Anda di halaman 1dari 8

CLINICAL SCIENCE SESSION

ILMU PENYAKIT KULIT


DAN KELAMIN
KORTIKOSTEROID TOPIKAL
Oleh :
Fitrie Desbassarie W

1301-1212-0550

Redho Prayudha

1301-1212-0550

Preceptor :
Kartika Ruchiatan, dr. SpKK., M. Kes

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2013

PENDAHULUAN
Dengan bertambah banyaknya jenis glukokortikosteroid atau glukokortikoid
dan meluasnya pemakaian kortikosteroid dalam ilmu kedokteran, pemakaian preparat
ini perlu diperhatikan efektivitas, indikasi, kontraindikasi, dan efek samping akibat
pemakaian obat ini.
Glukokortikosteroid merupakan suatu preparat yang banyak digunakan untuk
pengobatan, khususnya di bidang dermatologi dengan kemampuan imunosupresif dan
anti-inflamasinya. Sejak tahun 1949, Hench dan kawan-kawanmenemukan manfaat
kortison

pada

pengobatan

penderita

rheumatoid

arthritis.

Sejak

itu

glukokortikosteroid diakui bermanfaat pada pengobatan kelainan kulit.


Glukokortikoid atau kortisol atau hidrokortison merupakan suatu hormon
yang secara alamiah diproduksi di zona fasikulata korteks adrenal. Sekresi hormon ini
dipengaruhi oleh hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang dihasilkan sel-sel basofil
kelenjar hipofise anterior. Hormon ini berasal dari gugus kolesterol yang diproduksi
oleh kelenjar adrenal, melalui serangkaian proses enzimatik, kolesterol diubah
menjadi pregnanolon, lalu menjadi progesterone dan akhirnya membentuk kortisol
atau hidrokortison.
Nama glukokortikosteroid digunakan atas dasar kemampuan hormon ini
mempengaruhi homeostasis glukosa. Proses ini terjadi secara biokimiawi berupa
glukoneogenesis dengan membentuk glukosa hepatik dari asam amino yang diperoleh
dari katabolisme glukosa ekstrahepatik, sehingga meningkatkan deposit glikogen
hepar dan kadar glukosa darah.
Telah banyak dilakukan penelitian tentang efek glukokortikosteroid pada
kulit. Namun, hiperkortisolisme endogen masih belum diketahui dengan pasti dan
penyakit iatrogenik akibat pemakaian glukokortikosteroid sintetik menjadi sangat
sering ditemukan.
Hasil penelitian secara in vivo dan in vitro mengenai aksi glukokortikosteroid
pada kulit menunjukkan kortisol dapat mengurangi masa jaringan ikat dermis yang
terbentuk akibat efek langsung fibroblast dermis. hormon ini menurunkan sintesis dan

akumulasi dan mempengaruhi komposisi glikosaminoglikan melalui receptormediated mechanism.


Hormon ini sangat berperan pada sistem imun dan reaksi inflamasi. Efek
imunosupresi ini merupakan salah satu dasar pemakaian glukokortikosteroid sebagai
obat anti-inflamasi, sedangkan steroid-induced immunomodulation berperan pada
keadaan fisiologis dan beberapa keadaan hiperkortisolisme endogen.
Efek lain adalah berperan pada produksi interleukin dan sitokin lain,
kemotaksis neutrofil, jumlah sel Langerhans, aksi factor pertumbuhan seperti
epidermal growth factor dan platelet-derived growth factor, dan sintesis prostanoid
dengan inhibisi fosfolipase A. Efek anti-inflamasi ini juga disebabkan adanya
stabilisasi lisosom, hambatan pelepasan protease dan mediator lain.
Kulit merupakan tempat utama terjadi degradasi dan interkonversi
glukokortikosteroid dan hormon steroid lain. Interkonversi kortison dan kortisol
berkaitan dengan efek adanya kelebihan hormon. Kortisol memiliki efek dan reaksi
inflamasi yang lebih besar pada kulit bila dibandingkan dengan kortison.
Untuk menghindari atau mengurangi efek samping dan meningkatkan
efektivitas serta keamanan pemakaian glukokortikosteroid, perlu mengetahui
mekanisme aksi obat ini.
BIOLOGI
Produksi glukortikosteroid diatur oleh aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
(HPA). Corticotropin-releasing hormone (CRH), suatu hormon yang dihasilkan oleh
hipotalamus, merupakan regulator sekresi kortikotropin yang paling poten. Hormon
ini mentransfer sistem hipofiseal portal ke pituitari dan merangsang sekresi
adrenocorticotropic hormone (ACTH). Adrenocorticotropic hormone berasal dari
suatu molekul prekursor, yaitu pro-opiomelanocortin yang mengembangkan molekul
lain selain ACTH, termasuk lipoprotein , endorphin , dan alpha melanocyte
stimulating hormone (a MSH). Adrenocorticotropic hormone masuk ke dalam sistem
sirkulasi merangsang korteks adrenal mensekresi kortisol yang menimbulkan
negative feedback terhadap sekresi ACTH pituitari.

Secara alamiah glukokortikosteroid yang ditemukan adalah kortisol atau


hidrokortison. Bahan ini disintesis dari kolesterol di korteks adrenal. Pada keadaan
normal, kurang dari 5% kortisol yang berada di dalam sirkulasi adalah dalam bentuk
tidak terikat dan kortisol bebas ini merupakan molekul terapeutik aktif. Kortisol
sisanya adalah dalam bentuk tidak aktif, dimana 95% terikat pada cortisol-binding
globulin (CBG) yang juga disebut sebagai trankortin dan 5% terikat pada albumin.
Sekresi kortisol setiap hari berkisar antara 10 20 mg dengan waktu puncak
diurnal yaitu sekitar jam 8 pagi. Plasma half-life kortisol adalah 90 menit. Bahan ini
terutama dimetabolisme di dalam hepar dan sifat hormonalnya berperan pada setiap
jaringan dalam tubuh. Hasil metabolitnya diekskresikan melalui ginjal dan hati.
Mekanisme

aksi

glukokortikosteroid

melibatkan

difusi

pasif

glukokortikosteroid melalui membran sel, disertai dengan mengikat pada soluble


receptor protein dalam sitoplasma. Kompleks hormon-reseptor ini kemudian bergerak
menuju inti sel dan meregulasikan transkripsi gen target dalam jumlah yang terbatas.
Beberapa diantaranya yang paling penting tampaknya memiliki efek inhibisi pada
faktor-faktor transkripsi activator protein (AP) 1 dan nuclear factor (NF)KB,
bergandengan dengan peningkatan suatu inhibitor NF-KB yaitu IKBa.
Glukokortikoid

menurunkan

sintesis

sejumlah

molekul

pro-inflamasi

termasuk sitokin, interleukin, molekul adhesi, dan protease. Hormon ini juga
menghambat mediator inflamasi lain, seperti cyclooxygenase-2 dan bentuk nitric
oxide synthase yang terinduksi.
Hormon ini meningkatkan sintesis molekul-molekul penting lain seperti
annexin 1 dan 2. Annexin dapat mereduksi aktivitas fosfolipase A2 yang dapat
mereduksi pelepasan asam arakhidonat dari fosfolipid membran, membatasi
pembentukan prostaglandin dan leukotrin.
Hormon ini juga dapat meningkatkan molekul penting lain seperti lipokortin
1. Mekanisme aksi lipokortin sampai saat ini belum diketahui dengan jelas, tetapi
efek biologinya adalah menurunkan aktivitas fosfolipase A2 yang menurunkan
pelepasan asam arakhidonat dari fosfolipid membran, sehingga prekursor
pembentukan prostaglandin dan leukotrin menjadi berkurang.

Glukokortikosteroid sangat berperan pada replikasi dan pergerakan sel.


Hormon ini menginduksi terjadinya monositopenia, eosinopenia, dan limfositopenia.
Limfositopenia yang terjadi akibat glukokortikosteroid lebih berefek pada sel T
dibandingkan dengan sel B. Limfositopenia ini tampaknya disebabkan akibat adanya
redistribusi sel, dimana sel-sel ini bermigrasi dari sirkulasi ke jaringan limfoid lain.
Di samping itu, diduga glukokortikosteroid juga menginduksi terjadinya apoptosis.
Peningkatan leukosit polimorfonuklear sirkulasi berhubungan dengan midgrasi sel
dari sumsum tulang dan removal rate dari sirkulasi yang berkurang, dan adanya
hambatan apoptosis neutrofil.
Glukokortikosteroid mempengaruhi aktivasi, proliferasi, dan diferensiasi sel.
Hormon ini berperan pada tingkat mediator inflamasi dan reaksi imun yang terlihat
dengan adanya inhibisi sintesis atau pelepasan interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-6, dan
tumor necrosis factor (TNF). Demikian pula fungsi makrofag termasuk fagositosis,
antigen processing dan cell killing dihambat oleh kortisol. Efek ini mempengaruhi
immediated dan delayed hypersensitivity.
Hormon ini juga lebih mensupresi fungsi monosit dan limfosit baik T helper 1
(TH1) maupun T helper 2 (TH2) daripada leukosit polimorfonuklear. Efek ini penting
diketahui, karena penyakit infeksius granuloma seperti tuberkulosis cenderung
mengalami eksaserbasi dan kekambuhan pada pengobatan glukokortikosteroid jangka
lama. Sel-sel pembentuk antibosi seperti limfosit B dan sel plasma relatif resisten
terhadap efek supresi glukokortikosteroid. Untuk mensupresi produksi antibodi
diperlukan dosis glukokortikosteroid yang tinggi.

FARMAKOLOGI
Efek farmakologi glukokortikosteroid berupa:
Efek anti-inflamasi
Efek anti-inflamasi primer glukokortikosteroid adalah mengurangi akumulasi
sel pada tempat peradangan, menghalangi perlekatan granulosit pada epitel
pembuluh darah tempat peradangan, dan menghambat produksi kolagen dengan
menghambat aktivitas proline hydroxylase.
Efek imunosupresif
Pada hipersensitivitas tipe lambat, kortisol dapat menghambat kelebihan
limfokin sel target. Efek imunosupresif glukortikosteroid terjadi terhadap
pembentukan antibodi dan imunitas selular. Efek supresi ini masih sedikit
diketahui.

Sintesis deoxyribonucleic acid (DNA)


Glukokortikosteroid dapat menghambat sintesis DNA dan mitosis epidermis
dalam waktu 30 jam setelah aplikasi.
Vasokonstriksi
Fungsi ini ikut berperan pada peningkatan efek anti inflamasi.
Metabolisme
a. Elektrolit
Hormon ini menyebabkan retensi natrium, klor, dan cairan dengan
keluarnya cairan intraselular ke ekstraselular. Selain itu juga mengakibatkan
kehilangan ion kalium, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan,
hipotensi, dan metabolisme alkali. Hormon ini juga dapat meningkatkan
produksi asam lambung dan pepsin di lambung sehingga mempermudah
terjadinya ulkus peptikum.
b. Karbohidrat
Kortikosteroid menimbulkan efek katabolisme karbohidrat, sehingga
mengakibatkan terjadinya hiperglikemia dan resistensi terhadap insulin. Hal
ini terutama disebabkan adanya peningkatan glukoneogenesis dari protein,
lemak, dan prekursor karbohidrat lain di dalam hati.
c. Lemak
Hormon ini mengakibatkan penghancuran lemak dengan membentuk
badan-badan keton, peningkatan lemak serum dan kolesterol.
d. Protein
Efek glukokortikosteroid pada metabolisme protein mengakibatkan
katabolisme protein dan anti anabolisme. Oleh sebab itu, pemberian
glukokortikosteroid dosis tinggi pada anak-anak akan mengakibatkan
penghambatan pertumbuhan.
e. Jaringan mesenkim
Efek hormon kortiokosteroid terhadap jaringan mesenkim berupa
penekanan respon sel-sel yang berperan pada peradangan lokal.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Chrousos, George. Adrenocorticosteroids and Adrencortical


Antagonists. IN :Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 9th
ed. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2004

2.

Guyton, Arthur C; Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi


Kedokteran. Jakarta. EGC. 1997

3.

Hamzah, Mochtar. Dermatoterapi. Dalam : Djuanda, Adhi,


Hamzah, Mochtar, Aisah, Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
3. Jakarta. Fakultas Kedokteran Indonesia. 2002

4.

Valencia, Isabel, Kerdel, Fransisco. Topical


Glukocorticosteroids. IN : Wolff, Klaus, Jhonson, Richard, Suurmond, Dick,
editor. Fitzpatricks Colour Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.
Edisi 5. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2005 : 2324 - 2327.

Anda mungkin juga menyukai