LAPORAN PRAKTIKUM
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
EKSTRAKTIF TANIN DARI KULIT KAYU MAHONI
(Swietenia Mahagoni sp)
Oleh :
RIA SANTANOVA GIRSANG
CCA 113 036
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karuniaNya lah laporan mata kuliah Hasil Hutan Bukan Kayu ini
dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Adapun unsur dari laporan ini
yaitu agar mahasiswa/i dapat mengerti dan mempraktekkan Pengekstrakan Tanin.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pembina mata kuliah ini,
yaitu bapak Renhart Jemi. Dan tidak lupa pula penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada kelompok V (lima) serta Asisten dosen yang mengawasi dan
teman-teman kelompok yang lain, atas kerjasama nya dalam kegiatan praktikum
serta pengelolaan data dalam laporan ini.
Penulis juga menyadari dalam pembuatan laporan ini, baik dalam
pemilihan kata maupun penyusunan materi masih terdapat kejanggalan. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam
kesempurnaan laporan ini.
Penulis
ii
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iv
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..............................................................................1
1.2 Tujuan Praktikum..........................................................................2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mahoni (Swietenia Mahagoni Jack) ............................................4
2.2 Tanin .............................................................................................5
2.3 Ekstraktif kayu (Kulit, Daun, Buah) Mahoni................................7
2.4 Nyamuk Aedes Aegypti ................................................................8
III.
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................13
3.2 Alat dan Bahan..............................................................................13
3.3 Cara Kerja .....................................................................................15
IV.
V.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan ...................................................................................32
5.2 Saran..............................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
iv
DAFTAR TABEL
Judul
Halaman
iv
DAFTAR GAMBAR
Judul
Halaman
I.
PENDAHULUAN
memungut
dan
penghidupan
bagi
jutaan
masyarakat
hutan. Masyarakat
hutan
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
S.
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledone
Ordo
: Rotales
Genus
: Swietenia
Spesies
Swietenia mahagoni yang berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis
sudah lama dibudidayakan di Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis
di Indonesia. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany.
Tanaman mahoni banyak ditanam di pinggir jalan atau di lingkungan rumah dan
halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Tanaman ini tumbuh secara liar
di hutan-hutan atau di antara semak-semak belukar.
Tanaman mahoni yang digunakan sebagai bahan pestisida alami adalah
jenis mahoni Switenia Mahagoni. Buah tanaman
mahoni terlihat
muncul
diujung-ujung ranting berwarna coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi
sekitar 10-30 m, percabangannya banyak, daun majemuk menyirip genap, duduk
daun tersebar. Helaian anak daun bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan
pangkal daun runcing panjangnya sekitar 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur
memanjang berwarna coklat panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni
dapat tumbuh dengan baik di tempat yang terbuka dan terkena cahaya matahari
secara langsung, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, yaitu dengan
ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (Sutarni, 1995).
2.2
Tanin
Gambar 1. Struktur tanin terhidrolisia yang membentuk asam galat dan asam
etagat.
2.2.2 Tanin terkondensasi (condensed tannins)
Tanin jenis ini biasanya tidak dapat dihidrolisis, tetapi dapat terkondensasi
meghasilkan asam klorida. Tanin jenis ini kebanyakan terdiri dari polimer
flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Oleh karena adanya gugus fenol, maka
tannin akan dapat berkondensasi dengan formaldehida. Tanin terkondensasi
sangat reaktif terhadap formaldehida dan mampu membentuk produk kondensasi
Tanin terkondensasi merupakan senyawa tidak berwarna yang terdapat pada
(2000)
meyatakan
bahwa
zat-zat
ekstraktif
yang
dikenal
beberapa kayu dari hutan tropika mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun.
Lebih lanjut dikatakan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada kayu teras,
kulit dan xylem, bersifat racun atau anti fungi yang dapat melindungi pohon dari
gangguan perusak kayu.
Diperkirakan masih banyak tumbuhan berkhasiat obat yang belum
diketahui kandungan senyawa aktifnya, sehingga diperlukan penelitian khusus.
Agar pengobatan secara tradisional dapat dipertanggungjawabkan maka
diperlukan penelitian ilmiah seperti penelitian di bidang farmakologi, toksikologi,
identifikasi dan isolasi zat kimia aktif yang terdapat dalam tumbuhan. Tumbuhan
dapat digunakan sebagai obato-obatan karena tumbuhan tersebut menghasilkan
suatu senyawa yang memperlihatkan aktifitas biologis tertentu. Senyawa aktif
biologis itu merupakan senyawa metabolit sekunder yang meliputi alkaloid,
flavonoid, terpenoid dan steroid (Sjstrm, 1995)
2.3.3 Penggolongan Zat Ekstraktif
Ekstraktif terdiri atas komposisi bahan kimia yang bervariasi, seperti
getah, lemak, polisakarida, minyak, pati, senyawa alkaloid, dan tannin. Istilah ini
berasal dari ekstraksi (sebagian kecil) dari kayu dengan air panas atau air dingin
atau dengan pelarut organik netral, seperti alkohol, benzene, aseton atau eter.
Proporsi zat ekstraktif bervariasi mulai kurang dari 1% (jenis kayu popral) hingga
lebih dari 10% (jenis kayu red wood) dari berat kering kayu. Zat ekstraktif
beberapa spesies pohon tropis berkisar antara 20%. Variasi ini tidak hanya
disebabkan oleh perbedaan spesies, tetapi juga perbedaan pada bagian satu pohon
yang sama, misalnya antara kayu gubal dan kayu teras (Sjstrm, 1995).
Achmadi (1990) mengelompokkan zat ekstraktif menjadi fraksi lipofilik dan
hidrofilik, walaupun batasnya kurang jelas. Yang termasuk fraksi lipofilik adalah:
lemak, waxes, terpene, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi. Cara pemisahannya
dapat dilakukan dengan pelarut non polar, seperti etil eter atau diklorometana.
Sedangkan fraksi hidrofilik meliputi senyawa fenolik (tanin dan lignin),
karbohidrat terlarut, protein,vitamin dan garam anorganik. Bahan jenis kayu yang
10
mempunyai kadar resin tinggi, misalnya resin (damar) yang banyak terdapat pada
famili Dipterocarpaceae. Resin ini berfungsi patologis (melindungi terhadap
kerusakan, terdapat pada saluran resin) dan fungsi fisiologis (cadangan energi,
terdapat dalam sel-sel jari-jari) yang sering ditemukan pada daun.
2.4 Nyamuk Aedes Aegypti
2.4.1 Klasifikasi Nyamuk Aedes Aegypty
Kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan menurut
Soegijanto (2006) adalah :
Filum
Artropoda
Kelas
Insekta
Ordo
Diptera
Sub Ordo
Nematocera
Infra Ordo
Culicomorpha
Superfamili
Culicoidea
Famili
Culicidae
Sub famili
Culicinae
Genus
Aedes
Spesies
Aedes aegypti
11
Jarak terbang
: 100 meter
Tempat istirahat
Waktu menggigit
12
13
III.
METODE PRAKTIKUM
Jumlah
Satuan
Kg
Pisau
Buah
Belender
Unit
Gelas ukur 10 ml
Unit
Unit
Timbangan analitik
Unit
Kertas saring
Unit
Alkohol
Unit
NaOh
Liter
14
Jumlah
Satuan
1.
Ekstrak tanin
200
ml
2.
Serbuk kayu
10
Gram
3.
Oven
Unit
4.
Timbangan analiti
Unit
5.
Cawan
Buah
Jumlah
Satuan
1.
Pial
Buah
2.
Gelas ukur
10 ml
3.
Pipet volimetrik
4.
Metanol
100
ml
5.
DMSO
100
ml
15
3.3
Cara Kerja
3.3.1 Ekstraksi Tanin
Adapun cara kerja pada praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Bersihkan kulit kayu mahoni, dan yang digunakan kulit bagian dalam
2. Buat kulit serbuk tersebut dengan ukuran lolos 30 mesh tertahan 40 mesh.
3. Keringkan serbuk tersebut sampai diperoleh kadar air nya kering udara
(12-15%)
4. Rendam serbuk kayu tersebut sebanyak 250 gram dalam alkohol dengan
perbandingan 1:2.
5. Perendaman selama 24 jam, untuk beberapa waktu rendemen tersebut
aduk supaya serbuk terendam merata.
6. Pisah antara filtrat dan hasil ekstrak taninnya.
7. Keringkan hasil ekstrak tersebut pada suhu 40 C sampai diperoleh
ekstrak berupa kristal.
8. Hitungkan rendemen tanin yang diperoleh dengan membagi berat ekstrak
yang diperoleh (a) dengan berat serbuk yang dilakukan ekstraksi (b) ,
dimana persamaannya sebagai berikut:
Rendemen (%) = (a/b) x 100%
3.3.2 Penentuan Kadar Tanin
Adapun cara kerja pada praktikum ini adalah sebagai berikut :
16
Dimana:
17
18
IV.
19
1:5 dimana serbuk yang digunakan 99,84 gram dan alkohol 500 ml. Setelah
dilakukan perendaman maka serbuk disaring selama 24 jam hingga semua larutan
yang ada pada serbuk terpisah. Larutan yang didapat berwarna coklat pekat dari
99.84 gram serbuk didapat 130 ml larutan.
Selanjutnya larutan yang 130 ml dioven sampai mengkristal. Sebelum
pengovenan maka terlebih dahulu dilakukan penimbangan gelas piala. Adapun
berat gelas piala awal yaitu a.44,02 gram dan b.43,48. Setelah dioven selama
tujuh hari maka larutan serbuk mengkristal dengan warna coklat kehitam-hitaman.
Perubahan warna ini terjadi diakibatkan lama pengeringan larutan dalam oven.
Jadi berat gelas akhir pada gelas a. 44,87 gram dan gelas b.43,91 gram.
Jadi ekstrak tanin yang didapatkan dari 130 ml larutan yaitu
Tanin= Gelas akhir Gelas awal
Gelas a
= 44,87-44,02
Gelas b
= 43,91 -43,48
=0,85gram
=0,43gram
Total tanin yang diperoleh dari 99,84 serbuk dan setelah menjadi larutan
mnjadi 130 ml , yaitu sebanyak 0,85 + 0,43 yaitu 1,28 gram
Dengan rendemen:
(%) =
100
R (%)
=1,28/99,84 *100
= 1,28 %
Ekstrak tanin dalam kulit dilakukan pada suhu 50 C. Karena pada suhu ini dapat
dikatakan tanin yang besar dan viskositas pelarut rendah (kecil). Hal ini didukung
oleh pendapat Liiri.ct.al. (1982) bahwa ekstrak tanin yang baik yaitu pada suhu
20
50 C- 80 C.
Rendemen yang didapat dari kulit kayu mahoni ini adalah 99,84 %. Hal ini
sama dengan yang diungkapkan oleh Browning (1980) bahwa sejumlah tanin akan
larut dalam air, kelarutan akan bertambah besar apabila dilarutkan dengan suhu
yang lumayan tinggi.
4.2 Penentuan Kadar Tanin
Ekstraksi secara refluks dengan pelarut sebanyak tiga kali. Pertama sekali
dengan mengeringkan 50 ml esktrak dan dikeringkan pada suhu 105 C hingga
bobot nya tetap (T1) dimana 1,28 gram. Pada ekstrak selanjutnya dengan 80 ml
ekstrak dan serbuk kulit serupuk sebanyak 6 gram ,serbuk diaduk selama 60
menit serta disaring dan diuapkan sebanyak 50 ml dengan suhu 105 C hasilnya
disebut dengan bobot tetap (T2) yaitu 2,28 gram. Kelarutan serbuk selanjutnya
dengan mencampurkan 6 gram serbuk dengan air 80 ml , diaduk selama 60 menit
, serta disaring dan diuapkan sebanyak 50 ml dikeringkan dengan suhu 105 C
disebut sebagai bobot tetap (T3) yaitu1,08 gram. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 4. Kandungan Kadar pada ekstrak tanin
Kode
BeratAkhir (gram)
Hasil (gram)
T1
87,50
88,78
1,28
T2
42,05
44,33
2,28
T0
41,36
42,44
1,08
21
500
= 40/99,84 = 0,40%
99,84
Untuk mengetahui tanin yang ada dalam kulit kayu mahoni maka dilakukan uji
kualitatif. Hasil pengujian kulit kayu mahoni yang mengandung tanin ditunjukan
dengan adanya endapan berwarna coklat kehitaman ketika dicampur dengan
serbuk kerupuk kulit.
Pada pengujian aquades test terbentuk endapan putih kekuningan
menunjukkan tanin yang menggumpal protein dari dari kerupuk kulit, karena
tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer yang larut dalam
air.(Harborne,1987). Pada penambahan kerupuk kulit positif memberikan warna
coklat kehitaman pada larutan tanin dan terdapat endapan menggupal . Dari tiga
kali pengujian pada kulit mahoni
22
penimbangan 1yaitu 1,28% ; pada penimbangan kedua yaitu 2,28 % dan pada
penimbangan terakhir 1,08 %.
4.3 Pengujian Aktivitas Larvasida
Sebelum melakukan pengujian aktivitas larvasida terlebih dahulu dilakukan
pengenceran yaitu dengan menggunakan tanin yang telah dicampurkan dengan
alkohol. Penambahan pelarut dalam suatu senyawa dan berakibat menurunnya
kadar
kepekatan
atau
tingkat
konsentrasi
dari
senyawa
yang
M1.V1 = M2.V2
Keterangan:
V1 : volume larutan sebelum diencerkan (L atau ml)
M1 : molaritas larutan sebelum diencerkan
V2 : volume larutan setelah diencerkan (L atau ml)
M2 : molaritas setelah diencerkan
Rendemen = 1,28%
M+R= 100-1,28 =99,84 ml Alkohol
23
B.I
M1.V1 = M2.V2
1,28 . 5= 1,28 . V2
V2
1,28/2
= 5 ml
M1.V1 = M2.V2
1,28 . 5 = 0,64 . V2
V2
0,64/2 %
= 10 ml
M1.V1 = M2.V2
1,28 . 5 = 0,32 . V2
V2
0,32/2 %
= 20 ml
M1.V1 = M2.V2
1,28 . 5= 0,16 . V2
V2
= 40 ml
air+ abate
10ml +2 gram
Aquades
= 10 ml
24
Konsentrasi Tanin
% Rata-Rata Mortalitas
1.
1,28 %
100
2.
0,64 %
95
3.
0,32%
70
4.
0,16 %
50
5.
12 %
100
6.
10 %
25
No
60
40
% Rata-Rata
Mortalitas (X)
20
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718
26
larvasida menunjukkan bahwa tanin kulit kayu akasia bersifat racun terhadap
larva nyamuk Aedes aegypti.
Larva yang terkena racun akan mati karena kekurangan cairan. Racun
kontak adalah larvasida yang masuk ke dalam tubuh larva melalui kulit,
celah/lubang alami pada tubuh (shipon). Larva akan mati apabila bersinggungan
langsung (kontak) dengan larvisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga
berperan sebagai racun lambung (Nugroho, 1997). Peningkatan mortalitas jentik
nyamuk seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak, disebabkan oleh
kandungan dari ekstrak kulit kayu akasia yang bersifat toksik bagi jentik nyamuk
Aedes aegypti. Kandungan yang dapat bersifat toksik tersebut adalah alkaloid,
fenolik, flavonoid, saponin, resin, dan tanin.
Menurut Robinson (1991) dalam Adam (2005), kandungan alkaloid pada
ekstrak larvasida, dapat merangsang kelenjar endokrin untuk menghasilkan
hormon edikson. Peningkatan hormon ini akan menyebabkan kegagalan
metamorfosis pada jentik Aedes aegypti, sehingga fase pupa tidak akan terjadi.
Sementara itu kandungan tanin, akan berperan sebagai racun kontak dan racun
perut, sehingga menyebabkan kematian pada jentik nyamuk Aedes aegypti.
Adapun hasil dari perhitungan regresi linear sederhana tanin dapat dilihat
pada tabel:
27
% Kematian (X)
X.Y
100
95
70
50
100
0
128
60,8
22,4
8
1200
0
24,40
415,00
1419,20
X2
Y2
10000
1,6384
9025
4900
2500
0,4096
0,1024
0,0256
10000
0
36425
144
100
246,176
Hubungan antara perlakuan (Y) dan % kematian (X) dengan rumus korelasi
sederhana:
n X
n XY X . Y
2
X n Y 2 Y
2
18258
(2407647204)
r= 0,37
28
perhitungannnya
untuk
mengetahui
hubungan
antara
perlakuan
n XY X . Y
n X X
b= 0,032
Y b X
Y b X
n
,
a=0,54
29
Nilai (a) 0,54 dan (b) 0,032 yang berarti bahwa nilai (a) jika perlakuan nol,
maka konsentrasi berguna dan dapat digunakan untuk nilai (b) dapat diartikan
bahwa apabila nilai naik maka besar kematian nyamuk akan berpengaruh terhadap
konsentrasi. Maka perhitungan regresinya sebagai berikut:
Bahan Induk : Y = a + Bx
=0,54 +(0,032*100)
=3,73
P1
: Y = a + bX
=0,54 +(0,032*95)
=3,57
P2
: Y = a + bX
=0,54 +(0,032*70)
=2,77
P3
: Y = a + bX
=0,54 +(0,032*50)
=2,13
Abate + Air
: Y = a + bX
=0,54 +(0,032*100)
=2,73
Air
: Y = a + bX
=0,54 +(0,032*0) =0.54
30
% Kematian (X)
Yt= a + bX
100
95
70
50
100
0
3,73
3,57
2,77
2,13
3,73
0,53
Rata rata dari regresi larva nyamuk Aedes aegypti dapat dilihat pada
tabel yaitu pada konsentrasi 01,28 dan 12 % merupakan konsentrasi dengan
persentase kematian nyamuk tertinggi yaitu sebanyak 100 % dan konsentrasi 0,16
% merupakan konsentrasi kematian nyamuk paling rendah yaitu 2,13%.
Untuk lebih jelasnya peningkatan regresi dari setiap pelarut dapat dilihat
pada grafik berikut:
Gambar 8. Grafik peningkatan regresi dari setiap pelarut
Regresi Yt= a + bX
4
3,73
3,5
3,73
3,57
2,77
2,5
2,13
Yt= a + bX
1,5
1
0,53
0,5
0
1
31
konsentrasi 1,28 % sama dengan tingkat kematian pada konsentrasi abate itambah
air. Dari grafik juga dapat kita paparkan bahwa tingkat kemampuan antara abate
dengan tanin kulit kayu mahoni sama
Besarnya jumlah kematian larva menunjukkan kuat lemahnya efek
larvasida. Makin besar jumlah kematian larva berarti makin kuat efek larvasida
dan makin sedikit jumlah kematian larva makin lemah efek larvasidanya. Secara
garis besar, kenaikan konsentrasi ekstrak juga diikuti kenaikan jumlah kematian
larva sampai tingkat konsentrasi tertentu seperti bisa dilihat pada grafik . Hal ini
juga menunjukkan hubungan regresi yang linier, seperti yang ditunjukkan pada
kurva regresi. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang digunakan, semakin besar
jumlah kematian larva.
32
V.
1.1
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum pengambilan tanin dari kulit kayu mahoni dapat
Saran
Untuk praktikum selanjutnya agar alat-alat yang digunakan dalam tanin
33
DAFTAR PUSTAKA
34