BAB II Buku (Baru)
BAB II Buku (Baru)
29
Secara
lebih
sederhana
dapat
dikatakan
epistomologi
The ontological question: What is the form and nature of reality and,
therefore, what is there that can be known about
it? Pertanyaan ontologi: Apakah bentuk dan
hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat
diketahui tentangnya?
Pertanyaan
epistomologi:
Apakah
sesuatu
yang
diyakini
dapat
diketahui.
30
Lincoln
(1994)
menyimpulkan
paradigma
merupakan
seperangkat
(atau
subkomunitas)
dari
yang
lain.
Paradigma
memasukkan,
sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas
banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan
hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik dalam
penelitian
kuantitatif
berguna
untuk
menggolong-golongkan
dan
menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat
diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah dikumpulkan
(Suparlan, 1994:6-7).
b) Penelitian Kualitatif
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber
(1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejalagejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakantindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial
tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi dari Max Weber
adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan). Agar
dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang
peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat
memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam
gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola.
Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan
dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai
pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi
dengan menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif sasaran
kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang
secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas kehidupan
manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak
harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka
acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan
34
35
pengaruh
atau
mempunyai
hubungan
dengan
variabel
36
untuk mengukur hubungan suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau
beberapa variabel. Analisis statistik untuk mengukur pengaruh suatu variabel
pada variabel yang lain di antaranya menggunakan analisis statistik multiple
regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan suatu
variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis statistik
correlation (korelasi) misalnya correlation product-moment (korelasi productmoment) dari Carl Pearson atau Spearman-Brown.
c. Reliabilitas merupakan kunci
Reliabilitas atau keajegan suatu tes atau kuesioner mempunyai arti bahwa tes
atau kuesioner tersebut menghasilkan skor yang relatif sama walaupun
dilakukan pada waktu yang berbeda. Suatu alat ukur atau instrumen penelitian
(misalnya tes atau kuesioner) apabila memiliki reliabilitas yang tinggi akan
menyebabkan hasil penelitian itu akurat. Oleh karena itu, reliabilitas
merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif, karena apabila alat ukur atau
instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka akan berdampak hasil
penelitian akurat. Di samping alat ukur harus reliabel dipersyaratkan pula
harus valid (sahih) atau memiliki validitas (kesahihan). Suatu instrumen
penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas apabila dapat mengukur apa
yang seharusnya diukur.
Catatan: Uji statistik untuk mengukur reliabilitas diantaranya adalah Analisis
Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-Richardson 20). Sedangkan uji statistik
untuk mengukur validitas dilakukan di antaranya dengan mengorelasikan skor
setiap item dengan skor total (jumlah seluruh skor item dikurangi skor item
yang dikorelasikan).
d. Bebas nilai
Dalam penelitian kuantitatif pengujian terhadap gejala/fenomena tidak
dikaitkan
dengan
budaya
atau
nilai-nilai
budaya
masyarakat
yang
dapat dikatakan memiliki konsep diri yang positif, individu tersebut dapat
menyatakan kelemahan dan kelebihannya di samping memiliki kriteriakriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada budaya Timur perilaku yang
demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam penelitian kuantitatif
pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena menurut paradigma
yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian kuantitatif,
kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku umum.
e. Tidak tergantung pada konteks
Suatu fenomena terkait dengan konteks artinya terkait dengan situasi atau
lingkungan yang menyertai fenomena tersebut. Fenomena yang sama,
konteksnya dapat berbeda. Misalnya fenomena aktualisasi diri atau kebutuhan
untuk mewujudkan kemampuan dirinya (Teori Motivasi Abraham Maslow)
bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan orang-orang pedesaan.
Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang pedesaan yang
tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman
Kalimantan, atau di pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang
Jakarta dimanifestasikan dalam kemampuan teknologi, teknologi informasi,
bahasa asing, manajemen, dan lain-lain, sedangkan orang-orang pedesaan di
lereng gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman Kalimantan atau di
pedalaman Papua dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau bercocok
tanam, memelihara binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai
seni lokal atau seni daerah setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung
konteks dari fenomena yang diteliti.
38
(harus
dapat
mewakili)
artinya
sampel
harus
dapat
40
yang diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian kuantitatif dikatakan peneliti
tidak memihak.
Penjelasan dan contoh Model Kualitatif
a. Mengonstruksi realitas sosial, makna budaya
Apabila penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta yang objektif atau
dengan kata lain mendeskripsikan suatu fenomena atau realitas, maka
penelitian kualitatif ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk
itu harus mencari nomenon atau makna di balik fenomena. Atau dapat
dikatakan penelitian kuantitatif berusaha mendeskripsikan fenomena secara
akurat (erklaren), sedangkan penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna di
balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam
dari suatu fenomena (verstehen).
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen), tidak cukup
apabila hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga
mengapa dan bagaimana dari suatu fenomena. Mengapa suatu fenomena ada
atau terjadi, bagaimana suatu fenomena terjadi atau bagaimana proses
terjadinya suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu pengetahuan tentang apa,
mengapa, dan bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia
mempunyai metakognisi yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif
(pengetahuan tentang apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang
bagaimana), dan pengetahuan kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan
kapan) (Micchenbaum, dkk, 1985 dalam Woolfolk, 1998:267). Untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen) tidak cukup hanya
mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan
bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu pendapat
Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: Dalam pendekatan kualitatif,
pertanyaan-pertanyaan
yang
diajukan
sebagai
pertanyaan-pertanyaan
kualitatif
berlandaskan
paradigma
Konstruktivisme
yang
atau subjek. Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat juga
banyak, bahkan mungkin penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus
yang sangat penting adalah sifatnya yang sangat spesifik. Contoh penelitian
tentang Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara Sosialis. Negaranegara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi
penelitian perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik.
Sebagai contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok
jumlah subjek minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis
dengan statistik parametrik, maka dalam penelitian kualitatif tidak mematok
jumlah subjek yang diteliti.
g. Bersifat analisis tematik
Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil
penelitiannya, maka yang diteliti adalah hal-hal yang bersifat khusus atau
spesifik, dan analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan terhadap
perempuan, masalah-masalah jender: perjuangan perempuan mendapatkan
perlakuan yang adil dalam lapangan pekerjaan, kasus-kasus perilaku
menyimpang, masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang tidak normal
(learning-disabilities), dan lain-lain.
h. Peneliti terlibat
Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak
dengan yang diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau menghindari
subjektivitas dari yang diteliti, maka sebaliknya penelitian kualitatif peneliti
tidak mengambil jarak, agar peneliti benar-benar memahami persepsi subjek
yang diteliti terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat melakukan
misalnya observasi terlibat (participant observation). Dengan observasi
terlibat pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.
3. PARADIGMA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF
a. Paradigma dalam penelitian kuantitatif
Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah Positivisme, yaitu suatu
keyakinan dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan
bahwa realitas itu ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan
45
(entities),
hukum,
dan
mekanisme-mekanisme
ini
secara
tersebut
mempunyai
arti
asumsi
metodologi:
bersifat
47
seseorang.
Selanjutnya
Guba
(1990:25)
menyatakan
manusia,
tidak
pernah
dipertanggungjawabkan
sebagai
50
b) Postpositivisme
Guba
(1990:20)
menjelaskan
Postpositivisme
sebagai
berikut:
Positivisme
yang
hanya
mengandalkan
kemampuan
dijelaskan
secara
epistomologis
hubungan
antara
pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa
dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini
menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat
kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat
dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat
dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat
harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat
dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan
Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme
adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu
51
pengaturan
(regulator)
yang
ideal,
namun
pada
ideologi,
meliputi
neo-Marxisme,
materialisme,
53
energize
metodologi:
and
facilitate
dialogis,
transformation.
transformatif;
Artinya
mengeliminasi
54
Selanjutnya
akan
digambarkan
perbedaan
asumsi-asumsi
dari
paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif lengkap dengan pertanyaanpertanyaan penelitian yang digunakan masing-masing paradigma serta
implementasi
dalam
penelitian
berdasarkan
asumsi-asumsi
dan
55
56
bagian
ini
akan
dijelaskan
pengertian
interpretive
berpandangan
bahwa
ilmu
pengetahuan
mental
57
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin &
Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
Historically, at least, interpretivists argued for the uniqueness of human
inquiry. They crafted various refutations of naturalistic interpretation of the
social sciences (roughly the view that the aims and methods of the social
sciences are identical to those of the natural sciences). They held that the
mental
sciences
(Geisteswissenschaften)
or
cultural
sciences
tersebut
Konstruktivisme
dan
dibentuk
oleh
interpretivisme
maksud
berfungsi
para
penggunanya.
memberikan
alternatif
58
However they merely suggest directions along which to look rather than
provide descriptions of what to see.
Dari penjelasan-penjelasan Schwandt tersebut dapat disimpulkan bahwa
konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan dua istilah yang dipahami
secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena sosial.
Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan oleh ilmu
pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya
(Kulturwissenschaften).
Sedang menurut Guba dan Denzin & Lincoln, konstruktivisme merupakan
paradigma. Hal ini telah dijelaskan secara memadai dalam Bab II. Dalam buku
Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of Qualitative Research
karangan Denzin & Lincoln interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu
paradigma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interpretive hanyalah
merupakan metode analisis yang dipergunakan oleh kaum Konstruktivis untuk
mendapatkan makna dari suatu fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt pada
alinea pertama di atas juga nyata/jelas bahwa interpretive juga digunakan oleh
hermeneutik dan fenomenologi, yang keduanya juga merupakan metode
analisis sebagai kritik terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan positivisme
yang menggunakan logika emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan
alam yang bertujuan memberikan penjelasan (erklaren) maka interpretive
bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).
Untuk menjelaskan perbedaan fenomena dengan makna dibalik fenomena
(noumenon), penulis akan mengutip uraian Spradley (1997: 5-6) dalam
bukunya The Etnographic Interview yang telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan judul Metode Etnografi sebagai berikut:
Tiga orang anggota kepolisian yang sedang memberikan pijitan jantung
dan bantuan oksigen kepada seorang wanita korban serangan jantung, tetapi
malah diserang oleh segerombolan yang terdiri atas 75 sampai 100 orang yang
jelas-jelas tidak memahami upaya yang sedang dilakukan polisi. Anggota
polisi lain menghadang gerombolan yang kebanyakan berbahasa Spanyol itu
sampai sebuah ambulan datang. Para anggota kepolisian itu menjelaskan
kepada kerumunan orang itu mengenai apa yang mereka kerjakan, tetapi
59
kerumunan itu tetap beranggapan bahwa para anggota polisi itu memukul
wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh anggota polisi
namun korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59 tahun,
meninggal dunia.
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun menghadapi
peristiwa atau fenomena yang sama yaitu seorang wanita yang mendapat
serangan jantung, sehingga perlu diselamatkan kemudian diberi bantuan oleh
polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat berbeda oleh
kelompok masyarakat tadi dengan polisi. Polisi berdasarkan kebudayaannya
menginterpretasikan wanita itu mengalami gangguan jantung, sehingga perlu
diselamatkan dengan memberikan pijitan jantung dan memberikan oksigen
kepada wanita itu. Sedang gerombolan itu mengamati peristiwa yang sama
tetapi dengan interpretasi yang berbeda. Gerombolan itu berdasarkan
kebudayaannya menginterpretasikan
60
61
b. Hermeneutik
Berikut akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta fungsi dan statusnya
dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften) dan ilmu
pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Telah dijelaskan di atas (pada Bab II) bahwa interpertive, hermeneutik
maupun fenomenologi merupakan metode analisis yang mempunyai tujuan
yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam (verstehen) atau
dengan kata lain mencari makna di balik fenomena. Cara yang dilakukan
adalah melakukan interpretasi terhadap suatu fenomena. Kalau demikian apa
bedanya antara interpretive dengan hermeneutik? Untuk itu akan dijelaskan
apa yang dimaksudkan dengan hermeneutik.
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani
hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka kata benda hermeneia secara
harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini
mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang
mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas
Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di Gunung Olympus ke
dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu fungsi
Hermes sangat penting karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang pesanpesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes
harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol
seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya
misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan
(Sumaryono, 1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan
sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam
pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Palmer, 1969: 3 dalam
Sumaryono, 1993: 24).
62
juga
pengalaman-pengalaman
imajinasi
kita
untuk
gagasan-gagasan
mereka
dalam
bahasa
tertulis
melalui bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa, atau
mengungkapkan kekaguman karya seni dengan bahasa, dan lain-lain.
Hermeneutik membantu kita untuk menginterpretasikan makna yang
terkandung dalam bahasa yang tertulis dalam buku, dokumen, majalah, surat
dan lain-lain, agar makna yang kita tangkap sesuai dengan makna yang
dimaksud oleh penulisnya.
Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik
adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi
Ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya
dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik (Sumaryono,
1993: 28).
c. Fenomenologi
1) Pengertian Fenomenologi
Sebelum diuraikan Fenomenologi sebagai metoda analisis dalam
Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih dulu pengertian Fenomenologi.
Berdasarkan faham Fenomenologi, dalam / berkenaan dengan
pengetahuan manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang ingin
mengetahui dan objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat
dibedakan secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Keduanya harus ada, keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi
terwujudnya pengetahuan manusia. Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua
(2001: 19) dinyatakan: Supaya ada pengetahuan, keduanya niscaya ada,
Yang satu tidak pernah ada tanpa yang lain... Pendapat ini juga sejalan
dengan pendapat Merleau Ponty (dalam Bertens, 1985: 345) yang
menyatakan: Ia (fenomenologi) sangat menekankan hubungan dialektis
antara subjek dan dunianya: tidak ada subjek tanpa dunia dan tidak ada
dunia tanpa subjek. Oleh karena itu menurut Husserl agar terwujud
pengetahuan, subjek harus terarah pada objek agar dapat diketahui
sebagaimana adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada subjek agar dapat
pula diketahui sebagaiman adanya.
Di sini perlu dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek hanya
akan menghasilkan pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki
kesamaan-kesamaan dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak
65
mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain
pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memiliki
kesamaan dengan objek sebagai realitas di alam semesta ini. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia
dapat mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak
mampu mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan
manusia dianggap bersifat temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi
manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki jiwa
atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu mengangkat pengetahuan
yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia berkat
akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan yang kongkret yang
ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai
pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek apa
saja pada tempat dan waktu mana pun.
Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859
1938) merupakan metoda untuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya.
Fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil
dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun
berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan
(Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105). Selanjutnya dikatakan yang penting
ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena,
melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk tujuan itu
fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena tersebut
tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya
menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat
memahami fenomena sebagaimana adanya.
Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali
kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang
yang tampil sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl
dalam Delfgaauw, 1988: 105).
Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik.
Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal
66
yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat
fenomena-fenomena.
Oleh
karena
itu
metoda
tersebut
harus
dapat
menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat mengungkapkan
diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan intuisi mengenai
hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).
Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah sacara langsung
terjangkau sebagaiman adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional,
artinya terarah pada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri.
Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta
upaya, semuanya senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu.
Hanya dengan melakukan analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran itu
dapat ditemukan. Untuk itu seorang fenomenolog harus sangat cermat
menempatkan diantara tanda kurung kenyataan dunia luar agar fenomena ini
hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia luar ini memerlukan metoda
yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik atau epoche
(Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut terdiri dari 2 (dua)
macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan hakekat (eidos) dalam
fenomena, dan reduksi transendental yang menempatkan dalam tanda
kurung setiap hubungan antara fenomena dengan dunia luar. Melalui kedua
macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental, sedangkan
kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan bentuk
pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.
Sedang Calra Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa Fenomenologi
Transendental yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20
menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai
manusia. Tujuannya ialah agar kembali ke barangnya/bendanya sendiri
sebagaimana mereka tampil kepada kita dan mengesampingkan atau
mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain
fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan
konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak tentang
kealamiahan dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang
tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling
kita (Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early
67
perspektif
fenomenologi,
tidak
masuk
akal
untuk
strategi-strategi
yang
dapat
membantu
putusan
69
present themselves to us. Husserl identified a series of steps that would take
the philosopher from a fresh perception of familiar phenomena to the
extraction of the essences that give the phenomena their unique character.
Knowledge derived in this way would be free from the common-sense notions,
scientific explanations and other interpretations or abstractions that
characterize most other forms of understanding. It would be a knowledge of
the world as it appears to us in our engagement with it (Willig, 1999: 52).
Selanjutnya
dijelaskan
bahwa
metoda
fenomenologi
dalam
mungkin
(yaitu
strukturnya).
Tujuan
variasi
imajinasi
adalah
sampai
pada
pemahaman
tentang
esensi
fenomena.
(The
of
contemplation:
ephoce,
phenomenological
reduction
and
Dalam
penelitian
psikologi
fenomenologis
laporan
73