Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh dunia
terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada masa
pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit yang merupakan
Nutrition Related Diseases yang dapat mengenai berbagai macam anatomi dan fungsi dari
organ tubuh seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel
kulit. Salah satu dampak kurang vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya terjadi
pada anak usia 6 bulan sampai 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara
berkembang (Departemen Kesehatan RI, 2003)
Kekurangan vitamin A juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan atau penyakit
gastrointestinal dan sirosis hepatis. Sehingga, kekurangan vitamin A dapat disebabkan oleh
primer akibat kurangnya vitamin A dalam diet dan atau sekunder karena absorpsi usus tidak
baik. (Ilyas, 2005)
Xeroftalmia merupakan salah satu penyakit pada mata yang disebabkan oleh
kekurangan vitamin A. Tanda-tandanya meliputi berkurangnya sensitivitas retina terhadap
cahaya (buta senja) dan kerusakan epitel kornea dan konjungtiva, seperti xerosis
konjungtiva, bitot spots, xerosis kornea dan keratomlacia. Gejala pada mata ini berhubungan
dengan kekurang vitamin dan bervariasi tergantung berat ringannya kekurangan vitamin A
dan umur pada seseorang (WHO, 2014)
Xeroftalmia dapat terjadi pada berbagai usia, terutama pada kelompok usia pra
sekolah, dewasa dan wanita hamil. Namun, anak-anak merupakan risiko tinggi mengalami
kekurangan vitamin A dan xerfotalmia, disebabkan oleh kebutuhan vitamin A lebih tinggi
untuk pertumbuhannya. Anak-anak juga memilki risiko tinggi untuk mendapat infeksi pada
saluran cerna, sehingga akan menyebabkan berkurangnya penyerapan dan meningkatnya
kehilangan vitamin A (WHO, 2014)
Puncak insiden buta senja pada umumnya dapat dilihat pada usia 3 sampai 6 tahun.
Penilaian sulit dilakukan pada bayi dan anak yang belum mulai berjalan atau merangkak,
sehingga angka kejadi pada usia tersebut lebih sulit terdeteksi. (WHO, 2014)
Pada tahun 1994 Pemerintah Indonesia mendapat penghargaan Helen Keller Award,
karena mampu menurunkan prevalensi xeroftalmia sampai 0,3%. Keberhasilan tersebut
berkat upaya program penanggulangan KVA dengan suplemen kapsul vitamin A dosis tinggi
200.000 SI (merah) sebanyak 2 kali setahun pada bulan Februari dan Agustus yang ditujukan
kepada anak balita (1-5 tahun) dan 1 kapsul pada ibu nifas (< 30 hari sehabis melahirkan).
Setelah tahun 1997 kemudian sasaran diperluas kepada bayi umur 6 - 11 bulan dengan
pemberian kapsul vitamin A dosis 100.000 SI (biru). (Departemen Kesehatan RI, 2003)

Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, dimana
terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah mengakibatkan masalah KVA muncul
kembali. Berdasarkan laporan dari beberapa propinsi antara lain dari NTB dan Sumatera
Selatan menunjukkan munculnya kembali kasus Xeroftalmia mulai dari tingkat ringan sampai
berat bahkan menyebabkan kebutaan. Data laporan baik dari SP2TP maupun data dari survei
tidak mendukung, karena selama ini kasus xeroftalmia tidak dilaporkan secara khusus dan
dianggap sudah bukan menjadi prioritas masalah kesehatan di Indonesia. Ibarat fenomena
gunung es dikhawatirkan kasus xeroftalmia masih banyak di masyarakat yang belum
ditemukan dan dilaporkan oleh tenaga kesehatan. Oleh karena itu, penting sekali untuk
mendeteksi secara dini dan menangani kasus xeroftalmia ini dengan cepat dan tepat agar
tidak terjadi kebutaan seumur hidup yang berakibat menurunnya kualitas sumber daya
manusia (Dapartemen Kesehatan RI, 2003).

Anda mungkin juga menyukai