TINJAUAN PUSTAKA
A. DIABETES MELITUS
Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya
kadar glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid
dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh
sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, dan atau disebabkan oleh kurang
responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Adapun faktor resiko DM antara lain : usia lebih dari 45 tahun, berat
badan lebih (BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2), hipertensi (
140/90 mmHg), riwayat DM dalam garis keturunan, riwayat abortus
berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan lahir bayi lebih dari 4000
gram, kolesterol HDL 35 mg/dl, dan atau trigliserida 250 mg/dl, adanya
riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya dan memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
(Gutaviani, 2006; Soegondo, 2009).
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut Perkeni (2006) adalah
sebagai berikut :
1. Diabetes melitus tipe 1
Pada diabetes tipe 1 ini, terjadi destruksi sel beta yang umumnya
menjurus ke defisiensi insulin absolut. Keadaan ini dapat terjadi melalui
proses imunologik (autoimun) ataupun idiopatik.
2. Diabetes melitus tipe 2
Pada diabetes tipe ini, etiologinya bervariasi, mulai yang predominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
predominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
A.1. Patogenesis
A.1.a. Diabetes Melitus tipe 1
Diabetes Melitus tipe 1 terjadi sebagai akibat interaksi sinergis dari
faktor genetik, lingkungan, dan imunologi yang akhirnya merusak sel beta
pankreas. Individu dengan kecendrungan genetik memiliki sel beta normal
pada saat lahir namun kemudian mulai kehilangan sel beta sebagai akibat
sekunder dari kerusakan secara autoimun yang terjadi dalam bulantahunan. Proses autoimun ini diduga dipicu oleh stimulus infeksi atau
lingkungan. Pada sebagian besar individu, marker imunologik muncul
setelah rangsangan terjadi tetapi sebelum klinis diabetes menjadi nyata.
Massa sel beta mulai berkurang, dan sekresi menjadi terganggu secara
progresif, walaupun toleransi glukosa normal tetap dipertahankan.
Kecepatan penurunan massa sel beta bervariasi antar individu dengan
beberapa pasien berkembang secara cepat menjadi diabetes dan lainnya
berkembang lebih perlahan.
Gambaran klinis diabetes tidak muncul sebelum sebagian besar sel
beta rusak. Pada saat tersebut, fungsi sel beta yang tersisa masih ada tetapi
tidak sanggup untuk mempertahankan toleransi glukosa. Kejadian yang
memicu perubahan dari intoleransi glukosa menjadi diabetes seringkali
berperan penting dalam pemasukan glukosa pada sel-sel otot dan lemak.
Pengaktifan jalur resptor insulin lainnya pada kaskade ini akan
menginduksi sintesis glikogen, protein, lipogenesis, serta penghambatan
glukoneogenesis (Powers, 2010). Pada prinsipnya resistensi insulin dapat
terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal
(pascareseptor) yang diaktifkan oleh ikatan insulin ke reseptornya (Salzler
et al., 2007).
Terdapat beberapa predisposisi terjadinya resistensi insulin yaitu
obesitas, diet tinggi lemak dan karbohidrat, kurang aktifitas tubuh, dan
faktor keturunan. Pada gambar 1, stadium prediabetes diawali dengan
timbulnya resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan
sekeresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin tersebut agar
kadar glukosa darah tetap normal. Semakin lama sel beta akan tidak
sanggup lagi mengkompensasi resistensi insulin hingga kadar glukosa
darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun. Saat itulah diagnosis
diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung
secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi
menyekresikan insulin, suatu keadaan menyerupai diabetes tipe 1
(Suyono, 2009).
A.2. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria saja.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler (Perkeni, 2006).
10
11
TGT
ditegakkan
setelah
pada
pemeriksaan
TTGO
Kadar GDS
(mg/dl)
Kadar GDP
(mg/dl)
Bukan
Belum
DM
pasti DM
Plasma vena
< 100
100-199
200
Darah kapiler
< 90
90-199
200
Plasma vena
< 100
100-125
126
Darah kapiler
< 90
90-99
100
DM
12
A.3. Tatalaksana
Dalam hal pengelolaan pasien diabetes melitus, evaluasi sejak dini
mengenai terapi yang telah dijalani sangat penting. Hal ini sangat penting
untuk memberikan pengelolaan pasien yang optimal (ADA, 2011).
Hal yang perlu diperhatikan pula dalam pengelolaan DM adalah
memberikan informasi/edukasi kepada penderita, pengaturan pola makan,
latihan jasmani, dan dilakukan intervensi farmakologi bila diperlukan.
Tujuan pengelolaan tersebut secara umum adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita DM. Tujuan jangka pendek untuk menghilangkan
keluhan DM, sedangkan tujuan jangka panjang adalah untuk mencegah serta
menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan
neuropati. Tujuan akhir pengelolaan DM adalah menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas akibat DM.
Edukasi sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan DM, karena
peran aktif keluarga dan penderita sangat menentukan kualitas hidup
selanjutnya. Perubahan perilaku dan motivasi harus didasari pengertian dan
pengenalan yang baik tentang :
a. Penyakit (gejala dan komplikasi jangka panjang).
b. Perlunya pengendalian dan pemantauan kadar glukosa darah, profil
lipid, dan fungsi ginjal.
c. Pengetahuan tentang intervensi non farmakologis (pengaturan diet, tidak
merokok, dan olahraga).
d. Pengetahuan tentang farmakologis (dosis, cara pemberian, serta efek
samping obat antidiabetes).
Hal-hal di atas sangat menentukan keberhasilan pengelolaan pasien DM.
Dalam perencanaan makan, standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan
lemak, sesuai dengan kecukupan gizi yang baik yaitu : karbohidrat (4560%), protein (10-20%), dan lemak (20-25%). Jumlah kalori disesuaikan
dengan pertumbuhan, status gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan
13
< 18,5
18,5 24,9
25,0
25,0 29,9
Obesitas I
30,0 34,9
Obesitas II
35,0 39,9
Obesitas III
40,0
(Sumber : Waspadji, 2009)
% BB idaman
25,0
18,5 24,9
25,0 29,9
(Sumber : Waspadji, 2009)
14
15
16
hidrolisis gula pada dinding usus halus (brush border). Inhibisi sistem
enzim ini secara efektif dapat mengurangi penyerapan karbohidrat
kompleks, sehingga pada orang dengan diabetes dapat mengurangi
peningkatan kadar glukosa post-prandial.
Acarbose juga menghambat alfa-amilase pankreas yang berfungsi
melakukan hidrolisis tepung-tepung kompleks di dalam lumen usus
halus.
Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus
dan kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan
lebih lama (Soegondo, 2009).
A.3.b. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
1. penurunan berat badan yang cepat,
2. hiperglikemia berat disertai ketosis,
3. ketoasidosis diabetik,
4. hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,
5. hiperglikemia dengan asidosis laktat,
6. gagal terapi diabetes dengen kombinasi OHO dosis hampir maksimal,
7. stres berat,
8. kehamilan dengan DM yang tidak terkendali dengan perencanaan
makan,
9. gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, dan
10. kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis yaitu :
1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin).
2. Insulin kerja pendek (short acting insulin).
3. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin).
4. Insulin kerja panjang (long acting insulin).
17
A.4. Komplikasi
Menurut WHO (2006) komplikasi diabetes melitus dibagi menjadi
dua, yaitu :
A.4.a. Komplikasi akut :
1. Hipoglikemia,
2. Krisis hiperglikemia, dan
3. Infeksi.
18
19
gastrointestinal,
akan
memperkuat
stimulus
untuk
20
DM. Sebagai contoh GLUT4, secara kuantitatif sangat penting sebagai faktor
yang menurunkan kadar glukosa dalam darah, dimana GLUT4 berperan
dalam masuknya glukosa ke dalam membran otot dan sel lemak oleh insulin
(Karam, 1998).
Tabel 4. Transporter glukosa
Trasnporter
Jaringan
GLUT1
GLUT2
GLUT3
GLUT4
GLUT5
Usus, ginjal
(Sumber : Karam, 1998)
Konstentrasi
glukosa dalam
: Plantae
Divisi
: Spermathophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotyledoneae
Famili
: Solanaceae
Genus
: Solanum
21
3.0
Karbohidrat (%)
0,12
Protein (g)
2,0
Lemak (g)
44,0
Serat (g)
52,0
124,0
Kalsium (mg)
34,0
Magnesium (mg)
0,04
Fosfor (mg)
0,11
Besi (mg)
0,74
Seng (mg)
0,22
22
asma, walau belum ada penelitian yang membuktikan hal tersebut (Gul et al.,
2011). Akan tetapi efek antioksidan (Sudheesh et al., 1999; Jung et al., 2011),
analgesik dan antipiretik (Mutalik et al., 2003), serta hipolipidemik
(Sudheesh, 1997; Sofian, 2011) dari tanaman ini telah dibuktikan.
23
signifikan pada hari ke-4. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Gulmares
et al. (2000), dimana dibuktikan bahwa infusa daging buah Solanum
melongena dapat menurunkan kadar kolesterol total, akan tetapi penurunan
kolesterol total yang terjadi hanya besifat sementara.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, terung ungu mengandung
serat yang cukup tinggi, salah satu jenis serat yang terkandung di dalamnya
adalah pektin. Mekanisme penghambatan penyerapan glukosa oleh pektin
diperkirakan dengan meningkatkan viskositas cairan dalam saluran
pencernaan, sehingga dapat menurunkan waktu pengosongan lambung serta
akan menekan penyerapan glukosa di usus (Cummings et al., 1979; Tiwari
dan Rao, 2002). Selain itu pula, mengonsumsi serat dapat meningkatkan
metabolisme glukosa dan sensitifitas insulin (Wolfram dan Ismail, 2011).
Terung ungu juga mengandung berbagai antioksidan, dan kandungan
kimia lain seperti flavonoid, alkaloid, tanin, dan saponin (Miean dan
Mohamed, 1998; Gulmares et al., 2000; Agoreyo et al., 2012). Sedangkan
untuk jenis flavonoid yang terdeteksi dalam terung ungu adalah myricetin,
quercetin dan kaemferol (Miean dan Mohamed, 2000; Singh et al., 2009).
Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang terdapat dalam semua
jenis tumbuhan berpembuluh yang biasanya ditemukan berikatan dengan
gula (glikosida), sedangkan jenisnya tergantung pada jenis tanaman.
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, sehingga tidak
pernah ditemukan di dalam sebuah tanaman hanya terdapat satu jenis
flavonoid (Harborne, 1987; Ross dan Kasum, 2002). Bio-flavonoid sangat
terkenal
dalam
berbagai
manfaat
termasuk
sebagai
antidiabetes
2.
3.
24
5.
6.
7.
8.
9.
fisiologis yang menonjol, jadi sering kali digunakan secara luas dalam
bidang pengobatan (Harborne, 1987). Alkaloid juga diketahui memiliki
aktifitas antidiabetes (Islam et al., 2009; Sneha dan Chaudhari, 2011).
Adapun mengenai mekanisme antidiabetes atau hipoglikemik dari alkaloid
belum sepenuh diketahui. Beberapa mekanisme umum terkait aktivitas
alkaloid sebagai antidiabetes adalah sebagai berikut :
1. Menghambat penyerap glukosa di saluran pencernaan dengan
menginhibisi alfa glukosidase (Jung et al., 2006; Geng et al., 2007).
2. Menstimulasi ambilan glukosa oleh adiposit (Jung et al., 2006).
3. Menstimulasi glikogenesis (Ponnachan et al, 1993).
4. Memperkuat induksi glukosa dalam penyekresian insulin (Jung et al.,
2006; Badole et al., 2006).
Setiap aktivitas alkaloid di atas tergantung dari jenis alkaloidnya.
25
D. METFORMIN
Metformin merupakan obat hipoglikemik oral golongan biguanid.
Metformin menurunkan glukosa darah dengan memperbaiki transpor glukosa
ke dalam sel otot yang dirangsang oleh insulin. Obat ini dapat memperbaiki
ambilan glukosa sebesar 10-40 %. Metformin menurunkan produksi glukosa
hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis. Metformin
juga dapat memperbaiki profil lipid dengan mekanisme yang masih belum
dapat dimengerti sepenuhnya (Suherman, 2012). Menurut penelitian
sebelumnya, metformin dimungkinkan dapat bekerja dengan meningkatkan
utilisasi glukosa di sel target, meningkatkan jumlah reseptor insulin di sel
darah (eritrosit dan monosit), serta penghambatan secara minimal penyerapan
glukosa di saluran pencernaan (Klip dan Leiter, 1990; Ikeda et al., 2000).
Metformin berbeda dengan golongan sulfonilurea karena tidak meningkatkan
sekresi insulin dan tidak menaikkan berat badan.
Metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa sebanyak 60
mg/dl dan HbA1c 1,8 %, jadi hampir sama efektifnya dengan sulfonilurea.
Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah-muntah, kadangkadang diare, oleh karena itu lebih baik diberikan kepada pasien yang gemuk,
sebab tidak merangsang sekresi insulin, yang seperti diketahui mempunyai
efek anabolik. Sebenarnya obat ini baik sekali bila diingat sifatnya yang
hanya merupakan euglycemic agent, jadi tidak terdapat bahaya terjadinya
hipoglikemia.
Mengonsumsi metformin memiliki risiko terjadi asidosis laktat
walaupun sangat jarang (1/30.000 orang/tahun) dan terjadi bila dikonsumsi
26
oleh mereka yang termasuk dalam kontra indikasi. Kontra indikasi yang
dimaksud antara lain:
1.
Gangguan fungsi ginjal (kreatinin: > 1,5 mg/dl bagi laki-laki dan > 1,4
mg/dl bagi perempuan).
2.
Dehidrasi.
3.
4.
Asidosis metabolic.
5.
Usia lanjut.
6.
metformin tidak terikat protein plasma dan ekskresinya melalui urin dalam
keadaan utuh. Waktu paruh metformin sekitar 2 jam.
Dosis awal 2 x 500 mg, umumnya dosis pemeliharaan (maintenance
dose) 3 x 500 mg, sedangkan dosis maksimal konsumsi metformin perharinya
adalah 2,5 gram. Obat diminum pada waktu makan. Pasien DM yang tidak
memberikan respon dengan sulfonilurea dapat diatasi dengan metformin, atau
dapat pula diberikan sebagai terapi kombinasi dengan insulin atau
sulfonilurea (Suherman, 2012).
E. INFUSA
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari bahan nabati
dengan air pada suhu 90o celcius selama 15 menit (Duin, 1947; Depkes RI,
1986).
Sedangkan infundasi adalah proses penyarian yang umumnya
digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang terlarut dalam air dari
bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak
stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang
diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI,
1986)
27
28
F. KERANGKA TEORI
Pembebanan glukosa
glukosa
transpor glukosa
Metformin
Menghambat
penyerapan
glukosa
Meningkatkan
ambilan glukosa
oleh sel target
Penyerapan
glukosa di usus
Transpor glukosa ke sel
target melalui darah
Meningkatkan
sensitifitas sel
target terhadap
insulin
Mengandung
flavonoid,
alkaloid, tanin,
saponin
Menghambat
penyerapan
glukosa
stimulasi
Meningkatkan
sekresi insulin
Sel beta
pankreas
Sekresi
insulin(a)
Meningkatkan
sensitifitas sel
target terhadap
insulin
Transpor
glukosa dari luar
ke dalam sel
target(b)
Menghambat
glukoneogenesis
stress
Menghambat
glukoneogenesis
Jenis kelamin
Kadar
glukosa darah
Aktivitas fisik
Asupan makanan
Genetik
usia
Glukoneogenesis
Kekurangan
glukosa dalam sel
29
H. HIPOTESIS
Infusa daging buah terung ungu (Solanum melongena .L) dapat menurunkan
kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvergicus) jantan galur wistar yang
dibebani glukosa.