Anda di halaman 1dari 46

BAB I

LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis kelamin
Umur
Alamat
Pekerjaan
Agama
Suku bangsa
Tanggal MRS
Tanggal pemeriksaan
No MR

II.

ANAMNESA

Keluhan utama :

: An. Shinta
: Perempuan
: 14 tahun
: Taman baru - Banyuwangi
: Pelajar
: Islam
: Jawa
: 29 Februari 2016
: 1 Maret 2016
: 134452

Demam

Riwayat penyakit sekarang :


Demam mulai hari rabu malam (5 hari SMRS), demam dirasakan terus menerus, demam
terkadang disertai mengigil. Keluhan demam disertai dengan rasa pegal-pegal pada
tungkai dan sakit kepala. Sudah minum obat penurun panas sebelumnya dan demam
turun namun kemudian demam timbul lagi. Muntah 3x, muntah makanan. Karena
demamnya tidak membaik dan keadaan pasien yang semakin menurun pasien dibawa ke
puskesmas, di puskesmas pasien disarankan untuk cek labolatorium, kemudian pasien di
rujuk ke RSUD Blambangan

Riwayat penyakit dahulu

Dulu tidak pernah sakit seperti ini

Riwayat penyakit keluarga :


Tidak ada keluarga yang dakit seperti ini
1

Riwayat alergi dan pengobatan :


Berobat ke puskesmas diberi obat paracetamol dan antobiotik tetapi tidak membaik
Alergi (-)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : lemah
Kesadaran : kompos mentis

Vital sign :
TD : 100/80mmhg
N
: 100x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 38,50C
Akral : dingin
BB : 36 kg

Status generalis :

Kepala-leher
a/i/c/d : -/-/-/ odema preorbital : PCH : Pembesaran KGB : -

Thorax
Dada : simetris
Retraksi : -

Jantung
Paru : suara nafas vesikuler
Rhonki : -/- wheezing : -/

Abdomen
Distended (-)
Bising usus baik
Asites (-)
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
Nyeri tekan epigastrium, nyeri tekan hipokondrium dextra, hepar lien
tidak teraba

Genetalia : normal

Ekatremitas
Akral : dingin
CRT <2detik

Status neurologi
Kaku kuduk (-)

Assessment :
Diagnosis

: dengue hemoragic fever grade III (DSS) + thyphoid fever

Laboratorium :

Darah lengkap

Widal

Urine lengkap

Terapi dr.Sri,Sp.A

O2 nasal 2 Lpm

Inf. Asering 1000/2jam 500cc (1 jam kedua) 252cc (1 jam ketiga) 180cc (1jam
keempat) 36tpm drip adona

Inj. Ceftriaxone 2x1gr (skin test)

Inj. Ranitidine 2x1/2amp

Inj. Kalnex 3x250mg

Inj. Metil prednisolon 3x1/2amp

Inj. Antrain 3x1/2amp

D40 25cc (3hari)

Transfusi plasma 300cc

Jika hanya ada 1kolf plasma + widahest

Lampu penghangat

Hasil Lab tanggal 29-02-2016


Darah lengkap
-

Hb
Leukosit
HCT
Trombosit

: 16,4 g/dl
: 9200/cmm
:51%
: 84.000/cmm

Urine Lengkap
-

Albumin
Reduksi
Urobilin
Bilirubin
Leukosit

::::: 1-2 LBP


4

Widal
-

Eritrosit
Epithel
Kristal

: 2-3 LBP
: 1+ LPK
:-

Typhus O
Typhus H
Paratyphy A
Paratyphy B

: negative
: positif 1/160
: negative
: negative

SOAP
1 Maret 2015
S : panas (-), nyeri perut (+), BAB warna coklat kehitaman
O : KU : lemah
K/L : a/i/c/d -/-/-/Th : Rh-/- Wh -/- S1S2 tunggal
Abd : bising usus (+), supel, nyeri tekan epigastrium, hipokondrium dextra
Eks : akral hangat, merah, kering
A : DHF grade III + thyphoid fever
P : tx lanjut
Buscopan 3x1/2amp
Antasida syr 3x1C ac
2 Maret 2015
5

S : panas (-), nyeri perut (+), BAB warna coklat kehitaman


O : KU : lemah
K/L : a/i/c/d -/-/-/Th : Rh-/- Wh -/- S1S2 tunggal
Abd : bising usus (+), supel, nyeri tekan epigastrium, hipokondrium dextra
Eks : akral hangat, merah, kering
A : DHF grade III + thyphoid fever
P : tx lanjut
Cek DL besok
Inf 15tpm
Buscopan 3x1/2amp3x1tab
Antasida syr 3x1C ac

3 Maret 2015
S : panas (-), nyeri perut (+), BAB warna coklat kehitaman (-)
O : KU : lemah
K/L : a/i/c/d -/-/-/Th : Rh-/- Wh -/- S1S2 tunggal
Abd : bising usus (+), supel, nyeri tekan epigastrium, hipokondrium dextra
Eks : akral hangat, merah, kering
A : DHF grade III + thyphoid fever
P : tx lanjut

4 Maret 2015
S : keluhan (-)
O : KU : cukup
6

K/L : a/i/c/d -/-/-/Th : Rh-/- Wh -/- S1S2 tunggal


Abd : bising usus (+), supel
Eks : akral hangat, merah, kering
A : DHF grade III + thyphoid fever
P : KRS
Buscopan 3x1tab
Antasida syr 3x1C ac
Cefixime 2x100mg
Pamol 3x500mg
Curvit 1x1tab

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DENGUE SYOK SYNDROM
1.1 DEFINISI
Sindrom syok dengue adalah derajat terberat dari DBD yang terjadi karena
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga cairan keluar dari intravaskuler ke
ekstravaskuler, sehingga terjadi penurunan volume intravaskuler dan hipoksemia.
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. Pada keadaan yang parah bisa terjadi
kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran
plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS).
7

Syok yang biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari
ke 3 sampai hari sakit ke 7 disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular sehingga
terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritonium,
hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia yang mengakibatkan berkurangnya
aliran balik vena, preload miokard, volume sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi
disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ.
Pada fase awal sindrom syok dengue fungsi organ vital dipertahankan dari
hipovolemia oleh sistem homeostasis dalam bentuk takikardi, vasokonstriksi, penguatan
kontraktilitas miokard, takipnea , hiperpnea, dan hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer
mengurangi perfusi non esensial di kulit yang menyebabkan sianosis, penurunan suhu
permukaan tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler (>2detik). Perbedaan suhu
kulit dan suhu tubuh yang >2oC menunjukkan mekanisme homeostasis masih utuh. Pada
tahap sindrom syok dengue kompensasi, curah jantung dan tekanan darah normal
kembali.
Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat sindrom syok dengue,
berarti sistem homeostasis sudah terganggu dan kelainan hemodinamik sudah berat,
sudah terjadi dekompensasi.
Pasien awalnya terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang
ditandai dengan kulit dingin lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat lemah, tekanan
nadi 20 mmhg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih dalam keadaan sadar sekalipun
sudah mendekati stadium akhir.
Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme homeostasis.
Efektivitas dan intregitas sistem kardiovaskular rusak, perfusi miokard dan curah jantung
menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu, dan terjadi iskemia jaringan dan
kerusakan fungsi sel secara progresif dan ireversibel, terjadi kerusakan sel dan organ dan
pasien akan meninggal dalam 12-24jam.
1.2 ETIOLOGI
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh
virus dengue, yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus mempunyai
empat serotipe

yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4; dengan

serotipe DEN-3 yang dominan di Indonesia dan paling banyak berkaitan dengan kasus
berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe Dengue dengan Flavivirus lainnya. Infeksi
8

oleh salah satu serotipe Dengue akan memberikan imunitas seumur hidup, namun tidak
ada imunitas silang dengan jenis serotipe lain.
1.3 EPIDEMIOLOGI
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian paling
banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh dunia,
dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka 21 kematian
berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di
Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa.

Incidence rate

meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 627 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung menurun hingga 2%
tahun 1999. (1,2,3,4,5)

Gambar 1 Distribusi virus dengue, infeksi dan daerah endemis


Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes
akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak
berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai

awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan
April-Mei setiap tahun. (2)
Selama bulan Januari sampai tanggal 31 tercatat sebanyak 2.587 pasien yang
dilaporkan dari 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur (data per 10 Februari 2016). Dari
jumlah tersebut, sebanyak 46 pasien meninggal dunia. Dengan demikian selama bulan
Januari 2016 tercatat angka kematian (case fatlity rate) sebesar 1,8%. Pada bulan
Februari, sampai dengan tanggal 10 Februari 2016, terlaporkan sebanyak 80 kasus
dengan kematian sebanyak 1 orang. Angka tersebut baru dihimpun dari 11
kabupaten/kota yang melaporkan data bulan Februari ke Dinas Kesehatan Provinsi.
Jumlah kasus DBD di bulan Januari tahun ini lebih sedikit jika dibandingkan
dengan kondisi pada bulan yang sama di tahun 2015. Pada tahun 2015 bulan Januari
tercatat kasus DBD sebanyak 4.584 sedangkan kematian sebanyak 59 orang (case fatlity
rate sebesar 1,28%). Kasus DBD di beberapa kabupaten kota sudah menembus angka di
atas 100 untuk Bulan Januari 2016. Lima kabupaten yang melaporkan kasus terbanyak di
bulan Januari 2016 adalah Kabupaten Jombang (250 kasus), Kabupaten Pacitan (167
kasus), Kabupaten Banyuwangi (142 kasus), Kabupaten Ngawi (126 kasus) dan
Kabupaten Kabupaten Mojokerto (117 kasus). Kematian terbanyak tercatat di Kabupaten
Jombang dengan 8 kematian disusul Kabupaten Kediri dan Kabupaten Mojokerto
masing-masing 4 orang, lalu Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten
Malang masing-masing 3 orang.

10

Gambar 2 Sebaran Jumlah Penderita DBD Provinsi Jawa Timur Bulan Januari 2016
Di RSUD Blambangan ruang anak sendiri terdapat 78 pasien demam berdarah selama
bulan Januari-Maret 2016 dengan angka kematian 1 pasien, sedangkan pada tahun 2015
terdapat 218 pasien demam berdarah dengan angka kematian 1 pasien.
1.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous
infection) dan hipotesis immune enhancement.
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis

secondary heterologous

infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi
dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari
membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag (respon antibodi anamnestik)
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma
merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun hingga
menyebabkan hipovolemia hingga syok.
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang
akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
11

menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan


perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus dengue dapat mengalami
perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh
manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam
genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.

Gambar 3 Patofisiologi Terjadinya Syok Pada DBD


Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen12

antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di


phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia
justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi trombopoesis
saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation
product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

1.5 Ncskdnjk
1.6 dkmncks

Gambar 4 Patofisiologi Perdarahan Pada DBD


Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
13

mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari
ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi
imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:
1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan sel
kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.
2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada sel,
bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan
sel fogosit mononukleus.
3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang telah
terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah sel yang
terinfeksi.
4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated intravaskular
coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-mediator oleh sel
fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut berupa monokin dan
mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen dengan efek peninggian
permeabilitas dinding pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan
terjadinya DIC.
2.5 DIAGNOSIS
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO yang terdiri
dari kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:
Kriteria klinis :
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti anoreksia, lemah, nyeri
pada punggung, tulang, persendian , dan kepala, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet positif
3. Hepatomegali
4. Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi 20 mmHg, atau hipotensi
disertai gelisah dan akral dingin.
14

* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset


pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif
bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci).
Kriteria laboratoris :
1. Trombositopenia ( 100.000/l)
2. Hemokonsentrasi (kadar Ht 20% dari orang normal)
Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk
menegakkan diagnogsis kerja DBD.
Sindrom Syok Dengue
Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Nadi cepat, lemah
- Hipotensi
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Perfusi perifer menurun
- Kulit dingin-lembab.
Penentuan Derajat Penyakit
Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis perlu
ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan.(2,4)

15

Gambar 5 Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue


Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut :
Derajat
DF

DBD

DBD

II

DBD

III

DSS
DBD
DSS

IV

Gejala dan Tanda


Laboratorium
Demam 2-7 hari
Leucopenia
Disertai 2 tanda : sakit kepala, Trombositopenia
Kebocoran plasma (-)
nyeri retro orbital, myalgia,
atralgia
Gejala diatas (+)
Disertai uji bending positif
Gejala diatas (+)
Disertai perdarahan spontan
Gejala diatas (+)
Disertai
dengan
tanda

Serologi
dengue
positif

Trombositopenia
(<100.000/ul)
Kebocoran plasma (+)
:
Peningkatan ht 20%
Penurunan ht 20%

kegagalan sirkulasi
Syok berat disertai dengan setelah

pemberian

tekanan darah dan nadi yang cairan yang adekuat


tidak terukur
Kasus tipikal dari DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinik mayor : demam tinggi,
fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang
sampai berat yuang disertai dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang
khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan
membedakannya dari Demam Dengue adalah keluarnya 29 plasma yang bermanifestasi
sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi serosa, atau hipoproteinemia.
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
a. Leukosit
normal, biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Akhir fase
demam jumlah leukosit dan neutofil menurun, sehingga jumlah

limfosit

relatif meningkat. Peningkatan jumlah limfosit atipikal atau limfosit plasma


biru (LPB >4%) di daerah tepi dijumpai pada hari sakit ke 3-7.
b. Trombosit
jumlah trombosit 100.000/ul atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb. Pada
hari ke 3-7
c. Hematokrit
gambaran hemokonsentrasi. Merupakan indikator yang peka akan
terjadinya perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara
berkala. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih
16

mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma.


Nilai hematokrit dipengaruhi oleh pergantian cairan atau perdarahan.
d. Kadar albumin menurun sedikit dan besifat sementara
e. Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan
f. Penurunan faktor koagulasi dan fibrinotik yaitu fibrinogen, protrombin
g.
h.
i.
j.
k.

seperti faktor V, VII, IX, X


Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang
Hipoproteinemia
Hiponatremia
SGOT/SGPT sedikit meningkat
Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen terdapat pada
syok yang berkepanjangan.

Radiologi
Pada foto thoraks DBD grade III / IV dan sebagian grade II didapatkan efusi pleura,
biasanya sebelah kanan. Posisi foto adalah lateral dekubitus kanan. Ascites dan efusi
pleura dapat di deteksi dengan pemeriksaan USG.
Serologis
1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test)
Merupakan uji serologis yang dianjurkan dan sering dipakai dan
dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis. Meskipun
begitu, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini : (a) Uji HI
sensitif tetapi tidak spesifik, artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus apa
yang menginfeksi, (b) antibodi HI bertahan sangat lama dalam tubuh (sampai
> 48 tahun), sehingga sering dipakai dalam studi sero-epidemiologi, (c) untuk
diagnosis membutuhkan kenaikan titer konvalesens 4x lipat dari titer serum
akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesens
dianggap sebagai positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue
infection).
2. Uji Komplemen fiksasi (CF test)
Uji komplemen fiksasi jarang digunakan sebagai uji diagnostik rutin, oleh
karena cara pemeriksaan yang rumit dan memerlukan tenaga yang
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi CF hanya bertahan
beberapa tahun saja (2-3 tahun).
3. Uji Neutralisasi (NT test)
17

Merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik untuk virus dengu. Uji
neutralisasi memakai cara yang disebut Plague reduction Neutralization Test
(PRNT) yang berdasarkan adanya reduksi dari plak yang terjadi. Antibodi
neutralisasi dideteksi hampir bersamaan dengan HI antibodi dan bertahan
lama (> 4-8 tahun). Tetapi uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu
yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgG dan IgM Elisa
Setelah satu minggu terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti oleh
pembentukan IgM antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang relatif
singkat dan akan disusul dengan pembentukan igG. Pada kira-kira hari ke 5
terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisasi virus. Imunoserologi berupa
IgM (merupakan penanda infeksi saat ini) dan IgG (merupakan penanda
infeksi masa lalu). IgM akan terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke-3 dan menghilang setelah 60-90 hari setelahnya. Sedangkan IgG
terdeteksi pada hari ke-14 pada infeksi primer dan hari ke-2 pada infeksi
sekunder.

5. NS1-Ag tes
tes yang dapat mendiagnosis DBD dalam waktu demam 8 hari pertama yaitu
antigen virus dengue yang disebut dengan antigen NS1. Keuntungan
mendeteksi antigen NS1 yaitu untuk mengetahui adanya infeksi dengue pada
penderita tersebut pada fase awal demam, tanpa perlu menunggu
terbentuknya antibodi.

18

Pemeriksaan antigen NS1 diperlukan untuk mendeteksi adanya infeksi virus


dengue pada fase akut, dimana pada berbagai penelitian menunjukkan bahwa
NS1 lebih unggul sensitivitasnya dibandingkan kultur virus dan pemeriksaan
PCR maupun antibodi IgM dan IgG antidengue. Spesifisitas antigen NS1
100% sama tingginya seperti pada gold standard kultur virus maupun PCR.
Antigen NS1 merupakan

glikoprotein tersekresi 48 kDa yang tidak

terdapat pada partikel virus yang terinfeksi namun terakumulasi di dalam


supernatan dan membran plasma sel selama proses infeksi. NS1 merupakan
gen esensial di dalam sel yang terinfeksi dimana fungsinya sebagai ko-faktor
untuk replikasi virus, yang terdapat bersama di dalam bentuk replikasi RNA
double-stranded (Mackenzie, 1996). Immune recognition dari permukaan sel
NS1 pada sel endotel dihipotesiskan berperan dalam mekanisme kebocoran
plasma yang terjadi selama infeksi virus dengue yang berat. Sampai saat ini,
bagaimana NS1 berhubungan dengan membran plasma, yang tidak berisi
motif sekuens membrane-spanning masih belum jelas.
NS1 terikat secara langsung pada permukaan berbagai tipe sel epitelial dan
sel mesensimal, juga menempel secara kurang lekat terhadap berbagai sel
darah tepi. NS1-Ag tes adalah tes untuk deteksi protein non struktur NS-1 Ag
yang ada dalam sirkulasi dan dapat mendeteksi ke empat serotipe.
Keunggulannya dapat mendeteksi virus lebih awal, mulai dari hari ke-1
demam sampai demam hari ke-9 dan mempunyai sensitivitas DEN-1 : 88,9%,
DEN-2 : 87,1%, DEN-3 : 100%, DEN-4 : 93,35%.
2.7 DIAGNOSA BANDING
1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi bakteri
maupun virus, seperti bronkopneumonia, demam tifoid, malaria, dan sebagainya.
2. Adanya ruam yang akut perlu dibedakan dengan morbili.
3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis.
4. Penyakit-penyakit darah seperti idiophatic thrombocytopenic purpurae, leukemia
pada stadium lanjut, dan anemia aplastik.
5. Demam Chikunguya.

2.8 PENATALAKSANAAN
19

1. Pada DSS segera beri infus kristaloid ( Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20 ml/kgBB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 lt/mnt. Untuk
DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur) diberikan
ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit,
hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (HES)
sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur infus
yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi keadaan umum,
tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam.
Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah. Pada syok berat (tekanan nadi < 10
mmHg), penggunaan koloid (HES) sebagai cairan resusitasi inisial memberi hasil
perbaikan peningkatan tekanan nadi lebih cepat.
3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit, tekanan
nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10ml/kgBB.
Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis
stabildan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjdi
7ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap
cairan diturunkan 5ml dan seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan
tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi, tekanan darah,
jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan
pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.
4. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi masih
>40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila tampak perdarahan
masif,berikan

darah

segar

20ml/kgBB

dan

lanjutkan

cairan

kristaloid

10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5- 32 8cmH2O) padasyok berat


kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.
5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan cairan
dan pasang kateter

urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal

(>10cmH2O), maka diberikan dopamin.

20

Gambar 6 Bagan Tatalaksana DBD Grade III/IV (DSS)

Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)


21

1. Kristaloid
Larutan ringer laktat (RL)
Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
2. Koloid
Dekstran 40, Plasma, Albumin
Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD
Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl starch
(HES).(2)
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian
dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik
cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam,
sedangkan efek volume 10/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan
tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi
trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan
lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan pada pasien dengan
KID.(2)
Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang
mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 23 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah. (2)
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES
450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah
larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10/o HES 200/0,5 menetap dalam 35
4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12
jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari
1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung
trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial,
serta penurunan kekuatan bekuan.(2)
22

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD


Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya
dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan.
Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk
memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang tersedia selama 24 jam.
Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis
dapat didantu oleh keluarga pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum
maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat
jumlahnya.(2)
Kriteria pasien pulang:

Bebas panas sedikitnya 24 jam tanpa pemakaian obat antipiretik

Nafsu makan membaik

Tampak perubahan klinis

Output urin baik

Hematokrit stabil

Melewati 2 hari setelah syok

Tidak ada distres pernafasan karena efusi pleura atau asites

Trombosit >50.000/mm3

2.9 PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada pengenalan, pengobatan tepat segera dan
pemantauan ketat syok. Tanda prognosis baik adalah membaiknya takikardi, takipneu,
dan kesadaran, munculnya diuresis dan kembalinya nafsu makan.
Demam berdarah dengue mempunyai kemungkinan 5% menyebabkan
kematian, tetapi bila berkembang menjadi sindrom syok dengue akan meningkatkan
kematian hingga 40%.

23

Prognosis buruk pada koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom syok


dengue dengan renjatan berulang atau berkepanjangan.
B. TPYPHOID FEVER
2.10 DEFINISI
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
2.11

EPIDEMIOLOGI
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan

karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat
bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk
beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering
maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu
pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp
63C).
Terjadinya

penularan

Salmonella

typhi

sebagian

besar

melalui

minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
24

pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja (melalui rute oral
fekal = jalurr oro-fekal).
2.12

ETIOLOGI
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella

typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gramnegatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
polisakarida.

Mempunyai

makromolekular

lipopolisakarida

kompleks

yang

membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multipel antibiotik.
2.13

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti

ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri
bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus
mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri
bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan
kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus
sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer
patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat
menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila
keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi,
penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
25

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel
fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini
adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur
berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi

26

akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak
stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi
sistem imunologis.

27

Gambar 7 Patofisiologi Demam Tifoid


2.14

MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi

bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau
tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak,
terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun
tifoid pada bayi.

28

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa inkubasi


terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih.


Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern,
dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 41 o C) serta dapat pula bersifat ireguler
terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit
makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli
kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di
daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.

29

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama
dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1
5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung
pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia.
Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.

2.15 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang
diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu
ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh
toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat
pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya
menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat
shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
30

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai


penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji
Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran
yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi

31

cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan


diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji
widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak
senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada
titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan
darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
32

1.

pem.terlalu dini a.b. Belum terbentuk

2.

gizi buruk,imunodefisensi,keganasan

3. Th/ a.b. Dini antibodi tdk terbentuk


Positif Palsu
1.

salmonella grup D e.g. Enteritidis

2.

Enterobacteriaceae

3. Antigen dari pabrik yg berbeda


4. Silent infection (endemis )

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

33

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H
kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan
baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
34

Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini
dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk
mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.6
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.4
35

Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan
teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan
untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini
dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
36

70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita
yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara
luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama
dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media
yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal
dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas
yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)
serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan
tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction
(PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

37

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian.
2.16

DIAGNOSIS
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan

bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal
dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah
dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu
seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri
abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.
Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat
timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan
berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala
dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.
38

2.17

PENATALAKSANAAN
Non Medika Mentosa
a. Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b. Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun
tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat)
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid,
basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c. Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.

Medikamentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari
39

aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan
keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya
sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain
atau Novalgin.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :

Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever


terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan
infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik
jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.

Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan


dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-

40

200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan


ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok

dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis


awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi

harus segera

dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.


2.18 KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda
tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
41

c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.

2. Komplikasi diluar usus halus


a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh
bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal
sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi,
dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga
diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan
Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis

42

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi
pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus
takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin
pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga
merupakan penyulit demam

tifoid.

Proteinuria transien sering dijumpai,

sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal


maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid,
tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya.

Karier temporer-

ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien
konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas
yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis
kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan
traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan
bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.
2.19

PENCEGAHAN

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:

Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau

43

setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.

Hindari minum air yang tidak dimasak.


Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau
kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya.
Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di
pancuran kamar mandi.

Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.


Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang
telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut
dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar
atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan.
Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat
dikupas.

Pilih makanan yang masih panas.


Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang
terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57C beberapa
menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak
ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan
dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

2.20

PROGNOSIS
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan

44

hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan


mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi
3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada
anak anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid.

DAFTAR PUSTAKA
Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010. Hal.155-181
World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in
the context of the integrated management of childhood illness. Department of Child and
Adolescent Health and Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2011
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta, 2007
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo, A. et.al.
(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD
FKUI, 2006.p.1774-9
Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Demam Berdarah Dengue dan
Sindrom Syok Dengue. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol. II. E/15. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.2001. Hal 1134-1135
Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock

Syndrome.

Didapat

dari

http://www.unboundmedicine.com/medline/ebm/record/19445771/full_citation/Deng
ue_haemorrhagic_fever_or_dengue_shock_syndrome_in_children_
tanggal 23 Maret 2016
Situasi Terkini Demam Berdarah

Dengue

Di

Jawa

Timur.

Di

diunduh
dapat

pada

dari

http://dinkes.jatimprov.go.id/index.php?r=site/berita_detail&id=446 diunduh tanggal 23


Maret 2016
Data Penderita Anak Dengan Demam Berdarah Dengue RSUD Blambangan. 2016
Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed. 2.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
45

Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A Samik
Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak. Surabaya :
FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.

46

Anda mungkin juga menyukai