Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peranan hukum di dalam masyarakat khususnya dalam menghadapi perubahan
masyarakat perlu dikaji dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sosial. Pengaruh
peranan hukum ini bisa bersifat langsung dan tidak langsung atau signifikan atau tidak.
Hukum memiliki pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong munculnya perubahan
sosial pada pembentukan lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung
terhadap masyarakat. Di sisi lain, hukum membentuk atau mengubah institusi pokok atau
lembaga kemasyarakatan yang penting, maka terjadi pengaruh langsung, yang kemudian
sering disebut hukum digunakan sebagai alat untuk mengubah perilaku masyarakat.
Begitu pula Hukum dalam Kepolisian, Hukum kepolisian termasuk hukum negara yang
sangat penting kita ketahui agar kita tidak salah kaprah. Polisi hanya sebagai alat
pemerintahan dalam menjalankan kekuasaan di suatu negara agar berjalan dengan baik. pada
zaman dulu rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi dan kritikan dianggap orang-orang
yang akan menjatuhkan pemerintahan yang sah. Hal ini selalu dijadikan salah satu tugas
kepolisian untuk memberantas hal yang demikian. Banyak masyarakat menganggap polisi
jauh dari harapan masyarakat karena mereka menganggap polisi mau menggadaikan harga
dirinya demi Secuil uang damai dari pelanggar lalu lintas jalan raya.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang akan dijelaskan yaitu:
1) Apa pengertian dari Hukum itu sendiri?
2) Bagaimana Hukum berperan didalam masyarakat?
3) Bagaimana Hukum berperan didalam Kepolisian?
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian diantara lain:
1) Mengetahui dan memahami pengertian dari Hukum
2) Mengetahui peranan Hukum dalam Masyarakat dan Kepolisian

Page | 1

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HUKUM
2.1.1 Pengertian Hukum
a. Prof. E. M Meyers
Hukum adalah aturan yang mengadung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah
laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa Negara dalam
melakukan tugasnya.
b. Drs. E. Utrres, S.H.
Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib
masyarakat, oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat
c. J. C. T. Simorangkir
Hukum adalah peraturan peraturan yang bersifat memeaksa yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan badan resmi yang berwajib
dan pelanggaran terhadap pereturan tadi berakibat diambilnya tindakan dengan hukum
tertentu.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum adalah sekumpulan peraturan yang terdiri
dari perintah dan larangan yang bersifat memaksa dan mengikat dengan disertai sangsi bagi
pelanggarnya.
2.1.2 Ciri Ciri Negara Hukum
a. Fridrich Julius Sthal
1. Adanya hak asasi manusia
2. Adanya trias politika
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan peraturan.
b. A. V. Dicey
1. Supremasi hukum dalam arti tidak boleh ada kesewenang wenangan sehingga
seseorang bisa dihukum jika melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi masyarakat biasa ataupun pejabat.
3. Terjaminya hak hak manusia oleh undang undang dan keputusan keputusan
pengadilan.

Page | 2

2.1.3 Tujuan Hukum


Tujuan yang penting dan hakiki dari hukum adalah memamusiakan manusia, dalam hukum
terdapat teori tujuan hukum sebagai berikut :
a. Teori Etis, meneurut teori ini tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan.
b. Teori Utilitas, menurut teori ini tujuan hukum adalah memberikan faedah sebanyak
banyaknya bagi masyarakat.
c. Campuran dari teori etis dan utilitas, menerut teori ini hukum bertujuan untuk memjaga
ketertiban dan untuk mencapai keadilan dalam masyarakat.
2.1.4 Tata Urutan Perundang undangan Negara Republik Indonesia
Tata Urutan Perundang undangan Negara republic Indonesia diatur dalam ketetapan MPR
No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang Undangan
yang meliputi :
a. UUD 45
b. Tap. MPR RI
c. Undang undang
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang
e. Peraturan Pemerintah
f. Keputusan Presiden
g. Peraturan Daerah
2.1.5 Pengertian Sistim Hukum Nasional
Sistim hukum nasional adalah keseluruhan unsur unsur hukum nasional yang saling berkait
guna mencapai tatanan sosial yang berkeadilan. Adapun sistim hukum meliputi dua bagian
yaitu :
a. Stuktur Kelembagan Hukum
Sistim berserta mekanisme kelembagaan yang menopang Pembentukan dan Penyelenggaraan
hukum di Indonesia.
Sistim Kelembagan Hukum meliputi :
1. Lembaga lembaga peradilan
2. Apatatur penyelenggaraan Hukum
3. Mekanisme penyelenggaraan Hukum
4. Pengawasan pelaksanaan Hukum
b. Materi Hukum yaitu Kaidah kaidah yang dsituangkan dan dibakukan dalam persatuan
hukum baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis.
c. Budaya Hukum yaitu: Pembahasan mengenai budaya hukum meniti beratkan pada
pembahasan mengenai kesadaran hukum masyarakat.

Page | 3

2.2 Hukum dalam Kepolisian


Kepolisian memiliki salahsatu fungsi, yaitu untuk mejamin hidup dan milik
perlindungan kewenangan yang ditentukan menurut hukum serta menegakkan dan
memaksakan hak-hak dan kewajiban yang ditentukan menurut hukum. Namun disamping itu,
kepolisian juga tetap diatur oleh hukum.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya
masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi
kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan
pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia sudah tidak memadai dan perlu diganti untuk disesuaikan dengan pertumbuhan dan
perkembangan hukum serta ketatanegaraan Republik Indonesia;
e. sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara
Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Page | 4

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana


telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890);
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
3. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum
Kepolisian.
4. Peraturan Kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai
salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka
tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan
tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina
serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan
menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang
dapat meresahkan masyarakat.
6. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
7. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan
negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.
8. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
9. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Page | 5

10. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
11. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai
wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing.
12. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat
oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan
diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undangundang.
13. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
14. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kapolri adalah
pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan
fungsi kepolisian.

2.3 Hukum dalam Masyarakat


Hukum mempunyai peranan sangat besar dalam pergaulan hidup di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari ketertiban, ketentraman dan tidak terjadinya
ketegangan di dalam masyarakat, karena hukum mengatur menentukan hak dan kewajiban
serta mengatur, menentukan hak dan kewajiban serta melindungi kepentingan individu dan
kepentingan sosisal.
2.2.1 Peran Hukum dalam Masyarakat berdasarkan Ilmu Hukum
Kemasyarakatan dan Sosiologi Hukum
Montesquieu berpendapat bahwa hukum merupakan produk dari berbagai factor
seperti misalnya: tata cara local, adat, lingkungan pisik: hukum yang baik, dia jaga,
menyesuaikannya kepada masyarakat. Melihat dari pernyataan yang demikian itu, maka
hukum itu bersifat dinamis mengikuti perkembangan peradaban manusia yang selalu
berdialektika dalam kehidupan sosial, ekonomi, hukum, politik. Lain hal nya
berdasarkan pendapa Jhering, yang meletakkan penekanan lebih besar pada fungsi
hukum sebagai instrument untuk melayani kebutuhan masyarakat. Dalam masyarakat,
ada konflik yang tak terhindarkan antara kepentingan social dan pribadi. Untuk
mendamaikan konflik ini Negara menerapkan metode penghargaan, dengan
Page | 6

memungkinkan keinginan ekonomi terpuaskan, dan juga metode paksaan. Mungkin


akan ada paksaan yang tak terorganisasi, seperti pada kasus kaidah-kaidah sosial atau
etika., tetapi hukum mengkhususkan pada bentuk paksaan yang terorganisasi oleh
Negara. Titik tekan dari dari pendapat jhering ialah bahwa hukum itu di ciptakan untuk
mendamaikan kehidupan sosial masyarakat meliputi seluruh aspek, tidak terkecuali
dalam aspek ekonomi. Ia menyatakan bahwa dalam dinamika kehidupan masyarakat
terdapat conflict of interest dari masing-masing indivudu maupun golongan sosial yang
ada. Keberhasilan proses legal diukur dengan tingkat mendapatkan keseimbangan yang
sesuai antara persaingan kepentingan social dan pribadi. Sedangkan weber menilai
bahwa
Dia
melihat
hukum
sebagai
tahapan
penyampaian
berkisar
dari wahyuperundang-undangan yang kharismatic melalui sesuatu yang dia sebut nabi
hukum ke penjabaran hukum yang sistematis dan pengaturan peradilan yang
professional oleh orang yang telah menerima latihan perundang-undangan mereka
dalam sikap logis yang resmi. Pemikirannya dapat lah disimpulkan bahwa hukum itu
ialah sesuatu yang dibuat oleh penguasa yang bersifat resmi dan profesional. Weber
menekankan kontribusi para professional dalam perundangan. Dengan demikian,
contohnya, dia melihat para pengacara inggris dengan kepentingan pribadi dalam
mempertahankan fotur formalitas yang kolot sebagai halangan utama dalam
rasionalisasi
Hukum Sebagai Sosial Kontrol, dimana setiap kelompok masyarakat selalu ada
problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara
yang standard dan yang parktis. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat
dapat dicontohkan : pencurian, perzinahan hutang, membunuh dan lain-lain. Semua
contoh ini adalah bentuk prilaku yang menyimpang yang menimbulkan persoalan
didalam masyarakat, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat
yang modern. Dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan
problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan
eksistensinya.
Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control
sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang
tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan
eksistensi kelompok masyarakat tersebut. Hukum yang berfungsi demikian adalah
merupakan instrument pengendalian social.

Page | 7

2.2.2 Partisipasi Masyarakat dalam Penegakan Hukum


Sebagian besar masyarakat masih sangat percaya korupsi masih bekerja secara
sistematis dan terstruktur di kalangan birokrasi pemerintahan, lembaga penegakan
hukum maupun lingkungan parlemen. Suatu hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh
sebuah media menegaskan hal tersebut. Jajak pendapat itu menyatakan, sekitar 65%
masyarakat di kota-kota besar masih tetap tidak percaya, pemerintah telah serius
melakukan pemberantasan korupsi. Bahkan, di provinsi yang kepala daerahnya pernah
dinobatkan menjadi championship di bidang anti korupsi oleh ICW, prosentase
ketidakpercayaan masyarakat keseriusan pemrintah daerah dalam pemberanatasan
justru sangat tinggi karena mencapai angka diatas 80%. Fakta ini hendak menegaskan,
pesimisme kian meluas di kalangan masyarakat akan kesungguhan pemerintah
melakukan upaya pemberantasan korupsi secara serius. Perluasan pesimisme dan
ketidakpercayaan masyarakat pada keseriusan pemberantasan korupsi bisa jadi
disebabkan oleh beberapa fakta yang terjadi belakangan ini.
Sorotan terhadap kinerja penegakan hukum dalam memberantas korupsi dan dapat
diperluas dalam kinerja hukum pada sektor-sektor yang lain, menunjukkan pada sisi
yang lain bahwa masyarakat sangat peduli terhadap masalah ini. Saya sendiri melihat
fenomena itu pada perspektif lain: aliran partisipasi publik dalam proses penegakan
hukum. Barangkali bacaan ini masih terdengar asing, seperti juga terlihat dari
kenyataan adanya penghindaran penegak hukum bahwa mereka melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, mengundurkan diri atau tidak mengundurkan diri, terkait dengan
reaksi public terhadap sebuah kasus. Tetapi sebenarnya, dalam literatur fenomena itu
tidaklah menjadi sesuatu yang asing karena telah mempunyai sejarah yang panjang dan
berkembang terus menerus baik konsep maupun keberadaannya.
Jangkau luas
Dalam pengalaman kita sejauh ini, partisipasi public dalam masalah kenegaraan
sering hanya dikaitkan dengan aspek politik belaka, yaitu tentang bagaimana
manajemen kekuasaan eksektuif dan perwakilan di legislatif. Padahal masalah
kenegaraan, yang menjadi hak publik atau setiap warganegara, sesungguhnya meliputi
juga bidang peradilan dalam arti luas. Keterlibatan publik ini sering dipandang sebagai
wahanan dan sarana masyarakat sebagai warga negara untuk membantu menemukan
dan menentukan keadilan dengan menmperhatikan hukum yang hidup dan
berkembang, di tengah-tengah masyarakat dalam pemeriksaan untuk perkara pidana.
Dalam kaitan ini relevan apa yang dikatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo dalam
artikel di harian Kompas, bahwa publik, walaupun belum tentu mempunyai standar
akademik dalam memahami konsep-konsep hukum, tetapi sebetulnya mereka
mempunyai kecerdasan atas dasar nurani dan akal sehat untuk melihat fenomena
hukum yang ada. Pengakuan partisipasi publik dalam proses peradilan berarti
penerimaan nilai demokrasi dalam sistem hukum, dan dengan cara yang demikian
Page | 8

hasilnya akan mendekati rasa keadilan dalam masyarakat. Demikian juga, unsur ini
akan meminimalisasi verted interest dan campur tangan kekuasaan dalam proses
hukum, sehingga kendali keadilan dikembalikan kepada pemilik sesungguhnya yaitu
publik.
Pelembagaan
Konsep partisipasi publik dalam penanganan perkara hukum sudah semakin
diterima. Kita umumnya mengenal pelembagaannya dalam adanya juri dan hakim ad
hoc. Secara historis, juri dibawa oleh orang Romawi ke Inggris dan dari Inggris
kemudian ke Amerika, tetapi dewasa ini paling banyak digunakan di pengadilan
Amerika. Juri adalah sejumlah orang yang secara khusus dipilih dari anggota
masyarakat secara random berdasarkan syarat dan ketentuan hukum yang berlaku.
Anggota masyarakat itu biasanya bukan professional hukum, tetapi masyarakat biasa.
Khususnya dalam sidang kriminal, wewenang juri adalah untuk menentukan keasalahan
dari fakta-fakta yang diajukan dan atau didengarkannya selama sidang. Dalam
menentukan kesalahan, juri cukup dengan mendengarkan, tidak boleh mencatat, dan
berdiskusi dengan siapapun, kecuali hati nuraninya. Jadi, ada kerjasama yang saling
melenkapi antara professional hukum (pengadilan), dengan anggota masyarakat.
Merujuk tulisan Luhut Pangaribuan (2009), keberadaan hakim ad hoc berangkat
dari diterimanya konsep lay judges, suatu partisipasi yang dilakukan dalam bentuk
kerjasama antara hakim karir dan non professional (awam) dalam sidang pengadilan.
Dewasa ini, kita melihat bahwa pengadilan khusus seperti pengadilan HAM,
pengadilan Tipikor, dan Pengadilan Perikanan semuanya dalam lingkungan peradilan
umum memeprkenalkan hakim yang tidak berdasarkan karir di pengadilan sebagai
hakim ad hoc. Sebelumnya juga sudah dikenal dalam Pengadilan Tata Usaha Negara,
dan sekarang diperluas ke pangadilan niaga, pengadilan pajak, dan pengadilan
hubungan industrial. Dalam mengadili, hakim karir dan hakim ad hoc ini sama-sama
dalam satu majelis untuk mengadili satu perkara di pengadilan khusus masing-masing.
Ini adalah buah reformasi, yang mengapresiasi ledakan partisipasi publik, termasuk
dalam sektor pengadilan, walaupun KUHAP sama sekali tidak pernah mengatur
mengenai hal ini.
Kenyataan
Jadi, secara formal maupun informal, kehadiran partisipasi publik dalam sebuah
proses hukum merupakan suatu kenyataan. Jika kenyataan ini diakui, maka akan
membawa angin perubahan dalam proses penegakan hukum, sekurang-kurangnya
dalam hal bagaimana kita memaklumi bahwa hukum dan birokrasinya tidaklah bekerja
dalam ruang asing tertutup dan hukum bukanlah semata-mata legalitas hitam dan putih,
tetapi suatu organisasi sosial yang ramai dengan aneka kepentingan dan makna.
Partisipasi itu akan membawa perubahan menyangkut cara pandang masyarakat
terhadap proses hukum, bagaimana menafsirkan kepentingan masyarakat, dan
perubahan bagaimana birokrasi hukum menjalankan tugasnya untuk memenuhi
kepentingan publik.
Page | 9

Berangkat dari kasus tersebut, pekerjaan besar menanti untuk memutuskan apakah
partisipasi publik akan dilembagakan dalam proses peradilan, dengan konsekuensi
kemungkinan melakukan perubahan besar terhadap sistem hukum yang berlaku,
ataukah akan dibiarkan menjadi wahana reaktif dalam kinerja hukum di republik ini.

Page | 10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tanggung jawab pekerjaan yang dibebankan kepada Polisi memang tidak
selalu berkaitan dengan Kriminal, namun juga terdapat esensi tanggung
jawab yang mulia ( Nobile officum ) yaitu menjaga keamanan dan ketertiban
serta ketentraman masyarakat setempat sehingga kehidupan beradab dapat
terselenggara secara memadai. Dalam UU no tahun 2002 telah diatur
tentang tugas dan peran Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban
sosial namun dalam tugas sehari hari sering terjadi adanya penyalahgunan
wewenang dan kekuasaan dilakukan oleh aparat kepolisian. Polisi memang
rawan menyalahgunakan kekuatan kepolisianya (police power), melanggar
kode etik profesinya sampai pada melanggar hak asasi manusia.
Polri dituntut agar dalam menjalankan tugas dan profesinya terutama dalam
penegakan hukum harus sesuai dengan kepastian hukum serta keadilan bagi
masyarakat. Bagaimana sikap dan perilaku anggota Polri harus
mencerminkan karakter polri yang sesungguhnya sesuai dengan Tribrata
oleh karena itu dibutuhkan Etika Kepolisian dalam bentuk Etika Profesi Polri
sebagai kristalisasi nilai nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh
Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam wujud
komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, kenegaraan, kelembagaan
dan hubungan dengan masyarakat.

Page | 11

DAFTAR PUSTAKA
Parsudi Suparlan, Jurna Polisi Indonesia, Jakarta,Edisi X , 2007
Black, Henry Campbell, Blacks Law dictionary,Sixty Edition, St. Paul,Minn,1966
Sadjijono, Etika profesi hukum, Laksbang Mediatama, cetakan pertama , Jakarta, 2008
Wik Djatmika, Etika Kepolisian ( dalam komunitas spesifik Polri ) , Jurnal Studi Kepolisian,
STIK-PTIK, Edisi 075
INTERNET
Wikipedia Indonesia, Profesi dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Profesi diakses tanggal 14
Oktober 2012 pukul 12.00

Chairuddin Ismail, Polisi Sipil dan Paradigma Polri, Jakarta, P.T. Merlyn Press, Cet.Pertama,
2009, hlm. XVI .
2
hlm.17

Wik Djatmika, Dibawah panji panji Tribrata, Jakarta, PTIK Press, Cet.Kedua, 2007,

Parsudi Suparlan, Jurna Polisi Indonesia, Jakarta,Edisi X , 2007, hlm.54


Wikipedia Indonesia, Profesi dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Profesi diakses tanggal 14
Oktober 2012 pukul 12.00
Black, Henry Campbell, Blacks Law dictionary,Sixty Edition, St. Paul,Minn,1966 halaman 1226
Sadjijono, Etika profesi hukum, Laksbang Mediatama, cetakan pertama , Jakarta, 2008 , hlm 31.
Ibid., hal. 35.
Wik Djatmika, Etika Kepolisian ( dalam komunitas spesifik Polri ) , Jurnal Studi Kepolisian,
STIK-PTIK, Edisi 075, hal. 18

Page | 12

Wiranata, I Gede A.B, Dasar dasar Etika dan Moralitas, P.T.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,
hal 84

Page | 13

Anda mungkin juga menyukai