. Children with Down Syndrome: Motor Development and Intervention. Utretcht:
Heeren Loo Zorggroep, pp 11-59.
Purwaka BT dan Aditiawarman. 2009. Diagnosis pranatal dan teknik inovatif pemantauan janin.
Dalam: Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiroharjo Edisi 4. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, hal 736-744.
Selikowitz M. 2008. The Fact Down Syndrome Third Edition. New York: Oxford University
Press, pp 25-33, 113-123.
Shin M, Besser LM, Kucik JE, Lu C, Siffel C and Correa A. 2009. Prevalence of Down
Syndrome Among Children and Adolescents in 10 Regions of the United States.
Pediatrics 124(6): 1565-1571
Soetjiningsih. 2002. Sindrom Down. In: Tubuh Kembang Anak. Jakarta: EGC, hal 211-221.
Smith R. 2008. Reproductive, Genetic and Endocrine Condition. In: Netters Obstetrics and
Gynecology. Philadelphia: Elsevier, pp 411.
Suryo. 2008. Abnormalitas akibat kelainan kromosom. Dalam: Genetika manusia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, hal 259-271.
Turk MA, Logan LR and Kanter D. 2009. Aging with Pediatric Onset Disability and Diseases.
In: Alexander MA and Matthews DJ (Eds), Molnar Pediatric Rehabilitation Principles
and Practice 4th Edition. New York: Demos Medical Publishing, pp 447-460.

Anda mungkin juga menyukai