Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DIABETES MELITUS
Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya
kadar glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid
dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh
sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, dan atau disebabkan oleh kurang
responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Adapun faktor resiko DM antara lain : usia lebih dari 45 tahun, berat
badan lebih (BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2), hipertensi (
140/90 mmHg), riwayat DM dalam garis keturunan, riwayat abortus
berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan lahir bayi lebih dari 4000
gram, kolesterol HDL 35 mg/dl, dan atau trigliserida 250 mg/dl, adanya
riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya dan memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
(Gutaviani, 2006; Soegondo, 2009).
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut Perkeni (2006) adalah
sebagai berikut :
1. Diabetes melitus tipe 1
Pada diabetes tipe 1 ini, terjadi destruksi sel beta yang umumnya
menjurus ke defisiensi insulin absolut. Keadaan ini dapat terjadi melalui
proses imunologik (autoimun) ataupun idiopatik.
2. Diabetes melitus tipe 2
Pada diabetes tipe ini, etiologinya bervariasi, mulai yang predominan
resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
predominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.

3. Diabetes melitus tipe lain, terbagi atas :


a. defek genetik fungsi sel beta,
b. defek genetik kerja insulin,
c. penyakit eksokrin pankreas,
d. endokrinopati,
e. karena obat atau zat kimia,
f. infeksi,
g. sebab imunologik yang jarang, dan
h. sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
4. Diabetes melitus gestasional

A.1. Patogenesis
A.1.a. Diabetes Melitus tipe 1
Diabetes Melitus tipe 1 terjadi sebagai akibat interaksi sinergis dari
faktor genetik, lingkungan, dan imunologi yang akhirnya merusak sel beta
pankreas. Individu dengan kecendrungan genetik memiliki sel beta normal
pada saat lahir namun kemudian mulai kehilangan sel beta sebagai akibat
sekunder dari kerusakan secara autoimun yang terjadi dalam bulantahunan. Proses autoimun ini diduga dipicu oleh stimulus infeksi atau
lingkungan. Pada sebagian besar individu, marker imunologik muncul
setelah rangsangan terjadi tetapi sebelum klinis diabetes menjadi nyata.
Massa sel beta mulai berkurang, dan sekresi menjadi terganggu secara
progresif, walaupun toleransi glukosa normal tetap dipertahankan.
Kecepatan penurunan massa sel beta bervariasi antar individu dengan
beberapa pasien berkembang secara cepat menjadi diabetes dan lainnya
berkembang lebih perlahan.
Gambaran klinis diabetes tidak muncul sebelum sebagian besar sel
beta rusak. Pada saat tersebut, fungsi sel beta yang tersisa masih ada tetapi
tidak sanggup untuk mempertahankan toleransi glukosa. Kejadian yang
memicu perubahan dari intoleransi glukosa menjadi diabetes seringkali

dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan insulin, misalnya pada infeksi


dan pubertas (Powers, 2010).

A.1.b. Diabetes Melitus tipe 2


Diabetes Melitus tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat. Gen
mayor yang memicu kelainan ini belum teridentifikasi, tetapi jelas
penyakit ini bersifat poligenik dan multifaktorial. Tidak hanya defek
genetik pada sekresi insulin atau kerja insulin saja yang akan
bermanifestasi menjadi DM, akan tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan
(nutrisi dan aktifitas fisik). Kemungkinan terjadinya DM pada kembar
identik jika salah satunya merupakan penderita DM adalah 70-90%.
Seorang dengan salah satu orang tuanya penderita DM mempunyai resiko
lebih besar dan jika kedua orang tuanya penderita DM maka resiko anak
yang dilahirkan menderita DM mencapai 40 % (Powers, 2010).
Patogenesis diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi
insulin perifer, gangguan produksi glukosa di hati, dan penurunan fungsi
sel beta, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel beta (Suyono,
2009). Dasar seluler dan molekuler resistensi insulin masih belum
sepenuhnya dimengerti.
Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin yaitu jaringan lemak, otot,
dan hati. Insulin meningkatkan penyerapan glukosa di jaringan lemak dan
otot, sedangkan di hati, insulin bekerja dengan menekan produksi glukosa.
Insulin bekerja pada sasarannya pertama-tama dengan berikatan dengan
reseptornya. Ikatan antara insulin dengan reseptor ini akan memicu
aktifitas intrisik tirosin kinase, yang kemudian memicu autofosforilasi dan
keluarnya intercellular signaling molecules, seperti IRS (Insulin Receptor
Substrates). IRS dan beberapa protein penghubung lainnya akan
menginisiasi kaskade reaksi fosforilasi dan defosforilasi. Sebagai contoh,
pengaktifan salah satu jalur IRS seperti jalur phosphatidilinositol-3kinase, akan menstimulasi translokasi dari salah satu transporter glukosa
(sebagai contoh GLUT4) menuju ke permukaan sel. Mekanisme ini sangat

berperan penting dalam pemasukan glukosa pada sel-sel otot dan lemak.
Pengaktifan jalur resptor insulin lainnya pada kaskade ini akan
menginduksi sintesis glikogen, protein, lipogenesis, serta penghambatan
glukoneogenesis (Powers, 2010). Pada prinsipnya resistensi insulin dapat
terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal
(pascareseptor) yang diaktifkan oleh ikatan insulin ke reseptornya (Salzler
et al., 2007).
Terdapat beberapa predisposisi terjadinya resistensi insulin yaitu
obesitas, diet tinggi lemak dan karbohidrat, kurang aktifitas tubuh, dan
faktor keturunan. Pada gambar 1, stadium prediabetes diawali dengan
timbulnya resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan
sekeresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin tersebut agar
kadar glukosa darah tetap normal. Semakin lama sel beta akan tidak
sanggup lagi mengkompensasi resistensi insulin hingga kadar glukosa
darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun. Saat itulah diagnosis
diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung
secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi
menyekresikan insulin, suatu keadaan menyerupai diabetes tipe 1
(Suyono, 2009).

Gambar 1. Perjalanan penyakit penderita DM tipe 2


(Sumber : Suyono, 2009)

Penurunan fungsi sel beta secara progresif pada DM beberapa dapat


dijelaskan sebagai akibat pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien
diabetes tipe 2 ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin,
komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal dihasilkan
oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai
respon terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan
oleh resistensi insulin pada fase awal diabetes tipe 2 menyebabkan
peningkatan produksi amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid
di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta
sedikit refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Selain itu pula, amiloid
bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan dalam
menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus DM tipe 2
tahap lanjut (Salzler, 2007).
Keadaan lingkungan metabolik disekitar sel beta islet pankreas
akibat DM juga memiliki dampak buruk terhadap keberlangsungan sel
beta pankreas. Sebagai contoh pada keadaan hiperglikemia, secara
paradoksikal terjadi gangguan fungsi islet akibat glucose toxicity yang
kemudian semakin memperburuk keadaan hiperglikemia. Selain itu pula,
peningkatan asam lemak bebas sebagai akibat glukoneogenesis dapat
memperburuk fungsi dari islet pankreas (Powers, 2010).

A.2. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria saja.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler (Perkeni, 2006).

10

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring.


Uji diagnostik DM dilakukan pada orang yang menunjukkan gejala/tanda
DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi
mereka yang tidak bergejala, yaitu orang yang memiliki faktor resiko.
Kemudian akan dilakukan serangkaian uji diagnostik pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis
definitif (Soegondo, 2009).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya serta keluhan tambahan lain seperti lemah
badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2006).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika
keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa (puasa diartikan pasien tidak
mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam), lebih mudah dilakukan,
mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini
dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO). Prinsip pemeriksaan TTGO adalah pasien diminta berpuasa paling
sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan, kemudian pasien diberikan glukosa
anhidrat 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak) yang
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit. Setelah itu
pasien diminta berpuasa kembali selama 2 jam, kemudian diperiksa kadar
glukosa darah 2 jam sesudah pembebanan glukosa. Meskipun TTGO lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.

11

Adapun kriteria diagnosis Diabetes Melitus adalah sebagai berikut :


a. Ditemukan gejala klasik DM ditambah dengan kadar glukosa plasma
sewaktu 200 mg/dl
b. Ditemukan gejala klasik DM ditambah dengan kadar glukosa plasma
puasa 126 mg/dl
c. Ditemukan hasil pemeriksaan kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO
200 mg/dl.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Diagnosis

TGT

ditegakkan

setelah

pada

pemeriksaan

TTGO

diadapatkan glukosa plasma 2 jam setelah pembebanan antara 140-199


mg/dl.
b. Diagnosis GDPT ditegakkan setelah pada pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100-125 mg/dl.
Adapun untuk pemeriksaan penyaring pada kelompok orang dengan
resiko, dapat melalui pemeriksaan kadar glukosa plasma sewaktu atau kadar
glukosa plasma puasa. Kadar glukosa plasma sewaktu dan puasa sewaktu
sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM dapat dilihat pada tabel 1
(Perkeni, 2006).
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM

Kadar GDS
(mg/dl)
Kadar GDP
(mg/dl)

Bukan

Belum

DM

pasti DM

Plasma vena

< 100

100-199

200

Darah kapiler

< 90

90-199

200

Plasma vena

< 100

100-125

126

Darah kapiler

< 90

90-99

100

DM

(Sumber : Perkeni, 2006)

12

A.3. Tatalaksana
Dalam hal pengelolaan pasien diabetes melitus, evaluasi sejak dini
mengenai terapi yang telah dijalani sangat penting. Hal ini sangat penting
untuk memberikan pengelolaan pasien yang optimal (ADA, 2011).
Hal yang perlu diperhatikan pula dalam pengelolaan DM adalah
memberikan informasi/edukasi kepada penderita, pengaturan pola makan,
latihan jasmani, dan dilakukan intervensi farmakologi bila diperlukan.
Tujuan pengelolaan tersebut secara umum adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita DM. Tujuan jangka pendek untuk menghilangkan
keluhan DM, sedangkan tujuan jangka panjang adalah untuk mencegah serta
menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan
neuropati. Tujuan akhir pengelolaan DM adalah menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas akibat DM.
Edukasi sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan DM, karena
peran aktif keluarga dan penderita sangat menentukan kualitas hidup
selanjutnya. Perubahan perilaku dan motivasi harus didasari pengertian dan
pengenalan yang baik tentang :
a. Penyakit (gejala dan komplikasi jangka panjang).
b. Perlunya pengendalian dan pemantauan kadar glukosa darah, profil
lipid, dan fungsi ginjal.
c. Pengetahuan tentang intervensi non farmakologis (pengaturan diet, tidak
merokok, dan olahraga).
d. Pengetahuan tentang farmakologis (dosis, cara pemberian, serta efek
samping obat antidiabetes).
Hal-hal di atas sangat menentukan keberhasilan pengelolaan pasien DM.
Dalam perencanaan makan, standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan
lemak, sesuai dengan kecukupan gizi yang baik yaitu : karbohidrat (4560%), protein (10-20%), dan lemak (20-25%). Jumlah kalori disesuaikan
dengan pertumbuhan, status gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan

13

kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.


Untuk menentukan status gizi digunakan indeks massa tubuh (IMT), yaitu :
(

Tabel 2. Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT


Klasifikasi IMT

Nilai IMT (kg/m2)

Berat badan kurang

< 18,5

Berat badan normal

18,5 24,9
25,0

Berat badan lebih


Pre obesitas

25,0 29,9

Obesitas I

30,0 34,9

Obesitas II

35,0 39,9

Obesitas III

40,0
(Sumber : Waspadji, 2009)

Untuk kepentingan klinis praktis dan untuk penentuan jumlah kalori


dipakai rumus Broca, yaitu :
(

Tabel 3. Klasifikasi berat badan berdasrkan berat badan idaman


Klasifikasi Berat
Badan
Berat badan kurang

% BB idaman

Berat badan normal

25,0

Berat badan lebih

18,5 24,9
25,0 29,9
(Sumber : Waspadji, 2009)

Jumlah kalori yang dipelukan dihitung dari berat badan idaman


dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kgBB untuk laki-laki dan 25
Kkal/kgBB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori
untuk aktivitas (10-30%, untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak,
sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status
gizi dan kalori yang dibutuhkan untuk menghadapi stess akut sesuai dengan
kebutuhan. Untuk masa pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu
hamil, diperlukan perhitungan sendiri.

14

Latihan jasmani yang dianjurkan dilakukan secara teratur (3-4 kali


seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai CRIPE
(continuous, rhytmical, interval, progessive, endurance training). Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal, disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga
ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah
berjalan cepat selama 20 menit, dan olahraga berat misalnya jogging
(Waspadji, 2009).
Intervensi farmakologi ditambahkan dalam pengelolaan DM jika
dengan intervensi non farmakologis target glukosa darah belum tercapai.
Umumnya pemberian obat oral DM diberikan diawali dengan satu macam
obat dengan dosis terkecil yang efektif, jika belum tercapai dilakukan
peningkatan dosis secara bertahap. Penambahan insulin dilakukan jika pada
DM tipe 2 dimana terapi jenis lain tidak dapat mencapai target pengendalian
kadar glukosa darah, atau pada keadaan stress berat seperti pada infeksi
berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut dan stroke.
Adapun sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa :
a. Obat hipoglikemik oral
1. Pemicu sekresi insulin, seperti sulfonilurea dan glinid.
2. Penambah sensitifitas terhadap insulin, seperti biguanid dan
tiazolidindion.
3. Penghambat glukoneogenesis, seperti metformin.
4. Penghambat absorbsi glukosa (penghambat glukosidase alfa).
b. Insulin
A.3.a. Obat hipoglikemik oral (OHO)
1. Golongan sulfonilurea
Cara kerja obat golongan ini hingga saat ini tetap terus diteliti, tetapi
pada umumnya dikatakan adalah meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas.

15

Obat golongan ini merupakan pilihan kedua setelah metfomin untuk


pasien diabetes dewasa baru tanpa memandang berat badan serta tidak
pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea sebaiknya
tidak diberikan pada penderita penyakit hati, ginjal dan tiroid.
Termasuk obat golongan ini antara lain klorpropamid, glibenklamid,
glikasid, glikuidon, glipisid, dan glimepirid.
2. Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu repaglinid dan
nateglinid.
3. Biguanid
Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan terutama bekerja di
hati dengan mengurangi hepatic glucose output dan menurunkan
kadar glukosa darah sampai normal (euglikemia) serta tidak pernah
menyebabkan hipoglikemia. Obat golongan ini saat ini banyak dipakai
sebagai terapi awal diabetes sesudah diagnosis ditegakkan. Contoh
obat golongan ini adalah metformin.
4. Thiazolindion/glitazon
Thiazolindion berikatan pada pada peroxisome proliferator activated
receptor gamma suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Obat
golongan ini memperbaiki sensitifitas terhadap insulin dengan
memperbaiki transpor glukosa kedalam sel. Contoh obat golongan ini
yaitu pioglitazon (actoz) dan rosiglitazon (avandia). Kedua obat ini
dapat menyebabkan pertambahan berat badan dan edema tungkai,
terutama pada dosis yang lebih besar atau bila digunakan bersama
insulin atau insulin sekretagok.
5. Penghambat alfa glukosidase/acarbose
Acarbose merupakan suatu penghambat enzim alfa glukosidase yang
terletak pada dinding usus halus. Enzim alfa glukosidase adalah
maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase berfungsi untuk

16

hidrolisis gula pada dinding usus halus (brush border). Inhibisi sistem
enzim ini secara efektif dapat mengurangi penyerapan karbohidrat
kompleks, sehingga pada orang dengan diabetes dapat mengurangi
peningkatan kadar glukosa post-prandial.
Acarbose juga menghambat alfa-amilase pankreas yang berfungsi
melakukan hidrolisis tepung-tepung kompleks di dalam lumen usus
halus.
Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus
dan kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan
lebih lama (Soegondo, 2009).

A.3.b. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
1. penurunan berat badan yang cepat,
2. hiperglikemia berat disertai ketosis,
3. ketoasidosis diabetik,
4. hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,
5. hiperglikemia dengan asidosis laktat,
6. gagal terapi diabetes dengen kombinasi OHO dosis hampir maksimal,
7. stres berat,
8. kehamilan dengan DM yang tidak terkendali dengan perencanaan
makan,
9. gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, dan
10. kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis yaitu :
1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin).
2. Insulin kerja pendek (short acting insulin).
3. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin).
4. Insulin kerja panjang (long acting insulin).

17

Adapun efek samping terapi insulin adalah sebagai berikut :


1. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
2. Efek samping lain berupa reaksi imunologik terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin (Perkeni,
2006).

A.4. Komplikasi
Menurut WHO (2006) komplikasi diabetes melitus dibagi menjadi
dua, yaitu :
A.4.a. Komplikasi akut :
1. Hipoglikemia,
2. Krisis hiperglikemia, dan
3. Infeksi.

A.4.b. Komplikasi kronik :


1. Aterosklerosis
2. Retinopati,
3. Nefropati diabetik, dan
4. Neuropati diabetik.

B. PENGATURAN KADAR GLUKOSA DARAH


Karbohidrat adalah sumber kalori utama dalam makanan untuk
sebagian besar populasi di dunia. Proses pencernaan karbohidrat sudah
dimulai di rongga mulut oleh enzim ptialin dalam air liur, yang memecah
karbohidrat rantai panjang. Karbohidrat yang struktur molekulnya lebih
pendek seperti glukosa, galaktosa, sukrosa, dan laktosa melewati mulut tanpa
mengalami pencernaan oleh enzim ptialin. Hasil pencernaan di mulut
kemudian, masuk ke lambung. Di dalam lambung, pencernaan karbohidrat
akan berhenti sampai masuk ke dalam usus kerena amilase tidak aktif dalam
suasana asam. Di dalam usus, campuran karbohidrat dengan keasaman yang

18

tinggi akan dinetralkan oleh bikarbonat yang disekresikan oleh pankreas,


sehingga enzim amilase dapat bekerja kembali. Enzim berikutnya yang
mencerna karbohidrat adalah enzim amilase dari pankreas, yang bekerja
memecah polisakarida menjadi karbohidrat yang lebih sederhana yaitu
disakarida. Diskarida (malatosa, laktosa, dan sukrosa) oleh enzim alfaglukosidase di dinding usus halus dipecah menjadi monosakarida (glukosa,
galaktosa, dan fruktosa) untuk kemudian diserap (Guyton dan Hall, 2008).
Glukosa masuk sel melalui difusi terfasilitasi, atau di usus dan ginjal
melalui secondary active transport (transpor terfasilitasi yang diperantai oleh
Na+). Pada otot, jaringan lemak, dan beberapa jaringan lainnya, insulin
memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel dengan peningkatan jumlah
transporter glukosa di dalam membran sel.
Molekul glukosa bersifat sangat polar dan tidak dapat berdifusi
menembus lapisan ganda fosfolipid hidrofilik pada membran sel. Oleh karena
itu, glukosa masuk ke dalam sel melalui pengikatan dengan protein
transporter, yaitu protein yang menembus membran dan berikatan dengan
molekul glukosa di satu sisi membran dan melepaskannya di sisi yang
berlawanan. Pada sel usus terdapat dua jenis protein transporter glukosa yaitu
transporter glukosa dependen Na+ dan transporter glukosa fasilitatif.
Transporter glukosa dependen Na+ yang terletak di sisi mukosa,
memungkinkan sel mengkonsentrasikan glukosa di lumen usus konsentrasi
Na+ intrasel yang rendah dipertahankan oleh Na+ K- ATPase di sisi serosa sel
yang menggunakan energi dari pemutusan ATP untuk memompa Na+ keluar
dari sel ke dalam darah. Dengan demikian, transpor glukosa dari konsetrasi
rendah di dalam lumen ke konsentrasi tinggi di dalam sel ditunjang oleh
kotranspor Na+ (transpor aktif sekunder).
Transpor aktif fasilitatif terletak di sisi serosa sel. Glukosa berpindah
dengan bantuan transpor fasilitatif dari konsentrasi glukosa tinggi di dalam
sel ke konsentrasi rendah di dalam darah tanpa mengeluarkan energi (Marks
et al., 2000).

19

Glukosa di dalam darah merupakan kunci utama regulasi sekresi insulin


oleh sel beta, meskipun asam amino, keton, peptida gastrointestinal juga
berperan dalam regulasi tersebut.
Stimulasi glukosa terhadap sekresi insulin dimulai ketika glukosa di
masukkan ke dalam sel beta pankreas melalui transporter glukosa, GLUT2.
Seperti model yang ditampilkan pada gambar 2, setelah glukosa masuk,
glukosa akan mengalami fosforilasi oleh glukokinase yang kemudian akan
menghasilkan glukosa-6-fosfat. Glukosa-6-fosfat ini kemudian melalui
glikosis menghasilkan ATP, yang menghambat aktifitas dari kanal kalium
yang sensitif terhadap ATP. Penghambatan ini akan menginduksi depolarisasi
sel beta pankreas, kemudian akan membuka kanal kalsium dan merangsang
sekresi insulin. Bersamaan dengan itu, incretins, peptida dari sel
neuroendokrin

gastrointestinal,

akan

memperkuat

stimulus

untuk

penyekresian insulin yang distimulasi oleh glukosa (Powers, 2010)

Gambar 2. Stimulasi sekresi insulin oleh glukosa


(Sumber : Powers, 2010)
Insulin memiliki efek yang penting terhadap berbagai transpor molekul
yang memudahkan perpindahan glukosa menyebrangi membran sel.
Transporter-transporter ini memegang peranan pada etiologi dan manifestasi

20

DM. Sebagai contoh GLUT4, secara kuantitatif sangat penting sebagai faktor
yang menurunkan kadar glukosa dalam darah, dimana GLUT4 berperan
dalam masuknya glukosa ke dalam membran otot dan sel lemak oleh insulin
(Karam, 1998).
Tabel 4. Transporter glukosa
Trasnporter

Jaringan

GLUT1

Semua jaringan, terutama sel darah merah, otak

GLUT2

Sel beta pankereas, hati, ginjal, usus

GLUT3

Otak, ginjal, plasenta, jaringan lain

GLUT4

Otot, jaringan lemak

GLUT5

Usus, ginjal
(Sumber : Karam, 1998)

Pemeliharaan homeostasis glukosa darah diperankan sangat penting


oleh pankreas.

Konstentrasi

glukosa dalam

darah ditentukan oleh

keseimbangan yang ada antara proses-proses berikut ini, antara lain :


1. penyerapan glukosa dari saluran pencernaan,
2. transportasi glukosa ke dalam sel,
3. pembentukan glukosa oleh sel (terutama di hati),
4. pengeluaran glukosa secara abnormal (melalui urin) (Sherwood, 2001).

C. TERUNG UNGU (Solanum melongena Linn.)


Terung ungu (Solanum melongena Linn.) merupakan hasil panen utama
pada negara-negara tropis dan subtropis. Adapun sistematika taksonomi
tanaman terung ungu adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermathophyta

Sub Divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dycotyledoneae

Famili

: Solanaceae

Genus

: Solanum

Spesies/ binomial : Solanum melongena/ Linn.(MEF, 2010)

21

Tanaman ini tumbuh dengan tinggi mencapai 40-150 cm.Tanaman ini


memiliki karakteristik daun antara lain simetris, besar, dan terdiri atas satu
lobus yang kasar. Adapun ciri-ciri bunga yaitu besar, berwarna ungu hingga
biru, dan terdiri atas 2-5 kelopak. Buah terung ungu besar, dan berbentuk dari
lonjong hingga menuju bulat. Perubahan warna buah seiring kematangan
buah mulai dari ungu muda, kemudian menjadi lebih gelap (MEF, 2010;
Parany, 2010).
Terung ungu diperkirakan berasal dari benua asia, lebih tepatnya
berasal dari India dan Sri Lanka. Terung ungu sangat erat hubungannya
dengan tomat dan kentang. Terdapat setidaknya 2000 spesies yang memiliki
famili solanaceae. Terung ungu umum dikonsumsi sebagai sayuran. Daging
buah terung ungu sendiri mengandung rendah lemak dan kalori, kandungan
utamanya adalah air, beberapa protein, serat, dan karbohidrat. Komposisi
nutrisi dalam 100 gram daging buah terung ungu dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Komposisi per 100 gram daging buah terung ungu
Kalori

24,0 Sodium (mg)

3.0

Karbohidrat (%)

92,7 Tembaga (mg)

0,12

Protein (g)

1,4 Potassium (mg)

2,0

Lemak (g)

0,3 Sulfur (mg)

44,0

Serat (g)

1,3 Klorin (mg)

52,0

Asam oksalat (mg)

18,0 Vit A (I.U.)

124,0

Kalsium (mg)

18.0 Asam folat (ug)

34,0

Magnesium (mg)

15,0 Tiamin (mg)

0,04

Fosfor (mg)

47,0 Riboflavin (mg)

0,11

Besi (mg)

0,38 B- karoten (ug)

0,74

Seng (mg)

0,22 Vitamin C (mg)

0,22

(Sumber : MEF, 2010)


Tanaman ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat india sebagai obat
tradisional untuk mengobati segala penyakit. Berbagai bagian dari tanaman
ini sangat bermanfaat untuk mengobati ulkus hidung, kolera, bronkitis dan

22

asma, walau belum ada penelitian yang membuktikan hal tersebut (Gul et al.,
2011). Akan tetapi efek antioksidan (Sudheesh et al., 1999; Jung et al., 2011),
analgesik dan antipiretik (Mutalik et al., 2003), serta hipolipidemik
(Sudheesh, 1997; Sofian, 2011) dari tanaman ini telah dibuktikan.

Gambar 3. Tanaman terung ungu


Gul et al. (2011) berhasil membuktikan ekstrak air, kloroform, dan
etil asetat dari daging buah terung ungu memiliki efek antiplatelet dan
antioksidan. Aktivitas antioksidan dari terung ungu ini diperkirakan berasal
dari kandungan fitokimia yang terkandung di dalamnya, dimana kandungankandungan tersebut dapat bertindak sebagai antioksidan pemutus rantai
pembentukan radikal bebas (Sudheesh et al., 1999; Tiwari, 2001; Tapas et
al., 2008; Singh et al., 2009). Sedangkan efek antiplatelet pada ekstrak
terung ungu diperkirakan berasal dari solasonin yang terkandung di dalam
daging buah terung ungu (Tang et al., 2008).
Melalui percobaan pada tikus putih hiperlipidemia, Sofian (2011)
berhasil membuktikan bahwa ekstrak etanol daging buah terung ungu
dengan dosis 10 mg/kgBB dapat menurunkan kadar kolesterol total dan
dengan dosis 20 mg/kgBB dapat menurukan kadar trigliserida tikus dengan

23

signifikan pada hari ke-4. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Gulmares
et al. (2000), dimana dibuktikan bahwa infusa daging buah Solanum
melongena dapat menurunkan kadar kolesterol total, akan tetapi penurunan
kolesterol total yang terjadi hanya besifat sementara.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, terung ungu mengandung
serat yang cukup tinggi, salah satu jenis serat yang terkandung di dalamnya
adalah pektin. Mekanisme penghambatan penyerapan glukosa oleh pektin
diperkirakan dengan meningkatkan viskositas cairan dalam saluran
pencernaan, sehingga dapat menurunkan waktu pengosongan lambung serta
akan menekan penyerapan glukosa di usus (Cummings et al., 1979; Tiwari
dan Rao, 2002). Selain itu pula, mengonsumsi serat dapat meningkatkan
metabolisme glukosa dan sensitifitas insulin (Wolfram dan Ismail, 2011).
Terung ungu juga mengandung berbagai antioksidan, dan kandungan
kimia lain seperti flavonoid, alkaloid, tanin, dan saponin (Miean dan
Mohamed, 1998; Gulmares et al., 2000; Agoreyo et al., 2012). Sedangkan
untuk jenis flavonoid yang terdeteksi dalam terung ungu adalah myricetin,
quercetin dan kaemferol (Miean dan Mohamed, 2000; Singh et al., 2009).
Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang terdapat dalam semua
jenis tumbuhan berpembuluh yang biasanya ditemukan berikatan dengan
gula (glikosida), sedangkan jenisnya tergantung pada jenis tanaman.
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, sehingga tidak
pernah ditemukan di dalam sebuah tanaman hanya terdapat satu jenis
flavonoid (Harborne, 1987; Ross dan Kasum, 2002). Bio-flavonoid sangat
terkenal

dalam

berbagai

manfaat

termasuk

sebagai

antidiabetes

(Brahmachari, 2011). Secara garis besar bentuk aktivitas flavonoid terkait


perannya sebagai antidiabetes adalah sebagai berikut :
1.

Meningkatkan sekresi insulin.

2.

Meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer (Brahmachari, 2011).

3.

Menghambat penyerapan glukosa dengan baik melalui aktivitas inhibisi


kompetitif terhadap alfa glukosidase, beta glukosidase, dan alfa
manosidase di saluran pencernaan maupun melalui penghambatan

24

penyerapan glukosa di tubulus proksimal renalis (Lukacinova et al.


2008; Tapas et al., 2008; Hsieh et al., 2010; Brahmachari, 2011).
4.

Meningkatkan toleransi glukosa (Tapas et al., 2008).

5.

Menghambat glukoneogenesis (Tzeng, 2010).

6.

Memperbaiki resistensi insulin sebagai akibat defek pada jaras sinyal


pasca reseptor insulin (Tzeng, 2010; Liu dan Cheng, 2011).

7.

Sebagai antioksidan, baik dalam penghambatan resistensi insulin


maupun penghambatan perusakan sel beta pankreas sebagai akibat
radikal bebas (Hassiq et al., 1999; Coskun et al., 2005; Song et al.,
2005; Lukacinova et al., 2008; Tapas et al., 2008).

8.

Menghambat glikasi non enzimatik (Jung et al., 2006; Stefek, 2011).

9.

Menghambat komplikasi kronik mikrovaskular dari diabetes melitus


(Lukacinova, 2008).

Setiap aktivitas flavonoid di atas tergantung dari jenis flavonoidnya.


Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder terbesar.
Alkaloid sering kali beracun dan

banyak yang mempunyai kegiatan

fisiologis yang menonjol, jadi sering kali digunakan secara luas dalam
bidang pengobatan (Harborne, 1987). Alkaloid juga diketahui memiliki
aktifitas antidiabetes (Islam et al., 2009; Sneha dan Chaudhari, 2011).
Adapun mengenai mekanisme antidiabetes atau hipoglikemik dari alkaloid
belum sepenuh diketahui. Beberapa mekanisme umum terkait aktivitas
alkaloid sebagai antidiabetes adalah sebagai berikut :
1. Menghambat penyerap glukosa di saluran pencernaan dengan
menginhibisi alfa glukosidase (Jung et al., 2006; Geng et al., 2007).
2. Menstimulasi ambilan glukosa oleh adiposit (Jung et al., 2006).
3. Menstimulasi glikogenesis (Ponnachan et al, 1993).
4. Memperkuat induksi glukosa dalam penyekresian insulin (Jung et al.,
2006; Badole et al., 2006).
Setiap aktivitas alkaloid di atas tergantung dari jenis alkaloidnya.

25

Selain dua fitokimia di atas, saponin juga terbukti memiliki efek


hipoglikemik (Bnouham et al., 2006; Islam et al., 2009; Alexiou dan
Demopoulos, 2010). Adapun kemungkinan mekanisme kerja saponin dalam
menurunkan kadar glukosa darah adalah penghambatan transpor glukosa di
saluran cerna (Atangwho et al., 2009; Singh et al., 2011) dan perangsangan
sekresi insulin pada sel beta pankreas (Meliani et al., 2011).

D. METFORMIN
Metformin merupakan obat hipoglikemik oral golongan biguanid.
Metformin menurunkan glukosa darah dengan memperbaiki transpor glukosa
ke dalam sel otot yang dirangsang oleh insulin. Obat ini dapat memperbaiki
ambilan glukosa sebesar 10-40 %. Metformin menurunkan produksi glukosa
hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis. Metformin
juga dapat memperbaiki profil lipid dengan mekanisme yang masih belum
dapat dimengerti sepenuhnya (Suherman, 2012). Menurut penelitian
sebelumnya, metformin dimungkinkan dapat bekerja dengan meningkatkan
utilisasi glukosa di sel target, meningkatkan jumlah reseptor insulin di sel
darah (eritrosit dan monosit), serta penghambatan secara minimal penyerapan
glukosa di saluran pencernaan (Klip dan Leiter, 1990; Ikeda et al., 2000).
Metformin berbeda dengan golongan sulfonilurea karena tidak meningkatkan
sekresi insulin dan tidak menaikkan berat badan.
Metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa sebanyak 60
mg/dl dan HbA1c 1,8 %, jadi hampir sama efektifnya dengan sulfonilurea.
Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah-muntah, kadangkadang diare, oleh karena itu lebih baik diberikan kepada pasien yang gemuk,
sebab tidak merangsang sekresi insulin, yang seperti diketahui mempunyai
efek anabolik. Sebenarnya obat ini baik sekali bila diingat sifatnya yang
hanya merupakan euglycemic agent, jadi tidak terdapat bahaya terjadinya
hipoglikemia.
Mengonsumsi metformin memiliki risiko terjadi asidosis laktat
walaupun sangat jarang (1/30.000 orang/tahun) dan terjadi bila dikonsumsi

26

oleh mereka yang termasuk dalam kontra indikasi. Kontra indikasi yang
dimaksud antara lain:
1.

Gangguan fungsi ginjal (kreatinin: > 1,5 mg/dl bagi laki-laki dan > 1,4
mg/dl bagi perempuan).

2.

Dehidrasi.

3.

Gangguan fungsi hati.

4.

Asidosis metabolic.

5.

Usia lanjut.

6.

Gagal jantung (Soegondo, 2009).


Metformin oral akan mengalami absorbsi di usus. Dalam darah

metformin tidak terikat protein plasma dan ekskresinya melalui urin dalam
keadaan utuh. Waktu paruh metformin sekitar 2 jam.
Dosis awal 2 x 500 mg, umumnya dosis pemeliharaan (maintenance
dose) 3 x 500 mg, sedangkan dosis maksimal konsumsi metformin perharinya
adalah 2,5 gram. Obat diminum pada waktu makan. Pasien DM yang tidak
memberikan respon dengan sulfonilurea dapat diatasi dengan metformin, atau
dapat pula diberikan sebagai terapi kombinasi dengan insulin atau
sulfonilurea (Suherman, 2012).

E. INFUSA
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari bahan nabati
dengan air pada suhu 90o celcius selama 15 menit (Duin, 1947; Depkes RI,
1986).
Sedangkan infundasi adalah proses penyarian yang umumnya
digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang terlarut dalam air dari
bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak
stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang
diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI,
1986)

27

Infusa dibuat dengan mencampur bahan nabati yang telah dibersihkan


dan dipotong secukupnya dicampur dengan air yang pada umumnya 2 kali
bobot bahan dalam sebuah panci yang kemudian dipanaskan di atas pemanas
air selama 15 menit dihitung mulai suhu mencapai 90o sambil sekali-kali
diaduk. Serkai ketika infusa masih dalam keadaan panas melalui kain flanel,
tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume
infus yang dikehendaki (Duin, 1947).

28

F. KERANGKA TEORI
Pembebanan glukosa
glukosa

Infusa terung ungu

transpor glukosa

Metformin

Menghambat
penyerapan
glukosa

Meningkatkan
ambilan glukosa
oleh sel target

Penyerapan
glukosa di usus
Transpor glukosa ke sel
target melalui darah

Meningkatkan
sensitifitas sel
target terhadap
insulin

Mengandung
flavonoid,
alkaloid, tanin,
saponin

Menghambat
penyerapan
glukosa

stimulasi
Meningkatkan
sekresi insulin

Sel beta
pankreas
Sekresi
insulin(a)

Meningkatkan
sensitifitas sel
target terhadap
insulin

Transpor
glukosa dari luar
ke dalam sel
target(b)

Menghambat
glukoneogenesis

stress

Menghambat
glukoneogenesis

Jenis kelamin
Kadar
glukosa darah

Aktivitas fisik
Asupan makanan

Genetik
usia

Glukoneogenesis
Kekurangan
glukosa dalam sel

29

Keterangan gangguan yang disebabkan DM :


Diabetes melitus
- Tipe I :
- Destruksi sel beta pankreas defisiensi insulin(a)
- Tipe II :
- Defisiensi insulin (a)
- Resistensi insulin (b)
G. KERANGKA KONSEP
Variabel dalam penelitian dituangkan dalam kerangka konsep dibawah ini:
Pembebanan
glukosa anhidrat
Pemberian infusa
terung ungu
Kadar glukosa darah tikus
Pemberian
metformin
- Asupan makanan
- Galur, jenis kelamin,
usia, dan berat badan
tikus
- stress
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Variabel luar

H. HIPOTESIS
Infusa daging buah terung ungu (Solanum melongena .L) dapat menurunkan
kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvergicus) jantan galur wistar yang
dibebani glukosa.

Anda mungkin juga menyukai