Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
NAMA KELOMPOK :
M. Iqbal Ramadhan
04.2013.1.02673
Dina Amalia S.
04.2013.1.02674
Lailin Naimah
04.2013.1.02694
Rinda Amalia A.
04.2013.1.02710
Rumah adat di Bali dibangun berdasarkan aturan yang ada di dalam kitab suci Weda.
Pembangunan rumah ini harus sesuai dengan aturan asta Kosala Kosali yang mengatur
tentang tata peletakan rumah. Aturan ini mungkin hampir mirip dengan aturan feng shui
yang terkenal di china.
Rumah Adat Bali dan Filosofi yang Terkandung dalam Pendiriannya
Ada filosofi yang terkandung di balik pembangunan rumah adat Bali. Rumah adat yang
ada di Bali merupakan cerminan akan kondisi masyarakat yang ada. Ada 3 aspek atau
nilai yang harus dikandung dalam rumah adat di Bali. Menurut masyarakat Bali,
keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat akan terwujud jila seseorang mampu
mewujudkan hubungan yang sinergis antara pawongan (penghuni rumah), palemahan
(lingkungan dari tempat rumah itu berada), dan parahyangan. Pembangunan rumah di
Bali harus memenuhi ketiga aspek tersebut, yang biasa disebut sebagai Tri Hita Karana.
Seperti yang diulas dalam tulisan di atas, pembangunan rumah adat di Bali sangat
berpedoman pada lontar asta Kosala Kosali dan sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana.
Setiap rumah adat yang dibangun di sana harus memenuhi prinsip tersebut karena
masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi pedoman hidup yang terdapat dalam kitab
suci dan tuntunan adat turun temurun. Setiap hal yang tertulis dalam kitab suci selalu
ditati oleh masyarakat Bali, karena masyrakat Bali terkenal sebagai warga yang
menjunjung tinggi budaya dan adat istiadat.
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan
bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang
punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya
rumah. mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti :
1. Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang
menghadap ke atas),
2. Hasta(ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah
tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
3. Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke
kanan)
Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah.
1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai
gapura jalan masuk.
2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga
jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari
luar tidak langsung lurus ke dalam.
3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar
4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan
tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada
sembilan petak pola ruang
5. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya
harus cukup terhormat
6. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu
7. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anakanak atau anggota
keluarga lain yang masih junior.
8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau merajut
konsep Nawa Sanga (9 mata angin sakti) menjadi pedoman dalam menentukan arah-letak dan
susunan setiap bangunan di dalam desa ataupun pekarangan rumah tinggal.Sumbu ritual
kangin-kauh adalah arah terbit dan tenggelamnya matahari.
Sumbu natural kaja-kelod adalah arah gunung dan laut. Gunung Agung adalah arah utama
(kaja), sehingga hirarki tata ruang perumahan di Bali Utara berbalikan dengan di Bali Selatan.
1. Denah rumah di Bali Utara (Aga)
3. Utama adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam
bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah
sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang
sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur
tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
Dari aspek ekonomi terlihat dari bahan bangungan yang mencerminkan status sosial
pemiliknya. Masyarakat biasa menggunakan popolan (speci yang terbuat dari lumpur tanah
liat) untuk dinding bangunan, sedangkan golongan raja dan brahmana menggunakan
tumpukan bata-bata. Untuk tempat suci/tempat pemujaan baik milik satu keluarga maupun
milik suatu kumpulan kekerabatan menggunakan bahan sesuai kemampuan ekonomi
masing-masing keluarga. Seperti untuk bahan atap menggunakan ijuk bagi yang
ekonominya mampu sedangkan bagi yang ekonominya kurang mampu bisa menggunakan
alang-alang atau genteng.
1. Atap :
Bagian ini umumnya menggunakan alang-alang kering atau ambengan. Di Bali dan
Indonesia timur umumnya daun alang-alang yang dikeringkan dan dikebat dalam
berkas-berkas digunakan sebagai bahan atap rumah dan bangunan lainnya. Berfungsi
untuk melindungi penghuninya dari panas dan hujan.
2. Pintu :
Pintu pada rumah-rumah di Bali biasanya terbuat dari kayu jati yang tentunya tak pernah
lepas dari unsur ukiran yang rumit dan simetris, baik pada bagian kusen maupun pada
daun pintu. Meskipun pada beberapa pintu yang memiliki lebar standar (+/- 90cm), daun
pintu akan tetap dibuat dua bagian sehingga daun pintu menjadi dua bagian panel yang
membentuk daun pintu ganda. Masih-masing daun pintu akan berukuran kecil.
3. Tembok :
Tembok dan pilar-pilarnya dibangun dengan pola kepala badan kaki, dihias dengan
pepalihan dan ornamen bagian-bagian tertentu. Tembok tradisional dibangun terlepas
tanpa ikatan dengan konstruksi rangka bangun. Tembok tidak terpengaruh bila terjadi
goncangan pada konstruksi rangka atau konstruksi rangka tidak terpengaruh bila
konstruksi tembok roboh. Bahan bangunan yang digunakan, dari pasangan batu bata,
batu padas jenis-jenis batu alam yang sesuai bahan tembok .
4. Tiang (Sesaka) :
Tiang yang disebut Sesaka adalah elemen utama dalam bangunan tradisioanl,
Penampang tiang bujur sangkar dengan sisi-sisi sekitar 10 cm panjang tiang sekitar 220
cm. Bahan yang dipakai untuk tiang adalah kayu dengan kelas-kelas kwalitas dari
kelompok kelempok tertentu yang diidentikkan dengan personal kerajaan. Penyelesaian
pengerjaan tiang dengan kekupakan lelengisan yang sederhana atau dengan ragam
ukiran. Kayu untuk bahan bangunan perumahan ditentukan raja kayu ketewel (kayu
nangka), patih kayu jati. Penempatannya pada bagian konstruksi disesuaikan dengan
kehormatan kedudukan perangkat kerajaan.
5. Lambang/Pementang :
Lambang adalah balok belandar sekeliling rangkaian tiang , lambang rangkap yang
disatukan, balok rangkaian yang dibawah disebut lambang yang diatas disebut sineb.
Rusuk-rusuk bangunan tradisional disebut iga-iga, pangkal iga-iga dirangkai dengan
kolong atau dedalas yang merupakan bingkai luar bagian atap. Ujung atasnya menyatu
dengan puncak atap yang disebut petake. Untuk mendapatkan bidang atap, lengkung,
kemiringan dibagian bawah lebih kecil dari bagian atas. dibuat rusuk bersambung yang
disebut gerantang. . Penutup atap menggunakan alang-alang atau atap genteng.
untuk bangunan lumbung (jineng) dan dapur (paon) mempergunakan kayu wangkal,
kutat, blalu, sudep, seseh dan buhu.
Keunikan atau kekhasan arsitektur Bali pada hakikatnya dilandasi oleh falsafah, etika, dan
ritual Agama Hindu. Kini, di antara semakin majemuknya pola aktivitas keseharian
kehidupan manusia Bali dan derasnya arus globalisasi, arsitektur lokalnya turut mengalami
perkembangan. MENGGALI dan menjaga keajegan tradisi bukanlah dalam arti sebatas
membuat bentuk-bentuk arsitektur tradisional yang stagnan, namun lebih pada intisari
kandungan serapan lokal nilai moral serta sikap religius manusia yang ada di dalamnya.
kehidupan masyarakat Bali masa kini, secara keseluruhan menggambarkan ciri-ciri yang dapat
disifatkan sebagai tradisi kecil, tradisi besar dan tradisi modern.
Dari sumber-sumber itu ada diungkap tentang tradisi kecil yang terdiri atas unsur-unsur kultur
Bali dalam kehidupan masyarakat di sejumlah desa Bali Aga (desa kuno di Bali pegunungan),
seperti yang ada di Desa Sembiran (Kabupaten Buleleng, Trunyan (Bangli), hingga Tenganan
(Karangasem).
Sementara tradisi besar disebutkan meliputi unsur-unsur kehidupan yang berkembang sejalan
dengan perkembangan Agama Hindu atau unsur-unsur yang bersumber dari Hindu-Jawa.
Setelah era kemerdekaan, terjadi perkembangan terus-menerus dalam arsitektur Bali (tradisi
modern). Sejalan dengan perkembangan dunia industri, nilai-nilai dan fungsi dalam arsitektur
Bali tradisional mengalami transformasi. Terutama di luar jenis bangunan hunian, seperti
pertokoan, ruko (rumah toko), pusat-pusat perbelanjaan, hingga perkantoran. Namun, kadang
tranformasi yang terjadi kerap mengabaikan akar tradisi yang sejatinya memberi jiwa dan napas
arsitektur lokalnya. Tidak sedikit yang semata menempelkan sisi ornamental, sementara
tercerabut sisi falsafah dan ritualnya.
Kepemilikan motor dan mobil bagi penghuni rumah tinggal telah mulai menyisihkan fungsi
angkul-angkul dengan gerbang yang lebih lebar serta penambahan ruang-ruang sesuai dengan
tuntutan fungsi baru. Ironisnya, pengadaan pintu gerbang ukuran selebar mobil menggeser
peran angkul-angkul yang sebelumnya berfungsi sebagai pintu keluar masuk, kini cenderung
sebagai pajangan atau hiasan "pelengkap lansekap" semata. Pergeseran fungsi dan makna
itulah yang telah terjadi kini.
Begitu pula penempatan bale kulkul, banyak bisa ditemukan pada beberapa kantor atau
bangunan publik lainnya, yang fungsinya sebagai pelengkap desain rancangan arsitektural
keseluruhan. Tak ketinggalan bangunan jineng, telah mengalami transformasi makna dan
fungsi, dari tempat menyimpan padi atau hasil bumi menjadi tempat tidur, tempat peristirahatan,
dan lain-lain. Kendati Bali belum mengalami keparahan ekletisme yang tak "membumi"
sebagaimana banyak ditemui di daerah lain dalam bentuk arsitektur "jengki" (berlebihan
mengadopsi bentuk gewel, atap pelana, penempatan karawang/roster), "mediterania", hingga
"minimalis" (tanpa ornamen), tinggalan pengaruh arsitektur "dari luar" itu boleh dikata masih
ada bermunculan di beberapa tempat di Bali. Sesuaikah itu dengan kondisi alam dan budaya
lokal Bali?
Nah, di sini, ketahanan akar, kearifan lokal arsitektur Bali diharapkan berperan mampu
memfilter gempuran arus budaya global atau asing yang kerap mencoba menggerus denyutdenyut kearifan lokal Bali. Di sisi lain, penggundulan hutan, pengrusakan lingkungan (daratan,
pesisir, dan lautan), eksploitasi sumber daya alam atau semacamnya, yang telah dialami Bali
kini, mesti diakhiri. Salah satu sektor dalam mengajegkan Bali adalah dengan menggali dan
mengangkat kembali kearifan lokal arsitektur Bali yang beragam dan unik dengan nilai-nilai
falsafah, etika, dan ritualnya
KESIMPULAN
1. Pembangunan rumah adat di Bali sangat berpedoman pada lontar asta Kosala Kosali
dan sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana. Setiap rumah adat yang dibangun di sana
harus memenuhi prinsip tersebut karena masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi
pedoman hidup yang terdapat dalam kitab suci dan tuntunan adat turun temurun. Setiap
hal yang tertulis dalam kitab suci selalu ditati oleh masyarakat Bali, karena masyrakat
Bali terkenal sebagai warga yang menjunjung tinggi budaya dan adat istiadat.
2. Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan
bangunan suci. penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh yang
punya. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh yang empunya
rumah. Jadi nanti besar rumahnya akan ideal sekali dengan yang empunya rumah.
Sehingga penataan ruangnya pun sesuai dengan keinginan sang pemilik rumah
3. Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang
dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulainista, madya dan utama
sebagai patokan konstruksinya yang mempunyai makna masing-masing.
4. Material bangunan rumah adat tradisional Bali menggunakan bahan sesuai kemampuan
ekonomi masing-masing keluarga. Rumah adat tradisional Bali banyak menggunakan
material alam yang hal ini dapat menunjukkan bahwa masyarakat Bali dekat dengan
alam dan menjaga keasriannya.
5. Ketahanan akar, kearifan lokal arsitektur Bali diharapkan berperan mampu memfilter
gempuran arus budaya global atau asing yang kerap mencoba menggerus denyutdenyut kearifan lokal Bali. Di sisi lain, penggundulan hutan, pengrusakan lingkungan
(daratan, pesisir, dan lautan), eksploitasi sumber daya alam atau semacamnya, yang
telah dialami Bali kini, mesti diakhiri. Salah satu sektor dalam mengajegkan Bali adalah
dengan menggali dan mengangkat kembali kearifan lokal arsitektur Bali yang beragam
dan unik dengan nilai-nilai falsafah, etika, dan ritualnya